Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143194 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armen Muchtar, Author
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0173
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Viella Cecilia Wijaya
"Kami melakukan penelitian tentang efek pemberian minuman berkarbohidrat pada dua jam pra induksi anestesia terhadap pengurangan ketidaknyamanan prabedah untuk pasien operasi elektif. Tiga puluh sembilan pasien dewasa dengan status fisik ASA 1 dan 2 diikutsertakan dalam penelitian ini yang diacak dengan penyamaran tunggal untuk mendapatkan 300 mL minuman yang mengandung glukosa 5% atau air putih pada waktu dua jam pra induksi anestesia. Seharusnya penelitian dilakukan terhadap 68 pasien namun akibat kesalahan terhadap penghitungan jumlah sampel di awal penelitian kami dan keterbatasan waktu maka penelitian hanya dilakukan terhadap 39 pasien. Digunakan VAS sebagai metode pengukuran ketidaknyamanan prabedah yang ingin dinilai yaitu kecemasan, rasa lapar dan rasa haus. Tidak terjadi efek samping aspirasi pare pada semua subyek penelitian. Terjadi penurunan nilai VAS yang bermakna pada kedua kelompok perlakuan (p<0.05) terhadap variabel kecemasan dan rasa haus pada pengukuran di menit ke-90 dan 120 setelah pemberian minuman. Sedangkan pada variabel rasa lapar hanya terjadi penurunan nilai VAS yang bermakna pada kelompok yang mendapat minuman glukosa 5% di menit ke-90. Perbandingan nilai mean dan SD untuk penurunan VAS kecemasan, rasa lapar dan rasa haus diantara kedua kelompok hasilnya tidak bermakna (p>0.05). Kesimpulannya adalah pemberian air putih saja cukup efektif untuk menurunkan ketidaknyamanan prabedah yang berupa kecemasan dan rasa haus, namun tidak efektif untuk mengurangi rasa lapar.

We studied the effects of carbohydrate drink given two hours pre-induction of anesthesia in reducing preoperative discomforts for elective surgery patients. Thirty-nine adult patients with physical status ASA 1 and 2 were included in the study and randomized double blinded to preparation with 300mL of glucose 5% drink or plain water. The sample size was supposed to be 68 but we miscalculated it a1 the beginning of the study and also because of the lack of time, we only look 39 patients as our sample. Visual Analog Score (VAS) was used as a method of scoring the preoperative discomfort variables, which were anxiety, hunger and thirst. There were no adverse effects such as pulmonary aspiration occurred in the study. VAS was measured before, 90 and 120 minutes after the drink was given. It happened to be that both of the drinks were very effective in reducing VAS of anxiety and thirst but there were no difference between the two groups (p>0.05). Both of the drink was less effective in reducing hunger preoperatively. In conclusion, plain water is as effective as glucose 5% drink in reducing anxiety and thirst preoperative if given two hours pre induction of anesthesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Rayendra Saleh
"Surgical site infection is a harmful problem both for the operator or the patient. Commonly, antibiotics is used irrationally to prevent surgical site infection. In the other hand, irrational use of antibiotics might lead to microbial resistency. Plastic reconstructive surgeryof the ears and nose is classified into clean or clean contaminated surgery which only requires prophylactic antibiotics. The aim of this study is to acquire supporting data for a rational use of antibiotics in plastic reconstructive surgery in ENT-HNS Department FMUI - CMH. This study is a pilot study with negative trial design which includes 12 subjects. Subjects are randomly divided into prophylaxis antibiotic only and combination of prophylaxis antibiotic and post operative antibiotic. This study found 1 subject form the prophylaxis antibiotic only group with surgical site infection. There was no surgical site infection in the control group. There is no significant difference between the two groups. The use of post surgery antibiotic is not neccesary in plastic reconstructive surgery to prevent surgical site infection. Further study is required to support findings of this study.

Infeksi luka operasi adalah suatu masalah yang sangat merugikan baik bagi operator maupun pasien. Seringkali antibiotika digunakan secara tidak rasional untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi. Di lain pihak, penggunaan antibiotika secara tidak rasional dapat meningkatkan resistensi mikroba. Operasi plastik rekonstruksi telinga dan hidung adalah operasi bersih atau bersih terkontaminasi yang hanya membutuhkan antibiotika profilaksis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dukung ilmiah untuk penggunaan antibiotika yang rasional dalam tatalaksana operasi rekonstruksi telinga dan hidung di Departemen THT-KL FKUI - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini merupakan suatu penelitian pendahuluan dengan desain uji klinis negatif dengan melibatkan 12 subyek. Subyek penelitian dibagi secara acak menjadi kelompok antibiotika profilaksis saja dan kombinasi antibiotika profilaksis - pasca operasi. Terdapat 1 subyek pada kelompok antibiotika profilaksis yang mengalami infeksi luka operasi. Pada kelompok kombinasi antibiotika profilaksis - pasca operasi tidak terdapat infeksi luka operasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi angka kejadian infeksi luka operasi pada kedua kelompok. Pemberian antibiotika pasca operasi tidak diperlukan dalam operasi plastik rekonstruksi telinga dan hidung untuk mencegah infeksi luka operasi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendukung hubungan yang tidak bermakna antara kedua kelompok."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Najwa Rokhmah
"Kejadian infeksi luka operasi menjadi salah satu jenis infeksi nosokomial yang sering banyak terjadi di beberapa negara. Belum maksimalnya penggunaan antibiotik profilaksis ditandai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan secara nasional maupun internasional mengakibatkan meningkatnya resiko kejadian infeksi luka operasi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik profilaksis bedah terhadap kejadian infeksi luka operasi yang dievaluasi selama 23 hari di RS Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian menggunakan desain penelitian cross sectional. Pengambilan sampel secara total sampling dan retrospektif dengan menggunakan data sekunder (rekam medis). Sampel penelitian sebanyak 577 rekam medis pasien sejak Januari 2013-Desember 2013.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat 6 kejadian infeksi luka operasi (1,04%) dengan penggunaan antibiotik profilaksis tidak sesuai dengan Kepmenkes no 2046 tahun 2011. Tidak terdapat hubungan antara jenis dan waktu penggunaan antibiotik terhadap kejadian infeksi luka operasi serta tidak terdapat hubungan antara faktor resiko dengan kejadian infeksi luka operasi.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa kejadian infeksi luka operasi di RS Dr H Marzoeki Mahdi cukup rendah dibandingkan penelitian lain yang pernah dilakukan dan tidak terdapat pengaruh signifikan antibiotik profilaksis serta faktor resiko terhadap kejadian infeksi luka operasi.

Surgical site infection is one of nosocomial infection that frequently happened in some countries. Unappropriate used of prophylactic antibiotic signed by the used of antibiotic not accordance with local or international guidelines and it caused surgical site infection increase.
This study aim to assesed and evaluated factors that affect antibiotic prophylactic use to surgical site infection in Marzoeki Mahdi Hospital Bogor. The design of this study cross sectional with total sampling, and data collected retrospectively. Sample of this study are 577 patient from January 2013- December 2013.
The result showed surgical site infection occur in 6 patients (1,04%), the used od prophylactic antibiotic is not appropriate Kepmenkes No 2046. There is no relationship between types and duration of prophylactic antibiotic to surgical site infection cases and also there is no relation between risk factors and surgical site infection cases.
In this study we can conclude incidence of surgical site infection in Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital was low and there is no significant relation between prophylactic antibiotic used and risk factors with surgical site infection cases.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T42543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fibya Indah Sari
"Bedah merupakan salah satu prosedur medis yang dilakukan secara manual dan menyebabkan banyak perlukaan dan berisiko tinggi menyebabkan infeksi Adanya infeksi harus ditangani dengan antibiotika empiris yang tepat dan rasional. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data penggunaan antibiotika empiris pada pasien pascabedah di Ruang ICU RSAL Dr Mintohardjo selama periode 2012 2013 dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan pasien ketepatan indikasi ketepatan obat ketepatan dosis dan interaksi obat. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data penggunaan antibiotik empiris dari rekam medis pasien pascabedah dengan metode retrospektif dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan tekniktotal sampling. Populasi penelitian berjumlah 299 pasien dan 35 pasien diterima sebagai sampel penelitian. Pada penilaian terhadap jumlah pasien pascabedah terdapat 100 pasien mendapatkan terapi antibiotik tepat dengan kondisi pasien 11 43 pasien mendapatkan antibiotik sesuai indikasi 0 pasien mendapatkan antibiotik tepat obat 85 71 pasien sudah mendapatkan dosis yang tepat dan 51 43 pasien tidak mengalami interaksi obat. Sehingga dapat disimpulkan pengobatan antibiotik empiris pada pasien pascabedah di RSAL Dr Mintohardjo tidak rasional.

Surgery is a manual medical procedure which causes many wounds and has a high infection risk Patient who has infection must be given antibiotic immediatelyand rationally. The aim of this study was to collect empiric antibiotics usage data in Intensive Care Unit of Naval Hospital Dr Mintohardjo 2012 2013 and to evaluate rationality of the administration through the appropriate patient appropriate indication appropriate drug appropriate dose and drugs interaction. This retrospective cross sectional study was done by collecting empiric antibiotics usage data from medical record of postoperative patients on 2012 2013 using total sampling. Population of study included 299 patients and 35 patients were accepted as samples of study. Appropriate assessment based on number of postoperative patients showed 100 appropriate patient 11 43 appropriate indication 0 appropriate drug 85 71 appropriate dose and 31 43 no drugs interaction. It was concluded that empirical antibiotic treatment in postoperative patients in Naval Hospital Dr Mintohardjo were irrational."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S54986
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rafika Fathni
"Laparotomi merupakan salah satu prosedur medis yang dilakukan secara manual dan menyebabkan banyak perlukaan, yang berisiko tinggi mengalami infeksi, yang dicegah dengan antibiotik profilaksis. Pemberian antibiotik profilaksis yang dilakukan secara empiris dapat menyebabkan banyak dampak negatif jika dilakukan tanpa pengkajian kerasionalan penggunaannya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data penggunaan antibiotik profilaksis dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan indikasi, ketepatan obat, dan ketepatan dosis. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data penggunaan antibiotik profilaksis laparotomi dari rekam medis pasien yang menerima prosedur laparotomi pada bulan Januari - Desember 2012 secara retrospektif dengan desain cross-sectional. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik total sampling. Populasi penelitian berjumlah 486 pasien, dan 161 pasien diterima sebagai sampel penelitian, dengan total administrasi antibiotik profilaksis laparotomi sebanyak 230 kali.
Hasil penelitian menunjukkan pola penggunaan antibiotik profilaksis yang kebanyakan diberikan adalah antibiotik profilaksis tunggal (57,14%), dan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah seftriakson dan sefotaksim (34,78%). Penggunaan antibiotik profilaksis yang memenuhi kriteria tepat indikasi adalah 54,78%, tepat obat 3,48%, dan tepat dosis 88,70%. Namun demikian, dari seluruh sampel penelitian tidak ada yang dapat dikategorikan rasional dilihat dari ketepatan indikasi, obat, dan dosis.

Laparotomy is a manual medical procedure which causes many wounds, and has a high infection risk. Surgical site infection is usually prevented by administration of prophylaxis antibiotics. Empirical administration of prophylaxis antibiotics without rationality study can cause many negative impacts.
The aim of this study was to collect prophylaxis antibiotics usage data and to evaluate rationality of the administration, observed from the accuracy of indication, medication, and dose. This retrospective cross-sectional study was done by collecting laparotomy prophylaxis antibiotics usage data from medical record of patients who had received laparotomy procedure on January - December 2012 using total sampling. Population of study included 486 patients, and 161 patients were accepted as samples of study, with total 230 times administration of laparotomy prophylaxis antibiotics.
The results showed that most of prophylaxis antibiotics were given as single type antibiotic (57.14%), and the most antibiotics used were ceftriaxone and cefotaxime (34.78%). Patients given prophylaxis antibiotics with rational indication were 54.78%, only 3.48% were given the appropriate medication, and 88.70% were given antibiotics with the right dose. However, among all samples, none was considered rational in terms of indication, medication, and dose accuracy.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S45912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Yasmin Iskandar
"Latar belakang. Berbagai studi sebelumnya menunjukkan bahwa insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile semakin meningkat, terutama pada pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika. Namun belum ada penelitian yang mendapatkan data kedua insidens tersebut di Indonesia, terutama di RSCM.
Tujuan. Untuk mengetahui insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM.
Metode. Dilakukan studi kohort prospektif berbasis surveilans pada 96 pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM pada periode penelitian. Dilakukan pemeriksaan feses dengan uji kromatografi cepat C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM pada awal dan akhir penelitian. Dilakukan follow-up selama 5-7 hari perawatan pada semua pasien. Insidens kolonisasi strain non-toksigenik adalah pasien yang memiliki hasil pemeriksaan fesesnya konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/-. Insidens kolonisasi strain toksigenik adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+. Insidens infeksi adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+ yang disertai satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan infeksi C.difficile.
Hasil. Dari 96 subjek penelitian, 13 subjek mengalami kolonisasi non-toksigenik; 8 subjek mengalami kolonisasi toksigenik; 9 subjek mengalami infeksi. Terdapat 11 subjek yang mengalami gejala klinis, namun hasil pemeriksaan fesesnya tidak ditemukan toksin yang positif (2 subjek hanya mengalami kolinisasi non-toksigenik dan 9 subjek tidak mengalami kolonisasi atau infeksi) sehingga dianggap bukan merupakan infeksi C.difficile.
Kesimpulan. Insidens kolonisasi C.difficile adalah 22%, dimana kolonisasi strain non-toksigenik adalah 14% (IK95% 13-16) dan strain toksi.

Background. Previous studies showed that there have been a significant increasing of the incidence of C.difficile colonization and infection, particularly among hospital inpatients prescribed antibiotics. However, there is no such data available in Indonesia, mainly at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Objective. To determine the incidence of Clostridium difficile colonization and infection among hospital inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods. A surveillance-based prospective cohort study was conducted on 96 inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital during the study period. All patient was followed-up for 5-7 days hospitalization. We obtained rectal swabs or stool samples on admission and day 5-7 of hospitalization and performed a rapid chromatography test C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM to determine colonization or infection. Incidence of non-toxigenic colonization was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/- as the second result. Incidence of toxigenic colonization was defined as as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result. Incidence of infection was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result, accompanied by one or more C.difficile infection-associated clinical symptoms.
Results. A total of 96 subjects were included in the study; 13, 8 and 9 had a non-toxigenic colonization, toxigenic colonization, and infection, respectively. 11 subjects with clinical symptoms could not be determined whether they had a C.difficile infection because of the “toxin-negative” findings from their stool examination (2 subjects had non-toxigenic colonization and 9 subjects had neither colonization nor infection).
Conclusion. The incidence of C.difficile colonization was 22%, which 14% (95% CI 13-16) was the incidence of non-toxigenic colonization and 8% (95% CI 7-10) was the incidence of toxigenic colonization. The incidence of C.difficile infection was 9% (95% CI 8-11).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sara Dwiyanti
"Penelitian mengenai budaya konsumen dan permasalahan jati diri kaum perempuan Jepang dalam masyarakat kontemporer, dengan latar belakang gejala maraknya pemanfaatan praktek bedah kosmetik. Penelitian difokuskan kepada kaum perempuan (tanpa pembedaan usia) yang tinggal di perkotaan di Jepang, dengan latar belakang kurun waktu tahun 1990-an hingga tahun 2003. Konsep dan teori dalam penelitian ini mengacu pada paham posmodern. Tujuannya untuk melihat latar belakang maraknya bisnis bedah kosmetik dilihat dari konsep budaya konsumen serta hubungannya dengan pandangan mengenai jati diri yang berlaku dalam masyarakat di kota-kota besar di Jepang dan pengaruhnya terhadap kaum perempuan.Penelitian dilakukan dengan metode kepustakaan. Data empiris yang digunakan berupa artikel-artikel dan ikian-iklan dari majalah Jepang tahun 2000-2003 mengenai bisnis bedah kosmetik.
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa maraknya bisnis bedah kosmetik terbukti didukung oleh budaya konsumen, melalui sikap konsumsi perempuan Jepang di perkotaan yang memiliki kebebasan dalam memilih produk, memiliki gaya hidup konsumtif, dan memiliki kekuatan mikro ekonomi. Faktor pendukung yang lain adalah komodifikasi bedah kosmetik yang dengan gencar menjadikan bedah kosmetik sebagai suatu komoditas yang begitu mudah dijangkau dan dapat diperoleh dengan biaya relatif terjangkau. Pandangan masyarakat kontemporer Jepang mengenai pentingnya penampilan menyebabkan adanya segmentasi kelompok sosial berdasarkan penampilan fisik. Akibatnya muncul hasrat dari sebagian kaum wanita Jepang yang merasa kurang dalam penampilan fisiknya untuk mengubah bentuk tubuh mereka melalui bedah kosmetik, agar mereka dapat memperoleh kepercayaan diri untuk memasuki kelompok sosial yang mereka inginkan.
Berdasarkan konsep jati diri dan presentasi tubuh dalam posmodernisme, cara mengkonsumsi bedah kosmetik dengan tujuan memenuhi kepuasan batin dan mendapatkan kedudukan sosial yang mereka inginkan merupakan suatu ekspresi diri menuju proses penemuan jati diri. Dengan dimulai dengan memperbaiki bentuk tubuh, harapan yang ada adalah bahwa hal itu juga dapat memperbaiki pandangan akan karakter mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13682
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usman Chatib Warsa
"

Perkembangan mikroba atau jasad renik yang resistan atau kebal pada antibiotika yang sering digunakan untuk pengobatan infeksi, telah menjadi masalah besar didalam pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun di masyarakat. Bersamaan dengan berkembangnya penyakit baru akhir-akhir ini, ramai dipublikasikan adanya bentuk baru evolusi kuman yang sulit ditanggulangi dengan obat antibiotika yang biasa dipergunakan untuk pengobatan, yang kemudian disebut sebagai "Superbugs" atau "Killerbugs" atau "Killer Microbes"(1,2,3). Kejadian mikroba resistan terhadap kemoterapi telah dilaporkan terjadi pada berbagai jenis bakteri, jamur, virus maupun parasit. Saat ini bakteri yang resistan antibiotika prevaiensinya paling besar, sehingga pada kesempatan ini saya akan membahas secara singkat masalah ini. Contoh mikroba resistan lain misalnya pada jamur/fungi (Candida sp. resistan pada flukonasol), virus (HIV resistan pada zidovudin), dan parasit (Trichomonas sp. resistan pada metronidasol dan Plasmodium falsifarum resistan pada kloroquin)(4).

Telah diteliti oleh para ahli penyakit infeksi, bahwa pada penderita dengan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri resistan antibiotika, akan menyebabkan penyakit makin berat, makin lamanya masa sakit dan lebih lama tinggal di rumah sakit bagi penderita yang dirawat, juga menyebabkan gejala sisa atau sequelae yang lebih besar, meningkatnya angka kematian/mortalitas, serta biaya pengobatan yang meningkat karena makin mahalnya obat pilihan alternatif(5). Sebaliknya peningkatan resistansi juga dipengaruhi oleh beberapa kemajuan yang didapat dari kehadiran dan efektivitas pengobatan dengan antibiotika itu sendiri, antara lain dimungkinkannya prosedur operasi yang lama dan banyak komplikasi pada penderita immunosupresi, usia lanjut atau penderita yang sakit berat; dapat dilakukan transplantasi; dan dapat digunakannya peralatan dan alat bantu yang kompleks. Kehadiran antibiotika berspektrum luas yang dapat digunakan pada tindakan profilaksis dan pengobatan, memberikan kemungkinan tindakan medik yang lebih kompleks dan dahulu sulit dilakukan(6,7).

Meningkatnya prevalensi bakteri resistan terhadap antibiotika, mengharuskan pertimbangan yang lebih besar didalam melakukan evaluasi risiko tindakan medik yang sudah ada. Ini termasuk tindakan operasi metode baru yang membutuhkan waktu lama; penggunaan instrumentasi dan alat bantu dengan teknologi baru; tindakan pada penderita menurunnya imunokompeten, sakit berat dan sakit kronik; pada kondisi di mana kurangnya fasilitas pada pendidikan dan pelatihan kontrol infeksi; tidak mempunyai fasilitas laboratorium mikrobiologi untuk pemeriksaan tes kepekaan antibiotika, guna mendeteksi adanya resistansi; tidak adanya standar teknik antiseptik yang baik; pada densiti komunitas yang padat; sanitasi buruk di sekitar tempat tinggal.

"
Jakarta: UI-Press, 2004
PGB 0223
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>