Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97042 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sira Sappa Palambang
""ABSTRAK
"
Latar Belakang : Gambaran foramen neuralis servikal pada potongan aksial memiliki keterbatasan dan tidak memperlihatkan foramen secara en face. Pemeriksaan MRI servikal dengan menggunakan potongan sagital oblik memberikan visualisasi dan diagnosis stenosis foraminal yang lebih optimal karena pengambilan potongan tegak lurus terhadap foramen neuralis. Saat ini prosedur operasional standar pemeriksaan MRI servikal di RSCM belum menggunakan potongan sagital oblik, sehingga masih belum dapat memberikan visualisasi langsung yang jelas dari foramen neuralis servikal dikarenakan anatomi dari foramen neuralis servikal tersebut.Metode : Pada penelitian ini, dievaluasi 23 subjek penelitian 5 orang laki-laki, 18 orang perempuan, dengan rerata usia 57 tahun yang menjalani pemeriksaan MRI servikal di RSCM. Sebanyak total 138 foramen dianalisis dari C4-5 sampai C6-7 untuk mengetahui perbedaan diagnosis derajat stenosis foraminal servikal pada potongan aksial dengan potongan sagital oblik MRI servikal. Uji hipotesis dilakukan dengan uji nonparametrik Mc Nemar dan hubungan diagnostik antara kedua potongan dinilai dengan analisis Cohen rsquo;s Kappa.Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara diagnosis kategori stenosis berdasarkan potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan nilai p=0,001. Pada analisis Cohen rsquo;s Kappa didapatkan nilai r = 0,248 dengan nilai p=0,000.Kesimpulan : Terdapat perbedaan diagnosis stenosis yang siginifikan pada potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan tidak adanya kesesuaian diagnostik antara kedua potongan tersebut.
"
"
"ABSTRACT
"Background Axial images in cervical MRI examination has limitations in evaluating neural foramen and do not directly visualized it. Oblique sagittal images cervical MRI, that perpendicular to the neural foramen in axial images, provides optimal visualization and better diagnosis of foraminal stenosis grading. Currently, the standard operating procedures of the cervical MRI examination in RSCM are not yet using oblique sagittal images, so it still can not provide direct visualization of the cervical neural foramen due to the anatomy of the cervical foraminal.Method In this study, we evaluated 23 people 5 males and 18 females, mean age 57 years who visited RSCM and underwent cervical MRI. A total of 138 foramina were analysed from C4 5 to C6 7 both sides, based on axial images and oblique sagittal images to determine the diagnostic differences in cervical foraminal stenosis. Hypothesis testing was done with Mc Nemar nonparametric test and diagnostic association between the two images was assessed by Cohen rsquo s Kappa analysis.Result There is significant diagnostic differences p 0,001 of stenosis grading using axial images and oblique sagittal images cervical MRI. In the analysis of Cohen rsquo s Kappa, obtained r 0,248 with p 0,000Conclusions There is significant differences in the diagnosis of cervical foraminal stenosis between the oblique sagittal images and axial images and also there is no diagnsotic association between oblique sagittal and axial images. "
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sira Sappa Palambang
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Gambaran foramen neuralis servikal pada potongan aksial memiliki keterbatasan dan tidak memperlihatkan foramen secara en face. Pemeriksaan MRI servikal dengan menggunakan potongan sagital oblik memberikan visualisasi dan diagnosis stenosis foraminal yang lebih optimal karena pengambilan potongan tegak lurus terhadap foramen neuralis. Saat ini prosedur operasional standar pemeriksaan MRI servikal di RSCM belum menggunakan potongan sagital oblik, sehingga masih belum dapat memberikan visualisasi langsung yang jelas dari foramen neuralis servikal dikarenakan anatomi dari foramen neuralis servikal tersebut. Metode: Uji hipotesis dilakukan dengan uji nonparametrik Mc Nemar dan hubungan diagnostik antara kedua potongan dinilai dengan analisis Cohen rsquo;s Kappa. Hasil : Terdapat perbedaan bermakna antara diagnosis kategori stenosis berdasarkan potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan nilai p=0,001. Pada analisis Cohen rsquo;s Kappa didapatkan nilai r = 0,248 dengan nilai p=0,000. Kesimpulan : Terdapat perbedaan diagnosis stenosis yang siginifikan pada potongan sagital oblik dengan aksial MRI servikal dengan tidak adanya kesesuaian diagnostik antara kedua potongan tersebut.

ABSTRACT
Background and Objective Axial images in cervical MRI examination has limitations in evaluating neural foramen and do not directly visualized it. Oblique sagittal images cervical MRI, that perpendicular to the neural foramen in axial images, provides optimal visualization and better diagnosis of foraminal stenosis grading. Currently, the standard operating procedures of the cervical MRI examination in RSCM are not yet using oblique sagittal images, so it still can not provide direct visualization of the cervical neural foramen due to the anatomy of the cervical foraminal. Method Hypothesis testing was done with Mc Nemar nonparametric test and diagnostic association between the two images was assessed by Cohen rsquo s Kappa analysis. Result There is significant diagnostic differences p 0,001 of stenosis grading using axial images and oblique sagittal images cervical MRI. In the analysis of Cohen rsquo s Kappa, obtained r 0,248 with p 0,000. Conclusions There is significant differences in the diagnosis of cervical foraminal stenosis between the oblique sagittal images and axial images and also there is no diagnsotic association between oblique sagittal and axial images."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Abraham Ambril
"Nyeri punggung bawah memiliki prevalensi yang tinggi dan sangat berkaitan dengan proses degenerasi diskus intervertebralis. Magnetic Resonance Imaging MRI lumbal merupakan pemeriksaan yang terpenting dalam penilaian kelainan pada degenerasi diskus intervertebralis yang dapat dapat memperlihatkan herniasi diskus, stenosis kanalis spinalis, dan stenosis foraminal. Terdapat dua protokol potongan aksial, yaitu contiguous axial CA dan disc space-targeted angled axial DSTAA , yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Belum ada penelitian yang terpublikasi yang mendukung penggunaan teknik CA maupun DSTAA pada kasus degenerasi vertebra lumbal, oleh sebab itu penelitian ini akan meneliti tentang kesesuaian teknik CA dengan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis lumbal.Penelitian ini menggunakan desain potong lintang cross-sectional study untuk mengetahui kesesuaian teknik CA dan teknik DSTAA pada diagnosis herniasi diskus dan stenosis kanalis spinalis pada vertebra lumbal, yang dilakukan di Departemen Radiologi RSCM Jakarta selama bulan Agustus sampai September 2016, dengan jumlah sampel 22 subjek.Dari hasil penelitian ini didapatkan kesesuaian diagnosis herniasi diskus intervertebralis lumbal dan diagnosis stenosis kanalis spinalis lumbal antara teknik CA dengan teknik DSTAA. Penelitian ini menunjukkan penggunaan teknik DSTAA dapat dilakukan sebagai protokol pemeriksaan MRI lumbal di pusat layanan kesehatan yang memiliki jumlah pasien yang banyak.

Lower back pain has a high prevalence and is associated with the degeneration of intervertebral discs. Magnetic Resonance Imaging MRI examination of the lumbar is important in the assessment of abnormalities in the intervertebral disc degeneration and can be demonstrating disc herniation, spinal canal stenosis and foraminal stenosis. There are two axial protocols, contiguous axial CA and disc space targeted angled axial DSTAA , each of which has advantages and disadvantages. There are no published studies that support the use of DSTAA technique and CA technique at the lumbar spine degeneration cases, therefore, this study will examine the technical suitability CA with DSTAA techniques in diagnosis for disc herniation and lumbar spinal canal stenosis.This study used cross sectional design to determine the suitability of the CA technique and DSTAA technique at diagnosis for disc herniation and stenosis of the spinal canal in the lumbar spine, which is carried out in the Department of Radiology RSCM Jakarta during August to September 2016, with a sample of 22 subject.From the results of this study, there is suitability of the diagnosis of lumbar intervertebral disc herniation and lumbar spinal canal stenosis diagnosis between CA technique and DSTAA technique. This study shows that DSTAA technique can be used as a lumbar MRI examination protocol at health center that has a huge patient loads."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Greenstein, Caren E.
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2011
R 618.19 GRE b
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Lingga Magdalena Sulaiman
"TUJUAN. Mengetahui akurasi MRI 0,5T dalam mendeteksi ruptur meniskus.
BAHAN DAN CARA. Selama kurun waktu 6 bulan (Oktober 2004 sampai dengan Maret 2005) dilakukan pemeriksaan MRI terhadap 19 pasien (20 lutut) dengan klinis ruptur meniskus. Pemeriksaan MRI menggunakan MRI 0,5T superkondukting magnet, Bruker Tomikom, buatan Perancis tahun 2000 dan closely coupled extremity coil dengan teknik konvensional spin-echo T1W1 dan T2WI potongan sagital dan koronal. Dua kriteria MRI dalam mendiagnosis ruptur meniskus adalah adanya signal hiperintens intrameniskus pada T1W1 dan T2W1 yang dapat meluas ke permukaan sendi, ditemukannya morfologi meniskus yang abnormal seperti adanya perubahan kontur atau deformitas fokal meniskus. Untuk mempertajam diagnosis digunakan sistem penderajatan meniskus berdasarkan signal intrameniskus. HasiI pemeriksaan MRI dibandingkan dengan temuan artroskopi sebagai baku emas.
HASIL. Sensitivitas, spesifisitas MRI 0,5T dalam mendeteksi ruptur meniskus adalah 84,4% dan 85,7% dengan akurasi 84,6%. Terdapat kesesuaian yang baik antara MRI 0,5T dengan artroskopi (k-D,573)
KESIMPULAN. MRI 0,5T merupakan modalitas pencitraan non invasif yang mempunyai sensitivitas dan akurasi yang tinggi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya ruptur meniskus.
Kata kunci : Ruptur meniskus, MRI, artroskopi.

OBJECTIVE The purpose of this study was to evaluate the accuracy of MR imaging 0,5T in detecting meniscal tears.
MATERIALS AND METHOD& During an 6 months period (October 2004 until March 2005), 19 patients (20 knees) who had meniscal tears identified at physical examinations underwent MR imaging examinations. MR imaging was performed with a 0,5T (superconducting; Bruker Tomikom, France, 2000) and a closely coupled extremity coil, conventional spin-echo pulse sequences were used in sagital and coronal planes TI and T2 weighted images. Two MR imaging criteria to established the diagnose of meniscal tears were increased internal signal intensity in the meniscus on TI and T2-weighted images, abnormal morphology of the meniscus such as contour or focal deformities of the meniscus. To increase the accuracy of MR imaging, meniscal were grading according to the character of the intrameniscal MR imaging signal. MR imaging finding was compared with arthroscopic results as the standard of reference.
RESULTS. Sensitivity, specificity and accuracy MR imaging 0,5T for detecting meniscal tears were 84,4%, 85,7% and 84,6%. There is good correlation of MR imaging and arthroscopic findings (kappa = 0,573).
CONCLUSION. MR imaging is a non-invasive modality with high sensitivity and accuracy which can used in detecting meniscal tears.
Key wards : Meniscal tears, MR Imaging, arthroscopic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deti Nurbaeti
"Latar belakang dan tujuan: Keganasan berhubungan erat dengan keadaan hiperselularitas dan hipervaskularisasi jaringan. Magnetic resonance imagingdiffusion weighted imaging-apparent diffusion coefficient (MRI DWIADC) merupakan biomarker cancer imaging. Mengetahui tingkat kesesuaian antara nilai ADC dengan kontras gadolinium dapat menjadi informasi tambahan dan pemeriksaan alternatif dalam memprediksi keganasan lesi muskuloskletal.
Metode: Penelitian prospektif desain potong lintang pada 50 pasien dengan lesi primer muskuloskeletal regio ekstremitas, yang menjalani pemeriksaan MRI muskuloskeletal sekuens DWI-ADC dan pemberian kontrs gadolinium di RSUPN-CM dalam rentang waktu Oktober 2015-Februari 2016. Dilakukan penilaianrerata nilai minimum ADC, serta menghitung akurasi pada kasus-kasus yang dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Hasil: Dari total 50 subjek penelitian, dengan analisa uji Kappa didapatkan tingkat kesesuaian yang baik (R = 0,592) antara nilai ADC dengan kontras gadolinium dalam memprediksi keganasan lesi muskuloskeletal, dan tidak ada perbedaan hasil yang signifikan diantara kedua metode tersebut(p = 0,754). Selain itu didapatkan sensitivitas nilai ADC (81%) hampir menyerupai kontras gadolinium (90,5%), dan spesifisitas ADC (60%) lebih rendah dibandingkan kontras gadolinium (90%) pada 31 subjek yang dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Kesimpulan: Terdapat tingkat kesesuaian yang baik antara nilai ADC dengan kontras gadolinium dalam memprediksi keganasan lesi muskuloskeletal, sehingga nilai ADC dapat menjadi informasi tambahan dan modalitas alternatif, terutama pada pasien dengan keterbatasan penggunaan kontras gadolinium.

Background and purpose: Malignancy is closely linked with the state of hiperselularity and hypervascularization tissues. Magnetic resonance imaging diffusion weighted imaging-apparent diffusion coefficient (ADC DWI-MRI) is biomarker cancer imaging. Knowing the suitability ADC and gadolinium can become an additional information and an alternative method in predicting malignancy musculoskeletal lesions.
Methods: A prospective cross-sectional study design with 50 patients with diagnostic primary extremity muscosceletal lesions who underwent an MRI examination extremity musculoskeletal region using DWI-ADC sequences and gadolinium at RSUPN-CM in October 2015 ? February 2016. The mean minimum ADC exercise is carried out and the accuracy based on histopatology examination cases is calculated.
Results: From 50 subjects been examined with Kappa Test Analysis, it shows good fit result (R = 0.592) between ADC and gadolinium contrast in predicting malignancy musculoskeletal lesions and no significant difference between the two methods (p = 0.754). Also, it is shows that the sensitivity of ADC (81%) is close to gadolinium contrast (90.5%) and the specifity of ADC (60%)is lower than gadolinium contrast (90%) for the 31 subjects who underwent histopathological examination.
Conclusions: Because of good suitability between ADC and gadolinium contrast in predicting malignancy musculoskeletal lesions, ADC could become an additional information and an altenaltive of modality especially to the patient with gadolimium contrast limitation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luna, Antonio
"Recent advances in MR technology permit the application of diffusion MRI outside of the brain. In this book, the authors present cases drawn from daily clinical practice to illustrate the role of diffusion sequences, along with other morphological and functional MRI information, in the work-up of a variety of frequently encountered oncological and non-oncological diseases. Breast, musculoskeletal, whole-body, and other applications are covered in detail, with careful explanation of the pros and cons of diffusion MRI in each circumstance. Quantification and post-processing are discussed, and advice is provided on how to acquire state of the art images, and avoid artifacts, when using 1.5- and 3-T magnets. Applications likely to emerge in the near future, such as for screening, are also reviewed. The practical approach adopted by the authors, combined with the wealth of high-quality illustrations."
Berlin : Springer, 2012
e20425893
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Dhany Wicaksono
"Pada saat ini, teknologi elektromagnetik terapan telah digunakan di berbagai bidang, termasuk di bidang kesehatan. Teknologi ini banyak diaplikasikan untuk melakukan proses analisa suatu penyakit atau bahkan melakukan penyembuhan. Dari banyak kegunaan itu, salah satu aplikasi teknologi elektromagnetik terapan di bidang medis adalah sistem pencitraan penampang tubuh. Dari beberapa instrumen kesehatan yang berfungsi untuk menampilkan pencitraan penampang tubuh, Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki keunggulan untuk melakukan pencitraan organ-organ lunak. Pengaplikasian teknologi MRI terus berkembang hingga sekarang termasuk teknik penggunaan RF Coil Resonator yang terdapat di sistem MRI.
Pada skripsi ini akan dirancang bangun sebuah RF Coil Resonator untuk sistem MRI 3 Tesla agar dapat menghasilkan citra atau penggambaran dari objek yang lebih jelas dan dapat digunakan oleh tenaga medis seperti dokter sebagai acuan untuk menganalisa suatu jaringan lunak yang bermasalah.
Penelitian ini merancang sebuah resonator phased array yang terdiri dari 8 elemen yang bekerja pada frekuensi 127,7 MHz. Berdasarkan hasil simulasi, resonator tersebut memiliki keseragaman medan magnet dan nilai Specific Absorption Rate (SAR) dibawah ambang batas aman yaitu 0,195 W/kg.
Diharapkan hasil rancangan ini dapat bekerja secara paralel untuk meningkatkan fungsionalitas dan kemampuan sistem MRI yang menghasilkan suatu citra yang lebih baik dan waktu scanning yang lebih cepat dibandingkan dengan resonator konvensional. Resonator phased array coil ini telah difabrikasi dan diukur parameter S-parameter dengan hasil yang sesuai dengan hasil simulasi pada frekuensi kerja 127,67 MHz.

Currently, applied electromagnetic technology has been used in various fields, including for health sector. This technology is widely adopted for disease diagnosis as well as for treatment. One of several applications in applied electromagnetic technology is imaging system for medical field application. One of medical instruments which are used for body imaging system, that is Magnetic Resonance Imaging (MRI), has the advantage to create an image of soft organ. Application of MRI technology continues to evolve up until now, including the development of RF Coil Resonator techniques for MRI systems.
In this thesis, a RF Resonator Coil for 3 MRI 3 Tesla system is designed in order to produce high-resolution images, so it can be used by medical personnel such as doctors to analyze the soft tissue problems.
In this study, a RF phased array resonator that consists of 8 elements is designed for working at the frequency of 127.7 MHz. According to the simulation results, the resonator has uniform magnetic field and low value of Specific Absorption Rate (SAR) below the safety threshold by 0.195 W / kg.
It is expected that this design is able to operate for parallel operation in order to increase the functionality and capability of the MRI system can produces a better image and a faster scanning time in comparison with the conventional resonator one. The phased array coil resonator has been fabricated and measured, where the Sparameter results agree with the simulation results at the operation frequency 127.67 MHz.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S45728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Rachman
"Pada kasus lumbal spinal stenosis, penentuan terapi dibedakan menjadi konservatif termasuk medikamentosa dan rehabilitasi medik dan pembedahan. Secara general, pembedahan dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah menjalani terapi konservatif. Tesis ini membahas perbedaan gambarandegenerative lumbar spinal stenosis berupa pengukuran faktor determinan menggunakan MRI lumbosakral pada pasien yang menjalani pembedahan kelompok uji dan konservatif kontrol. Pengamatan perubahan radiologis yang akurat akan membantu klinisi memperkirakan terapi yang sesuai untuk pasien secara lebih dini dan efektif. Sebagai hasil, secara bivariat, faktor determinan yang bermakna adalah stenosis kanalis lumbal L3-4; stenosis recessus lateral L4-5 dan L5-S1; stenosis foraminal L3-4 bilateral dan L5-S1 kiri; hernia nukelus pulposus L3-4 dan L5-S1, hipertrofi ligamentum flavum L3-4 dan degenerasi sendi facet L4- 5 kanan. Dengan analisa multivariat, didapatkan hanya hernia nukelus pulposus L3- 4 dan L5-S1 saja yang menentukan keputusan operasi.

In degenerative lumbal spinal stenosis, choice of treatment divide into conservative with medication and rehabilitation included and surgical. Generally, surgery to patient perform when there is no improvement in clinical examination after adequate conservative treatment. In this thesis, we describe difference in determinant factors seen with MR study to patients with lumbar spinal stenosis who had surgical treatment case group and conservative treatment control group. Carefull observation in radiologic changes will help clinician to predict patient outcome and decide adequate treatment. As results, using bivariate analysis, we conclude that there are significantly differences in lumbal canal stenosis at L3 4 level lateral recessus stenosis at L4 5 and L5 S1 level, foraminal stenosis at L3 4 bilaterally and at left side of L5 S1 level hernia nucleus pulposus at L3 4 and L5 S1 level flavum ligament hypertrophy at L3 4 level and facet joint degeneration at right side of L4 5 level. Meanwhile, using multivariate analysis, only hernia nucleus pulposus of L3 4 and L5 S1 level bring decision to surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Affan Kalik
"Latar belakang. Obat sedasi yang digunakan pada anak yang menjalani magnetic resonance imaging (MRI) diharapkan memiliki efek samping minimal dengan waktu mula kerja dan waktu pulih yang cepat. Rute pemberian obat pada anak sebaiknya minimal invasif. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas sedasi deksmedetomidin intranasal dosis 2 mcg/kg dan 4 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap pasien anak yang menjalani MRI di Ruang MRI RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Februari-April 2019. Sebanyak 94 pasien diambil dan dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok DIN2 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg, sedangkan kelompok DIN4 (n=47) mendapatkan sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg. Kedalaman sedasi diukur menggunakan skor sedasi Ramsay. Heart rate (HR), saturasi oksigen dan skor sedasi Ramsay dinilai sebelum induksi dan setiap 10 menit setelah pemberian obat sedasi. Analisis data menggunakan uji-t tidak berpasangan atau Mann-Whitney.
Hasil. Waktu mula kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (23,00 (18,00-27,00) menit) lebih cepat dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (26,00 (21,00-29,00) menit) (p <0,001). Waktu lama kerja sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg (47,00 (41,00-53,00) menit) lebih lama dibandingkan deksmedetomidin 2 mcg/kg (34,00 (30,00-37,00) menit) (p <0,001). Waktu pulih sedasi antara deksmedetomidin intranasal 2 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) dan 4 mcg/kg (10,00 (5,00-15,00) menit) tidak berbeda bermakna (p 0,774). Tidak ada perbedaan efek samping sedasi antara kedua kelompok penelitian. Tidak ada perbedaan kebutuhan rescue dose propofol antara kedua kelompok penelitian.
Simpulan. Sedasi deksmedetomidin intranasal 4 mcg/kg tidak lebih efektif dibandingkan deksmedetomidn intranasal 2 mcg/kg pada anak yang menjalani MRI.

Background. Anaesthetic agents used in pediatric patients undergoing magnetic resonance imaging (MRI) should have minimal adverse effects with rapid onset of induction and recovery time. The administration route in pediatric should be minimally invasive. This study aimed to compare the effectiveness of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 2 mcg/kg and 4 mcg/kg in pediatric undergoing MRI.
Methods. This study was a single blind randomized clinical trial in pediatric patients undergoing MRI at Cipto Mangunkusumo General Hospital in February-April 2019. Ninety-four patients were recruited and randomized into two groups. Group DIN2 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg, while Group DIN4 (n = 47) received intranasal dexmedetomidine at dose of 4 mcg/kg. Depth of sedation was measured using Ramsay Sedation Scale. Heart rate (HR), oxygen saturation and Ramsay Sedation Scale scores were assessed before the induction and every 10 minutes after administration of sedation agents. Data analysis using unpaired t-test or Mann-Whitney.
Results. Onset time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (23.00 (18.00-27.00) minutes) is faster than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (26.00 (21.00-29.00) minutes) (p <0.001). Duration time of intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg (47.00 (41.00-53.00) minutes) is longer than dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (34.00 (30.00-37.00) minutes) (p <0.001). Recovery time of sedation between intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) and 4 mcg/kg (10.00 (5.00-15.00) minutes) were not statistically different (p 0.774). There were no differences in adverse effects of sedation between the two study groups. There were no differences in the need of rescue dose requirements between the two study groups.
Conclusion. Intranasal dexmedetomidine sedation at dose of 4 mcg/kg is not more effective than intranasal dexmedetomidine at dose of 2 mcg/kg in children undergoing MRI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58693
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>