Ditemukan 227697 dokumen yang sesuai dengan query
Robby Bakharuddin
"Skripsi ini membahas dua permasalahan utama. Pertama, mengenai perbandingan wewenang yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU , Badan Kartel Jerman Bundeskartellamt dan Japan Fair Trade Commission JFTC dalam rangka menyelesaikan kasus kartel berdasarkan praktek dan undang-undang yang berlaku di masing-masing negara, lalu skripsi ini membahas tentang wewenang yang dibutuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU untuk menangani kasus kartel di Indonesia didasarkan pada wewenang yang dimiliki Badan Kartel Jerman Bundeskartellamt dan Japan Fair Trade Commission JFTC . Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan perbandingan wewenang yang dimiliki masing-masing badan dalam penyelesaian perkara kartel di berbagai negara, yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau pilihan penyelesaian perkara kartel yang sesuai dan dapat membawa KPPU bekerja lebih baik di masa datang. Penyelesaian perkara persaingan usaha dibebankan kepada Badan Kartel Jerman Bunderkartellamt ; Japan Fair Trade Commission JFTC ; dan Komisi Perngawas Persaingan Usaha KPPU . Terdapat perbedaan peranan antara tiap komisi dalam penyelesaian perkara. Perbedaan tersebut dapat ditemukan dalam tata cara penyelesaian perkara, perbedaan kewenangan dan tugas pada tiap-tiap komisi, perbedaan dalam penggunaan pembuktian dalam suatu kasus, program-program yang telah dilaksanakan dan sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPU sebagai organ penegak Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat masih banyak kekurangan dalam menjalankan peranannya. Kekurangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya lemahnya wewenang KPPU dalam melakukan upaya paksa seperti penggeledahan, penyitaan dan upaya paksa terhadap saksi.
This thesis discusses two main issues. First, it compares about the authotity of Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU in Indonesia, the German Cartel Agency Bundeskartellamt and the Japan Fair Trade Commission JFTC in order to resolve the cartel cases based on practice and prevail regulation in each country. Second, it discusses about the Privileges that has been required by Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU in order to handle cartel cases in Indonesia, based on the authority that has been ownded by the the Cartel Agency of Germany Bundeskartellamt and the Japan Fair Trade Commission JFTC . The research was conducted by normative method. The purpose of this research was to provide a problem solving in cartel disputes by doing the comparision between all of those respective authorities in each countries and help the Komisi Pengawas Persaingan Usaha in oder to work better in the future. The completion regarding to business competition cases has been conducted by the Bunderkartellamt Japan Fair Trade Commission JFTC and Komisi Perngawas Persaingan Usaha KPPU . There are differences between the role of each commission in dispute settlement. The differences can be found in the procedures for settling disputes, differences of authority and tasks on each commission, the difference in the use of evidence in a particular case, the programs that have been implemented and many more. The researched concluded that KPPU as a representative organ in Indonesia subject to the rule of Law No. 5 Year 1999 concerning the Ban on Monopolistic Practices and Unfair Business Competition is having many shortcomings in performing its role. These condition is caused by several factors, including the lack of authority of the Commission in undertaking forceful measures such as search, seizure and forceful measures against the witness. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64220
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Toddy Arryandha
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S23968
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nadapdap, Binoto
"Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki kemungkinan mengenai penggunaan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara persaingan usaha, khususnya perkara kartel di tengah kesulitan yang dialami oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendapatkan alat bukti langsung. Aparat persaingan usaha di pelbagai belahan dunia mempunyai permasalahan yang relatif sama untuk mendapatkan alat bukti langsung pada saat menangani perkara kartel. Kesulitan mendapatkan alat bukti langsung menjadi persoalan yang global sifatnya dalam penanganan perkara kartel. Praktik kartel karena bersifat menghambat persaingan serta mengakibatkan kerugian terhadap sesama pelaku usaha dan konsumen, tidak dapat dibiarkan bergerak dengan leluasa dengan alasan ada keterbatasan alat bukti menurut undang-undang. Keterbatasan alat bukti yang terdapat dalam undang-undang tidak pada tempatnya untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat memberantas kartel, alat bukti yang diatur dalam undang-undang perlu ditafsirkan lebih luas agar mampu mengatasi praktek kartel. Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan sebagai dasar bagi KPPU untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung (petunjuk atau persangkaan) adalah teori penemuan hukum. Menurut teori penemuan hukum hakim harus berusaha untuk menemukan hukum untuk menangani perkara tertentu walaupun undang-undang tidak mengatur atau undangundangnya tidak jelas. Hakim atau otoritas persaingan usaha perlu mencari dasar hukum penggunaan alat bukti tidak langsung sekalipun undang-undangnya tidak ada. Menolak menangani perkara dengan alasan undang-undang tidak mengaturnya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa tidak mengatur mengenai alat bukti tidak langsung. Upaya Komisi Persaingan Usaha untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel, walaupun tidak diatur dalam undang-undang, upaya Komisi Persaingan Usaha dalam berbagai perkara kartel dapat dibenarkan oleh hakim. Pengadilan mempunyai kesamaan bahasa dengan Komisi Persaingan Usaha mengenai upaya mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel yang tidak diatur dalam undang-undang. Perang terhadap kartel yang menimbulkan kerugian terhadap persaingan usaha yang sehat perlu ditangani dengan cara memperbolehkan penggunaan alat bukti tidak langsung, yaitu berupa alat bukti komunikasi dan alat bukti ekonomi. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang mempergunakan alat bukti tidak langsung ada yang ditolak oleh pengadilan, baik itu oleh Pengadilan Negeri maupun oleh Mahkamah Agung dan ada pula yang dibenarkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung. Dari penelitian diperoleh data bahwa Pengadilan Negeri belum ada yang menerima penggunaan alat bukti tidak langsung, dengan alasan bahwa alat bukti tidak langsung tidak dikenal dalam hukum pembuktian di Indonesia. Pengakuan terhadap penggunaan alat bukti tidak langsung sebagai bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, baru dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, menjadi dasar hukum bagi diperbolehkannya alat bukti tidak langsung sebagai dasar untuk menangani perkara kartel dan perkara persaingan usaha lainnya. Mahkamah Agung sudah membenarkan pengunaan alat bukti tidak langsung dalam hukum pembuktian di Indonesia.
This study aims to explore the possibility of the use of indirect evidence in processing business competition cases, in particular in cartel cases within the difficulties experienced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) to obtain direct evidence. Business competition authorities in various parts of the world have the same issues to obtain direct evidence when dealing with cartel cases. Difficulty in obtaining direct evidence became global issues in cartel case process. The practice of cartel, because it is hampering competition and result in losses to the other entrepreneurs and consumers, shall not be allowed to move freely because of the limitations of evidence pursuant to the legislation. The limitations of evidence contained in the legislation is not appropriate reason to not eradicate cartels, evidence set out in the legislation need to be interpreted more widely to be able to tackle cartels. In this study the theory used as a basis for the KPPU to use indirect evidence (hint or allegation) is the discovery of the theory of law. According to the theory of legal discovery, judges should strive to find a law to deal with a particular case even though the law does not regulate or it is unclear. Judge or competition authorities need to find a legal base of using indirect evidence even though the does not exist. Refusing to handle the case by reason of the law does not exist can be categorized as an action that is contrary to the law. Legislation in the United States, Japan and the European Union do not regulate the indirect evidence. Competition Commission's efforts to use indirect evidence in cartel case, although not regulated by law, can be justified by the judge. The court has the same vision with the Competition Commission regarding attempts to use indirect evidence in cartel case process which are not regulated by law. War against the cartels that cause harm to healthy competition need to be handled by allowing the use of indirect evidence, which is evidence in the form of communication and economic evidence. In Indonesia, the cartel case process that use indirect evidence is rejected by the court, either by the District Court or by the Supreme Court and only some are justified by the Supreme Court. From the study data showed that none of District Court accepted the use of indirect evidence, the reason is that indirect evidence was not known to the laws of evidence in Indonesia. Recognition of the use of indirect evidence as valid evidence in cartel case process, just recently justified by Supreme Court. Supreme Court decision justifying indirect evidence as valid evidence in cartel case process, become the legal basis for the permissibility of indirect evidence for dealing with cases of cartel and other business competition matters. The Supreme Court has confirmed the use of indirect evidence in evidentiary law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Katrina Marcellina
"Pembuktian kartel tidak dapat dipisahkan dari penggunaan analisa ekonomi untuk membuktikan adanya perjanjian tertulis di antar para pelaku usaha yang dicurigai melakukan kartel. Namun di satu sisi, penggunaan bukti ekonomi (tidak langsung) masih menjadi perdebatan di Indonesia, karena selain mengandung ambigu, penggunaannya belum diatur secara tegas dalam sistem hukum Indonesia. Penelitian ini akan menjabarkan penggunaan analisa ekonomi yang digunakan oleh KPPU untuk membuktikan dugaan-dugaan kartel yang ada selama tahun 2009-2010 serta menganalisa validitas penggunaan analisa ekonomi berdasarkan hukum nasional. Penelitian ini merupakan penelitan hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif. Ketelitian dan ketepatan dalam melakukan penghitungan serta analisa ekonomi adalah suatu hal yang masih harus ditingkatkan oleh KPPU demi perwujudan penegakan hukum persaingan usaha yang ideal.
The use of economic analyis to prove the existence of a gentlement agreement among the alleged cartel members is unseparable from the processs of cartel verification itself. However, on the other hand, the use of economic analysis (which is an indirect evidence), still remains as a controversy, not only because of its ambiguity, but also its method has not yet clearly been regulated under Indonesian law. This research is to elaborate the use of economic analysis employed by the Commission For the Supervision of Business Competition (KPPU) to prove the alleged cartels cases within the year of 2009-2010 and also to examine the validity of the use of economic analysis according to the national law system. This research is a normative legal research with qualitative analysis. Meticulous economic calculation and accuracy in analysis are of something that KPPU should improve for the fulfillment of an ideal competition law enforcement. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S444
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Akbar Syailendra Adi Buwono
"Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 memperluas pengertian persekongkolan menjadi tidak hanya sebatas terhadap pelaku usaha lain saja, tetapi juga pihak yang berkaitan dengan pelaku usaha lain. Tak hanya itu, putusan tersebut juga membatasi kewenangan penyelidikan yang dimiliki KPPU menjadi hanya sebatas pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan. Jepang sebagai salah satu contoh negara yang telah memiliki hukum persaingan usaha sejak lama, telah memberikan definisi persekongkolan sebatas perilaku antarpelaku usaha. Disamping itu, hukum persaingan usaha di Jepang telah memberikan kewenangan yang cukup besar untuk melakukan penyelidikan kepada Japan Fair Trade Commission JFTC sebagaimana diatur dalam Act on Prohibition of Private Monopolization and Maintenance of Fair Trade Antimonopoly Act. Perbandingan kedua poin diatas akan memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara kedua negara. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penafsiran pihak lain yang juga mencakup pihak yang berkaitan dengan pelaku usaha lain merupakan suatu hal yang tidak tepat. Selain itu, KPPU juga masih belum diberikan dengan jelas tindakan apa saja yang dapat dilakukan dalam melakukan penyelidikan oleh UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dari UU No. 5 Tahun 1999 dalam rumusan pasal persekongkolan dan kewenangan yang dimiliki oleh KPPU secara tegas dan jelas untuk memberikan kepastian hukum bagi KPPU untuk menjalankan kewenangannya.
Constitutional courts verdict No. 85 PUU XIV 2016 extends the definition of bid rigging is not only limited to other business actors, but also parties related to other business actors. Furthermore, the decision also restraints KPPUs investigation authority as long as collecting evidence for examination. Japan, as one example of a country that has had long standing business competition law, has given the definition of bid rigging only to the behavior among business actors. In addition, Japan rsquo s law of business competition also gives a lot investigation authority to Japan Fair Trade Commission JFTC as provided in Act on Prohibition of Private Monopolization and Maintenance of Fair Trade Antimonopoly Act. The comparison of these two points will show the differences between both countries. This research was conducted by normative juridical method. The results of the study show that the interpretation of other parties that also includes parties related to other business actors is an imprecise thing. In addition, KPPU also still has not given clear what action can be done in conducting investigation by Law no. 5 of 1999. Therefore, the refinement of Law No. 5 Year of 1999 is required, regarding on formulation of bid rigging and KPPUs authority should be clear to give legal certainty for KPPU to exercise its authority."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 2004
S24150
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Haidi Pratama
"Penanganan perkara kartel merupakan bagian dari penegakan hukum persaingan usaha. Di Indonesia penanganan perkara kartel yang dilakukan oleh KPPU memiliki banyak permasalahan terutama berkenaan dengan pembuktian kartelyang masih sulit dan kewenangan KPPU sebagai penegak Hukum Persaingan Usaha. Sedangkan negara lain seperti Jepang dan Uni Eropa telah melakukan penanganan perkara kartel dengan lebih baik. Untuk itu, penelitian ini akan membahas perbandingan penanganan perkara kartel di Indonesia dengan Jepang dan Uni Eropa. Melalui perbandingan tersebut, penulis mengungkapkan berbagai hal dalam penanganan perkara kartel di Jepang dan Uni Eropa yang dapat diaplikasikan di Indonesia antara lain penggunaan indirect evidence,penerapan program leniency, dan kewenangan upaya paksa oleh lembaga penegak hukum persaingan usaha.
The handling of cartel cases is part of the business competition law enforcement. In Indonesia, the handling of cartel cases conducted by the Commission (KPPU) has a lot of problems, mainly related to the cartel verification which is still difficult and the authority of the Commission as the busniness competition law enforcer. While other countries such as Japan and the European Union have made the handling of cartel cases better. Therefore, this study discuss the comparison of handling cartel cases in Indonesia with Japan and the European Union. Through this comparison, the author reveals a variety of things in the handling of cartel cases in Japan and the European Union that can be applied in Indonesia such as the use of indirect evidence, the leniency program application, and forceful efforts authority by the institution of business competition law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61513
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yukiko Lyla Usman
"Pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia seperti menemukan nadinya pada saat lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Anti Monopoli. Undang-undang ini merupakan jawaban dari keinginan begitu banyak pihak agar diadakannya peraturan yang mengatur mengenai masalah persaingan usaha. Undangundang ini juga mengatur didirikannya sebuah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan persaingan usaha dan menegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Badan ini disebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Setelah 5 tahun keberadaan undang-undang ini, pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia dapat dikatakan terlaksana dengan cukup baik. Kinerja KPPU dirasakan juga sangat baik dengan jumlah kasus yang cukup banyak yang ditangani. Namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan kendala-kendala, terutama dalam proses penanganan perkara persaingan usaha yang masuk ke KPPU. Hal ini dapat dibandingkan dengan pelaksanaan hukum persaingan usaha di Negara lain. Salah satu Negara yang sejak lama telah menegakkan hukum persaingan usaha adalah Amerika Serikat. Negara ini telah melindungi kegiatan usaha sejak tahun 1914 dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur mengenai masalah persaingan usaha dan monopoli. Selain itu Amerika Serikat juga memiliki tiga badan yang fungsinya adalah untuk menegakkan hukum persaingan usaha. Ketiga badan tersebut adalah, Antitrust Division of Department of Justice, The Federal Trade Commission, dan The Attorney General For Each States. Dengan pengalamannya yang sudah lebih lama maka tentunya pelaksanaan hukum persaingan usaha di Amerika relatif lebih baik. Hal ini yang mendasari dilakukannya perbandingan antara proses penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU dengan proses yang dilakukan oleh FTC di Amerika Serikat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S23758
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Aldo Maulana Randa
"Hukum persaingan usaha adalah salah satu instrumen yang wajib ada di dunia global ini. Keberadaan hukum persaingan usaha mengharuskan adanya lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum persaingan usaha tersebut. Kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegak hukum persaingan usaha berdampak besar terhadap efektifitas penegakan hukum persaingan usaha. UU No. 5 Tahun 1999 mengamanatkan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia untuk dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Amerika Serikat adalah Negara yang sudah sejak dulu menegakkan hukum persaingan usaha, Federal Trade Commission Act melahirkan Federal Trade Commission (FTC), yaitu institusi penegak hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Kewenangan yang dimiliki FTC sangat besar. Perbandingan kewenangan antara FTC dan KPPU akan melihat celah perbedaan antar kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga.
Competition is a compulsory instrument of the global world. The existence of competition law requires an institution for the enforcement of the law. Authority of competition law enforcer has a big effect to the effectiveness of the enforcement of competition law. Law No. 5 Year 1999 mandated KPPU to enforce competition law in Indonesia. United States of America has been enforcing antitrust law from very long ago. Federal Trade Commission Act create a competition law enforcement agency named The Federal Trade Commission. Federal Trade Commission has a very broad scope of enforcement authority. By comparing KPPU's and FTC's law enforcement authority, the difference from each agency can be revealed. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60985
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Zealabetra Mahamanda
"Skripsi ini membahas tentang praktek kartel dan penetapan harga yang diduga dilakukan oleh delapan perusahaan semen di Indonesia. Dugaan tersebut diperkuat dengan terjadinya hambatan pasokan yang menyebabkan kelangkaan dan tingginya harga jual akan produk semen semen di Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU, dugaan kartel tersebut tidak terbukti. KPPU tidak dapat membuktikan bahwa pelaku usaha telah melanggar Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu, tidak terdapat adanya petunjuk perjanjian pengaturan harga, perjanjian pengaturan pemasaran dan perjanjian kartel dalam kasus ini. Alhasil, dugaan terjadinya praktek kartel dan penetapan harga tidak terbukti. Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tujuan menganalisis putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.
This thesis analyzes the presumption of cartel practices and price fixing by the eight cement company in Indonesia. This presumption is being strengthened by supply barrier which caused scarcity and raise the sell price of the cement product. KPPU couldn't prove that cement industry participants were breaking the article 5 and article 11 Regulation Number 5 Year 1999. Beside that, there is no evidences and indication about price fixing agreement, market sharing agreement and cartel agreement. As a result, this cartel and price fixing practices presumption hasn't proven. In process of writing this thesis, writer is using legal research methode to analyzing KPPU decision Number 01/KPPU-I/2010 based on the Law Number 5 Year 1999 and Comission Regulation Number 4 year 2010. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S448
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library