Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67054 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irfan Fahmi
"Penelitian ini membandingkan antara praktik pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model
Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, dan di Hulu Langat, Malaysia. Oleh karena analisis perbandingan
menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antarobyek, maka ketiga lokasi
mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak
mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang
seharusnya secara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan
Kabupaten/Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia. Pendekatan verstehen
menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Di samping itu, berbagai key informan
diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga
praktik bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengarah ke dalam praktik
desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenuhnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan
karakter masing-masing. Praktik desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi
territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktikkan meskipun wacana akademik dan potensi serta
kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan
mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada
umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku
pada desentralisasi teritorial semata. Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam
kerangka peningkatan kinerja pertanian dan pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya
regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar lebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi
fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of
Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National
and State Level. Although the two countries differed in governmental arrangements, the locus used in this research
experienced the same level of governments. Verstehen has been as a general framework of this research approach.
Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and
analyzed with multilevel tools. This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were
not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia
which is fully centralized through deconcentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation
management in Indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in
Indonesia and Malaysia. Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the
grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the
irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of
functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Penelitian ini membandingkan antara praktik pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, dan di Hulu Langat, Malaysia. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antarobyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya secara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupaten/Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia. Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Di samping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktik bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengarah ke dalam praktik desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenuhnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing. Praktik desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktikkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian dan pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar lebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda.

This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in governmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments. Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools. This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deconcentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in Indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia. Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
"A research of river water quality for irrigation purposes was conducted in West Java-Indonesia. Water samples from seven rivers and fourteen locations were taken and analyzed in the field and laboratory."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Sulaksono
"Tesis ini membahas peranan sektor irigasi dalam perekonomian Indonesia dengan menggunakan metode analisis input-output. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sektor irigasi memiliki peranan yang penting terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan simulasi kebijakan penutupan sektor irigasi dan perubahan investasi, sektor-sektor hulu dan hilir sektor irigasi mengalami penurunan indeks keterkaitan ke belakang dan indeks keterkaitan ke depan serta penurunan output, nilai tambah bruto dan tenaga kerja.

This thesis discusses the role of irrigation sector in the economy using inputoutput analysis. Results of research concluded that irrigation sector has an important role to the economy of Indonesia. Based on the simulation of the closure policy and changes in irrigation sector investment, the upstream and downstream sectors of irrigation sector has decreased the backward and forward linkage index as well as a decrease in output, value added and gross labor."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26317
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Parlinto
"ABSTRAK
Air pada saluran irigasi utama Tarum Barat yang merupakan pasok air baku dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jakarta adalah suatu energi altenatif yang murah, bebas polusi, selalu tersedia dan berpotensi dimanfaatkan untuk membangkitkan energi listrik .
Pusat Listrik Tenaga Mikrohidro ( PLTM ) pada saluran irigasi utama Tarum Barat dirancang untuk memanfaatkan debit pasok air baku PDAM, dimana energi listrik yang dibangkitkan akan dipasok ke instalasi penjernihan air PDAM Buaran Jakarta Timur guna menghemat biaya operasi instalasi tersebut dan turut menyukseskan kebijaksanaan umum pemerintah di bidang energi.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Plant productivity is determined by watercontent management in the root zone with respect irrigation. A proper irrigation or irrigation scheduling requires a program which questions of when to irrigate, how much water at apply and what best method to apply the water. A way to calculate the amounts of water available and required for supplemental irrigation is to analyse the water balance. The principal of water balance analysis is the total water additions (from all source) must equal the total water losses. soil water must be maintained at the range of available for plant. Information about water balance components in the root zone will assist in decision making leading to improvement of irrigation efficiency. The water balance approach to irrigation scheduling choses a strarting point total soil water in the root zone. Then the water balance equation is solved on a daily basis, considering the amounts of water that move into and out of the root zone for that day. Actual readings of soil water using gravimetric soil water sampling or a calibrated soil-monitoruing device such as a neutron probe, time domain reflectometry, or transiometers should be taken to calibrate the estimated balance."
JUIRIGA
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>