Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19325 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu optimum isolasi nanokristalin selulosa bakterial dari limbah kulit nanas dan memperoleh nanokristalin selulosa bakterial serta karakterisasinya berdasarkan interpretasi data spektroskopi Fourier Transform InfraRed (FTIR), Transmission Electron Microscopy (TEM), dan X-Ray Diffraction (XRD). Sumber selulosa bakterial yang digunakan berasal dari hasil fermentasi bakteri Acetobacter xylinum. Metode yang digunakan untuk isolasi nanokristalin selulosa bakterial dengan cara hidrolisis menggunakan asam sulfat. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis diantaranya konsentrasi asam, waktu hidrolisis, rasio selulosa bakterial/asam dan suhu. Variasi waktu hidrolisis selama yaitu 5; 15; 25; 35; dan 45 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu hidrolisis optimum untuk isolasi nanokristalin selulosa bakterial dari limbah kulit nanas adalah 25 menit. Volume sol koloid nanokristalin selulosa bakterial yang dihasilkan sebanyak 70,20 mL. Hasil FTIR nanokristalin selulosa bakterial menunjukkan kemiripan gugus fungsi dengan selulosa bakterial limbah kulit nanas serta adanya sedikit perubahan struktur akibat perlakuan hidrolisis yaitu munculnya puncak serapan gugus fungsi C=C pada bilangan gelombang 1656,85 – 1627,92 cm-1 dan diperkuat dengan munculnya puncak serapan C-H sp2 vibrasi ulur pada bilangan gelombang 3132,40 cm-1 karena terjadinya proses eliminasi. Hasil TEM menunjukkan ukuran nanokristalin selulosa bakterial yang dihasilkan mempunyai dimensi rerata panjang 200 – 750 nm, lebar 10 – 25 nm dan aspek rasio 10 – 30 dengan bentuk partikel jarum. Besarnya aspek rasio yang didapatkan berpotensi untuk dijadikan reinforcing nanofiller pada polimer. Hasil pengukuran XRD diperoleh derajat kristalinitas sebesar 63,70%."
541 JSTK 5:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tanaman nanas (Ananas comosus) merupakan salah satu tanaman yang banyak ditanam oleh petani di Indonesia, terutama di daerah Sumatera dan Jawa. Pada tahun 2005 produksi nanas di Indonesia mencapai 925,082 ton dan 1.427,781 ton pada tahun 2006. Berdasarkan habitatnya, tanaman nanas dibagi menjadi empat jenis golongan antara lain: cayenne, queen, spanyol, dan abacaxi. Tanaman nanas jenis queen paling banyak ditemukan di Indonesia dan dimanfaatkan sebagai nata. Nata adalah biomassa yang sebagian besar terdiri dari selulosa, bentuknya menyerupai gel dan terapung pada permukaan media yang mengandung gula serta asam yang dihasilkan bakteri Acetobacter xylinum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi kondisi optimum yang mempengaruhi pembuatan produk nata de phina dari bonggol buah nanas dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pengenceran filtrat bonggol nanas, konsentrasi ekstrak bonggol nanas dan kacang hijau. Variabel untuk melihat kualitas nata de phina adalah ketebalan, massa, persen massa produk, dan kandungan gizi. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kondisi optimum pembuatan nata de phina dari bonggol nanas dengan menggunakan sumber nitrogen dari ekstrak kacang hijau, berada pada perbandingan volume pengenceran bonggol nanas 1:4 dengan variasi penambahan ekstrak kacang hijau 10%. Nata de phina dari bonggol nanas dengan penambahan sumber nitrogen alami ekstrak kacang hijau yang optimum, mempunyai ketebalan sebesar 0,91 cm, persen massa produk 60%, kadar monosakarida 0,2445%, kadar disakarida 0,3252%, kadar nitrogen 0,0278%, kadar protein 0,1613%, kadar air 95,3559%, dan kadar serat sebesar 3,5596%"
541 JSTK 5:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vogler, John
Mataram: NTB, 1983
658.567 VOG l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie Hapsari
"Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan salah satu tanaman yang dianggap sebagai gulma yang dapat merusak ekosistem. Untuk mengurangi efek negatif dan meningkatkan nilai tambah dari eceng gondok, tanaman ini digunakan sebagai salah satu sumber alternatif dalam pembuatan Carboxymethyl Cellulose (CMC) karena memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi. Proses pembuatan CMC meliputi beberapa tahapan yang dilakukan secara berurutan, yaitu alkalisasi, karboksimetilasi, netralisasi, purifikasi dan pengeringan. Dua tahap pertama dilakukan dengan mereaksikan serat selulosa eceng gondok yang telah diisolasi sebelumnya dengan NaOH dan ClCH2COOH dalam suatu media reaksi.
Pada penelitian ini digunakan campuran pelarut isobutil-isopropil alkohol. Kemudian, proses netralisasi dilakukan dengan menggunakan asam asetat, purifikasi dengan ethanol 96%, dan pengeringan dilakukan dengan memanaskan dalam oven pada suhu 60°C. Variasi variabel yang dilakukan pada penelitian ini, diantaranya konsentrasi NaOH sebesar 5%, 10%, 20%, 30% dan 35%, serta perbandingan komposisi media reaksi isobutil-isopropil alkohol sebesar 20 ml:80 ml, 50 ml:50 ml, dan 80 ml:20 ml.
Suhu reaksi karboksimetilasi yang ditetapkan ialah sebesar 55°C. CMC yang dihasilkan dikarakterisasi dengan pengukuran nilai Derajat Subtitusi (DS), kemurnian serta analisis gugus fungsional dengan menggunakan FTIR. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan CMC dengan nilai DS tertinggi sebesar 2,33 ada pada kondisi komposisi campuran isobutil-isopropil alkohol 20 ml:80 ml dan konsentrasi NaOH 10% serta rendemen 138,37%, dan kemurnian 94,02%.

Water hyacinth (Eichhornia crassipes) is a plant that is considered as a weed that can damage ecosystems. In order to reduce the negative effects and to increase the added value of water hyacinth, this plant is used as one of the alternative sources in producing carboxymethyl cellulose (CMC) as it has fairly high cellulose content. CMC producing process includes several stages that are performed sequentially, i.e. alkalization, carboxymethylation, neutralization, purification and drying. The first two stages performed by reacting cellulose fibers that has been previously isolated by NaOH and sodium monochloroacetate (ClCH2COONa) in a solvent medium.
This research uses a mixture of isobutyl-isopropyl alcohol as solvent. Then, the neutralization process is done by using acetic acid, purified with 96% ethanol, and drying stage is done by heating in an oven at a temperature of 60°C. Variations variables in this research, including NaOH concentration of 5%, 10%, 20%, 30% and 35%, and the ratio of composition-isobutyl isopropyl alcohol solvent at 20 ml:80 ml, 50 ml:50 ml, and 80 ml:20 ml.
Carboxymethylation reaction temperature is set at 55°C. CMC produced are characterized by measuring the value of (Degree of Substituion) DS, purity and functional group analysis using FTIR. Based on the results, the CMC with the highest DS value of 2.33 is at the condition of mixed composition isobutylisopropyl alcohol 20 ml: 80 ml and the concentration of NaOH 10%, yield of 138.37%, and purity of 94,02%.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47657
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Santoso
"Bakteri Acetobacter.xylinum merupakan bakteri Gram negatif yang mampu menghasilkan senyawa selulosa. Selulosa yang dihasilkan oleh bakteri tersebut memiliki derajat kemurnian yang tinggi dan layak untuk dikembangkan sebagai sumber alternatif penyediaan selulosa bagi berbagai bidang industri yang membutuhkannya.
Selulosa bakteri diperoleh dengan cara memfermentasikan substrat cair yang mengandung gula dengan menggunakan bakteri A. xylinum. Di negara asalnya, Filipina, fermentasi tersebut menggunakan limbah cair air kelapa dan dikenal sebagai produk nata de coco. Produk inipun dikenal di Indonesia dengan nama dagang sari kelapa.
Selain dikenal sebagai produk makanan seperti tersebut di atas, nata yang sebenarnya merupakan bacterial cellulose telah dikembangkan untuk berbagai kebutuhan. Pemanfaatan selulosa bakteri tersebut antara lain dalam bidang industri pembuatan kertas, membran akustik, obat-obatan, kosmetik dan produk makanan (Steinkraus 1983; Sudirjo 1985; Sanchez & Yoshida 1998).
Di Indonesia, produk makanan sari kelapa sudah cukup dikenal, terutama di kota-kota besar. Pembuatan produk tersebut, sebagian besar dilakukan secara industri skala rumah tangga, walaupun beberapa pabrik skala besar juga memproduksi sari kelapa. Pada umumnya, para pembuat sari kelapa kurang atau tidak melakukan proses produksi secara steril. Kendala yang muncul adalah, sering kualitas produk yang dihasilkan menurun atau bahkan kegagalan pada produksi. Hal tersebut dikarenakan tingginya tingkat kontaminasi dari bibit yang digunakan. Oleh karenanya, isolasi dan pemurnian bakteri A. xylinum yang digunakan dalam industri lokal tersebut merupakan hal yang utama.
Pemanfaatan bakterial selulosa bagi berbagai bidang industri membutuhkan kualitas produk yang stabil. Salah satu kendala yang juga akan dihadapi dalam pemanfaatan limbah bagi substrat fermentasi adalah kualitas substrat yang dapat sangat bervariasi. Untuk itu, dalam penelitian ini digunakan media fermentasi buatan yang komposisi dapat diatur dengan pasti."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Auliya Husni
"Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan serat rayon terikat silang
yang memiliki ketahanan terhadap kondisi asam dan basa dengan gugus
fungsional Akrilamida (AAm) dan Glisidil Metakrilat-Asam Iminodiasetat
(GMA-IDA). Percobaan ini menggunakan teknik ozonasi dalam udara untuk menghasilkan gugus peroksida dan hidroperoksida yang dapat menginisiasi reaksi kopolimerisasi cangkok. Serat rayon terozonasi dicangkok dengan agen pengikat silang N,N?-Metilendiakrilamida (NBA) dalam media gas N2 dengan berbagai variasi laju alir ozon, lama ozonasi, konsentrasi monomer, dan suhu reaksi untuk mengetahui kondisi optimal pencangkokkan NBA pada serat selulosa. Serat yang telah terikat silang melalui pencangkokkan NBA kemudian diuji ketahanannya dalam asam dan basa. Ozonasi selanjutnya pada serat yang telah terikat silang digunakan untuk mencangkokkan monomer. Pada pencangkokkan monomer AAm, didapatkan bahwa lama ozonasi pada pencangkokkan NBA untuk menghasilkan serat terikat silang,
berpengaruh pada kadar pencangkokkan AAm. Makin lama ozonasi untuk NBA, maka kadar pencangkokkan AAm menjadi berkurang. Pada
pencangkokkan GMA, didapatkan bahwa konsentrasi optimum GMA yang bisa tercangkok pada serat terikat silang adalah sebesar 30% GMA dengan suhu 60°C. Selanjutnya GMA yang sudah tercangkok pada serat terikat silang direaksikan dengan IDA menghasilkan R-co-NBA-g-(GMA-IDA). Spektrum FT-IR menunjukkan telah tercangkoknya monomer-monomer pada serat melalui pengamatan gugus fungsi yang ada.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S30492
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Habibi
"Pregelatinisasi pati singkong (PPS) mempunyai kemampuan mengembang yang baik akan tetapi daya ikatnya rendah,sehingga menyebabkan tablet menjadi rapuh, khususnya pada tablet cepat hancur. Untuk mengatasi kekurangan tersebut diantaranya adalah melalui modifikasi PPS dengan metode koproses. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat koprosesdari (PPS) dengan hidroksi propil metil selulosa(HPMC) yang selanjutnya digunakan dalam formulasi tablet cepat hancur.
Pada penelitian ini eksipien koproses dibuat dengan menggabungkan suspensi PPS dalam air dengan suspensi HPMC dalam air pada perbandingan 6:1, selanjutnya dikeringkan dengan drum dryer. Terhadap eksipien yang dihasilkan dilakukan evaluasi, selanjutnya digunakan dalam formulasi tablet cepat hancur. Proses pembuatan tablet menggunakan metode granulasi basah. Tablet cepat hancur dibuat 4 formula (formula ABCD), tablet yang dihasilkan dievaluasi sifat fisiknya yang meliputi kekerasan, keregasan, waktu pembasahan, waktu hancur sesuai dengan persyaratantablet cepat hancur yang baik.
Hasil evaluasi tablet yang dihasilkan menunjukkan hanya formula D yang dapat hancur sesuai dengan ketentuan Farmakope Eropa yaitu kurang dari 3 menit (88,16 ±10,61 detik), serta memiliki karakteristik sebagai berikut; kekerasan 1,73 kp ± 0,32, keregasan 0,69 ± 003,waktu pembasahan 142,66 ± 8,02 detik. Dapat disimpulkan bahwa hanya formula D memenuhi persyaratan tablet cepat hancur,baik sifat fisik maupun waktu hancur tablet.

Pragelatinized cassava starch (PCS) has a good ability to swelled but low binding capacity in tablet formulation, that causing the tablet to become brittle, especially in fast disintegrating tablets. To overcome the lack of them is through the modification of the PCS with the coprocess method. The purpose of this research was to create coprocess excipient from PCS with hydroxy propyl methyl cellulose (HPMC), then it was used in fast disintegrating tablets formulations by wet granulation method.
In this study an excipient coprocess was made by combining of PPS suspension in water with of HPMC suspension in water at a ratio of 6: 1, then dried with drum dryer. The excipient product was characterized of physical properties. After that, it used in fast disintegrating tablets formulations. The process of making the tablets was by wet granulation method in 4 formula (ABCD formula). The fast disintegrating tablets product was evaluated physical properties which include hardness, friability, wetting time, disintegrating time, in accordance with the requirements of a good fast disintegrating tablets.
The results of the evaluation of the resulting tablets indicate only formula D that can be disintegrated in accordance with the European Pharmacopoeia, which is less than 3 minutes (88,16 ± 10,61second), beside that another properties were; hardness 1.73 ± 0.32 kp, friability ± 0.69 003, wetting time 142,66 ± 8.02 seconds. The conclusion is formula D eligible as fast disintegrating tablets, not only physical properties but also disintegrating time.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S45345
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penggunaan alkohol di seluruh dunia tiap tahun semakin meningkat dimana salah satu kebutuhannya sebagai altematif energi semakin menggantikan posisi bahan bakar fosil yang kian berkurang. Seiring semakin menipisnya persediaan bahan bakar fosil maka setiap negara berlomba untuk mencari bahan baku serta proses altematif yang prospektif untuk dikembangkan serta dikomersilkan. Selama ini bahan altematif itu merupakan bahan organik yang diperoleh dari alam seperti starch jagung, ampas tebu, kayu, kertas dan juga kulit pisang.[1] Komponen bahan utama yang dibutuhkan adalah selulosa, karbohidrat (pati), lignin, hemiselulosa, dan rantai gula panjang Iainnya yang potensial untuk dikonversi menjadi etanol.
Penelitian ini akan bertujuan untuk melakukan perancangan awal produksi etanol dari bahan baku kulit pisang kepok dengan mengunakan metode hidrolisis dengan mengunakan asam, membahas sedikit tentang jenis pisang kepok yang baik, serta mengetahui kondisi operasi optimal fementasi. Asam yang digunakan adalah asam HCI 10% untuk mengubah pati menjadi gula yang diberi sebanyak dua kali berat sampel. Kemudian dilanjutkan tahap fermentasi dengan menggunakan ragi Sacharromyces cereviceae sebagai penghasil enzim untuk mengkonversi gula menjadi etanol. Variasi yang dilakukan adalah variasi jumlah ragi sebanyak 1,5 g dan 3 g per 50 ml sampel serta variasi Iamanya ferrnentasi antara 3 hingga 10 hari. Setealah dilakukan penyaringan, kadar alkohol dianalisa dengan menggunakan Gas Chromatography.
Dari variasi yang dilakukan diperoleh kadar alkohol tertinggi 14,7 % pada jumlah ragi 3 g per 50 ml sampel selama 6 hari fermentasi. Untuk ragi sebanyak 1, 5 g per 50 ml sampel pisang kuning diperoleh persamaan polinomial : Y=Y=0,0548X4-1,0867X3-11,029X R2=0,9286 Dan untuk ragi sebanyak 3 g per 50 ml sampel pisang kuning diperoleh persamaan : Y=-0,0686X5+2,3212X4-20,983X3+182,92X2-521,91X+561,81 R2=0,9712 Dengan Y=kadar alkohol dan X=waktu (hari) dengan rentang 3-10 hari."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
S49429
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianah Rosikhoh
"Potensi kandungan selulosa yang tinggi pada TKKS memungkinkan untuk digunakan dalam pembuatan selulosa mikrokristal. Selulosa mikrokristal merupakan eksipien farmasi yang sering digunakan dalam pembuatan tablet cetak langsung. Proses hidrolisis selulosa untuk menghasilkan selulosa mikrokristal sering kali menggunakan proses kimiawi, dimana energi aktivasi yang dibutuhkan tinggi dan kurang ramah lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kapang selulolitik yang optimal untuk digunakan dalam hidrolisis enzimatis selulosa TKKS sehingga dihasilkan selulosa mikrokristal.
Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri atas delignifikasi biomassa lignoselulosa TKKS, kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatis menggunakan selulase dengan optimasi durasi hidrolisis. Isolat selulolitik optimal yang didapatkan adalah isolat IHt. Sedangkan durasi hidrolisis enzimatis untuk menghasilkan selulosa mikrokristal yang optimum adalah selama 1 jam. Hasil hidrolisis enzimatis TKKS yang diperoleh masih berupa serat-serat dengan kandungan lignin yang tinggi, sehingga masih perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut.

High potential of cellulose in Oil Palm Empty Fruit Bunch (OPEFB) allowed to be used in the manufacture of microcrystalline cellulose. Pharmaceutical excipients microcrystalline cellulose is often used in the manufacture of tablet direct compression. Cellulose hydrolysis process to produce microcrystalline cellulose often use a chemical process, which required high activation energy and less environmentally friendly. The aim of this study is to get the best cellulolytic fungi for use in the enzymatic hydrolysis of cellulose OPEFB thus produced microcrystalline cellulose.
Stages of research conducted consisting of delignification of lignocellulosic biomass OPEFB, followed by enzymatic hydrolysis using cellulase with optimization of the duration. The best cellulolytic isolat obtained are IHt. While the duration of the enzymatic hydrolysis to produce optimum microcrystalline cellulose is for 1 hour. OPEFB enzymatic hydrolysis results obtained was in the form of fibers with high lignin content, so it still needs to be done further purification.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S61403
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mi`rajunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan enzim selulase dari kapang terpilih untuk pembuatan selulosa mikrokristal dari kulit buah kapuk. Alfa selulosa didapatkan melalui biodelignifikasi dan enzim selulase murni diperoleh dari galur kapang terpilih. Selulosa mikrokristal didapatkan melalui hidrolisis enzimatis dengan enzim selulase yang telah dimurnikan, lalu diidentifikasi dengan analisa kualitatif Fourier transformed infrared spectroscopy (FTIR), dan differential scanning calorimetry (DSC), diikuti oleh karakterisasi selulosa mikrokristal seperti x-ray diffraction (XRD), analisis ukuran dan distribusi partikel, dan pengukuran scanning electron microscope-energy dispersive x-ray (SEM-EDX). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biodelignifikasi terbaik dilakukan pada suhu 40˚C menghasilkan14,88% α-selulosa. Penicillium sp. sebagai kapang terpilih memiliki aktivitas selulase tertinggi dengan indeks selulolitik 4,83 dan aktivitas selulase sebesar 0,04299 U/mL. Fraksi pertama digunakan untuk hidrolisis memiliki aktivitas tertinggi yaitu 649,68 mU/mL. Hasil identifikasi FTIR menunjukkan kemiripan diagram dengan Avicel PH 101 dengan titik lebur 244,580˚C. Karakterisasi XRD menunjukkan kristalinitas pada 2 puncak 2Ɵ (deg) nilai 22,58 dengan intensitas 634 dan nilai 21,85 dengan intensitas 51. Susut pengeringan 3,74%, derajat keasaman pH 7,0, ukuran partikel antara 13,06 hingga 196,79μm, kerapatan serbuk ruah 0,111 g/cm3, serbuk mampat 0,235 g/cm3, laju alir cukup baik, SEM-EDX menunjukkan bentuk morfologi selulosa mikrokristal kulit buah kapuk berbentuk memanjang. Selulosa mikrokristal kulit buah kapuk telah menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan referensi dan dapat dikembangkan lebih lanjut.

This study aims to obtain cellulase enzymes from selected molds for microcrystalline cellulose preparation from α-cellulose of kapok pericarpium. Alpha cellulose was obtained by biodelignification and the purified cellulase was obtained from selected mold. The Microcrystalline cellulose that obtained from enzymatic hydrolysis then identified by qualitative analysis, Fourier transformed infrared spectroscopy (FTIR), and differential scanning calorimetry (DSC), followed by characterization of microcrystalline cellulose includes X-Ray Diffraction (XRD), Particle Size and Distribution Analysis (PSA), and Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-ray (SEM-EDX). Biodelignification carried out at a temperature of 40C produced 14.88% α-cellulose, Penicillium sp. as the selected mold had the highest cellulase activity with a cellulolytic index of 4.83 and cellulase activity of 0.04299 U/mL. The first fraction used for hydrolysis had the highest activity of 649.68 mU/mL. FTIR identification showed a similarity with Avicel PH 101 with a melting point of 244.580C. XRD characterization was showed the crystallinity at 2 peaks 2Ɵ (deg) 22.58 with intensity 634 and 21.85 with intensity 51. Loss on drying was 3.74%, pH was 7.0, particle size ranged from 13.06 to 196.79 um, bulk density and tapped density were 0.111 g/cm3 and 0.235 g/cm3, the flow rate character is quite good, and SEM-EDX was showed that the morphological shape of the microcrystalline cellulose of the kapok pericarpium is elongated. Microcrystalline cellulose has shown a difference in characteristic and can be furthered.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>