Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65008 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manullang, Lamria
"Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan secara luas penerjemahan unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dalam novel Absolute Power, Remember Me, dan Heart Beat serta terjemahannya Kekuasaan Absolut, Rumah Kenangan, dan Debar Hati, Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif melalui kajian teks. Metode ini diterapkan dalam liga tahap, yaitu pengumpulan data, kiasifikasi data, dan analisis data. Penelitian ini merupakan penelitian terjemahan. Konsep padanan merupakan tumpuannya. Dalam penerjemahan unsur leksikai kebudayaan material bahasa Inggris ke bahasa Indonesia untuk konsep yang dikenal dalam budaya Indonesia ditemukan padanan leksikal harfiah, padanan leksikal tidak harfiah, padanan dengan hubungan leksikal sinonim, padanan dengan kata generik-spesifik, dan padanan figuratif. Untuk konsep unsur leksikal kebudayaan material bahasa Inggris yang tidak dikenal dalam budaya Indonesia ditemukan padanan dengan frasa deskriptif, padanan dengan kata generik yang dimodifikasi, padanan dengan kata BSu yang dimodifikasi, padanan dengan kata serapan, dan padanan substitusi kultural. Sebagai akibat peggunaan padanan tersebut terlihat adanya pergeseran bentuk, pergeseran makna, pengupayaan padanan kultural, dan pemberian konteks.

This study is aimed at discribing in general the translation of material culture lexical items of English into Indonesian in English? novels Absolute Power, Remember Me, and Heart Beat and the Indonesian translation versions Kekuasaan Absolute, Rumah Kenangan, and Debar Hati. The problem to be investigated is how the English material culture lexical items are translated into Indonesian. The descriptive method through text surveys is employed in this work. The method is applied in three stages, i.e. data collection, data classification, and data analysis. The result shows that in the translation of English material culture lexical items into Indonesian, the lexical equivalents when concepts are shared in Indonesian are literal lexical equivalents, nonliteral lexical equivalents, equivalence involving synonyms, generic-spesific equivalents, and figurative equivalents. The lexical equivalents when concepts of English material culture lexical items are unkonwn in Indonesian are descriptive phrases equivalents, equivalence by modifying a generic word, equivalence by modifying a source language word, eguivalence by loan word, equivalence by cultural substitute, and equivalence by underlining a source language word. There are four , i.e. transposition, modulation, cultural substitution, and Contextual conditioning from the concequences of the equivalents."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T4527
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sansiviera Mediana Sari
"[ABSTRAK
Ketaksaan adalah adanya makna lebih dari satu yang terjadi pada kata, frasa, atau kalimat. Dalam
penelitian ini membahas tentang ketaksaan leksikal yang terdapat pada kalimat-kalimat di rubrik
Ruggespraak, majalah Onze Taal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan ketaksaan
yang terjadi pada kalimat-kalimat di rubrik Ruggespraak serta menentukan kata ke dalam kategori
homonimi dan polisemi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Kemudian
jumlah homonimi yang ditemukan ada satu dan kata yang termasuk polisemi berjumlah enam. Dalam
penelitian mengenai ketaksaan leksikal dapat ditarik kesimpulan bahwa ketaksaan yang terjadi karena
adanya konteks yang tidak sesuai.ABSTRACT If a word, phrase, or sentence has two or more meanings, it is called the ambiguity. This research
explain about the lexical ambiguity inside the sentences on Ruggespraak rubric in the Onze Taal
Magazine. The point of this research is to explain the ambiguity inside the sentences on Ruggespraak
rubric then decide which words are homonym or polysemous. The method used in this research is a
descriptive method. There is one word homonym found and six words for polysemous. The conclusion
of this research is ambiguity happened because there is improper context., If a word, phrase, or sentence has two or more meanings, it is called the ambiguity. This research
explain about the lexical ambiguity inside the sentences on Ruggespraak rubric in the Onze Taal
Magazine. The point of this research is to explain the ambiguity inside the sentences on Ruggespraak
rubric then decide which words are homonym or polysemous. The method used in this research is a
descriptive method. There is one word homonym found and six words for polysemous. The conclusion
of this research is ambiguity happened because there is improper context.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Rahyono, 1956-
"A deictic expression is an expression in a language, which has an indefinite referent. The indefinite nature of that referent is due to the situation of the encoder. The referent of a deictic expression will change if the speaker and the spatio-temporal reference of the deictic expression change. Thus, deictic expressions can be divided in three groups, person deixis, spatial deixis and time deixis.
The interesting thing in Javanese deixis is the effect of speech levels. A speaker must choose speech level appropriate to his or her social level and that of the other participant in the conversation. Basically, Javanese speech levels can be grouped into three levels, ngoko (low level), madya (mid level) and krama (high level). Most Javanese deictic expressions are lexicalized in those three speech levels. For example, the demonstrative pronoun iki 'this', is lexicalized in three lexemes, iki, niki and menika in the levels ngoko, madya and krama respectively.
Javanese has many personal pronoun lexemes, which are related to the three speech levels mentioned above, and which vary according to whether, the pronoun is in the first person, second person or third person. There are eight lexemes, which refer to the first person (singular and plural), forteen lexemes for the second person (singular and plural) and five lexemes for the third person (singular). All of those lexemes can be grouped according to its speech level. Any personal pronoun lexeme will imply the social status of the speaker using it.
Spatial deixis in Javanese distinguishes between local deictic domains which are in the speaker's vicinity, outside the speaker's vicinity and remote from the 'speaker. In the time deixis can be found lexemes which refer to the time of speaking, the past time and future time. There are lexemes which be used only to convey a time point, a time period or both.
In the Javanese deixis we find deixis neutralization. This term may be illustrated by an example the word menika 'this', from the high speech level, corresponds to the words iki, kuwi and kae from the low speech level. Iki 'this' (to refer to the vicinity of the speaker), kuwi 'that' (to refer to domains outside the vicinity of the speaker) and kae 'that' (to refer to domains remote from the speaker). The' fact that the word menika has three equivalents, iki, kuwi, kae shows that there is no deictic distinction of demonstrative pronouns in the high speech level. However, neutralization of this type only occurs in the spatial deixis.
This investigation of invariant meanings of deictic expressions can find the appropriate referent of the deictic words and their constraints of the acceptability in the practice. Furthermore, we can also know the application's rule of the non-deixis words used as deictic words.
The most important conclusion of this investigation is that Javanese speech levels are a semantics problem, particularly in the case of social deixis. The three speech levels refer to the referent, which in turn implies different social status."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Basiroh
"Kamus secara konvensional, berisi leksem yang didaftarkan dalam susunan alfabetis dan mengakibatkan berbagai jenis hubungan leksikal tidak seluruhnya tergambarkan secara sistematis. Padahal kamus yang komprehensif, yang mencerminkan keseluruhan kosakata suatu bahasa hanya akan tergambar secara utuh bila kamus itu memuat semua jenis hubungan leksikal secara sistematis. Ada jenis kamus yang berbeda dari yang konvensional itu. Kamus itu mendeskripsikan leksem dalam kesatuan konseptual lebih daripada alfabetis. Kamus seperti itu disebut tesaurus (Ullmann 1983:255). Tesaurus yang terkenal dan yang dapat dianggap salah satu pelopor itu adalah Roget's International Thesaurus. Dalam buku itu kata dan rasa bahasa Inggris dikelompokkan menurut signifikasinya yang ditandainya. Roget membagi leksem dalam pengertian kehiponiman dan kuasi-kehiponiman ke dalam delapan kelas utama yaitu (1) hubungan abstrak (abstract relations); (2) ruang (space); (3) alam (physics) ; (4) materi, benda, unsur (matter) ; (5) daya cerap indera (sensation); (6) akal (intellect); (7) kemauan (volition); dan (8) daya cerap batin (affections) (Roget 1962:xiii-xx).
Kamus sebagai perekam kosakata umumnya disusun menurut abjad Kamus Besar Bahasa Indonesia yang secara kuantitatif memuat 63.000 lema masih memerlukan penanganan yang serius dalam hal kekomprehensifan dan kesistematisan hubungan makna di antara leksem-leksemnya (Rahim 1989; Suprana 1990). Bahkan kamus yang sengaja dibuat dengan memperhitungkan hubungan makna yaitu Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (Harimurti 1989) masih perlu dibenahi karena tercampurnya hubungan makna hierarkis (kehiponiman, kemeroniman) dan hubungan makna simetris (kesinoniman). Misalnya, kata-kata melihat, celik, memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, mengetahui, maklum, melawat dan menziarahi dinyatakan sebagai sinonim (Harimurti 1989:87). Dari daftar sinonim yang diberikan dapat kita lihat tiga kelompok yang terpisah sebagai "sinonim" melihat. Pertama melihat, celik. Kedua melihat, memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, mengetahui, melawat, menziarahi. Ketiga melihat, maklum. Celik merupakan sinonim dari melihat. Hal ini dapat kita pertentangkan dengan buta. Memandang, menengok, menengadah, menatap, menentang, meninjau, menilik, menonton, melawat, menziarahi merupakan hiponim dari melihat. Walaupun begitu, sebetulnya ada pengelompokan berdasarkan komponen maknanya. Misalnya, melawat, menziarahi tentu saja dapat dipisahkan dari memandang dan menatap. Melawat, menziarahi berkomponen mendatangi sasaran, sedangkan memandang dan menatap ± mendatangi sasaran.
Maklum tidak dapat dikatakan mempunyai hubungan kesinoniman maupun kehiponiman dengan melihat. Bahkan dalam kata kepala maklum tidak terdapat kata melihat sebagai sinonimnya (Harimurti 1989:87)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Bayu Nugroho
"Pemarkah gaya bahasa (PGB) adalah tanda atau fenomena kebahasaan khusus dalam wacana yang digunakan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan maksud tertentu dan yang memungkinkan peneliti atau pembaca untuk mengidentifikasi atau mengenali gaya bahasanya. Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai PGB dalam swaterjemah karya sastra. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan variasi PGB TSu dan TSa yang berdampak pada persepsi ideologis pengarang-penerjemah. Penelitian ini menggunakan rancangan yang sesuai dengan metode kualitatif dengan analisis wacana kritis atas novel The Question of Red sebagai TSu dan novel Amba sebagai TSa. Data penelitian berupa pemarkah gaya bahasa yang termasuk kategori leksikal di dalam TSu dan terjemahannya di dalam TSa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan dengan pola PGB tertentu di dalam TSu diterjemahkan menjadi ungkapan dengan pola PGB yang sama, menjadi ungkapan dengan pola PGB yang berbeda, menjadi ungkapan dengan pola PGB yang diperluas atau direduksi, atau tidak diterjemahkan. Fenomena ini disebut sebagai variasi PGB yang dapat diklasifikasikan menjadi (1) invariasi pemarkah, (2) ekstensi pemarkah, (3) reduksi pemarkah, (4) transposisi pemarkah, (5) penambahan pemarkah, dan (6) eliminasi pemarkah. Sebagai sebuah penciptaan ulang novel Amba mengalami sejumlah besar pengubahan pola PGB kategori leksikal. Namun, secara umum narasi ideologis yang dibangun tidak berubah meskipun variasi eliminasi pemarkah mengakibatkan banyak kategori leksikal yang mengandung persepsi ideologis pengarang penerjemah tidak diungkapkan di dalam TSa.

Style markers are specific linguistic markers or phenomena in a group of discourse used by an author to achieve certain intentions and allow researchers or readers to identify or recognize his/her style. This research is a case study of the style markers in a literary self-translation. The purpose of this study is to identify variations of the style markers of the ST and TT which affects the ideological perception of the self-translator. This study uses a qualitative method design by applying a critical discourse analysis on the novel The Question of Red as the ST and Amba as the TT. The research data are in the form of lexical category markers in the ST and their translations in the TT. The results show that expressions with certain style markers patterns in the TT are translated in various ways, such as translated into expressions with the same patterns, translated into expressions with different patterns, translated with extension or reduction of the patterns, or left untranslated. These phenomena can be classified into six variations of style markers as (1) invariance, (2) extension, (3) reduction, (4) transposition, (5) addition, and (6) elimination of the markers. As a re-creation, Amba undergoes a large number of variations of lexical categories of style markers. However, in general the ideological narrative constructed does not change even though elimination of markers results in the presence of many lexical categories containing ideological perceptions of the self-translators that are not expressed in the TSa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Gaffar Ruskhan
"Kontak bahasa yang terjadi antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain akan berpengaruh pada bahasa yang bersangkutan. Kontak bahasa itu tidak dapat dipisahkan dengan kontak budaya yang terjadi, bahkan dipandang sebagai salah satu aspek kontak budaya. Weinreich (1953:5) menyebutkan bahwa pengaruh bahasa lain ke bahasa tertentu merupakan difusi dan akulturasi budaya. Menurut Schuchardt seperti yang dikutip Haugen (1992:198), pengaruh tersebut terlihat pada kosakata yang dipungut oleh bahasa tertentu. Hal itu merupakan ciri keuniversalan bahasa. Tidak ada satu bahasa pun yang luput dari pengaruh bahasa atau dialek lain. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka, misalnya, memungut tidak kurang dari separuh kosakatanya dari bahasa Latin, Yunani, Skandinavia, dan Perancis (Robins, 1991:438; Gonda, 1973: 26; Moeliono, 1968:441; 1981:162). Bahkan, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa Eropa yang terbuka terhadap pungutan (Jespersen, 1955; Baugh, 1968; Ahmad, 1992). Masalah pemungutan ke dalam suatu bahasa berkaitan dengan tingkat kedwibahasaan masyarakat yang melakukan perriungutan itu (Haugen, 1950;
1973; Broselow, 1991:200--201). Pada awalnya pemungutan terbatas pada penutur dwibahasawan. Setelah meniadi pungutan ("barang jadi"), penutur ekabahasawan memanfaatkannya meniadi kata sehari-hari (Moeliono, 1989: 162; Samsuri, 1980:58). Hal itu ditandai pula oleh penggunaan dua bahasa secara bergantian dan berturut-turut oleh penutur dwibahasawan atau alih kode (Haugen, 1992:198), baik dalam bentuk sebuah kalimat maupun di antara kalimat sehingga menghasilkan butir pungutan baru ke dalam perbendaharaan bahasanya (Clyne, 1987). Kondisi yang demikian berlaku pula di dalam bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat yang multibahasa, alih kode yang menghasilkan pemungutan itu berlangsung dalam kehidupan berbahasa. Hal itu terlihat dengan cukup banyaknya pungutan dari berbagai bahasa, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa daerah. Salah satu pungutan itu berasal dari bahasa Arab.
Pengaruh Bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu--yang kemudian bernama Bahasa Indonesia--bersamaan dengan masuk agama Islam ke Nusantara. Berkaitan dengan pengaruh bahasa Arab itu, ada baiknya dikemukakan pandangan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara. Ada dua pandangan mengenai masuknya agama Islam ke Nusantara ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-7 (Baried, 1982; Sudarno, 1990; Dasuki et al., 1993; Azmi, 1993; Tiandrasasmita, 1993) dan pandangan lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi (Tiandrasasmita, 1993; Abdulgani, 1993)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatika Adinda Putri
"Majalah bertema politik yang ditujukan bagi pembaca dewasa memang sudah tidak asing lagi di masyarakat Jerman, khususnya. Namun, Der Spiegel, sebuah majalah bertema politik sosial dan budaya, membuat sebuah gebrakan baru dengan menerbitkan majalah anak, Dein Spiegel, dengan memasukkan rubrik politik di dalamnya. Kepaduan kalimat yang disebut sebagai kohesi tentunya menjadi perhatian utama dalam menciptakan artikel yang mudah dipahami oleh anak sebagai sasaran pembacanya. Maka, peneltian ini bertujuan untuk menjelaskan kohesi leksikal yang terdapat di dalam artikel politik pada majalah-majalah tersebut dan fungsi dari penggunaan kohesi leksikal tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersumber pada kajian pustaka. Hal yang dianalisis dalam penelitian ini adalah perbandingan kohesi leksikal yang sering muncul pada cuplikan artikel politik di kedua majalah dan menjelaskan fungsinya dalam teks.
Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan kohesi leksikal lebih sering ditemukan pada cuplikan artikel politik majalah Dein Spiegel. Kohesi yang muncul berfungsi memperjelas tema yang diusung teks tersebut. Hal tersebut juga memudahkan pembaca dalam memahami suatu teks.

A Politically-themed magazine aimed at adult readers are already familiar in German society, in particular. However, Der Spiegel, a magazine themed social, culture and politic, made a new breakthrough by publishing a children's magazine, Dein Spiegel, which contains a political section within. Cohesion of the text would be a major concern in creating the articles that are easily understood by children as a target reader. Thus, this research aims to determine the lexical cohesion that exists in the politics articles in the magazines and the function of those lexical cohesions in the text.
The research method is qualitative method which is from literary view. This research analyses lexical cohesion that often appear in a part of politics articles in both magazines and explains its function in the text.
Based on this research, the use of lexical cohesion is more often found in a part of Dein Spiegel?s politics article. This cohesion is being used in order to emerging the theme of the text. It also facilitates the reader to understanding the text easily.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;;, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sansiviera Mediana Sari
"

Tesis ini berawal dari sebuah hipotesis yang mengatakan bahwa anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) mengalami gangguan bahasa secara semantik atau disebut sebagai defisit semantik.  Berdasarkan pengamatan awal  di sekolah Cahaya Didaktika yang mengamati dua anak ASD ringan berusia 16 dan 11 tahun disimpulkan bahwa dua anak ASD sudah memiliki konsep kata.  Data dari pengamatan awal tidak mencukupi untuk membuktikan hipotesis defisit semanti. Karena data awal tidak mencukupi untuk membuktikan hipotesis defisit semantik, tesis ini memperluas penyelidikan sebelumnya dengan tes pengetahuan leksikal breadth dan leksikal depth guna menjawab hipotesis defisit semantik.

 Rangkaian tes dilakukan yang terdiri atas tes pengetahuan leksikal breadth melalui tugas pemilihan leksikal dan tes pengetahuan leksikal depth melalui tugas definisi kata yang dilakukan terhadap dua anak ASD dan membandingkan dengan grup kontrol berusia sama dengan usia mental ASD yaitu 8 tahun dan 10 tahun. Stimulus terdiri atas 39 kata dan 39 pseudoword dengan kriteria pemerolehan leksikal anak usia 5 tahun, kelas kata verba dan nomina, dan bersuku kata dua. Data tersebut diolah dengan uji statistik Wilcoxon,  klasifikasi definisi kata dari  Hadley, Dickinson, Hirsh-Pasek, dan Golinkoff (2015) dan taksonomi semantik dari De Deyne dan Storms (2008). Berdasarkan dari hasil rangkaian tes pengetahuan leksikal breadth dan depth ditemukan bahwa anak ASD dalam penelitian ini  mengalami defisit semantik dengan ditandai pengetahuan leksikal breadth dan depth yang lemah.


This thesis started from the hypothesis that children with Autism Spectrum Disorder (ASD) suffers from semantic language disorder or semantic deficit. Based on preliminary observation conducted on two children with mild ASD studying at Cahaya Didaktika school (aged 16 and 11 years old), it is concluded that the children have word concepts. However, because data from the preliminary observation is not enough to prove the existence of semantic deficit, this thesis extends the previous investigation by utilizing the lexical breadth and depth tests.The tests comprise lexical knowledge breadth test through Lexical Decision Task and lexical knowledge depth test through word definition that are done by two mild ASD children and control groups matched on the mental age of the ASD children, which are 8 and 10 years old. The stimuli are 39 words with Age of Acquisition of 5 years old and 39 corresponding pseudowords, including verbs and nouns and having two syllables. Data are then analyzed statistically by and are classified according to the word definition classificationof Hadley, Dickinson, Hirsh-Pasek, and Golinkoff (2015) and De Deyne & Storms (2008) semantic taxonomy. The results demonstrate that children with ASD suffers from semantic deficit which are characterized by lack of breadth and depth their lexical knowledge."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T52647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Pramesti Jewalani
"Penelitian ini mengkaji pengaruh kelas kata, terhadap akses leksikal penutur bahasa Indonesia dengan mengamati kasus tip-of-the-tongue. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan pengaruh kelas kata terhadap munculnya tip-of-the-tongue serta resolusinya pada penutur bahasa indonesia, menguraikan informasi sintaksis dan informasi leksikal lainnya yang terakses saat tip-of-the-tongue terjadi, serta memerinci posisi informasi sintaksis pada proses akses leksikal. Data diambil melalui eksperimen yang diikuti oleh 85 mahasiswa pascasarjana UI. Tip-of-the-tongue diinduksi menggunakan stimulus berbentuk definisi kata. Uji statistik X 2 dilakukan untuk melihat pengaruh kelas kata terhadap kemunculan dan resolusi tip-of-the-tongue. Transmission deficit hypothesis (Burke dkk., 1991) dan teori independent network (Caramazza, 1997) digunakan untuk menganalisis secara kualitatif data mengenai informasi sintaksis dan informasi leksikal lainnya termasuk kata alternatif. Ditemukan bahwa kelas kata tidak memiliki pengaruh terhadap kemunculan tip-of-the-tongue maupun resolusinya. Namun, informasi kelas kata secara signifikan dapat diketahui oleh partisipan yang mengalami tip- of-the-tongue. Selanjutnya, kata alternatif yang teringat memiliki kelas kata yang sama dengan kata target. Temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa saat proses akses leksikal, sejalan dengan independent network theory, fitur sintaksis diakses secara terpisah dari fitur fonologis sehingga fitur sintaksis tidak memengaruhi kemunculan tip-of-the-tongue dan resolusinya, namun cukup memengaruhi penutur bahasa Indonesia untuk mengakses kata alternatif dengan kelas kata yang sama.
This study examines word categories influence towards Indonesian speakers lexical access by observing tip-of- the-tongue cases. It aims to convey the influence of word categories towards tip-of-the-tongue emergence and its resolution, to explain syntactic information and other lexical information accessed at the tip-of-the-tongue state, and to detail the position of syntactic information in lexical access process. The data was gained through experiment joined by 85 University of Indonesia postgrad students. Tip-of-the-tongue were induced using definition as the stimuli. Chi-square test was run to analyze the influence of word categories towards tip-of-the- tongue emergence and its resolution. Transmission deficit hypothesis (Burke, 1991) and Independent network theory (Caramazza, 1997) were used to qualitatively analyze the syntactic information and other lexical information including alternate words accessed. It is discovered that word categories don't influence tip-of-the- tongue emergence and its resolution. Nevertheless, target words' syntactic information is significantly accessed by participant. Moreover, the alternate word's categories emerged are mostly equal to the target word's. Those findings indicates that, in line with independent network theory, syntactic features are independently accessed from the access of phonological features. Therefore, syntactic features don't influence the tip-of-the-tongue emergence and its resolution, but enough to affect participants to access same category alternate words."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T52652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanisyah Fahmi
"Penelitian dilakukan melalui penelitian kepustakaan yaitu dengan menggunakan kamus ekabahasa bahasa Perancis dan kamus ekabahasa bahasa Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketepatan padanan yang diberikan pada satuan leksikal perumahan dan melihat apakah kamus tersebut dapat disebut sebagai kamus produksi. Pengumpulan data dilakukan dengan memilih kata kepala yang padanannya mengacu pada perumahan dan terdapat pada kamus umum Perancis-Indonesia karangan Prof. Drs. S. Wojowasito dan Hartono Ruslan D.E.S. Data dikelompokkan menurut kiasifikasi bangunan tempat tinggal yang dikemukakan oleh Dewey (1965:113). Penelitian tentang ketetapen padanan dilakukan dengan menggunakan teori analisis sem yang dikemukakan oleh Tutescu (1979:75). Penelitian untuk melihat apakah kamus tersebut dapat disebut sebagai kamus produksi (bahasa Perancis bahasa ibu pemakai kamus) dilakukan dengan membandingkan cara penyajian padanan, tipe padanan, bahasa yang digunakan dalam keterangan penjelas, dengan kaidah-kaidah penyusunan kamus dwibahasa serta dengan melihat ketepatan padanan yang diberikan. Teori yang dipergunakan dalam analisis Cara penyajian padanan dan bahasa yang dipergunakan dalam keterangan penjelas adalah teori yang dikemukakan oleh Al-Kasimi {1977:68 dan 23). Teori yang dipergunakan dalam analisis tipe padanan adalah teori tipe padanan pada kamus dwibahasa yang dikemukakan oleh Zgusta (1971:32) dan A1-Kasimi (1977:61). Hasil penelitian menunjukan bahwa 33,33% dari padanan yang diberikan adalah merupakan padanan yang tepat, 65,31% padanan yang kurang tepat dan 1,36% padanan yang salah. Sebagai sebuah kamus produksi, kamus tersebut kurang memadai karena: 52,38% dari padanan yang diberikan merupakan padanan tipe penjelasan yang tanpa disertai keterangan penjelas, 4,76% padanan tipe penjelasan yang disertai keterangan penjelas, hanya 40,14% padanan tipe sinonim tanpa keterangan penjelas dan 2,72% padanan tipe sinonim yang disertai keterangan penjelas. Sebagai sebuah kamus produksi, penyusun kamus harus mengutamakan padanan tipe sinonim agar padanan tersebut dapat dipersiapkan dalam kalimat-kalimat yang mempergunakan bahasa Indonesia. b. Padanan yang berasal dari satuan leksikal bahasa sumber yang merupakan polisemi tidak diberi keterangan penjelas yang menunjukkan perbedaan makna padanan.Sebagai sebuah kamus produksi, padanan yang demikian harus diberi keterangan penjelas agar pemakai kamus dapat membedakan makna padanan yang diberikan dari padanan lain yang juga dimiliki oleh kata kepala yang sama dan dapat mempergunakannya dalam konteks yang tepat. c. Bahasa yang digunakan dalam keterangan penjelas adalah bahasa Indonesia. Sebagai sebuah kamus yang ditujukan bagi pemakai kamus yang bahasa ibunya bahasa Perancis, keterangan penjelas harus disajikan dalam bahasa Perancis agar pemakai kamus dapat memahami penjelasan yang diberikan penyusun kamus.d. Sebagian besar {65,31%) dari padanan yang diberikan merupakan padanan yang kurang tepat. Sebagai sebuah kamus produksi, padanan yang. diberikan harus merupakan padanan yang tepat agar kalimat-kalimat yang dibentuk dengan mempergunakan padanan tersebut merupakan kalimat yang baik dan memiliki makna yang sama dengan pesan yang ingin disampaikan penulis atau pembicara. Satuan leksikal bahasa sumber yang padanannya mengacu pada perumahan sebaiknya diteliti kembali dan diadakan perbaikan. Sebaiknya penulis kamus mengaktifkan penggunaan keterangan penjelas agar padanan yang maknanya hanya mencakup sebagian maknasatuan leksikal bahasa sumber dapat sepadan dengan makna sebenarnya. Kamus yang ditujukan bagi pemakai kamus yang bahasa ibunya bahasa Indonesia sebaiknya tidak disatukan dengan kamus yang ditujukan bagi pemakai kamus yang bahasa ibunya bahasa Perancis, agar bentuk penyajian kamus tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan pemakai kamus dan kaidah-kaidah penyusunan kamus dwibahasa yang berlaku."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>