Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56609 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Luthfi
"Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan global. Terdapat banyak pasien tuberkulosis memiliki status gizi kurang saat awal diagnosis yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh pasien tersebut, sehingga meningkatkan risiko terjadinya kegagala dapn konversi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi pasien tuberkulosis pada awal diagnosis dengan keberhasilan konversi sputum.
Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari Kartu Pasien TB.01 di UPT Puskesmas Sukmajaya, UPF Puskesmas Villa Pertiwi dan UPF Puskesmas Abadi Jaya n=131. Pada penelitian ini didapatkan 93,2 pasien dengan status gizi kurang BMI0,05 antara status gizi pasien tuberkulosis saat awal diagnosis dengan keberhasilan konversi sputum setelah pengobatan fase intensif dilakukan RR 1,016 ,95 CI,0,932-1,108.

Tuberculosis is one of global health problem. There is many tuberculosis patients who have low nutritional status in the initial of diagnosis that can lower the immune system of the patients and increase the risk of conversion failure. The aim of this study is to evaluate the correlation between the nutritional status of tuberculosis patient in the initial of diagnosis and the success of sputum conversion after an intensive phase of treatment been performed.
This study used a retrospective cohort design using secondary data which obtained from Kartu Pasien TB.01 in UPT Puskesmas Sukmajaya, UPF Puskemas Villa Pertiwi and UPF Puskesmas Abadi Jaya n 131. In this study, 93,2 patients with low nutritional status BMI 0,05 between the nutritional status of tuberculosis patients in the initial of diagnosis and the success of sputum conversion after an intensive phase of treatment been performed RR 1.016, 95 CI, 0.932 to 1.108.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rizki
"Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square.
Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p=0,433 Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi.
Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p = 0,433 "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christi Giovani Anggasta Hanafi
"Salah satu karakteristik klinis yang sering diamati pada TB paru adalah adanya kavitas paru pada pemeriksaan radiologis dada. Kavitas paru akan menyebabkan prognosis lebih buruk akibat keterlambatan konversi kultur sputum, hasil klinis yang buruk, dan penularan infeksi yang lebih tinggi. Beberapa faktor yang telah ditemukan berkaitan dengan kavitas paru adalah usia tua, jenis kelamin laki-laki, penyakit penyerta diabetes mellitus, dan malnutrisi. Prevalensi malnutrisi pada pasien dengan TB diperkirakan berkisar antara 50% sampai 57%, dan malnutrisi dikaitkan dengan dua kali lipat risiko kematian. Telah lama diketahui bahwa terdapat hubungan antara TB dan malnutrisi, tetapi dampak malnutrisi terhadap derajat keparahan TB, yang dilihat dari adanya kaviats paru, masih kurang diketahui dan data yang telah ada masih saling bertentangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Sebanyak 134 pasien yang memenuhi kriteria menjadi subjek penelitian di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Pasien pada penelitian ini umumnya berjenis kelamin laki-laki (61,9%) dan berusia 18-59 tahun (92,5%). Mayoritas subjek penelitian termasuk dalam kategori status gizi SGA B (malnutrisi ringan-sedang) sebanyak 77 orang (57,5%), SGA A (status gizi baik) sebanyak 35 orang (26,1%), dan SGA C (malnutrisi berat) sebesar 22 orang (16,4%). Proporsi kavitas paru pada pasien TB paru dalam penelitian ini sebanyak 42 orang (31,3%). Penelitian ini mendapatkan hubungan bermakna secara statistik antara status gizi berdasarkan SGA dan kavitas paru (OR=6,933; 95%CI=1,986-24,205; p=0,002; aOR=7,303 (95%CI=2,060-25,890; p=0,002). Variabel lain yang mempengaruhi terbentuknya kavitas paru adalah pemeriksaan bakteriologis (p=0,016), TB resisten obat (p<0,001), dan perubahan BB (p=0,033). Analisis multivariat mendapatkan bahwa pemodelan dapat memenuhi 29,3% faktor prediktor kejadian kolonisasi dan setelah dimasukkan ke dalam perhitungan, maka probabilitas seorang pasien yang mengalami TB resisten obat dan malnutrisi untuk pembentukan kavitas paru adalah sebesar 95,16%. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.

One of the clinical characteristics that is often found in pulmonary TB is the presence of lung cavities on chest radiological examination. Lung cavities will lead to a worse prognosis due to delayed sputum culture conversion, poor clinical outcome, and higher transmission of infection. Several factors that have been found to be related to the lung cavity are elder age, male gender, comorbid diabetes mellitus, and malnutrition. The prevalence of malnutrition itself in patients with TB is estimated to range from 50% to 57%, and malnutrition is associated with a twofold risk of death. It has long been known that there is a relationship between TB and malnutrition, but the impact of malnutrition on the severity of TB, which is observed from lung cavity presence, is still poorly understood and the available data are conflicting. This study aims to determine the relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital. This research is a cross-sectional study. A total of 134 patients who met the criteria became research subjects at the Outpatient and Inpatient Department at the Persahabatan General Hospital. Patients in this study were generally male (61.9%) and aged 18-59 years (92.5%). The majority of research subjects were included in the SGA B (mild-moderate malnutrition) category of 77 people (57.5%), SGA A (good nutritional status) of 35 people (26.1%), and SGA C (severe malnutrition). by 22 people (16.4%). The proportion of lung cavities in pulmonary TB patients in this study were 42 people (31.3%). This study found a statistically significant relationship between nutritional status based on SGA and lung cavities (OR=6.933; 95%CI=1.986-24.205; p=0.002; aOR=7.303 (95%CI=2.060-25.890; p=0.002). Variables Other factors that influenced the formation of lung cavities were bacteriological examination (p=0.016), drug-resistant TB (p<0.001), and changes in weight (p=0.033). Multivariate analysis found that modeling could fulfill 29.3% of the predictors of colonization and after taken into account, the probability of a patient with drug-resistant TB and malnutrition for lung cavity formation is 95.16%. Conclusion: There is a relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Prawiro Tantry
"Penanganan tuberkulosis (TB) di Indonesia masih dihadapkan pada keterlambatan pendeteksian terapi yang tidak adekuat. Secara klinis, kenaikan berat badan dianggap sebagai salah satu indikasi perbaikan klinis penderita TB yang praktis. Namun, apakah kenaikan berat badan benar berhubungan dengan kesembuhan klinis pasien TB masih perlu dibuktikan. Oleh karena itu, dalam upaya menilai potensi berat badan sebagai indikator klinis terapi TB, dilakukan riset yang bertujuan untuk melihat asosiasi antara penambahan berat badan dengan konversi sputum pada akhir fase inisial pengobatan anti-TB dengan kategori 1. Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan mengumpulkan data sekunder dari rekam medis pasien di RS Persahabatan pada tahun 2009 (n=102).
Hasil menunjukkan bahwa 75,49% (n=77) pasien TB mengalami konversi sputum pada akhir fase inisial. Penambahan berat badan ditemukan pada sekitar setengah sampel dari grup dengan konversi sputum (51,95%) dan juga pada hampir setengah dari grup tanpa konversi sputum (dua belas dari 25). Studi ini menunjukkan bahwa penambahan berat badan tidak memiliki asosiasi yang signifikan dengan konversi sputum pada akhir fase inisial pengobatan anti-TB dengan kategori 1 selama dua bulan di RS Persahabatan (p= 0.732), namun studi lebih lanjut disarankan untuk meneliti asosiasi tersebut pada periode terapi yang lebih lama dan juga dengan mempertimbangkan IMT pasien.

Tuberculosis (TB) management in Indonesia was facing delayed detection of inadequate therapies. Clinically, weight gain was considered as one of the simple indicators pointing towards clinical improvement of TB patients. However, whether weight gain was really associated with clinical recovery of TB patients was yet to be proven. Therefore, as an effort to assess the possibility of observing weight gain to evaluate anti-TB therapy, a research was conducted aiming to assess the association between weight gain and sputum conversion at the end of initial phase category 1 anti-TB therapy. This study used a retrospective cohort design by collecting secondary data from the medical records of TB patients in Persahabatan hospital in 2009 (n=102).
Results showed that 75.49% (n=77) of TB patients underwent sputum conversion at the end of second month of therapy. Regardless of sputum conversion, weight gain was observed in approximately half of both groups with (51.95%) and without (twelve out of 25) sputum conversion. This study revealed that weight gain was not significantly associated with sputum conversion at the end of two months initial phase category 1 anti-TB therapy in Persahabatan hospital (p= 0.732), however future studies were encouraged to explore the association in longer therapy period and with considering patients BMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Suyanto
"Pendahuluan: Kadar obat yang rendah dalam darah pasien TB paru diduga berhubungan dengan respon pengobatan yang buruk seperti kegagalan konversi sputum mikroskopis, yang merupakan risiko terjadinya kegagalan pengobatan. Namun berbagai penelitian menunjukan hasil kontroversial, sebagian menunjukan terdapat hubungan antara kadar obat dengan konversi sputum akhir intensif, sebagian lagi menunjukan respon terapi yang sama baiknya untuk kadar normal maupun kadar rendah. Faktor yang diduga menyebabkan perbedaan hasil ini adalah perbedaan MIC rifampisin dan isoniazid terhadap Mycobacterium tuberculosis (MTB) pada pasien-pasien TB di setiap wilayah.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar rifampisin dan isoniazid darah dengan konversi, serta hubungan rasio kadar puncak rifampisin dan isoniazid darah terhadap MIC (Cmax/MIC) dengan konversi sputum pasien TB paru di akhir fase intensif.
Metode: Desain penelitian adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang, yang terbagi dalam kelompok kasus (tidak konversi, n=20) dan kelompok kontrol (konversi, n=20). Kadar rifampisin dan isoniazid darah diukur pada dua jam setelah minum obat yang merupakan perkiraan kadar puncak rifampisin dan isoniazid, menggunakan metode LC/MS-MS. Data MIC diambil dari 20 isolat kultur MTB sputum pasien TB paru kasus baru di RSP dr. H.A Rotinsulu Bandung menggunakan metode MGIT.
Hasil: Dari 40 pasien didapatkan rerata kadar rifampisin 5,58±2,41 mg/L dengan 36 pasien (90%) diantaranya memiliki kadar puncak di bawah normal. Untuk isoniazid didapatkan median kadar 1,46 (0,40-6,10) mg/L dengan 32 pasien (80%) diantaranya memiliki kadar puncak isoniazid di bawah normal. Pada penelitian ini didapatkan MIC rifampisin 0,25 mg/L dan MIC isoniazid 0,05 mg/L, lebih rendah dibanding kadar kritis masing-masing obat.

Introduction: Low plasma drug concentration in pulmonary TB patients are thought to be associated with poor treatment outcomes such as microscopic sputum conversion failure, which is a risk of treatment failure. However, various studies showed controversial results, some showed that there was an association between drug concentration with sputum conversion at the end of intensive phase, while others showed the same good outcome for normal and low concentrations. Factors thought to cause these controversial in results are the differences in the MIC of rifampicin and isoniazid against Mycobacterium tuberculosis in TB patients in each region. This study aims to determine the association between blood rifampicin and isoniazid concentratiom with sputum conversion, as well as the association between the ratio of peak blood concentration of rifampicin and isoniazid to MIC (Cmax/MIC) with sputum conversion of pulmonary TB patients at the end of the intensive phase.
Methods: The study design was a case-control study with a sample size of 40 subjects, which were divided into a case group (non-conversion, n=20) and a control group (conversion, n=20). The blood concentration of rifampicin and isoniazid were measured two hours after taking the drug which is an estimate of the peak concentrations of rifampicin and isoniazid, using the LC/MS-MS method. MIC data were taken from 20 MTB sputum culture isolates from new cases of pulmonary TB patients at RSP dr. H.A Rotinsulu Bandung using the MGIT method.
Results: Of the 40 patients, the mean concentration of rifampicin was 5.58 ± 2.41 mg/L with 36 patients (90%) of whom had peak concentrations below normal. For isoniazid, the median concentration was 1.46 (0.40-6.10) mg/L with 32 patients (80%) of whom had peak concentration of isoniazid below normal. In this study, the MIC of rifampicin 0.25 mg/L and MIC of isoniazid 0.05 mg/L were lower than the critical concentration of each drug. There was no association between blood rifampicin concentration (OR: 11.18; 95% CI: 0.20-223.00, p= 0.106), blood isoniazid concentration (OR: 3.86; 95% CI: 0.67-22 .22, p= 0.235), and the Cmax/MIC ratio of rifampicin (OR: 0.474; 95% CI: 0.039-5.688, p=1.00) with intensive final sputum conversion. However, there was an association between low concentration of both drugs simultaneously (OR: 6.00; 95% CI: 1.08-33.27, p = 0.028), and the Cmax/MIC ratio of isoniazid (OR: 4.333; 95% CI: 1.150). -16,323, p= 0.027) with sputum conversion at the end of the intensive phase.
Conclusion: There was no association between blood rifampicin concentration, blood isoniazid concentration, and the Cmax/MIC ratio of rifampicin with microscopic sputum conversion at the end of the intensive phase. However, there was an association between low concentration of both drugs and the Cmax/MIC ratio of isoniazid and sputum conversion at the end of the intensive phase.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Naura Irbah
"Latar Belakang: Anemia diketahui sebagai salah satu komplikasi pada penyakit TB. Konsentrasi hemoglobin yang rendah diasosiasikan dengan keterlambatan waktu konversi kultur sputum pada pasien TB namun hubungannya pada pasien TB MDR masih belum diketahui. Konversi kultur sputum pasien TB MDR dari positif menjadi negatif merupakan prediktor utama indicator keberhasilan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kondisi anemia pada pasien TB MDR dapat memperlambat waku konversi sputum.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dengan metode total sampling untuk memperoleh data pemeriksaan hematologis, status klinis, dan status demografis dari rekam medis pasien TB MDR di RSUP Persahabatan selama tahun 2016. Data mengenai waktu konversi sputum diperoleh dari database online Indonesia, e-TB-Manager, di bawah pengawasan pihak yang berwenang di RSUP Persahabatan.
Hasil: Dari seluruh 363 rekam medis, terdapat 201 data yang memenuhi kriteria inklusi dengan keterangan sebanyak 83/118 41.3 mengalami anemia. Analisis data dengan uji kesintasan menunjukkan bahwa status anemia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keterlambatan konversi sputum, sedangkan klasifikasi dan jenis anemia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses konversi sputum.
Kesimpulan: Kondisi anemia meningkatkan risiko konversi sputum yang lebih lama pada pasien TB MDR dibandingkan dengan pasien tanpa diserta anemia. Oleh karena itu, perlu adanya upaya perbaikan status gizi dan profil hematologis pada pasien TB MDR yang disertai dengan anemia.

Background: Anemia was known to be the complication of Tuberculosis TB . Low hemoglobin concentration was associated with prolonged time of culture sputum conversion in TB but the association in MDR TB is still unknown. Sputum culture conversion in MDR TB was the main predictor of successful therapy outcome. This study aims to understand whether anemia amongs MDR TB patients could prolong the time for sputum conversion.
Method: This retrospective cohort study used total sampling method to obtain hematological laboratory data, clinical status, and demographic status from medical records of MDR TB patients in Persahabatan Hospital during the year of 2016. The time of sputum conversion was obtained from Indonesian online database e TB Manager under supervision of Persahabatan Hospital authorized staffs.
Result: Of the 363 medical records within a year, only 201 datas fitted into inclusion criteria in which 83 of 118 MDR TB patients 41.3 have anemia. Survival analysis rate showed a significant rate difference in conversion time based on the anemic status. However, there is no significant relation of classification and types of anemia towards the conversion time.
Conclusion: Anemia increased the risk of prolonged time in spuum conversion in MDR TB patients compared to those without anemia. Therefore, there should be an effort in improving the nutritional status and hematological profile in MDRt TB patients with anemia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsi Novitasari
"Tuberkulosis atau TB merupakan penyakit menular yang menjadi penyebab utama pada kesakitan serta termasuk ke dalam 10 penyebab kematian di dunia. Prevalensi kejadian tuberkulosis paru berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0.4% pada tahun 2013. Status gizi diketahui sebagai salah satu faktor risiko kejadian tuberkulosis paru. Di wilayah Asia, prevalensi malnutrisi pada penderita TB beriksar antara 68.6% - 87%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian tuberkulosis paru pada usia > 18 tahun di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari hasil Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 pada tahun 2014-2015 serta menggunakan desain cross sectional. Sampel pada penelitian ini sebanyak 29.545 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Variabel kontrol pada penelitian ini adalah diabetes melitus, merokok, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Hasil stratifikasi yang diperoleh: Diabetes melitus (OR= 3.02; 95% CI 2.32–3.95), merokok (OR= 2.93; 95% CI 2.24–3.84), usia (OR= 2.79; 95% CI 2.14–3.65), jenis kelamin (OR= 2.77; 95% CI 2.12–3.62), tingkat pendidikan (OR= 2.89; 95% CI 2.22–3.77), tingkat pendapatan (OR = 2,65; 95% CI: 1,82 – 3,87).

Tuberculosis or TB is an infectious disease that is a major cause of illness and is among the 10 causes of death in the world. The prevalence of pulmonary tuberculosis based on the diagnosis of doctors in Indonesia was 0.4% in 2013. Nutritional status is known as one of the risk factors for pulmonary tuberculosis. In the Asian region, the prevalence of malnutrition in TB patients varies between 68.6% - 87%. This study aims to determine the relationship of nutritional status with the incidence of pulmonary tuberculosis at age > 18 years in Indonesia. The data used in this study are secondary data from the results of the Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 in 2014-2015 and using a cross sectional design. The sample in this study were 29.545 respondents who met the inclusion and exclusion criteria. The control variables in this study were diabetes melitus, smoking, age, gender, education level, and income level. Stratification results obtained: Diabetes melitus (OR = 3.02; 95% CI 2.32-3.95), smoking (OR = 2.93; 95% CI 2.24-3.84), age (OR = 2.79; 95% CI 2.14-3.65), gender (OR = 2.77; 95% CI 2.12-3.62), education level (OR = 2.89; 95% CI 2.22-3.77), income level (OR = 2,65; 95% CI: 1,82 – 3,87).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Austin W.
"ABSTRACT
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang diderita oleh banyak orang di dunia termasuk Indonesia. Konversi sputum adalah salah satu cara untuk mengevaluasi respon pasien tuberkulosis, namun konversi sputum dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah grading sputum yang tinggi. Pada penelitian ini dilakukan penelitian mengenai keberhasilan konversi sputum dihubungkan dengan sputum smear grading. Studi ini dilakukan di tiga puskesmas di Depok dan menggunakan 293 formulir TB.01. Terdapat 25 kejadian gagal konversi dimana 16 dari kejadian itu didapatkan pada kelompok dengan sputum smear grading yang tinggi. Analisis statistik dari data yang didapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara sputum smear grading yang tinggi dengan kegagalan konversi dengan RR 3.380 yang memiliki indeks kepercayaan 95 1.549 hingga 7.375. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sputum smear grading merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan konversi pada pasien TB.

ABSTRACT
Tuberculosis is an infectious disease suffered by many people in the world including Indonesia. Sputum conversion is an indicator to evaluate patient rsquo s response against Tuberculosis drug, but sputum conversion is influenced by many factors and high sputum grading is one of them. In this research, we seek the relation between sputum smear grading and the success of sputum conversion. This study is done in three public health center in Depok and using 293 TB.01 formulir. There are 25 incidence of failure in sputum conversion and 16 of it is from the group whose sputum smear grading is high. Statistical analysis from the data showed that there is a relation between high sputum smear grading and sputum conversion. The RR is 3.380 with 95 confidence interval 1.549 to 7.375. The conclusion from this study is that sputum smear grading is an important factor that influence success rate of conversion of sputum in tuberculosis patient."
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selviana Octaviani
"Latar belakang pendidikan dan pengetahuan mengenai Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konversi sputum TB. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara level edukasi pasien dan tingkat pengetahuan tentang TB dengan konversi sputum pada dua bulan.Studi potong lintang ini di lakukan di Rumah Sakit Persahabatan dengan menganalisa latar pendidikan dan pengetahuan mengenai TB. Dari 106 pasien (63 laki-laki, 43 perempuan) dengan rentang umur 20-65 tahun dilakukan interview langsung dan pengisian kuesioner untuk mengetahui tingkat pendidikan dan pengetahuan akan TB. Uji sampel chi-square digunakan untuk menilai signifikansi statistik pada penelitian ini. Terdapat hubungan yang bermakna antara latar pendidikan dan pengetahuan mengenai TB (p<0.05); pendidikan dan sputum konversi (p<0.05). Tidak terdapat nilai statistic yang signifikan antara pengetahuan TB dan sputum konversi (p>0.05). Hasil penemuan studi ini menunjukan bahwa latar pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat pengetahuan TB dan sputum konversi yang lebih baik. Akan tetapi, tingkat pengetahuan TB yg lebih baik tidak menunjukan bahwa pasien memiliki konversi sputum yang positif pada dua bulan.

Educational backgrounds and level of knowledge are factors that might affect the sputum conversion of the Tuberculosis (TB) patients. This study focused to investigate the association between educational background and level of knowledge of the TB patient and the sputum conversion at two months. This cross-sectional study was done in Persahabatan hospital among 106 patients (63 male, 43 female) with the age ranging from 20-65 years old. The educational background and knowledge level of TB were assessed using a questionnaire and direct interview. A chi- square test was conducted to assess the association between knowledge level of TB and education level, education level and sputum conversion, and knowledge level of TB and sputum conversion. There were a statistically significance association between education level and knowledge about Tuberculosis (p<0.05); education level and sputum conversion (p<0.05); however, knowledge level of TB and sputum conversion were not statistically significant (p > 0.05). These findings suggest that the higher the education, the higher the patient's knowledge level of TB and sputum conversion rate. However, higher knowledge level of TB does not necessary mean that the patient will have a positive sputum conversion at two months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardath Herland S.
"Insiden tuberkulosis (TB) di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Penegakan diagnosis secara tepat merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan TB. Modalitas uji diagnostik laboratorium TB yang tersedia yaitu pemeriksaan mikroskopis Basil Tahan Asam (BTA) dan pemeriksaan biakan memiliki beberapa keterbatasan. Secara global, terjadi peningkatan dalam penggunaan Tes Cepat Molekuler (TCM) sebagai uji diagnostik laboratorium TB. Salah satu TCM yang telah direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) yaitu loop-mediated isothermal amplification (LAMP). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi metode LAMP, sehingga metode tersebut dapat diterapkan secara rutin di Indonesia. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (LMK-FKUI) terhadap 100 orang pasien terduga TB paru. Setiap pasien menyerahkan dua sputum langsung, yaitu sputum sewaktu dan sputum pagi/sewaktu. Terhadap setiap sputum langsung kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis BTA. Dua sediaan sputum langsung dari setiap pasien kemudian digabung untuk menghasilkan mixed sputum. Terhadap setiap mixed sputum dilakukan pemeriksaan mikroskopis BTA, biakan Lowenstein-Jensen (LJ) dan pemeriksaan TB-LAMP. Biakan yang tumbuh diidentifikasi menggunakan tes MPT64. Hasil penelitian menunjukkan nilai kapa (κ) pemeriksaan mikroskopis BTA antara sputum langsung dan mixed sputum sebesar 0,88; p < 0,001 (95% CI 0,78-0,97). Persentase hasil LAMP (+) pada sputum langsung dengan hasil BTA (-) sebesar 28,07%, sedangkan persentase hasil LAMP (+) pada mixed sputum dengan hasil BTA (-) sebesar 32,78%. Metode TB-LAMP memiliki nilai sensitivitas sebesar 100% (95% CI 89,56-100%) dan spesifisitas sebesar 69,64% (95% CI 55,74-80,84%). Nilai duga positif TB-LAMP sebesar 71,19% (95% CI 57,73-81,86%), sedangkan nilai duga negatif TB-LAMP sebesar 100% (95% CI 88,83-100%). Pada hasil mikroskopis BTA yang sesuai (concordant) dengan biakan TB, nilai sensitivitas dan spesifisitas TB-LAMP berturut-turut sebesar 100% (95% CI 89,09-100%) dan 73,58% (95% CI 59,42-84,32). Adapun nilai sensitivitas TB-LAMP pada hasil mikroskopis BTA yang tidak sesuai (discordant) dengan biakan TB, yaitu sebesar 100% (95% CI 19,79-100%). Metode TB-LAMP memiliki nilai sensitivitas dan nilai duga negatif yang tinggi. Untuk menegakkan diagnosis TB paru secara tepat, metode TB-LAMP harus dikombinasikan dengan gejala dan tanda yang terdapat pada pasien.

The incidence of tuberculosis (TB) in Indonesia is one of the highest in the world. Appropriate diagnosis is an effort to control TB. Existing TB laboratory diagnostic test modalities, which are Acid-Fast Bacilli (AFB) smear and culture examination have several limitations. Globally, there has been an increase in the use of the molecular rapid test as a TB laboratory diagnostic test. One of the molecular rapid tests recommended by the World Health Organization (WHO) is loop-mediated isothermal amplification (LAMP). Therefore, research is needed to evaluate the LAMP method, so that the method can be applied routinely in Indonesia. The study was conducted at the Clinical Microbiology Laboratory of the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia for 100 patients suspected of pulmonary TB. Each patient handed over two direct sputums, which are the spot sputum and morning/spot sputum. Against each direct sputum, an AFB smear was carried out. Two direct sputum preparations from each patient were then combined to produce mixed sputum. For each mixed sputum, AFB smear, Lowenstein-Jensen (LJ) culture and TB-LAMP examination were carried out. Cultures that were grown were identified using MPT64 tests. The results of the study showed that the kappa (κ) value of AFB smear between direct sputum and mixed sputum was 0.88; p < 0.001 (95% CI 0.78-0.97). The percentage of LAMP (+) in direct sputum with AFB (-) was 28.07%, while the percentage of LAMP (+) in mixed sputum with AFB (-) was 32.78%. The TB-LAMP method had a sensitivity value of 100% (95% CI 89.56-100%) and a specificity of 69.64% (95% CI 55.74-80.84%). Positive predictive value of TB-LAMP was 71.19% (95% CI 57.73-81.86%), while the negative predictive value of TB-LAMP was 100% (95% CI 88.83-100%). In concordant AFB smear results with TB culture, the TB-LAMP sensitivity and specificity values were 100% (95% CI 89.09-100%) and 73.58% (95% CI 59.42-84,32), respectively. The sensitivity value of TB-LAMP on AFB smear results which were discordant with TB culture was 100% (95% CI 19.79-100%). The TB-LAMP method had a high sensitivity value and negative predictive value. To properly diagnose pulmonary TB, the TB-LAMP method must be combined with the symptoms and signs that the patient has."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>