Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75009 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Sepsis neonatorium merupakan sindroma klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi pada bulan pertama kehidupan bayi baru lahir. Insidensi sepsissecara keselurahan 10-12tiap 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 20-30%, di negara maju (Amerika) 1-5 tiap 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan SKRT tahun 2001 di Indonesia sepsis termasuk penyebab utama kematian pada neonatus. Angka kematian sepsis neonatorum dipengaruhi pula oleh masa gestasi bayi, organisme yang menginfeksi, dan waktu bayi mendapat infeksi apakah sebelum atau sesudah kelahiran. Pengobata sepsis neonatorum meliputi terapi kausatif (antimikroba), pengobatan suportif (hematologi, tunjangan nutrisi, susum saraf pusat, metabolic), Imunoterapi ( intravenous immunoglobulin, granulobulin, granulocyte colony stimulating faktor (GCSF) dan transfusi tukar). Immunoterapi saat ini sering digunakan sebagai terapi alternatif bila pengobatan dengan antibiotika tidak menunjukan perbaikan, Transfusi tukar tidak hanya menyediakan secara aktif granulosit, immunoglobin, faktor komplemen dan fibronektin, namun juga menghilangkan komponen-komponen yang tidak diinginkan seperti bakteri, toksin dan hasil pemecahan fibrinogen"
610 MEDI 3:7 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi.
Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenardi Moeslichan
"Rasa syukur kita ini akan bertambah nikmat manakala kita menyadari eksistensi diri di alam jagat raya ini. Manusia adalah salah satu dari sejumlah makhluk bumi, dan seorang manusia adalah seorang warga penduduk bumi yang diperkirakan akan mencapai 6,2 milyard pada tahun 2000 nanti. Mereka saling berinteraksi dan saling merindukan kedamaian (walaupun masih terjadi peperangan antar manusia disana-sini yang masih sulit untuk didamaikan).
Menyadari betapa kecil kehadiran manusia di bumi ini, manusia akan lebih merasakan betapa kecilnya lagi manakala dianugerahi kemampuan berfikir, bahwa bumipun hanya merupakan sebagian kecil eksistensinya dalam tata surya alam ini. Allahu Akbar.
Dengan manusia sebagai titik tumpu setelah teropong megamakro digunakan untuk mengagumi kebesaran jagad raya dalam makrokosmos berbalik teropong itu diarahkan ke dalam dunia mikro terhadap komposisi tubuh manusia. Kita akan dapat temukan berbagai fenomena menakjubkan yang dapat dilihat dan dipelajari. Salah satu diantaranya adalah darah.
Benda cair yang berwarna merah ini tersusun dari berbagai materi biologis yang juga saling berinteraksi. Interaksi yang serasi diperankan oleh masing-masing unsur untuk mempertahankan homeostasis tubuh agar terpelihara tubuh yang sehat. Mereka diproduksi .di dalam sumsum tulang. Sumsum tulang ini seakan-akan suatu pabrik yang memproduksi berbagai jenis sel darah, setiap hari tiada hentinya. Diperhitungkan sekitar 200 bilion sel darah merah, 10 bilion sel darah putih dan 400 bilion butir trombosit diproduksi setiap hari. Betapa besar kapasitas pabrik dalam tubuh kita ini. Keindahan semakin dirasakan karena terbukti masing-masing materi bioiogis ini saling berinteraksi yang sangat unik di dalam dunianya. Apabila karena sesuatu hal interaksi dan produksi tersebut terganggu maka terjadilah penyakit yang mengancam kehidupan individu tersebut.
Darah masih merupakan materi biologis yang belum dapat di sintesis di luar tubuh, atas dasar itu apabila pada suatu saat terjadi kekurangan darah atau komponennya, biasanya seseorang memerlukan bantuan darah dari orang lain yang disebut transfusi darah. Tetapi dalam transfusi darah yang bertujuan menyelamatkan jiwa sesama manusia tersebut, dapat mengundang pula berbagai risiko yang merugikan kesehatan tubuh, bahkan dapat berakibat kematian. Atas dasar itu praktek transfusi darah yang benar haruslah dilandasi oleh suatu disiplin ilmu yang disebut Ilmu Transfusi Darah (Transfusion Medicine).
Berbagai keindahan dan pesona darah yang mendasari ilmu ini mengundang kekaguman, dan kadang-kadang enak dinikmati, karena itu saya ingin berbagi rasa dengan para hadirin dengan menyajikan sekelumit tentang transfusi darah yang berkaitan dengan profesi saya sebagai dokter anak, kemudian ikut memikirkan kemungkinan permasalahannya dalam suatu sajian yang berjudul Kajian Pediatrik Terhadap Transfusi Darah.
Para hadirin yang berbahagia,
Seperti dikemukakan sebelumnya darah adalah materi biologis, berbentuk cair berwarna merah. Didalamnya terkandung bagian yang bersifat korpuskuler dan sebagian lainnya bersifat tarutan. Bagian korpuskuler ini disebut sebagai butiran darah yang terdiri dari sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (leukocyte) dan butir trombosit (platelet), Ketiga jenis butiran darah ini terutama dibuat di dalam sumsum tulang dari sejenis sel yang disebut sel stem. Sel stem ini seolah-olah suatu benih yang mampu terus-menerus bertahan dengan memperbanyak diri serta berdeferensiasi. Hal ini dimungkinkan karena di dalam sumsum tulang terdapat strama yang memberkan lingkungan mikro (micraenvironment) seakan-akan suatu lahan tanah yang subur bagi pertumbuhan sel stem.
Katau diperhatikan lebih seksama, sel darah merah itu berbentuk diskus bikonkaf yang fleksibel, diameternya 8 um, dan didalamnya berisi cairan hemoglobin. Hemoglobin inilah yang memberi warna merah darah kita. Bentuk sel darah merah yang fleksibel memungkinkan sel darah merah melalui saluran sirkulasi mikro yang berdiameter lebih kecil."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0121
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Syifa Nabila Budi
"Latar Belakang: Reaksi transfusi adalah reaksi yang disebabkan oleh banyak hal. Reaksi yang paling sering ditemukan adalah reaksi yang berbentuk alergi pada pasien karena ada perbedaan jenis antigen dan antibodi yang ditransfusikan kepada pasien tersebut. Hal ini dapat terjadi karena alasan seperti: kontaminasi virus, bakteri dan juga kesalahan dalam menjaga produk sampai ke tangan pasien. Selain itu faktor yang dapat membuat hal ini terjadi dapat ditemukan dari perbedaan produk pemakaian dan juga kondisi pasien yang sudah ada sebelum pasien di transfusi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah perbedaan jenis dan juga penggunaan produk platelet dapat menimbulkan reaksi transfusi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik. Hal ini dilakukan dengan pemberian questionnaire kepada 82 pasien di ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM . Penelitian ini adalah penelitian analitik untuk melihat apa yang menimbulkan reaksi transfusi pada pasien jika ada.
Hasil: Reaksi akut adalah reaksi yang paling sering terjadi pada pasien di dalam ruang transfusi dan ruang perinatologi RSCM, dengan gejala yang paling sering terjadi adalah reaksi alergi. Insiden terbanyak adalah terkait dari pemakaian produk TC
Kesimpulan: Reaksi transfusi adalah sebuah reaksi yang mungkin terjadi pada setiap episode transfusi. Reaksi dapat terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi pasien yang mungkin saja tidak sesuai dengan produk itu sendiri. Hal seperti kontaminasi dan kelalaian saat memberikan produk juga adalah salah satu faktor resiko adanya kejadian reaksi transfusi ini. Pada 82 pasien yang menggunakan produk platelet ditemukan reaksi akut yang terjadi kepada 59,8% dari keseluruhan pasien transfusi. Pemakaian yang paling sering menimbulkan reaksi adalah produk TC dari seluruh derivatives platelet.

Background: Transfusion reaction is one of the problems that are most commonly found in hospital setting after the process of transfusion. The occurrences are still present after several preventive measures, transfusion reaction is usually elicited because the product is contaminated by virus, bacteria and also the mismanagement of the product. Other factors that could elicit such reaction varies from the kind of blood product that the patient acquired, how many times the patient have undergone the procedure and also their own diagnosis.
Method: Use of questionnaires that are given to 82 pediatric patients in the transfusion ward and perinatologi ward. This is an analytical research that dwells into finding out the causes and also the risk factor of transfusion reaction.
Result: Acute reaction is the most common type of reaction happening after the use of platelet product, with the symptoms similar to those of allergic reaction (urticaria, pruritus and rashes). The most common type of product used in RSCM is Thrombocyte Concentrate.
Conclusion: Transfusion reaction is a reaction that may occur in every transfusion episode. The reaction could occur due to a reaction between the patient's antigen and antibodies which may not be compatible with the product. Matters such as contamination and negligence when providing products are also one of the risk factors for the occurrence of this transfusion reaction. In 82 patients using platelet products, it is found that acute reaction was the most common reaction in patients from the RSCM transfusion ward with a prevalence of 59.8% of all transfusion patients. The most common product that caused reaction was TC with prevalence causing transfusion reaction as much as 64.2% of all TC product usage. In RSCM, platelet and plasma products used are at TC = 64.6%, Pooled TC = 26.8% and Apheresis Platelet along with other products at 8.5%. In short using platelet product can be deemed as safe since the risk outweighs its benefit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nining Ratna Ningrum
"ABSTRAK
Deteksi antibodi bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi ireguler terhadap sel darah merah di dalam plasma pasien. Sampai saat ini, kegiatan pelayanan transfusi darah di Indonesia masih bergantung pada uji silang serasi yang masih kemungkinan adanya antibodi ireguler yang tidak terdeteksi. Antibodi tersebut dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi tipe lambat yang ditandai dengan penurunan hemoglobin dan peningkatan kadar bilirubin. Upaya keamanan pada pasien transfusi perlu ditingkatkan dengan diterapkan uji saring antibodi secara rutin pada pemeriksaan pra-transfusi. Tujuh ratus sampel pasien yang meminta darah ke laboratorium pelayanan pasien di UTD PMI DKI Jakarta dilakukan uji saring antibodi dan uji silang serasi secara otomatis dengan alat Ortho AutoVue Innova dengan Column Agglutination Technology. Untuk membuktikan kompatibel palsu dipilih 10 plasma pasien yang mengandung antibodi untuk dilakukan uji silang serasi mayor dengan 70 sampel darah donor. Hasil kompatibel dilakukan konfirmasi dengan antigen typing pada donor. Semua sampel pasien yang tidak memiliki antibodi 100 kompatibel pada uji silang serasi mayor. Dari 70 sampel dengan hasil kompatibel pada uji silang serasi mayor ditemukan 14 20 hasil negatif palsu. Dari penelitian ini disimpulkan uji saring antibodi lebih mampu mendeteksi antibodi pada plasma pasien dan aman digunakan dalam pemeriksaan pra-transfusi.

ABSTRACT
Detection of antibody aims to detection of irregular antibody on the blood cell in patient plasma. Until now, blood transfusion in Indonesia in terms still depending on the crossmatch is still risking on undetected irregular antibody. The irregular antibody may cause a delayed hemolytic transfusion with hemoglobin reduction and bilirubin increase as the symptoms. Patient with blood transfusion 39 s safety needs to be improved by routine antibody screening on pre transfusiontest. 700 samples of patients who requested blood to the patient care laboratory in UTD PMI DKI Jakarta were antibody screening and major crossmatch automatically with Ortho tool AutoVue Innova with Column Agglutination Technology. To prove false compatible, 10 patient 39 s plasma containing antibodies have been selected to be tested by major of crossmatch with 70 blood donor samples. Compatible Results were confirmed with antigen typing. All samples of patients who did not have antibodies 100 compatible on crossmatch test. from 70 samples which compatible on major crossmatch test was found 14 20 of false negative results. This study suggests the antibody screening which capable of detecting antibodies in the patient 39 s plasma and safely used in the pre transfusion test. "
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhariana Hk
"Prematuritas merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas neonatus tertinggi. Sebagian besar prematur mendapat transfusi PRC berulang selama perawatan. Sementara itu, transfusi PRC berulang dapat meningkatkan kadar zat besi. Namun, hingga saat ini belum ada konsensus mengenai suplementasi besi pada prematur yang telah mendapat transfusi PRC berulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status besi pada bayi prematur usia gestasi 28-32 minggu yang telah mendapat transfusi PRC berulang dan membuat rekomendasi mengenai pemberian suplementasi besi. Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif terhadap 70 bayi prematur yang lahir di RSCM bulan Maret 2021 – Mei 2021. Profil besi diperiksa usia kronologis 1, 2 dan 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan profil besi bayi prematur yang mendapat transfusi PRC > 2 kali lebih tinggi secara signifikan dibandingkan ≤ 2 kali (p<0,05). Titik potong total volume transfusi PRC yang menyebabkan status besi berlebih adalah PRC ≥ 50 mL/kgBB. Median feritin serum pada usia kronologis 1 bulan adalah 498,11 µg/L (358-885,62 µg/L), dua bulan adalah 232,66 µg/L (60,85-538,44 µg/L), tiga bulan adalah 42 µg/L (40,1-168,63 µg/L). Faktor risiko yang memengaruhi status besi berlebih pada bayi prematur adalah riwayat sepsis (OR 5,918 (IK 95%: 2,027-17,277)). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa bayi prematur yang mendapat transfusi PRC >2 kali memiliki profil besi yang lebih tinggi dibandingkan ≤ 2 kali pada usia kronologis 1 bulan. Bayi premtur yang mendapat transfusi PRC ≥ 50 mL/kgBB memiliki status besi berlebih di usia kronologis 1 bulan sehingga suplementasi besi sebaiknya diberikan pada usia kronologis 2 bulan.

Prematurity is the most common cause of neonatal mortality and morbidity. Most of the preterm infants received multiple PRC transfusions during hospitalization. Meanwhile, multiple PRC transfusions can increase iron levels. However, to date there is no consensus regarding iron supplementation in preterm who have received multiple PRC transfusions. The objective of this study are to determine iron status in premature infants aged 28-32 weeks who have received multiple PRC transfusions and make recommendations regarding iron supplementation. This study is a prospective cohort study of 70 preterm infants born at the Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2021 – May 2021. Iron profiles were examined chronologically age at 1, 2 and 3 months of age. The result are the iron profile of preterm infants who received PRC transfusion was > 2 times significantly higher than ≤ 2 times (p<0.05). The cut-off point for the total volume of PRC transfusion that causes iron overload status is ≥ 50 mL/kgBW. The median serum ferritin at 1 month of age was 498.11 g/L (358-885.62 g/L), two months was 232.66 g/L (60.85-538.44 g/L), three months is 42 g/L (40.1-168.63 g/L). The risk factor influencing iron overload status in preterm infants was a history of neonatal sepsis (OR 5.918 (95% CI: 2.027-17.277)). The conclusion of this study are preterm infants who received PRC transfusion >2 times had a higher iron profile than ≤ 2 times at 1 month chronological age. Preterm infants who received PRC transfusions ≥ 50 mL/kgBW had iron overload status at 1 month of chronological age and therefore iron supplementation should be given at 2 months of chronological age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Saumi Imanta Putri
"Latar Belakang: Transfusi darah masih sering dilakakukan sekarang. Transfusi darah yang aman dan steril seharusnya dilakukan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan untuk ada. Transfusi sel darah merah mempunyai insiden yang paling rendah. Walaupun dorongan dan praktik untuk memeriksa darah sebelum donor sudah dilakukan, reaksi transfusi tetap menunjukan angka kejadian yang tinggi terutama di negara dengan berpenghasilan rendah. Walaupun sebagian besar reaksi transfusi tidak mengancam, namun reaksi transfusi tetap menambah ketidaknyamanan pasien.
Metode: cross-sectional digunakan dalam riset ini. Data diambil secara primer dengan kuesioner yang diberikan kepada pasien anak berumur 0-18 tahun yang sedang di transfusi dengan sel darah merah. Kuesioner tersebut di isi sendiri oleh orang tua atau wali pasien. Kuesioner mencakupi ada atau tidaknya reaksi transfusi, diagnosis pasien, dan frekuensi transfusi pasien dalam satu bulan. Dibutuhkan 81 subyek untuk riset ini.
Result: Dari 83 pasien, ditemukan prevalensi reaksi transfusi di RSCM Kiara adalah 39.8%. Data yang diperolah sebagian besar adalah perempuan dan umur paling tinggi adalah 5-10 tahun. Hubungan signifikan antara diagnosis pasien dengan kemunculan reaksi transfusi ditemukan. Namun, signifikansi antara frekuensi transfusi dan reaksi transfusi tidak ditemukan di riset ini.
Kesimpulan: reaksi transfusi yang paling sering terjadi adalah gatal, kemerahan, dan nyeri. Dari penelitian, ditemukan bahwa pasien dengan diagnosis keganasan 6 kali lebih mungkin untuk mengidap reaksi transfusi dikarenakan keadaan kesehatan pasien tersebut. Frekuensi transfusi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan reaksi transfusi.

Background: Blood transfusion is a common practice done nowadays. Safe and sterile practice should be done to avoid any unwanted reaction that could happen. Red blood cell transfusion has the lowest incidence of transfusion reaction compared to other blood product. However, transfusion reaction is still happening despite the endorsement and practice of blood screening especially in some low income countries. The most common transfusion reactions are usually benign, however, it still adds to the patient’s discomfort.
Methode: This is a cross-sectional study. Primary data by a questionnaire given to pediatric patient undergoing RBC transfusion between 0-18 years old in RSCM Kiara transfusion ward. The questioner was completed by the parents or guardian of the patient. The questionare include the presence of transfusion recation, patient’s diagnosis, and the frequention of transfusion in one month. 81 subjects are needed for this research.
Results: From 83 patients that was included in this research, it was found that prevalence of transfusion reaction in pediatric patient is 39.8%. Most of the data was taken from female and most were between age 5-10 years old. There is a significant correlation between the recepient underlying diagnosis and the presence of transfusion reaction. However, there is no significant results in transfusion frequency.
Conclusion: The most common transfusion reactions found in this study are urticarial, rash, and pain. From this research, it was proven that patient with malignancy is 6 times more prone to transfusion reaction due to the patient’s condition. The frequency of transfusion does not significantly effect the possibility of developing transfusion reaction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Wigati
"Latar Belakang. Transfusi packed red cell (PRC) sering ditemui pada anak sakit kritis, dengan kemungkinan efek samping yang tidak sedikit. Beberapa laporan terakhir merekomendasikan ambang batas transfusi yang lebih rendah yaitu hemoglobin (Hb) 7 g/dL, namun data karakteristik serta pedoman transfusi PRC anak sakit kritis di Indonesia belum diketahui.
Metode. Studi dilakukan terhadap pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan diputuskan untuk mendapat transfusi PRC. Kadar Hb, saturasi vena sentral (ScvO2), rasio ekstraksi oksigen (O2ER), oxygen delivery (DO2), indeks kardiak (CI), dan indeks inotropik (INO) diukur/dihitung sebelum dan sesudah transfusi.
Hasil. Dari 92 pasien yang masuk perawatan PICU, 25 anak (27,5%) menjalani transfusi PRC dengan total 38 episode transfusi selama bulan Oktober hingga Desember 2015. Tiga episode dieksklusi dari penelitian sehingga 35 episode transfusi PRC diikutsertakan dalam analisis. Sebagian besar pasien adalah anak lelaki (77,1%) berusia 1 bulan hingga 1 tahun (45,7%), dengan median usia 2,1 (rentang 0,2 ? 16,2) tahun. Rerata Hb pre- dan pascatransfusi adalah 7,7 + 1,46 dan 10,2 + 1,97 g/dL. Rerata ScvO2 dan O2ER pretransfusi normal, yaitu 73,8 + 6,46 % dan 0,25 + 0,070, dengan rerata pascatransfusi tidak berbeda bermakna untuk keduanya, yaitu 79,0 + 5,92 % dan 0,19 + 0,056. Perbedaan rerata DO2, CI, dan INO pre- dan pascatransfusi juga tidak bermakna secara klinis maupun statistik. Analisis subgrup yang menunjukkan perbedaan bermakna secara klinis adalah pada anak dengan ScvO2 pretransfusi < 70%. Subgrup ini menunjukkan rerata Hb pretransfusi 7,2 + 1,69 g/dL, dengan nilai ScvO2 pre- dan pascatransfusi sebesar 64,1 + 4,71 % (nilai p 0,181) serta O2ER pre- dan pascatransfusi 0,34 + 0,055 dan 0,21 + 0,080 (nilai p 0,152).
Simpulan. Studi terhadap praktek transfusi PRC di PICU RSCM tidak menunjukkan perubahan hemodinamik yang bermakna. Analisis lebih lanjut pada anak sakit kritis dengan nilai ScvO2 < 70% sebelum mendapatkan transfusi PRC cenderung menunjukkan perbaikan hemodinamik. Penelitian lebih lanjut mengenai ambang batas Hb atau ScvO2 untuk memutuskan pemberian transfusi PRC perlu dilakukan.

Background. Transfusion of packed red cells (PRC) often found in critically ill children, with the possibility of side effects is not uncommon. Later reports recommended a lower hemoglobin (Hb) for transfusion threshold, nevertheless the characteristics and transfusion guidelines PRC critically ill children in Indonesia is yet unknown.
Methods. This study was conducted on patients admitted to the pediatric intensive care unit (PICU) Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and underwent PRC transfusion. Hemoglobin level, central venous saturation (ScvO2), oxygen extraction ratio (O2ER), oxygen delivery (DO2), cardiac index (CI), and inotropic index (INO) were measured/calculated before and after transfusion.
Results Of the 92 patients admitted to the PICU, 25 children (27.5%) were given PRC transfusion with a total of 38 episodes of transfusion during October to December 2015. Three episodes were excluded from the study that 35 episodes of PRC transfusion were included in the analysis. Most patients were boys (77.1%) aged 1 month to 1 year (45.7%), with a median of age 2.1 (range 0.2 to 16.2) yearold. Mean Hb pre- and post transfusion were 7.7 + 1.46 and 10.2 + 1.97 g/dL. The average ScvO2 and O2ER before transfusion were still in normal range, i.e. 73.8 + 6.46 % and 0.25 + 0.070, without significantly different levels after transfusion, i.e. 79.0 + 5.92% and 0.19 + 0.056. The mean differences of DO2, CI, and INO pre- and post transfusion were neither clinically nor statistically significant. Subgroup analysis that revealed clinically significant difference was children with pretransfusion ScvO2 <70%. This subgroup mean pretransfusion Hb was 7.2 + 1.69 g/dL, with pre/post transfusion ScvO2 values of 64.1 + 4.71% (p-value 0.181) and pre/post post transfusion O2ER 0.34 + 0.055 and 0.21 + 0.080 (p-value 0.152).
Conclusions. Study on PRC transfusion practice in PICU RSCM showed no significant hemodynamic changes. Subgroup analysis of critically ill children with ScvO2 <70% before PRC transfusion indicated hemodynamic improvement. Further research on optimal transfusion thresholds, e.g. hemoglobin level or ScvO2, for PRC transfusion decision-making need to be done.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
"Latar Belakang : Penggunaan biomaterial graft mulai banyak dikembangkan. Namun autogenus bone graft masih merupakan pilihan utama dalam hal rekonstruksi hal ini terjadi karena pada autogenus graft tidak ada resiko terjadinya rejection atau ketidakcocokan donor dengan recipient . Pada defek mandibula, rekonstruksi autogenus yang digunakan terdapat 2 pilihan yaitu vascularized graft dan non vascularized graft. Di negara berkembang, khususnya di Indonesia, penggunaan vascularized bone graft sebagai penutupan defek belum banyak dilakukan akibat dari kurangnya alat dan keterbatasan operator. Selain itu prosedur vascularized bone graft merupakan prosedur yang rumit dan harus melibatkan tim. Pemilihan rekonstruksi defek yang lebih reliable yaitu dengan non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft ini memiliki beberapa keunggulan yaitu morbiditas donor site lebih kecil, tidak membutuhkan alat yang lebih kompleks dan tidak membutuhkan skill operator yang lebih besar, walaupun tingkat keberhasilannya kurang. Resiko resorpsi dan infeksi pada non vascularized graft lebih besar daripada vascularized graft. Semakin panjang non vascularized bone graft yang digunakan maka semakin kecil pula tingkat kesuksesan graft tersebut
Tujuan : Mengetahui pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft terhadap jumlah kolagen pada hewan model domba (Ovis aries).
Material dan Metode : Penelitian metode eksperimental analitik ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft terhadap jumlah kolagen pada hewan model domba (Ovis aries)
Kesimpulan : area kolagen pada PRP 3 minggu dengan Non PRP 3 minggu, dari hasil rata rata terdapat perbedaan yang bermakna.
Luas area kolagen pada PRP 6 minggu dengan Non PRP 6 minggu juga didapatkan hasil statistik yang berbeda bermakna secara signifikan. Begitu pula dengan perbandingan hasil data area kolagen PRP 3 minggu dengan PRP 6 minggu. Pada analisis sampel Non PRP 3 minggu dengan Non PRP 6 minggu terdapat perbedaan walaupun secara statistik memiliki ρ value yang tidak bermakna ρ = 0.051.

Background : The use of biomaterial graft began to be widely developed. However, autogenus bone graft is still the main choice in terms of reconstruction because in autogenus graft there is no risk of rejection or donor mismatch with recipient. In mandible defects, autogenus reconstruction is used there are 2 options namely vascularized graft and non vascularized graft. In developing countries, especially in Indonesia, the use of vascularized bone graft as a closure defect has not been done much due to lack of tools and operator limitations. In addition, the vascularized bone graft procedure is a complicated procedure and should involve the team. the selection of reconstruction of more reliable defects i.e. with non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft has several advantages namely smaller donor site morbidity, does not require more complex tools and does not require greater operator skills, although the success rate is less. The risk of resorption and infection in non vascularized graft is greater than vascularized graft The longer non vascularized bone graft is used the smaller the success rate of the graft Purpose: Knowing the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries) as animal model.
Materials and Methods: Research on this experimental analytical method was conducted to determine the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries) as animal model
Conclusion: collagen area in PRP 3 weeks with Non PRP 3 weeks, from the average result there is a meaningful difference. The area of collagen in PRP 6 weeks with Non PRP 6 weeks also obtained significantly different statistical results. Similarly, the results of the 3-week PRP collagen area data were compared to 6 weeks of PRP. In the analysis of non-PRP samples 3 weeks with Non PRP 6 weeks there was a difference although statistically no significant ρ value of ρ = 0.051.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evira Putricahya, authot
"Human platelet antigen (HPA) merupakan salah satu antigen yang berpengaruh dalam keberhasilan transfusi trombosit, selain human leukocyte antigen (HLA). Ketidakcocokkan HPA akan menyebabkan platelet transfusion refractoriness (PTR). Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa HPA alel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 15 sering dikaitkan dengan proses terjadinya PTR. Penelitian bertujuan untuk mengetahui frekuensi gen pada HPA alel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 15 pada populasi Indonesia dan membuat panel data HPA alel 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 15 dari donor, khususnya donor lestari, untuk peningkatan pelayanan transfusi trombosit di Indonesia. Genotyping dilakukan dengan menggunakan metode polymerase chain reaction- sequence specific primer (PCR-SSP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada populasi Indonesia, frekuensi gen HPA 1a dan 1b sebesar 0,97% dan 0.03%; frekuensi gen HPA 2a dan 2b sebesar 0,94% dan 0,06%; frekuensi gen HPA 3a dan 3b sebesar 0,52% dan 0,48%; frekuensi gen HPA 4a dan 4b sebesar 0,95% dan 0,05%; frekuensi gen HPA 5a% dan 5b% sebesar 0,97% dan 0,03%; frekuensi gen HPA 6a dan 6b sebesar 0,95% dan 0,05%; dan frekuensi gen HPA 15a dan 15b sebesar 0,51% dan 0,49%.

Human platelet antigen (HPA) is one of the antigens that influences the success of platelet transfusion, in addition to human leukocyte antigen (HLA). Human Platelet Antigen mismatch leads to platelet transfusion refractoriness (PTR). Based on previous research, it is known that the HPA alleles of 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 15, are linked to the PTR process. This aims of this research are to determine the genotypes of HPA alleles 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 15, and also to estimate the frequency of those alleles in Indonesia. The results will be put into the data panel, for improvement in platelet transfusion services for sustainable donors. Polymerase Chain Reaction-Sequence Specific Primers (PCR-SSP) was used in this research for allele detection. The result shows the frequency of those alleles are as follows; the frequency of HPA gene 1a and 1b are 0.97 and 0.03; HPA gene 2a and 2b are 0.94 and 0.06, HPA gene 3a and 3b are 0.52 and 0.48, HPA gene 4a and 4b are 0.95 and 0.05, GPA gene 5a and 5b are 0.97 and 0.03, HPA gene 6a and 6b are 0.95 and 0.05, and HPA gene 15a and 15b are 0.51 and 0.49.;Human platelet antigen (HPA) is one of the antigens that influences the success of
platelet transfusion, in addition to human leukocyte antigen (HLA). Human
Platelet Antigen mismatch leads to platelet transfusion refractoriness (PTR).
Based on previous research, it is known that the HPA alleles of 1, 2, 3, 4, 5, 6, and
15, are linked to the PTR process. This aims of this research are to determine the
genotypes of HPA alleles 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 15, and also to estimate the
frequency of those alleles in Indonesia. The results will be put into the data panel,
for improvement in platelet transfusion services for sustainable donors.
Polymerase Chain Reaction-Sequence Specific Primers (PCR-SSP) was used in
this research for allele detection. The result shows the frequency of those alleles
are as follows; the frequency of HPA gene 1a and 1b are 0.97 and 0.03; HPA gene
2a and 2b are 0.94 and 0.06, HPA gene 3a and 3b are 0.52 and 0.48, HPA gene 4a
and 4b are 0.95 and 0.05, GPA gene 5a and 5b are 0.97 and 0.03, HPA gene 6a
and 6b are 0.95 and 0.05, and HPA gene 15a and 15b are 0.51 and 0.49.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S52929
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>