Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15319 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Sampai sekarang, penelitian-penelitian tentang perilaku memilih di negara-negara sedang berkembang,tak terkecuali Indonesia, masih sangat sedikit. Para ilmuwan politik dalam mengamati masalah pemilu di Indonesia kebanyakan hanya memfokuskan perhatian pada perimbangan perolehan suara masing-masing kontestan serta penjelasan-penjelasan spekulatif tentang komposisi perolehan suara itu. Boleh dikata hampir tidak ada ilmuwan politik yang melakukan studi mendalam tentang perilaku memilih, setidak-tidaknya sampai penggal terakhir dekade 80-an. Setidaknya terdapat tiga faktor yang menyebabkan penelitian-penelitian perilaku memilih kurang mendapat tempat di kalangan pemerhati masalah-masalah> politik Indonesia. Pertama, untuk melakukan studi tentang perilaku memilih hams dilakukan dengan penelitian survei yang banyak memakan biaya, waktu dan, tentu saja,membutuhkan ijin dari pemerintah. Sedangkan sudah menjadi persepsi umum masyarakat bahwa untuk memperoleh ijin penelitian survei, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik yang sensitif, sangat sulit diperoleh. Kedua, melakukan penelitian tentang perilaku memilih di Indonesia oleh sebagian kalangan dianggap tidak begitu bermanfaat, karena ada semacam anggapan yang berkembang di kalangan ilmuwan politik bahwa pemilihan umum di Indonesia pada masa Orde Baru tidak dilakukan dengan menggunakan asumsi demokrasi. Ketiga, penelitian survei haruslah dilakukan dengan menggunakan metode atau prosedur tertentu, dengan menguasai asumsi-asumsi statistik misalnya, sementara itu ada di antara kalangan ilmuwan politik yang tidak begitu senang dengan prosedur dan asumsi statistik, dan tidak jarang yang belum menguasainya dengan baik. "
320 ANC 26:2 (1997)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Meigasari
"Salah satu bentuk perkembangan yang menonjol pada masa remaja yaitu terjadinya perubahan-perubahan fisik yang akan mempengaruhi pula perkembangan kehidupan seksualnya. Pada masa ini, remaja biasanya sudah mulai mengenal pacaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku pacaran pada remaja binaan rumah singgah Dilts Foundation dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Desain penelitan ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Penelitian dilakukan pada remaja binaan rumah singgah Dilts Foundation, orang tua binaan rumah singgah Dilts Foundation dan Managing Director rumah singgah Dilts Foundation.
Hasil penelitiannya adalah sebagian besar perilaku pacaran pada remaja binaan rumah singgah DF belum menjurus ke arah perilaku pacaran yang berisiko dan faktor lingkungan serta individu mempengaruhi mereka untuk melakukan pacaran.

One of the prominent development in adolescence is physicals changing which is also affect to their sexual development. In this period, adolescent usually knows dating behavior. The objectives of this research is to find out dating behavior in adolescent student of Dilts Foundation shelter and the factors affecting it.
The research used the qualitative method and conducted by In Depth Interview and Focus Group Discussion (FGD). This research were applied to adolescent student, parent of students and Managing Director of Dilts Foundation shelter.
The result shows that most of adolescent student of Dilts Foundation shelter dating behavior not lead yet to risky dating behavior. Environment and individual factors affect to their dating behavior.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S52893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Earvin P. Ramli
"Penelitian ini ingin melihat hubungan antara antara empati dengan civility dalam bentuk perilaku sopan pada remaja Jabodetabek. Empati adalah usaha untuk memahami dan berbagi perasaan atau keadaan emosional orang lain ke dirinya sendiri. Lalu civility itu sendiri adalah perilaku sopan yang dapat menjaga keharmonisan pada lingkup sosial atau perilaku yang mencerminkan rasa respect untuk tiap individu. Untuk mengukur empati digunakan Basic Empathy Scale dan untuk mengukur civility digunakan Politeness Scale. Kedua alat ukur ini sudah diadaptasi terlebih dahulu ke bahasa Indonesia. Partisipan pada penelitian ini adalah remaja berusia 11-24 tahun dan berdomisili di daerah Jabodetabek. Pada penelitian ini didapatkan jumlah partisipan sebanyak 116 orang. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara empati dengan civility dalam bentuk perilaku sopan pada remaja ( r = 0,314, p < 0,01).

This research would like to know the relationship between empathy and civility in adolescence who lives in Jabodetabek Area. The civility in this research is operationalized as polite behavior. Empathy is the ability to understand and share another?s emotional state or context (Cohen & Strayer, 1996). Civility, defined as polite behaviors that maintain social harmony or demonstrate respect for the humanity of an individual, is important in maintaining a society (Wilkins et. Al, 2010). Empathy is measured using the Basic Empathy Scale, whereas civility is measured using the politeness scale. Both measuring tools have been adapted to Bahasa Indonesia. The participant in this research are adolescence age 11-24 and is currently living in the Jabodetabek area. The number of participants gathered were 116 people. The findings in this research showed that there is a significant positive correlation between empathy and civility in adolescence (r = 0,314, p < 0,01)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S65550
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F.X. Siswo Murdwiyono
"Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-2l, masalah moralitas dan budi pekerti menjadi keprihatinan dalam masyarakat kita. Realitas ini muncul dari berbagai kejadian yang meresahkan masyarakat, apalagi kejadian itu berkaitan dengan masalah remaja, sehingga kita patut bertanya bagaimana pendidikan moral yang selama ini diterapkan dalam keluarga kita? Kohlberg mengidentifikasi adanya enam tahap dalam perkembangan moral; dua tahap dalam tiga tingkatan yang dibedakan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tingkatan pra-konvensional, terdiri atas: tahap satu yang memiliki orientasi huk:uman dan kepatuhan, dan tahap dua yang mempunyai orientasi relativis instrumental. Tingkatan konvensional terdiri atas: tahap tiga yang berorientasi masuk dalarn "anak baik" dan "anak manis", tahap empat yang berorientasi pada hukum dan ketertiban. Sedangkan tingkatan pasca-konvensional yang memiliki ciri otonom dan berprinsip terdiri atas: tahap lima yang berorientasi pada kontrak sosiat legalistis, dan tahap enam orientasi pada azas etika universal. Pertumbuhan dalam pertimbangan moral merupakan proses perkembangan, yang menyangkut perubahan struktur kognitif. Pendidikan moral barns mempunyai tujuan untuk mencapai tahap pertimbangan moral yang lebih tinggi. Mutu lingkungan merupakan hal yang penting bagi penyusunan struktur moral yang barn. Tidak semua anak mengalami lingkungan yang menguntungksn, yang karena berbagai alasan barus berpisah dengan orangtuanya sejak kecil dan mereka harus menjadi penghuni penti asuban. Berdasarkan penelitian ini, pada umumnya remaja yang tinggal di panti asuban SOS Desa Taruna Jakarta memiliki tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan perkembangan usianya, yaitu pada usia 16 sampai 20 tahun seseorang bergerak dalam empat tahap perkembangan moral. Tahap penirnbangan moral mereka sesuai dengan perilaku berdasarkan penilaian pengasuhnya. Namun, kesimpulan tersebut kurang menunjukkan kesesuaian dengan perilaku partisipan yang ditunjukkan dari pengakuan mereka sendiri. Penelitian ini roenunjukkan bahwa 83 % partisipan pernah melakukan pencurian, 69% membolos, 42% melihat film porno, 35% merokok, 21% tawuran, dan 9,5 % pernah melakukan hubungan seksual. Jadi 1 tidak selalu ada hubungan antar apa yang dipikirkan dan dikatakan oleh partisipan tentang moral dengan perilakunya. Dalam konteks pendidikan moral, hukuman menunjukkan ketidakerektifunnya, karena justru membuat akibat negatif yang dialami anak. Ketika remaja bersalah, harapan partisipan pada pengasuhnya adalah berkomunikasi, berdialog, dan menasebati. Demikian juga pengasuh mempunyai idealisme dalam mendidik anak yang terbaik yaitu dengan melakukan dialog dan komunikasi. Jadi, terdapat kesesuaian harapan antara anak asuh dan pengasuh dalam konteks pendidikan moral Kedisiplinan menurut partisipan masih perlu ditingkatkan, yaitu dengan membuat peraturan yang lebih ketat, tetapi tidak dengan rnenggunakan hukuman keras (fisik} Maka dalam pendidikan moral, dialog dan komunikasi antara anak dan orang tua pada umumnya, menjadi sarana yang diharapkan oleh kedua belah piilak, dan diharapkan dapat membuat suatu perilaku yang diharapkan. Keterbatasan penelitian ini adalah hanya melibatkan satu panti asuhan. Banyak masalah yang dapat diperbandingkan, diperluas dan didalami, sehingga akan menjawab permasalahan yang muncul setelah membaca tulisan ini."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dairisena Arsela
"Bullying merupakan perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang secara sengaja, sistematis, berulang, dan terus menerus untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang (Rigby, 2008). Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa sikap remaja yang setuju terhadap perilaku bullying menjadi prediktor penyebab terjadinya perilaku bullying. Sikap seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran sikap remaja terhadap perilaku bullying saat SMA di kota maju. Partisipan dalam penelitian ini adalah 500 remaja yang berasal dari kota maju. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Bullying Survey yang dikembangkan dari alat ukur sikap terhadap bullying oleh Swearer dan Cary (2003). Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 86% partisipan memiliki sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying di sekolah, dimana ketidaksetujuan tersebut cenderung pada sikap netral. Sementara itu, sebanyak 65,3 % remaja di kota maju mengaku pernah terlibat dalam perilaku bullying di sekolah, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. Sebagian besar partisipan adalah saksi, karena peneliti tidak secara khusus memetakan peran dalam bullying sehingga hasil penelitian ini menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap perilaku bullying.

Bullying is a systematic abuse of power did by person or group of people to hurts someone or group of people deliberately, repetitively, and continually (Rigby, 2008). Earlier research showed that youth attitudes that agreed toward bullying behavior to be a predictor of bullying behavior. An attitude is influenced by the environment where someone lives. The present study investigated to assess 500 adolescent (aged 18-21) attitudes toward bullying behavior of urban high school. In this study used Bullying Survey questionnaire were adapted from Swearer and Cary (2003). Results from the study indicate that 86% of adolescent attitudes in the urban high school did not agreed toward bullying behavior at school, but inclined to neutral attitude. In contrast 65,3 % adolescent in the urban high school have an experienced of bullying. Most of the participants were bystander, because researcher did not divide specifically about role in bullying, so this research indicated that they were disagree with bullying."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S47089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangaweang, Lina Regina
"Latar belakang : Saat ini, perceraian hidup hampir di semua negara cukup tinggi dan meningkat terus setiap tahunnya termasuk Indonesia besar pengaruhnya terhadap perceraian. Faktor yang sangat berperan adalah status ekonomi dan kehidupan seksual yang sering dalam bentuk perselingkuhan. Perceraian hidup dikhawatirkan masih sebagai fenomena gunung es. Akibat dari perceraian ini dapat berisiko berbagai psikopatologi pada orangtua dan terutama pada anak berisiko dua kali bila dibandingkan dengan anak yang orangtuanya utuh. Generasi penerus ini bisa menderita berkepanjangan bahkan sampai menikah serta berakibat fatal bila tidak segera diatasi. Penelitian ini meneliti problem emosi dan perilaku pada 96 remaja yang orangtuanya tunggal karena bercerai hidup.
Metode : Survei cepat untuk menskrining problem emosi dan perilaku pada remaja dengan instrumen Child Behavior Checklist/4-18 (CBCL) dan Family Adaptibillity Cohesion and Evaluation Scale-III (FACES-III) yang digunakan untuk menilai tipe relasi pada keluarga ini.
Hasil : Proporsi total problem emosi dan perilaku pada remaja sebesar 51%, proporsi profil keluhan somatik (p=0,0337) lebih besar pada remaja perempuan, proporsi profil cemas depresi (p=0,0058) dan profil perilaku agresif (p=0,0028) lebih besar pada kelompok umur 12-14 tahun. Sedangkan penilaian tipe relasi keluarga antara ibu dan remaja tidak ada perbedaan yaitu kohesi keluarga tipe ekstrim dan adaptasi keluarga tipe seimbang. Tipe dimensi keluarga ini adalah tipe rentang tengah dan tidak ada hubungan dengan problem emosi dan perilaku pada remaja.
Simpulan : Problem emosi dan perilaku pada remaja sebesar 51% dan problem emosi dan perilaku pada remaja tidak berhubungan dengan tipe dimensi keluarga.
Kata kunci : Perceraian orangtua - profil problem emosi dan perilaku remaja - relasi keluarga.

Background : Recently, alive divorce rates have been quit high in almost all countries. The rates keep increasing overtime, including in Indonesia where it has a significant influence on divorce. The leading factors are economic status, sexual life in the form of adultery alive divorce cases have been suspected as an iceberg phenomenon. The consequence of alive divorces can be a risk factor for the psychopathology of parents especially of their children whose risk is twice then in children with intact parent. This young generation can sustained to suffer until they get married and it could be fatal if not immediately overcome. This trial investigated two groups namely internalizing and externalizing groups in 96 teenagers who where brought up by single parent due to alive divorce.
Method : a quick survey was performed to screen emotional and behavior problems in teenagers by using child behavior checklist/4-18 (CBCL). The other instruments used were FACES III that was used to evaluate the relation type in these families.
Result: Proportion of total problem of emotional and behavior problems among the teenagers was 51%. The somatisation complaint proportion was higher in female teenagers (p=0 0337) whereas the proportions of anxiety/depression (p=0, 0058) and aggressive behavior (p= 0,0028) were higher in the group of 12-14 year old teenagers. The evaluation of relation type between mother and child revealed there was no difference namely the familial cohesion of the extreme type and adaptability of the balance type. Based on these relation/dimension types of these families was mid range this trial found that in the familial relation type there was no correlation between emotional and behavior problem in teenagers.
Conclusion: The proportion of emotional and behavioral problems in teenagers was 51% and in this trial there is no correlation between emotional and behavior problems among teenagers of the familial relation type.
Keywords: divorce parents - profile emotional and behavior problems in teenagers - relation type.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichayuen Avianty
"Persentase konsumsi rokok pada remaja usia 10 ? 15 tahun di Kota Depok masih cukup tinggi sampai sekarang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh teman sebaya terhadap perilaku merokok pada siswa sekolah Menengah Pertam (SMP) di Kota Depok Tahun 2016 dengan menggunakan kuesioner penelitian yang diadopsi dari kuesioner Global Adults Tobacco Survey (GATS) tahun 2011. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan jumlah sampel sebesar 300 siswa - siswi SMP kelas VII dan VIII Kota Depok yang memiliki akreditas A, B dan C.
Penelitian ini menemukan nilai OR sebesar 77,5 (95% CI: 10,29 - 548,3) yang artinya: remaja yang memiliki teman sebaya yang merokok akan berisiko sebesar 77,5 kali lebih besar untuk merokok dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki teman sebaya yang tidak merokok. Selain itu diperoleh juga nilai p value sebesar 0,001 yang artinya terdapat hubungan antara pengaruh teman sebaya dengan perilaku merokok pada anak SMP tanpa dikontrol oleh variabel konfonding.
Penelitian ini merekomendasikan untuk melakukan promosi kesehatan yang lebih intensif kepada siswa - siswi tentang dampak serta akibat dari bahaya merokokbagi perokok aktif serta bahaya dan akibat asap rokok bagi perokok pasif.

The percentage cigarette consumption in adolescents the ages of 10-15 years in depok was still quite high until now .This study attempts to identify the effects their peers to behavior smoked on high school students pertam ( smp ) in depok 2016 using a questionnaire research adopted from the questionnaire global adults tobacco survey ( gats ) in 2011. This research using design research cross sectional with the total sample of 300 students of junior high school class vii and viii depok having akreditas a , b and c.
This study found value of 77,5 or ( 95 % ci: 10,29-548,3 ) which means: teenager having their peers that smoking risky of 77,5 times more likely to smoke compared with a teenager who do not have their peers who does not smoke .Besides acquired also value p value of 0,001 which means there are the relationship between the influence of their peers with the behavior smoked on in junior high without controlled by variable konfonding.
This research recommended to do promotion of health a more intensive to the students about the students of the impact on and a result of danger of smoking for active smokers as well as the dangers and as a result of cigarette smoke for passive smokers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadiyati Fudla
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan perilaku gizi seimbang pada siswa anggota SBH. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross- sectional. Penelitian ini dilakukan pada bulan April- Juni 2015 kepada 127 orang siswa SMP- SMA yang menjadi anggota SBH melalui pengisian angket. Pengolahan data menggunakan uji chi-square untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 21.3% responden memiliki perilaku sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang (PGS). Terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku gizi seimbang (OR= 0.048), serta dukungan orang tua berupa saran dengan perilaku gizi seimbang (OR= 0.047). Untuk meningkatkan perilaku siswa sesuai dengan PGS disarankan bagi instansi sekolah untuk memasukkan pesan- pesan terkait gizi seimbang ke dalam mata ajar pendidikan jasmani dan kesehatan serta memberikan penghargaan kepada siswa yang mengikuti kegiatan SBH. Selain itu bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan untuk mendukung kegiatan SBH sesuai dengan wilayah kerjanya masing- masing.

This study aims to determine the factors associated with the behavior of balanced nutrition in students SBH members. The draft study is a quantitative study with cross-sectional design. This research was conducted in April-June 2015 to 127 Junior High School and Senior High School students who are members of SBH through filling a questionnaire. Processing data using chi-square test to look at the relationship between the dependent and independent variables. The results showed that 21.3% of respondents have a behavior in accordance with the Guidelines for Balanced Nutrition (PGS). There is a significant relationship between knowledge and behavior of balanced nutrition (OR = 0048), and the support of parents in the form of advice with balanced nutrition behavior (OR = 0.047). To improve student behavior in accordance with PGS recommended for school authorities to incorporate balanced nutrition related messages into physical education lessons and health and provide rewards for students who take the SBH. in addition to the health center and the city health department to support the activities of SBH in accordance with their respective working areas"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S60167
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Primaswari Widhiani
"Dalam kehidupan demokrasi, pengetahuan akan preferensi dan aspirasi politik anggota masyarakat menjadi sangat penting. Ini akan menentukan keberlangsungan proses demokrasi di masa datang. Informasi akan preferensi dan aspirasi politik akan sangat berguna, bukan hanya bagi partai-partai politik atau calon-calon pejabat publik, tetapi juga bagi masyarakat luas pada umumnya.
Apakah yang menyebabkan seseorang mememilih partai politik terlentu? Dalam pemilihan umum, hal ini menjadi pertanyaan banyak pihak, terutama partai-partai politik Untuk tahu jawabannya, pengetahuan akan perilaku pemilih dibutuhkan. Untuk mengerti perilaku pemilih, pendekatan yang paling sering dilakukan adalah dengan teori pemasaran. Konsep inti daripemasaran adalah bagaimana tansaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak. Transaksi juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan yang lebih baik.
Teori pemasaran yang digunakan adalah teori-teori mengenai perilaku konsumen. Teori ini digunakan karena pada saat menggunakan hak pilihnya, pemihh melakukan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap partai tertentu sama seperti perilaku konsumen mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah theory of reasoned action. Menurut teori ini, individu diperkirakan berperilaku berdasarkan keinginannya untuk terikat dengan perilaku tersebut.
Penerapan theory of resoned action dapat dilakukan dalam bidang politik. Teori ini mampu mengukur faktor apa saja yang mempengaruhi keinginan untuk memilih partai politik Model yang dibuat berdasarkan teori dari Ajzen dan Fishbein (1980) ini mampu memprediksi keinginan untuk memilih partai politik, dimana kekuatan prediksinya bertambah dengan penggunaan model ini pada satu partai politik secara spesifik. Penerapan teori ini dalam bidang politik memungkinkan partai politik tahu apa yang secara signifkan mempengaruhi keinginan untuk memilih partai politik dan memasarkan partai politik secara tepat untuk mendapatkan suara.
Menurut penerapan theory of reasoned action pada bidang politik, keinginan untuk memilih partai politik secara signifakan dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap partai politik dan norma subjektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap partai politik signifikan karena orang mengidentifikasinya dirinya dengan partai, bukan pemimpinnya. Pengaruh sikap terhadap partai politik secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh tidak langsungnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut partai seperti visi/misi/program atau isu. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang dan bangga terhadap suatu partai politik dalam memilih. Pengaruh norma subjektif interpersonal signifikan karena pada masyarakat Asia, yang menekankan harrmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat, sosialisasi politik sudah berlangsung sejak individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi pada saat individu bersama keluarga, teman, di tempat kerja, sampai di kedai kopi. Pengaruh tidak langsung norma subjektif media massa lebih tinggi daripada pengaruh langsungnya karena adanya multiple selves dalam diri setiap individu dalam masyarakat.
Dalam rangka menarik suara sebanyak-banyakmya dan memenangkan pemilu, partai politik perlu membangun citra yang baik di mata seluruh segmen dalam masyarakat. Citra yang dibangun harus sama untuk setiap segmen masyarakat, namun cara pengkomunikasi¬annya berbeda tergantung segmen yang dituju.

In democratic life, knowledge of political preference of the people becomes very important. It will determine the continuation of democratic process in the future. This kind of knowledge not only useful for political parties and candidates but also for society in large.
What is the reason behind one's political preference? During general election, this kind of question becomes the prime question of many, especially for political parties. To find out the answer, the knowledge of voter behavior becomes very important To understand voter behavior, we can use marketing approach The main point of marketing is how transaction created, facilitated and valued. Transaction is the exchange between two parties. Transaction also occur when one vote for certain political party, exchanging his/her support for this particular party for the sake of better government.
The theories that have been used in order to understand voter behavior is consumer behavior theories. These theories have been used because there are similarities between voter and consumer in the term of decision-making. One approach that used in this research is theory of reasoned action. In this theory, one assumed to behave according to his/her will to connect with this particular behavior.
The implementation of theory of reasoned action can be done in the field of political science. This theory can measure factors that influence the will to choose certain political party. The model that built by theory from Ajzen and Fishbein (1980) can predict the will of choosing political party, where the prediction power increase with the use of this model to one particular political party. The implementation of this theory in political science allow political parties to blow factors that significantly impact the will of choosing political parties and market it perfectly in order to get vote.
According to theory of reasoned action in political science, the will of choosing political party influenced significantly, direct or indirect, by attitude towards political party and interpersonal subjective norms. The influence of attitude towards the leader of political party and mass media subjective norms are not significant The influence of attitude towards political party is significant because of party id; meanwhile the direct effect of attitude towards political party is more significant if compare to the indirect effect This fact shows that voter do not care much about the attribute of political party, such as vision/ mission/ programs or issues. Voter implies on affection., such as proud of happy of or sympathy towards particular political party. The effect of interpersonal subjective norms significant because in Asian culture, where implies harmony and strong bonds between its member in the society, political socialization has been taken place since childhood This kind of socialization also happened when voter interact with his/her family and friend, in work place to coffee shop. The indirect influence of interpersonal subjective norms more significant than the direct effect because of one's multiple selves in the society.
In order to get vote, political party must build good image in every segment of the society. The image must be the same in all segment of society, but the way of communicating this image can be differ according to the targeted segment.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T20245
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi gambaran dan perbedaan tingkat agresivitas perilaku seksual remaja putra SMA di Jakarta Selatan dari latar belakang demografi remaja tersebut. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif sederhana dengan teknik pengambilan data secara cross sectional. Jumlah responden yang diteliti sebanyak 100 orang dengan instrumen berupa kuesioner. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku seksual agresif sebesar 28%. Perbedaan agresivitas perilaku seksual remaja putra berdasarkan data demografinya hanya terdapat pada variabel pengalaman berpacaran yaitu dengan p value=0,038; α=0,05. Latar belakang demografi lainnya berdasarkan p value yang diperoleh, tidak terlihat adanya perbedaan dengan agresivitas perilaku seksual. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa remaja yang sudah berpengalaman pacaran memiliki kecenderungan untuk berperilaku seksual lebih agresif.

This research was conducted to identify the picture and the different levels of aggressive sexual behavior among boys in high school of South Jakarta by the demographic background. The method used is a simple descriptive method with shooting technique with cross sectional data. The number of respondents who studied 100 people with the questionnaire as an instrument. The results of this study indicate the existence of aggressive sexual behavior by 28%. Differences aggressive sexual behavior among boys based on demography data found only in the dating experience variables with p value = 0,038 and α = 0,05. Other demographic background based on the p value is obtained no visible difference with aggressive sexual behavior. From these results it can be concluded that adolescents who had experienced dating has a tendency to behave more aggressively sexual."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
TA5950
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>