Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162630 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 234-238
C-Reactive Protein and serum lipids are correlated with atherosclerosis. This purpose of this study was to prove that increasing level of hs-CRP and serum lipids were corelated with periodontitis. This was a cross-sectional approach with 63 samples. Periodontitis was determined if the pocket depth (PD) was more than 4 mm and the attachment loss (AL) was more than 2 mm. Serum lipids and hs-CRP was analized by enzymatic method and clemiluminescent (immulite hs-CRP) alternatively. With unpaired t test it has showed that there was a difference level of hs-CRP and total cholesterol in periodontitis and non-periodontitis. It was found that there was a significant positive correlation between (PD r=0.26), AL (r=0.25) with hs-CRP serum level; and PD (r=0.27), AL (r=0.30) with total cholesterol and LDL. It was concluded that there is a possibility that there is a possibility that there is a relationship berween periodontitis and atherosclerosis."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Citra Setiawan Hoei
"Pada era modern ini, terdapat perubahan drastic dalam pola makan sehari-hari. Kebanyakan orang cenderung mengkonsumsi lebih banyak makanan siap saji dan minuman dengan pemanis rasa karena kepraktisan dan harga yang relatif murah dengan rasa yang cukup memuaskan. Makanan dan minuman tersebut mengandung banyak gula dan minyak yang kemungkinan dapat menyebabkan berbagai kelainan dalam tubuh terutama di hati. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji akibat dari konsumsi gula dan minyak yang berlebihan terhadap kadar glukosa dan kolesterol dalam darah serta perubahan yang terjadi pada hati. Penelitian dilakukan dengan metoda eksperimental dengan menggunakan dua puluh tikus jenis Sprague Dawley dibagi menjadi 4 grup; 2 kontrol dan 2 terapi. Subjek kemudian dicekok dengan 5 ml gula atau minyak secara bergantian setiap 2 hari. Data yang dikumpulkan termasuk kadar glukosa dan kolesterol darah yg diambil 3 hari sekali serta persentase lemak dalam hati dan penebalan dinding pembuluh darah. Setelah 1 bulan intervensi, grup terapi 1 menunjukkan penaikkan yang signifikan pada kadar glukosa, kolesterol, persentase deposisi lemak dan jumlah penebalan pembuluh darah (p<0.05). Hasil yang serupa juga didapatkan untuk kadar glukosa dan kolesterol pada grup terapi 2. Namun, pada grup ini, hasil persentase deposisi lemak dan jumlah penebalan pembuluh darah tidak signifikan (p>0.05). Walaupun terdapat peningkatan pada kadar glukosa dan kolesterol, peningkatan tersebut masih dalam batas normal. Peningkatan yang signifikan pada kadar lemak hati dan penebalan pembuluh darah dapat menyebabkan perlemakan hati dan atherosklerosis.

Global modernization has induced remarkable changes in eating pattern. People nowadays tend to consume more fast food and sweetened beverages as they are convenience and widely available, less time and money consuming with satisfactory tastes. These foods as well as beverages usually contain high amount sugar and fat that have effects on the body including liver. This study was conducted to explore the effects of extensive intake of sugar and fat on blood glucose and cholesterol level as well as changes in liver. Research was conducted with experimental method using twenty Sprague Dawley rats which were divided into 4 groups; 2 controls and 2 treatments. Rats were given 5 ml sugar or lard alternatively every 2 consecutive days for 1-month and 2-month respectively. Data retrieved include blood glucose and cholesterol level taken every 3 days as well as fatty liver percentage and blood vessel thickening after intervention through HE staining. After 1-month intervention, treatment group1 has significant increase in blood glucose, blood cholesterol level, percentage of fatty liver and number of thickened blood vessels (p<0.05). Likewise, 2-month intervention group also reported increase in blood glucose level and blood cholesterol level (p<0.05). However, there were no significant differences in fatty liver percentages and blood vessels thickening in the 2-month group (p>0.05). Although there were increases in blood glucose and cholesterol level, these increases were still within normal limits. Fat deposition and amount of thickened blood vessels were significantly increased after intervention that may progress to hepatic steatosis and atherosclerosis. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ela Laelasari
"Pendahuluan: Etiopatologi aterosklerosis terkait dengan pencemaran lingkungan dan telah menjadi bukti yang mendasar dari studi epidemiologi. Zat karsinogenik Benzo[ a] pyrene (B[a]P), satu dari kontaminan lingkungan merupakan faktor risiko untuk aterosklerosis dan kerusakan DNA. Kemampuan dari polutan tersebut mendasari perkembangan penyakit dengan cara mengubah pola ekspresi gen seperti CYP1A1*2A dan GSTM1. Penelitian cross- sectional ini bertujuan untuk mengevaluasi efek hubungan antara genetika dan lingkungan yang secara bersamasama (interaksi) berperan pada munculnya risiko aterosklerosis dan kerusakan DNA.
Metodologi: Pemetaan gen menggunakan metoda PCR - RFLP dan multipleks digunakan untuk mengamati gen yang berperan dalam biotransformasi B[a]P serta hubungannya dengan aterosklerosis dan kerusakan DNA. Metoda ELISA menganalisis variabel dependen yaitu oksidasi - LDL (Ox-LDL ) sebagai biomarker status plak aterosklerosis sementara 8 - hidroksi - '2 - deoxyguanosine (8-OHdG) sebagai biomarker kerusakan DNA dan metabolit B[a]P menggunakan Ultralight Performance Chromatography Mass - Spektrofotometri (UPLC-MS/MS) untuk mengevaluasi dampak pada 151 petugas penjaga pintu gerbang tol di Jakarta. Analisa Cox Regresi yang terkondisikan (conditional Cox resression) multivariat menganalisis hubungan antara faktor genetik,pajanan lingkungan B[a]P, demografi , gaya hidup dan latar belakang pekerjaan dengan aterosklerosis dan kerusakan DNA. Besaran Interaksi (ICR) digunakan untuk mengukur efek yang dihasilkan dari faktor genetik dan pajanan lingkungan dalam skala aditif, yang secara bersama-sama memunculkan risiko aterosklerosis dan kerusakan DNA.
Hasil: Ditemukan interaksi CYP1A1-B[a]P berhubungan positif terhadap ateroskelrosis (Ox-LDL) (ICRPR= 0,09) dalam skala aditif dibawah model multiplikatif. Diperoleh efek interaksi positif (ICR>0) dalam skala aditif dibawah bentuk multiplikatif antara GSTM1? B[a]P (ICR-PR=0,09) pada risiko kerusakan DNA. Pengukuran interaksi genetik dan lingkungan dalam skala aditif lebih mendekati kepentingan kesehatan masyarakat.

Introduction: The etiopathology of atherosclerosis is linked in part to environmental pollution has become a substantial evidence from epidemiological studies. Benzo[a]pyrene (B[a]P), as one of carcinogenic substances from environmental contaminants is risk factors for atherosclerosis and DNA damage due to it?s mechanism may exacerbate an underlying disease by altering gene expression such as CYP1A1*2A and GSTM1. This cross-sectional study aimed to observe the interaction between genetics and environmental jointly risk factors that play in role in causation of atherosclerosis and DNA damage.
Methodology: PCR-RFLP and multiplex genotyping used to observed genes that play inrole of biotransformation of B[a]P induced in disseases association with atherosclerosis while the ELISA analyse for oxidized-LDL (Ox-LDL) observed plaque status in atherosclerosis among 151 respondents of tol gate workers in Jakarta. Ultralight Performance Chromatography-Mass Spectrophotometry (UPLC-MS) determine both 8-hydroxy-?2-deoxyguanosine (8-OHdG) observed DNA damage and 1-Hydroxypyrene (1-OHP) was performed to observe impact of BaP. Multivariate conditional Cox? regression was analyzed the association between genetics patern, demographic , life style and occupational background with atherosclerosis and DNA damage. The Interaction Contrasts Ratio (ICR) evaluated the efect risen from interaction.
Result: The estimated interaction contrast ratio (ICR) was 0,09 in additive scale under multiplicative model (ICR > 0) between CYP1A1 and B[a]P on the risk of atherosclerosis. Additive interaction under multiplicative model between GSTM1 and B[a]P, with ICR 0,09 on the risk of DNA Damage.Interaction between gene-environment in additive scale is more appropriate for public health interest.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
D1461
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendi Asmara
"Latar Belakang. Proses aterosklerosis menjadi penyebab kematian dan morbiditas utama dan berkaitan dengan penyakit jantung koroner (PJK) yang merupakan implikasi klinis proses aterosklerosis. Hipertensi dan dislipidemia menjadi salah satu faktor risiko proses aterosklerosis. Pemeriksaan ketebalan intima-media karotis (KIMK) dapat menjadi prediktor gangguan kardiovaskuler di kemudian hari. Studi Framingham merupakan penelitian yang memprediksi PJK dengan menggunakan kategori faktor risiko dan telah digunakan secara luas pada populasi yang berbeda. Populasi yang berbeda belum tentu memberikan perbedaan hasil analisis terhadap faktor risiko aterosklerosis.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan rasio LDL-HDL dengan plak karotis pada populasi hipertensi di Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Metode. Ini adalah penelitian potong lintang. Data dianalisis menggunakan regresi logistik dengan melihat besar dari nilai rasio odds (odds ratio, OR) 95% interval kepercayaan (confidence interval, CI), dan nilai p.
Hasil. Subyek penelitian sebanyak 115 orang terdiri atas 56 (48,7%) laki-laki dan 59 (51,3%) perempuan dengan rerata usia 47,61±7,92 tahun. Jenis kelamin laki-laki yang memiliki KIMK ≥ 1,5 mm lebih banyak dengan proporsi 0,72±0,46 (95% CI 0,57-0,87 ; p=0,0003). Kemungkinan kejadian plak meningkat pada quartile rasio LDL-HDL kolesterol yang lebih besar. Analisis quartile >75% terhadap kejadian plak dibandingkan quartile lebih rendah memberikan OR 4,15 (95% CI 1,74-9,89; p=0,001) dan setelah disesuaikan tetap menunjukkan kemungkinan kejadian plak lebih besar (OR 3,95; 95% CI 1,39-11,22; p=0,01). Didapatkan area under curve 0,8262.

Background. Atherosclerosis had become main problem in mortality and morbidity and related with coronary heart disease as a clinical implication of atherosclerosis process. Hypertension and dyslipidemia had become risk factors for atherosclerosis process. Carotid intima-media thickness (CIMT) measurement could be a predictor for future cardiovascular disease. Framingham study was an experiment that predicted coronary heart disease using risk factor categories and had been used widely in many regions in the world with various population. A different population might not always give different result related with atherosclerosis process.
Aim of study. To see the relaionship of LDL-HDL ratio with carotid plaque among hypertensive population in Mlati, Sleman, DIY.
Method. This is a cross-sectional syudy. Data were analyzed with logistic regression by seeing odds ratio (OR), 95% confidence interval (CI), and p value.
Result. There were 115 subjects in this experiment with 56 (48,7%) male and 50 (51,3%) female with age rate was 47,61±7,92 years old. Male subjects with CIMT value ≥1,5 mm were higher than female with proportion of 0,72±0,46 (95% CI 0,57- 0,87; p=0,0003). The possibility of plaque increased in subjects with higher LDL- HDL ratio. Analyzis of >75% quartile compared with lower quartile gave OR 4,15 (95% CI 1,74-9,89; p=0,001) and after being adjusted still gave higher possibility of plaque (OR 3,95; 95% CI 1,39-11,22; p=0,01). Area under curve was 0,8262.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Masra Lena
"Latar belakang: Kejadian aterosklerosis pada pasien artritis reumatoid (AR) dilaporkan semakin lama semakin meningkat. Penyebab aterosklerosis pada AR tidak hanya disebabkan oleh faktor risiko tradisional, akan tetapi antibodi anti-CCP yang merupakan autoantibodi spesifik pada AR juga berperan dalam patogenesis aterosklerosis. Data prevalensi aterosklerosis dan penelitian mengenai hubungan antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis belum pernah dilakukan pada populasi pasien AR di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui prevalensi aterosklerosis pada pasien AR dan menentukan asosiasi antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis pada pasien AR.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive. Subjek penelitian adalah pasien AR dewasa berusia diatas 18 tahun yang didiagnosis sesuai kriteria ACR/ EULAR 2010 yang datang berobat ke Poliklinik Reumatologi RSCM pada bulan September 2012 sampai Maret 2013. Antibodi anti-CCP diperiksa dengan metode ELISA. Adanya aterosklerosis ditentukan melalui pemeriksaan USG karotis bilateral yang dilakukan oleh satu orang operator dan tidak mengetahui latar belakang klinis pasien. Hubungan antara anti-CCP dengan aterosklerosis dinilai dengan menghitung crude odds ratio (OR) disertai interval kepercayaan (IK) 95%-nya. Peran variabel perancu dinilai dengan menggunakan analisis regresi logistik untuk mendapatkan adjusted OR.
Hasil: Dari 86 subjek penelitian didapatkan 90,7% berjenis kelamin perempuan dengan median usia 49,5 (rentang 20 sampai 70) tahun. Prevalensi aterosklerosis didapatkan sebesar 50% (IK95% 0,39 – 0,61). Proporsi aterosklerosis pada kelompok subjek dengan antibodi anti-CCP positif (51,5%) tidak jauh berbeda dengan kelompok antibodi anti-CCP negatif (49,1%). Setelah disesuaikan dengan beberapa variabel perancu, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis (adjusted OR 1,197; IK95% 0,43 - 3,29).
Simpulan: Prevalensi aterosklerosis pada pasien AR sebesar 50% (IK95% 0,39 - 0,61). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara antibodi anti-CCP dengan aterosklerosis pada pasien AR.

Background: Atherosclerosis is markedly increased in patients with rheumatoid arthritis (RA). Traditional risk factors not only account for atherosclerosis but also autoantibodies in RA especially anti-cyclic citrullinated peptides (anti-CCP) is the one of autoantibody highly specific for RA play a role in the pathogenesis of atherosclerosis. However, in Indonesia there was no data regarding the prevalence of atherosclerosis in RA patients.
Objectives: The aim of this study was to described the prevalence of atherosclerosis and to determine the association of anti-CCP antibodies with atherosclerosis in RA patients.
Methods: A cross sectional study was conducted in Rheumatology outpatient clinic Department of Internal Medicine, Cipto Mangunkusumo Hospital with consecutive sampling. Study subjects were recruited from September 2012 to March 2013 that RA patients diagnosed according to American College of Rheumatology (ACR)/ European League Againts Rheumatism/ (EULAR) 2010 criteria. Anti-CCP antibodies was determined by enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) test. Carotid intima-media thickness represent of atherosclerosis was measured by using Ultrasound (USG B-mode) and it was done by one independent operator without knowing clinical background of the patients. Association of anti-CCP with atherosclerosis was performed by chi-square test in order to get crude odds ratio (OR) with CI95% and logistic regression test was assigned to obtain adjusted OR.
Results: Out of eighty six RA patients aged 20 to 70 years old revealed in this study with median age 49.5 years and female gender as the commonest (90.7%). Fourty three (50%; CI95% 0.39 to 0.61) RA patients had carotid atherosclerosis. Atherosclerosis in RA patients with anti-CCP positive was seen in 51.5% and 49.1% in anti-CCP negative. After a set of adjustment towards the confounding factors, there was no significant association between anti-CCP antibodies and atherosclerosis (adjusted OR 1.197; CI95% 0.43 to 3.29).
Conclusion: This study demonstrates that the prevalence of atherosclerosis in RA patient is 50% (CI95% 0.39 to 0.61). The role of anti-CCP antibodies and atherosclerosis in patients with RA did not hold in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Rilo Pambudi
"Latar Belakang: Aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas penderita artritis reumatoid (AR) Pemeriksaan ketebalan intima media (KIM) arteri karotis dengan ultrasonografi B-mode merupakan surrogate marker aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular.
Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada 86 subyek penderita AR yang memenuhi kriteria EULAR/ACR 2010 yang berobat di Poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Aterosklerosis didefinisikan jika ditemukan pada pemeriksaan ultrasonografi KIM ≥ 1,0 mm pada salah satu : a. karotis komunis, a. karotis interna atau bulbus karotis sisi kanan atau kiri. Plak aterosklerosis didefinisikan jika didapatkan abnormalitas pada tebal KIM, bentuk dan atau tekstur dinding arteri.
Hasil: Aterosklerosis dan plak aterosklerosis masing-masing didapatkan pada 47 subyek (47,7%) dan 25 subyek (29,0%).Usia ≥ 40 tahun, adanya hipertensi, lama sakit ≥ 24 bulan pada analisis multivariat mempergunakan regresi logistik didapatkan berhubungan bermakna dengan aterosklerosis dengan RO (95%KI) masing-masing 10,70 (2,93-39,10), 4,99 (1,15-21,61) dan 3,66 (1,11-11,99). Adanya hipertensi, adanya anti-CCP dan usia ≥40 tahun berhubungan bermakna dengan plak aterosklerosis dengan RO (95%KI) masing-masing 3,96 (1,15-13,57), 3,20 (1,11-9,24) dan 3,61 (1,03-12,63).
Kesimpulan: Proporsi aterosklerosis dan plak aterosklerosis masing-masing didapatkan 47,7 % dan 29 %. Usia ≥ 40 tahun, adanya hipertensi dan lama sakit ≥ 24 bulan berturut-urut merupakan prediktor adanya aterosklerosis sementara adanya hipertensi, antibodi anti-CCP dan usia ≥ 40 tahun merupakan prediktor adanya plak aterosklerosis.

Background: Atherosclerosis and cardiovascular diseases have been known as the cause of increasing mortality among rheumatoid arthritis (RA) patients. Carotid intima media thickness (CIMT) measurement by B-mode ultrasound have been used as surrogate marker of atherosclerosis and cardiovascular disease.
Method: A cross sectional study involving 86 RA patients fulfill EULAR/ACR 2010 critera was conducted at Rheumatology Clinic FMUI/Cipto Mangunkusumo Hospital. CIMT examinations were perform at right and left side of carotid artery. Atherosclerosis was define if we found CIMT ≥ 1,0 mm at one of CCA, or ICA or carotid sinus. Plaque atherosclerosis presence if 1 of the following 3 criteria were met: abnormal wall thickness, abnormal shape, and abnormal wall texture.
Result: Atherosclerosis and plaque was found in 47,7% and 29 % of patients. Age ≥ 40 years old, hypertension and duration of illness ≥ 24 months were associated with atherosclerosis in multivariate logistic regression analysis with OR (95%CI) 10.70 (2.93-39.10), 4.99 (1.15-21.61) and 3.66 (1.11-11.99) respectively. Whereas hypertension, presence of anti-CCP antibody and age ≥ 40 years old, were associated with plaque formation with OR (95%CI) 3.96 (1.15-13.57), 3.20 (1.11-9.24) and 3.61 (1.03-12.63) respectively.
Conclusion: Proportion of atherosclerosis and plaque atherosclerosis were 47.7% and 29%. Age ≥ 40 years old, hypertension and duration of illness ≥ 24 months was the predictors of atherosclerosis, while hypertension, presence of anti-CCP antibody and age ≥ 40 years old was the predictors of plaque atherosclerosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levina Mulya
"Latar Belakang: Periodontitis kronis mempunyai prevalensi yang sangat tinggi. Baru-baru ini, ada tipe baru fototerapi non bedah untuk mengeliminasi bakteri dinamakan terapi fotodinamik.
Tujuan: Menganalisis efek terapi fotodinamik setelah SPA pada periodontitis kronis.
Metode: Desain split-mouth menerima SPA dengan atau tanpa terapi fotodinamik. BOP, kedalaman poket, dan kehilangan perlekatan diperiksa pada awal dan 1 bulan.
Hasil: Terjadi penurunan kedalaman poket dan peningkatan perlekatan, yang lebih besar dibandingkan sisi kontrol (p<0,05). Pada BOP terjadi penurunan hampir sama dengan sisi kontrol.
Kesimpulan: Tindakan SPA + terapi fotodinamik dibandingkan SPA saja terbukti menyebabkan perubahan efek klinis yang lebih baik pada penurunan kedalaman poket periodontal dan meningkatkan perlekatan gingiva.

Background: Chronic periodontitis has a very high prevalency. Recently, there is a new type of non-surgical phototherapy to eliminate bacteria called photodynamic therapy.
Aim: Analyzing the effects of photodynamic therapy after SPA in chronic periodontitis.
Methods: split-mouth design receives SPA with or without photodynamic therapy. BOP, pocket depth, and attachment loss examined at baseline and 1 month.
Results: There was a decrease in pocket depth and increasing clinical attachment, which is greater than the controls (p <0.05). In BOP decreased nearly equal to the control side.
Conclusions: Measures SPA + photodynamic therapy have better clinical effect on periodontal reduction pocket depth and increased gingival attachment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T33113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benso Sulijaya
"Latar Belakang: Periodontitis kronis merupakan penyakit multifaktorial yang terjadi akibat interaksi respon host terhadap agregasi bakteri pada poket gingiva. Peran human beta-defensin-1 sebagai peptida antimikroba pada perokok dengan periodontitis kronis masih belum jelas.
Tujuan: Menganalisa kadar Human beta defensin-1 pada perokok penderita periodontitis kronis.
Bahan dan Metode: Seratus empat subjek berusia 33-78 tahun didiagnosis periodontitis kronis pada Departemen Periodonsia, Rumah Sakit Khusus Gigi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Penelitian ini merupakan desain penelitian potong lintang dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Pengumpulan data di dapat secara anamnesis, pemeriksaan klinis (OHIS, kedalaman poket, CAL) serta status merokok. Sampel lalu disimpan di suhu -20°C hingga uji laboratoris dilakukan. Sampel dipilih secara consecutive sampling dan dideteksi dengan uji ELISA.
Hasil: Berikut adalah nilai median (minimum-maksimum) dari kadar human beta-defensin-1. Kadar human beta-defensin-1 pada kelompok periodontitis kronis kelompok ringan-sedang adalah 57,61(.87-343.58) pg/ml sedangkan pada kelompok berat adalah 25,04(0.94-198.03) pg/ml dengan nilai kemaknaan p=0,087. Kadar human beta-defensin-1 pada periodontitis kronis bukan perokok adalah 27,82 (0.92-200.58) pg/ml sedangkan pada perokok adalah 25,04 (0.87-343.58) pg/ml dengan nilai kemaknaan p=0,457.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar human beta-defensin-1 pada periodontitis kronis terkait keparahan dan status perokok.

Background: Chronic periodontitis is a multifactorial disease that occurs due to the host response to the aggregation of bacteria in the gingival pocket. The role of human beta-defensin-1 as an antimicrobial peptide in a smoker’s periodontitis is still unclear.
Materials and Methods: In total 104, 33-78 years old subjects were diagnosed to have chronic periodontitis in the Department of Periodontology, Oral Disease Special Clinic of The University of Indonesia. This cross-sectional study included clinical and laboratory examination. The data collected included those from anamnesis, clinical examination (OHIS, pocket depth, CAL), and smoking status. The samples were stored in -20oC until testing for human beta-defensin-1 level by ELISA.
Results: The median (min-max) human beta-defensin-1 level in the group of mild to moderate chronic periodontitis was 57.61 (0.87-343.58) pg/ml and in the group of severe periodontitis 15.27 (0.94-198.03) pg/ml (p=0.087). The median (min-max) human beta-defensin-1 level in non-smokers with chronic periodontitis was 27.82 (0.92-200.58) pg/ml, and in smokers 25.04 (0.87-343.58) pg/ml (p=0.457).
Conclusion: There were no significant differences in the human beta-defensin-1 levels in subjects with chronic periodontitis regardless of the smoking status or severity of the disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Puspita Dewi
"Periodontitis adalah penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik, sehingga menghasilkan kerusakan pada jaringan periodontal. Kondisi sistemik dan peningkatan usia akan memengaruhi jaringan periodontal karena adanya perubahan sistem pertahanan imun dan inflamasi tubuh. Klasifikasi penyakit periodontal terus mengalami perkembangan. Klasifikasi yang masih digunakan saat ini adalah klasifikasi dari American Academy of Periodontology (AAP) tahun 1999. Setelah hampir dua puluh tahun klasifikasi AAP 1999 digunakan di dunia, ternyata dalam penggunaannya di klinik banyak terdapat berbagai kekurangan. Pada 2017, AAP mempublikasikan klasifikasi terbaru mengenai penyakit serta kondisi periodontal dan periimplan. Periodontitis diklasifikasikan berdasarkan stage dan grade. Penelitian mengenai distribusi periodontitis berdasarkan penyakit periodontal dengan klasifikasi AAP tahun 2017 belum dilakukan di Indonesia, terutama distribusi berdasarkan kondisi dan penyakit sistemik pasien serta hubungannya dengan usia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi periodontitis serta hubungannya dengan usia menurut klasifikasi penyakit periodontal berdasarkan AAP 2017 pada pasien dengan kondisi dan penyakit sistemik di RSKGM FKG UI. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik cross sectional untuk distribusi penyakit periodontal pada pasien dengan kondisi dan penyakit sistemik serta hubungannya dengan usia menurut klasifikasi penyakit periodontal berdasarkan AAP 2017 yang didapat dari 331 rekam medis RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2014-2019. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS dengan analisis univariat yang dilakukan untuk menggambarkan distribusi serta analisis bivariat Kendall untuk menggambarkan korelasi stage dan grade dengan usia. Berdasarkan hasil penelitian, persentase klasifikasi periodontitis tertinggi pada seluruh subjek penelitian adalah stage III grade C (39,9%), pada subjek dengan kondisi merokok adalah stage III grade C (52,7%), serta pada subjek penelitian dengan diabetes mellitus, hipertensi adalah stage III grade B, dengan persentase secara berurut 45,8% dan 45,7%. Pada pasien dengan kondisi dengan penyakit sistemik, peningkatan usia berbanding lurus dengan stage periodontitis dan berbanding terbalik dengan grade periodontitis. Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian ini yakni klasifikasi AAP 2017 menjelaskan periodontitis lebih spesifik karena mempertimbangkan tingkat keparahan, riwayat progresi periodontitis, kemungkinan risiko progresi periodontitis di masa mendatang, serta penilaian risiko penyakit dapat mempengaruhi kondisi tubuh secara umum, klasifikasi ini dapat digunakan pada RSKGM FKG UI.

Periodontitis is an inflammatory disease caused by specific microorganisms, resulting in damage to the periodontal tissue. Systemic conditions and aging will affect the periodontal tissue due to changes in the immune defense system and inflammation of the body. Classification of periodontal disease continues to develop. The classification that is commonly used today is the classification from the American Academy of Periodontology (AAP) in 1999. After almost twenty years of AAP 1999 classification used worldwide, it turns out that there were many shortcomings in its use. In 2017, AAP published the latest classification of diseases and periodontal and periimplinary conditions. Periodontitis is classified by stage and grade. Research on the distribution of periodontitis based on periodontal disease with AAP classification in 2017 has not been conducted in Indonesia, especially distribution based on the condition and systemic disease of patients as well as its relationship with age. This study was conducted to determine the distribution of periodontitis and its relationship with age according to the classification of periodontal diseases based on AAP 2017 in patients with systemic conditions and diseases in the RSKGM FKG UI. This study uses descriptive analytic cross-sectional analysis for the distribution of periodontal disease and its correlation with aging in patients with systemic conditions and diseases based on AAP 2017 classification of periodontal diseases which obtained from 331 medical records of RSKGM FKG UI in the 2014-2019 visit. Data analysis in this study was carried out using SPSS with univariate analysis conducted to describe the distribution and bivariate analysis of Kendall to describe stage and grade correlation with age. Based on the results of the study, the highest percentage of periodontitis classification in all study subjects was stage III grade C (39.9%), in subjects with smoking conditions was stage III grade C (52.7%), and in research subjects with diabetes mellitus, hypertension is stage III grade B, with sequential percentages of 45.8% and 45.7%. In patients with systemic condition and disease, increases of age are directly proportional to stage periodontitis and inversely proportional to grade periodontitis. The conclusion that can be drawn from this research is that the 2017 AAP classification explains periodontitis more specifically because it considers the severity, history of periodontitis progression, possible risk of progression of periodontitis in the future, and assessment of disease risk can affect general body condition, this classification can be used in RSKGM FKG UI."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hj. Sofa Inayatullah
"Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis, dengan fenomena Koebner dan tanda Auspitz. Salah satu faktor pemicu yang diduga berperan adalah infeksi. Periodontitis merupakan infeksi yang terjadi pada jaringan periodontal dan dapat menjadi fokus infeksi. Penelitian untuk mengetahui proporsi periodontitis pada pasien psoriasis belum pernah dilakukan di Indonesia dan belum ada penelitian yang melaporkan korelasi derajat keparahan psoriasis dengan kedalaman poket periodontal.
Tujuan: Mengetahui proporsi kasus periodontitis pada pasien psoriasis vulgaris dan korelasi antara derajat keparahan psoriasi dengan kedalaman poket periodontal.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada bulan Juli-November 2017 di poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan poliklinik Gigi dan Mulut Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Pemilihan sampel dilakukan secara consecutive sampling dengan jumlah sampel 34 pasien. Anamnesis dan pemeriksaan fisis lesi kulit dilakukan oleh peneliti, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan gigi dan mulut oleh dokter gigi spesialis Periodontologi.
Hasil : Didapatkan total 34 subjek dengan median usia 37,5 tahun 19-58 tahun . Subjek terdiri atas 20 pasien 58,8 dengan psoriasis derajat ringan dan 14 pasien 41,2 dengan psoriasis derajat sedang-berat. Hasil didapatkan 16 pasien 47,1 dengan periodontitis dan 18 pasien 52,9 tanpa periodontitis. Periodontitis didapatkan sebanyak 8 pasien 23,53 pada masing-masing kelompok psoriasis derajat ringan dan sedang-berat. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis dengan kedalaman poket periodontal r 0,126, p 0,478.
Simpulan: Ditemukan proporsi periodontitis yang cukup tinggi pada pasien psoriasis vulgaris yaitu sebesar 47,1 dan tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis dengan kedalaman poket periodontal. Hasil ini mungkin dikarenakan faktor perancu yang dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis maupun kedalaman poket. Kata kunci: Psoriasis, periodontitis, infeksi.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and coarse grained scales, with the Koebner phenomenon and the Auspitz sign. One of the trigger factors that contributes is infection. Periodontitis is an infection that occurs in periodontal tissue and can be focus of infection. A study to determine the proportion of periodontitis in psoriasis patients has never been done in Indonesia and no studies have reported a correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth.
Objective: To determine the proportion of periodontitis in patients with psoriasis vulgaris and the correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth.
Methods: This cross sectional study was conducted in July November 2017 in Dermatovenereology clinics of dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. The sample selection was done consecutive sampling with total sample of 34 patients. Anamnesis and physical examination of skin lesions were done by investigator, then dental and oral examination were done by periodontist.
Results: Total of 34 subjects were enrolled with median age of 37.5 years 19 58 years old. The subjects consisted of 20 patients 58.8 with mild psoriasis and 14 patients 41.2 with moderate severe psoriasis. The results showed that 16 patients 47.1 with periodontitis and 18 patients 52.9 without periodontitis. Periodontitis was found in 8 patients 23.53 in each group of mild and moderate severe psoriasis. There was no statistically significant correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth r 0.126, p 0.478 .
Conclusion: The high proportion of periodontitis was found in patients with psoriasis vulgaris 47.1 and there was no statistically significant correlation between psoriasis severity and periodontal pocket depth. The results may be due to counfounding factors that affect both psoriasis severity and pocket depth. Keywords Psoriasis, periodontitis, infection
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58968
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>