Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194011 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asrafi Rizki Gatam
"ABSTRAK
Pendahuluan. Penggunaan autograft dalam fusi interkorpus tulang belakang
masih menjadi pilihan utama, tetapi jumlah yang terbatas dan morbiditas pada
tempat donor mendorong penggunaan substitusi tulang. Kombinasi HA dan DBM
menjadi pilihan utama selain autograft dalam fusi interkorpus, namun hasil yang ada menunjukan variasi diantara jenis DBM. Tujuan penelitian ini untuk
mengevaluasi luaran klinis dan radiologis fusi interkorpus lumbal menggunakan
kombinasi DBM dan HA.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan prospektif cohort pada 35 pasien
yang terbagi atas 18 pasien kelompok autograft dan 17 pasien kelompok
kombinasi HA dan DBM. Pasien merupakan pasien spondilosis lumbal yang
diindikasikan untuk tindakan operatif. Evaluasi klinis pada masing-masing
kelompok pasca operasi menggunakan VAS, JOA dan ODI yang dinilai pada
bulan ke-3, 6 dan 12. Evaluasi radiologis pada masing-masing berupa fusi di
evaluasi dengan ct scan pada bulan ke-12. Karakteristik pasien seperti jenis
kelamin, usia, riwayat merokok, level operasi, dan BMI juga dievaluasi.
Temuan Penelitian. Dua orang ahli bedah orthopaedi tulang belakang melakukan operasi stabilisasi posterior dan TLIF. Terdapat 55 pasien (27 kelompok autograft, 28 kelompok kombinasi HA dan DBM) yang masuk ke dalam kriteria, 9 pasien dari masing-masing kelompok di eksklusi karena tidak dapat di follow up sampai 12 bulan. Perbandinagn skor VAS, JOA dan ODI diantara kedua kelompok tidak menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p masing-masing 0,599, 0,543 dan 0,780. Perbandingan fusi antara kelompok autograft dan kombinasi HA dan DBM menunjukan nilai p 1,000, sehingga tidak bermakna secara statistik.
Simpulan Hasil luaran klinis dan radiologis pada penggunaan kombinasi HA dan
DBM dalam fusi interkorpus tidak menunjukan inferioritas bila dibandingkan
dengan autograft. Kombinasi HA dan DBM dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif bagi pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan
operatif.

ABSTRACT
Introduction The use of autograft still remains a gold standard in lumbar
interbody fusion surgery, but the limited amount and donor site morbidity
encourages the use of bone substitute. Combination of HA and DBM become a
main choice other than autograft in lumbar interbody fusion, however there were variable result between DBM product. These research was aimed to evaluate the clinical and radiological outcome of interbody fusion using combination of DBM and HA.
Methods A cohort prospective research was conducted in 35 patients that were divided into 18 autograft group patients and 17 combination of HA and DBM group patient. All the patients were diagnosed with lumbar spondylosis and indicated for surgery. Clinical evaluation on each group was evaluated using VAS, JOA and ODI on the 3rd, 6th and 12th month post operatively. Radiologic outcome of fusion was evaluated using ct scan on the 12th month. Other patient characteristic such as sex, age, smoking history, level operation dan BMI were also evaluated in this research.
Results Two orthopaedic spine surgeon conducted the posterior stabilization and TLIF procedure. There were 55 patients (27 autograft group patients, 28
combination of HA and DBM group patients) that was included according to the criteria, 9 patients on each group were excluded due to loss of follow up below 12 months. Comparison of VAS, JOA and ODI score between the two group did not show any difference that significant statiscally with the p value was 0.599, 0.543, and 0.780 each. Comparison of fusion rate between the two groups showed p value of 1.000 which was not significant statiscally.
Conclusions Clinical and radiological outcome of combination of HA and DBM
in lumbar interbody fusion did not show inferiority compared with autograft.
Combination of HA and DBM can be considered as an alternative in lumbar
spondylosis patient that need operative procedure"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrafi Rizki Gatam
"ABSTRAK
Pendahuluan. Penggunaan autograft dalam fusi interkorpus tulang belakang masih menjadi pilihan utama, tetapi jumlah yang terbatas dan morbiditas pada tempat donor mendorong penggunaan substitusi tulang. Kombinasi HA dan DBM menjadi pilihan utama selain autograft dalam fusi interkorpus, namun hasil yang ada menunjukan variasi diantara jenis DBM. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi luaran klinis dan radiologis fusi interkorpus lumbal menggunakan kombinasi DBM dan HA.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan prospektif cohort pada 35 pasien yang terbagi atas 18 pasien kelompok autograft dan 17 pasien kelompok kombinasi HA dan DBM. Pasien merupakan pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan operatif. Evaluasi klinis pada masing-masing kelompok pasca operasi menggunakan VAS, JOA dan ODI yang dinilai pada bulan ke-3, 6 dan 12. Evaluasi radiologis pada masing-masing berupa fusi di evaluasi dengan ct scan pada bulan ke-12. Karakteristik pasien seperti jenis kelamin, usia, riwayat merokok, level operasi, dan BMI juga dievaluasi.
Temuan Penelitian. Dua orang ahli bedah orthopaedi tulang belakang melakukan operasi stabilisasi posterior dan TLIF. Terdapat 55 pasien (27 kelompok autograft, 28 kelompok kombinasi HA dan DBM) yang masuk ke dalam kriteria, 9 pasien dari masing-masing kelompok di eksklusi karena tidak dapat di follow up sampai 12 bulan. Perbandinagn skor VAS, JOA dan ODI diantara kedua kelompok tidak menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p masing-masing 0,599, 0,543 dan 0,780. Perbandingan fusi antara kelompok autograft dan kombinasi HA dan DBM menunjukan nilai p 1,000, sehingga tidak bermakna secara statistik.
Simpulan Hasil luaran klinis dan radiologis pada penggunaan kombinasi HA dan DBM dalam fusi interkorpus tidak menunjukan inferioritas bila dibandingkan dengan autograft. Kombinasi HA dan DBM dapat dipertimbangkan sebagai alternatif bagi pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan operatif.

ABSTRACT
Introduction The use of autograft still remains a gold standard in lumbar interbody fusion surgery, but the limited amount and donor site morbidity encourages the use of bone substitute. Combination of HA and DBM become a main choice other than autograft in lumbar interbody fusion, however there were variable result between DBM product. These research was aimed to evaluate the clinical and radiological outcome of interbody fusion using combination of DBM and HA.
Methods A cohort prospective research was conducted in 35 patients that were divided into 18 autograft group patients and 17 combination of HA and DBM group patient. All the patients were diagnosed with lumbar spondylosis and indicated for surgery. Clinical evaluation on each group was evaluated using VAS, JOA and ODI on the 3rd, 6th and 12th month post operatively. Radiologic outcome of fusion was evaluated using ct scan on the 12th month. Other patient characteristic such as sex, age, smoking history, level operation dan BMI were also evaluated in this research.
Results Two orthopaedic spine surgeon conducted the posterior stabilization and TLIF procedure. There were 55 patients (27 autograft group patients, 28 combination of HA and DBM group patients) that was included according to the criteria, 9 patients on each group were excluded due to loss of follow up below 12 months. Comparison of VAS, JOA and ODI score between the two group did not show any difference that significant statiscally with the p value was 0.599, 0.543, and 0.780 each. Comparison of fusion rate between the two groups showed p value of 1.000 which was not significant statiscally.
Conclusions Clinical and radiological outcome of combination of HA and DBM in lumbar interbody fusion did not show inferiority compared with autograft. Combination of HA and DBM can be considered as an alternative in lumbar spondylosis patient that need operative procedure"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Maska
"ABSTRAK
Pendahuluan. Sel punca mesenkimal merupakan salah satu alternatif pengobatan yang menjanjikan, termasuk dibidang orthopedi. Sumsum tulang masih menjadi pilihan utama sumber sel punca mesenkimal, namun dikarenakan jumlah sel punca mesenkimal yang sedikit, prosedur pengambilan yang invasif dan nyeri, jaringan adiposa mulai digunakan sebagai alternatif dengan kemampuan yang sebanding. Tindakan minimal invasive pada implantasi sel punca pada kasus tulang belakang membutuhkan alat bantu image intensifier C-arm yang menyebabkan sel punca teradiasi sinar X. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek pajanan sinar-x c-arm terhadap viabilitas dan potensi osteogenik sel punca mesenkimal dan membandingkan antar kelompok donor. Bahan dan Metode. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilaksanakan di UPT-TK Sel Punca RSCM januari 2016-februari 2017 . Sampel penelitian adalah sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sumsum tulang pasca kriopreservasi. Sel punca pasca thawing dan propagasi dilakukan pajanan sinar X C-arm dengan berbagai dosis yang dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Ciptomangunkusumo. Sel punca lalu dikultur dan dilakukan diffenrensiasi osteogenik. Peneliti melakukan analisis viabilitas, waktu penggandaan populasi dan potensi osteogenik dengan pewarnaan alizarin red. Seluruh data dianalisis dengan SPSS 20. Hasil. Tidak terdapat perbedaan viabilitas sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sumsum tulang pre radiasi, pasca radiasi serta pasca radiasi dan kultur pada dosis radiasi yang sama p>0,05 . Tidak terdapat perbedaan potensi osteogenik yang bermakna antara sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sumsum tulang p>0,05 . Terdapat penurunan waktu penggandaan populasi sel punca mesenkimal jaringan adiposa pada dosis radiasi > 5,94 mSv. Kesimpulan. Viabilitas dan potensi osteogenik sel punca mesenkimal sumsum tulang dan jaringan adiposa tidak dipengaruhi oleh paparan sinar X hingga 15,30 mSv. Sel punca mesenkimal jaringan adiposa menunjukkan waktu penggandaan populasi yang lebih pendek pada dosis yang lebih besar. Sel punca mesenkimal jaringan adiposa dan sel punca mesenkimal sumsum tulang memiliki potensi osteogenik yang sebanding

ABSTRACT
Introduction. Mesencymal stem cells MSCs is a promising alternative treatment in medicine, including in orthopedic. Bone marrow is still the main source for MSCs. Because of relative less stem cell number, limited source, pain and invasive procedure to obtain the bone marrow, adipose tissue is also considered as a valuable source of MSCs with equal potency. Minimally invasive MSC injections in spine need image intensifier C arm as guidance that potentially influence the cell viability and osteogenic potency. The aim of this study is to evaluate the radiation effects from C arm on the viability and osteogenicity among two types of MSCs. Material and Methods. This experimental study was held on Stem Cell Medical Technology Integrated Service Unit Cipto Mangunkusumo Hospital January 2016 February 2017 . Study samples were Adipose Tissue derived MSCs AT MSCs and Bone Marrow MSCs BM MSCs , which had undergone cryopreservation. After thawing and propagation process, we gave x ray radiation with a variety of doses to MSCs at the Operation Theater Cipto Mangunkusumo Hospital. After the radiation, MSCs was took back to the laboratory for culture and osteogenic differentiation. Author analyzed the viability, population doubling time, and osteogenic potential by alizarin red stain. All data were analyzed using SPSS 20. Results. There was no significant difference among MSCs groups in term of cell viability before radiation, after radiation, and after radiation and culture p 0.05 . There was also no significant difference of the osteogenic potential between the two MSCs groups p 0.05 . However, there was a reduction in population doubling time of AT MSCs radiated with more than 5.94mSv radiation dose. Conclusions. Viability and osteogenic potential of either AT MSCs or BM MSCs were not affected by x ray radiation up to 15.3 mSV. AT MSCs showed a shorter population doubling time when given larger radiation dose. AT MSCs and BM MSCs had equal osteogenic potency. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Damiarta
"Pendahuluan: Fusi interkorpus lumbal adalah pilihan dalam tatalaksana spondilosis degeneratif. Operasi minimal invasif menekankan pada kelebihan dalam mengurangi kerusakan jaringan lunak, jumlah perdarahan dan durasi rawat di Rumah Sakit sehingga dapat meningkatkan derajat pemulihan pasien, status fungsional dan nilai cost-effective. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran pasien yang menjalani operasi terbuka dan minimal invasif. Metode: Penelitian ini merupakan restrospektif kohort pada 70 pasien operasi terbuka n=35, minimal invasif n=35 . Evaluasi klinis dan radiologis mencakup nilai VAS, jumlah perdarahan intraoperatif, durasi operasi, paparan fluoroskopi, tingkat fusi pada bulan ke 12, skor ODI untuk penilaian fungsional pasien, serta total biaya. Pasien diobservasi sampai 12 bulan pascaoperasi. Temuan Penelitian: Kedua kelompok menunjukkan hasil luaran klinis pascaoperasi yang baik. VAS nyeri punggung 1 hari pascaoperasi lebih baik secara signifikan pada kelompok minimal invasif p 0,001 , sedangkan VAS nyeri tungkai tidak berbeda secara bermakna pada kedua kelompok. Operasi minimal invasif diasosiasikan dengan berkurangnya jumlah perdarahan, namun terdapat peningkatan paparan radiasi intraoperatif. Evaluasi fusi dalam 12 bulan pascaoperasi tidak berbeda secara bermakna. Kelompok minimal invasif menunjukkan nilai ODI yang lebih baik pada periode 6 dan 12 bulan pascaoperasi. Total biaya berbeda secara bermakna, dimana terdapat angka yang lebih tinggi pada kelompok minimal invasif. Diskusi: Perbandingan antara operasi terbuka dan minimal invasif menunjukkan luaran yang relatif sama. Pada operasi minimal invasif jumlah perdarahan lebih sedikit, namun paparan radiasi lebih tinggi. Nyeri pascaoperasi periode awal lebih pada kelompok minimal invasif. Metode operasi minimal invasif dapat meningkatkan cost-effectiveness dihubungkan dengan kecepatan pemulihan dan waktu untuk kembali bekerja.

Introduction Lumbar interbody fusion is one of the mainstay management in degenerative spondylosis. Minimal invasive surgery emphasize its potential advantages to reduce soft tissue injury, blood loss, length of hospital stay that result in improvement of recovery, functional outcome and cost effectiveness. The purpose of this study is to evaluate the outcomes of patients underwent MIS TLIF and open TLIF. Methods This is a prospective cohort study on total of 70 patients open TLIF n 35, MIS TLIF n 35 . We evaluate VAS for back pain and leg pain, ODI scores, intraoperative bleeding, operation duration, C arm shots, degrees of fusion, and total cost. We observed the patients until 1 year post operation. Results Post operation all the clinical parameter increased in both group compared to pre operative condition. VAS back pain was significantly lower in the MIS TLIF group p"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicko Perdana Hardiansyah
"ABSTRAK
Pendahuluan Penggunaan tandur tulang lokal saat ini masih menjadi pilihan utama dalam tatalaksana fusi posterolateral pada kasus spondilosis lumbal di negara berkembang. Rendahnya tingkat fusi yang dihasilkan oleh tindakan ini mendorong penggunaan alternatif material lain. Penambahan aspirat sumsum tulang pada tandur tulang lokal dapat menjadi pilihan yang efektif dalam tatalaksana fusi posterolateral pada pasien spondilosis lumbal, namun saat ini belum ada data mengenai luaran klinis dari tatalaksana jenis ini di Indonesia. Metode Penelitian ini merupakan metode Kohort Retrospektif pada 38 pasien dengan tatalaksana fusi posterolateral dengan menggunakan tandur tulang lokal yang terbagi atas 19 pasien kelompok dengan penambahan aspirat sumsum tulang dan 19 pasien kelompok tanpa penambahan aspirat sumsum tulang. Seluruh pasien mendapatkan tindakan operasi setelah tindakan konservatif gagal dalam mengatasi keluhan nyeri. Evaluasi klinis pada masing-masing kelompok menggunakan skor IDO dinilai sebelum operasi, bulan ke-3 dan ke-6 setelah operasi. Hasil Tiga orang Ahli Orthopaedi Divisi Tulang Belakang melakukan operasi fusi posterolateral dan stabilisasi posterior. Perbandingan skor IDO sebelum operasi di antara kedua kelompok tidak menunjukan perbedaan yang bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata skor IDO pada kedua kelompok hingga bulan ketiga. Namun, perbandingan skor IDO pre operasi dan 6 bulan paska operasi menunjukkan kelompok dengan penambahan aspirat sumsum tulang akan menghasilkan rerata skor IDO lebih baik. Kesimpulan Luaran klinis pasien spondilosis lumbal yang menjalani fusi posteralateral menggunakan tandur tulang lokal dengan penambahan aspirat sumsum tulang menunjukkan hasil yang baik. Penambahan aspirat sumsum tulang pada fusi posterolateral menggunakan tandur tulang lokal dapat dipertimbangkan sebagai alternatif bagi pasien spondilosis lumbal yang diindikasikan untuk tindakan operatif.

ABSTRACT
Introduction The use of local bone graft still a mainstay in posterolateral fusion surgery for lumbar spondylosis cases in developing countries. Low rates of fusion encourage the alternative use of other materials. The addition of bone marrow aspirates in the local bone graft may be an option in the treatment of posterolateral fusion in the lumbar spondylosis patients, however there is no data on the clinical outcomes of treatment of this procedure in indonesia. Methods A retrospective cohort study was conducted in 38 patients treated by posterolateral fusion using local autograft that were divided into 19 patients with addition of bone marrow aspirates and 19 patients without addition of bone marrow aspirates. All patients received surgery after conservative treatments failed to address the complaint of pain. Clinical evaluation in each group using ODI score assessed preoperatively, 3rd, and 6th month postoperatively. Results Three Orthopedic Spine Surgeon performed posterolateral fusion and posterior stabilization. Comparison of preoperative ODI score between the two groups showed no significant difference. There were no significant differences in ODI score mean in both groups in 3 months after surgery. However, the bone marrow aspirate group produced a better mean difference of ODI score after 6 months. Conclusions The clinical outcomes of lumbal spondylosis patients undergoing posteralateral fusion using local autograft with addition of bone marrow aspirate showed good results. The addition of bone marrow aspirates in posterolateral fusion using local bone graft can be considered as an alternative for lumbar spondylosis patients who are indicated for surgery. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Hamdriansyah
"Latar Belakang: Fusi tulang belakang adalah tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada spondilosis lumbal degeneratif. Paradigma fusi tulang belakang sesuai dengan pengalaman dimana nyeri pada diarthrodial joints atau deformitas pada sendi dapat secara sukses diatasi dengan arthrodesis. Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa fusi secara melingkar akan meningkatkan rata-rata fusi yang padat, dengan rata-rata fusi 91%-99%. Bagaimanapun juga, kenyataan bahwa fusi secara melingkar dapat meningkatkan luaran klinik masih kontroversial.
Metode:10 pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif (28-65tahun) dari RSUPN Cipto Mangunkusumo telah dilakukan pembedahan dengan tekhnik PLIF 6 bulan yang lalu, dilakukan penelitian dengan metode crossectional : 6 pria dan 4 wanita, dengan rerata umur 54,1 tahun. Dilakukan pengamatan selisih rerata pada skor ODI ( pre pembedahan dan 6 bulan pasca pembedahan) dan pengamatan fusi dengan ct scan 6 bulan pasca operasi.
Hasil dan diskusi: Dilakukan pengamatan pasca bedah selama 6 bulan. Skor ODI menunjukkan perbaikan luaran klinis pada seluruh pasien. Rerata skor ODI setelah 6 bulan secara bermakna dari 70% ke 20%. Fusi tercapai hanya pada 80% pasien setelah 6 bulan pasca pembedahan.
Kesimpulan:Tekhnik bedah PLIF terbukti meningkatkan luaran klinis dan fungsional pada pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif. Dari skor ODI sebelum pembedahan menurun setelah 6 bulan pasca pembedahan dan fusi tercapai setelah 6 bulan pasca pembedahan dengan PLIF. Terdapat perbedaan bermakna antara selisih rerata ODI skor pre bedah dan pasca bedah pada kelompok dengan fusi dibandingkan dengan kelompok yang tidak fusi.

Introduction: Spinal fusion is the most commonly perfomed surgical treatment for lumbal spondylosis. The paradigm of spinal fusion is based on the experience that painful diarthrodial joints or joint defrormities can be successfully treated by arthrodesis. Several studies have consistently demonstrated that circumferential fusion increase the rate of solid fusion, with fusion rates ranging from 91% to 99%. However, it remains controversial wheter circumferential fusion improves clinical outcome.
Method: Ten adult patients (28-65 years old) from Cipto Mangunkusumo hospital with degenerative lumbal spondylosis after 6 months treated by PLIF, were studied crosssectionaly: 5 men and 5 women with average age of 54,1 years. ODI score ( pre operative and 6 months post operative) and ct scan 6 months post operative were investigated.
Results and Discussion: All cases were followed up for 6 months. ODI score were demonstrated the improvement functional outcome in 90% patients. Mean differrentiated of ODI score after 6 months was decreased significantly from 70% to 20%. Fusion was reached in 80% after 6 months post operatively.
Conclusion: PLIF is proven to be effective to improve clinical and functional outcome in Lumbal spondylosis degenerative. From pre operative ODI score was reduce and fusion was reached after 6 months treated by PLIF. There was significant differrence between mean differrentiated of ODI score pre and 6 months post operative in fusion gorup compared with non fusion group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Mac Theda
"ABSTRAK
Pendahuluan: Kelengkungan sagital tulang belakang memiliki fungsi dalam menjaga distribusi beban aksial terutama pada saat berdiri. Parameter balans sagital mencakup pelvic tilt (PT), pelvic incidence (PI), sacral slope (SS), lumbar lordosis (LL), dan C7 plumb line distance (C7PL). Perubahan tersebut menyebabkan keluhan nyeri dan deformitas. Penelitian sebelumnya menyebutkan ketidakseimbangan sagital pasca fusi berhubungan dengan prognosis klinis yang buruk. Penelitian ini menggunakan skoring IDO untuk luaran klinis. Penelitian ini menilai hubungan parameter balans sagital dengan perbaikan klinis yang dibandingkan sebelum dan sesudah operasi, serta melihat koreksi dari parameter balans sagital sebelum dan sesudah operasi. Metode: Pengambilan data dilakukan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan metode Cohort. Subjek adalah 31 orang, pria dan wanita dewasa yang dilakukan fusi lumbal pada Januari 2016 sampai Juli 2017. Pasien mengisi kuisioner IDO dan menjalani pemeriksaan xray whole spine sebelum dan setelah fusi lumbal. Peneliti melakukan analisis skor IDO dan parameter balans sagittal menggunakan program Surgimap. Hasil: Didapatkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik antara PT, LL, C7PL. Sedangkan PI dan SS menunjukkan hubungan bermakna secara statistik. Koreksi parameter balans sagital setelah fusi lumbal tidak ditemukan hasil yang signifikan secara statistik. Pembahasan: Dari penelitian sebelumnya di Indonesia didapatkan PI dan C7PL yang berhubungan dengan luaran klinis. Namun pada penelitian ini didapatkan PI dan SS yang bermakna secara statistik terhadap perbaikan klinis. Tidak didapatkan hasil yang signifikan untuk koreksi parameter balans sagital pasca fusi lumbal. Hal ini dikarenakan karena sulitnya untuk mengevaluasi koreksi pada saat intraoperatif.

ABSTRACT<>br>
Introduction: Normal anatomy of the spine curvature has a function to distribute axial loading. Sagittal balance parameters consist of pelvic incidence (PI), pelvic tilt (PT), sacral slope (SS), lumbar lordosis (LL) and C7 plumb line distance (C7PL). Changes on these parameters may cause pain and other disabilities. The author used ODI score to measure clinical outcome. The goal of this research is to show the correlation between the parameter of sagittal balance with clinical outcome that is measured using ODI score taken before and after surgery and to show whether the sagittal balance parameters are corrected post operatively. Methods: Data collection was taken in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The study design is analytic observational with cohort. The subjects were 31, consist of male and female adult that undergo lumbar fusion during January 2016 until July 2017. All patients got whole spine xray and fill the ODI score questionnaire before and after the surgery. The sagittal balance parameters was measured using Surgimap software.Results The results showed that there was no significant relationship between PT, LL, C7PL with improvement of the patients statistically. There was a significant relationship between PI and SS with improvement of the patients statistically. There was no statistically significant correction of the sagittal balance parameters post operatively. Discussion: Previous study in Indonesia showed PI and C7PL were significant clinically. But this study concluded PI and SI that influence the clinical outcome. We found that the current surgical technique did not correct the sagittal balance parameters. This may be caused by the difficulty to monitor the correction intraoperatively. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ade Junaidi
"Latar Belakang. Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Spondilitis tuberkulosis dapat menyebabkan perubahan parameter-parameter spinopelvis yang meliputi pelvic incidence, pelvic tilt dan sacral slope akibat perubahan biomekanika pada tulang belakang. Segmen vertebrae torakal dan lumbar merupakan lokasi yang paling sering terkena spondilitis tuberkulosis. Instrumentasi posterior merupakan salah satu modalitas tata laksana spondilitis tuberkulosis. Namun, di Indonesia, data luaran klinis dan radiologi pasca instrumentasi posterior pada tuberkulosis lumbal masih langka. Studi ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis dan radiologis pasien spondilitis tuberkulosis lumbar sebelum dan sesudah instrumentasi posterior.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien dengan spondilitis tuberkulosis lumbal di RS Cipto Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati. Subjek penelitian dikumpulkan secara consecutive sampling. Total subjek yang dikumpulkan dan dianalisis berjumlah 23 pasien. Luaran klinis dan radiologis sebelum dan sesudah instrumentasi posterior akan dibandingkan. Luaran klinis yang dinilai meliputi skor Visual Analog Scale (VAS) dan skor Oswestry Disability Index (ODI). Luaran radiologis yang dinilai meliputi sacral slope, pelvic tilt, pelvic incidence, dan lumbar lordosis. Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 20.
Hasil. Median usia subjek penelitian adalah 31 (9-57) tahun. Sebanyak 60,9% subjek berjenis kelamin perempuan. Median jumlah vertebra yang terinfeksi adalah 2 (1- 4). Median skor VAS sebelum operasi, 6 bulan setelah operasi, dan 12 bulan setelah operasi secara berturut-turut adalah 9 (4 – 10), 4 (1-7), dan 2 (1-6) (p<0,001). Median skor ODI sebelum operasi, 6 bulan setelah operasi, dan 12 bulan setelah operasi secara berturut-turut adalah 70 (40 – 86), 34 (10 – 74), dan 12 (2 – 74) (p<0,001). Tidak ditemukan perbedaan bermakna parameter lumbar lordotic, pelvic incidence, pelvic tilt, dan sacral slope sebelum dan setelah operasi. Selisih skor ODI sebelum dan sesudah operasi berkorelasi negatif dengan selisih lumbar lordotic dan sacral slope.
Kesimpulan. Instrumentasi posterior dapat meningkatkan luaran klinis pada pasien spondilitis tuberkulosis lumbal. Instrumentasi posterior tidak bermakna dari segi koreksi parameter spinopelvis. Perubahan lumbar lordotic dan sacral slope setelah dilakukan instrumentasi posterior memberikan hasil perbaikan kualitas hidup yang ditandai dengan berkurangnya skor ODI.

Introduction. Spondylitis tuberculosis is an infection of the vertebrae caused by Mycobacterium tuberculosis. Spondylitis tuberculosis can cause changes in spinopelvic parameters including pelvic incidence, pelvic tilt, and sacral slope due to biomechanical changes of the spine. The thoracal and lumbar vertebrae are the most commonly affected segment in spondylitis tuberculosis. Posterior instrumentation is one of the modality for the treatment of spondylitis tuberculosis. However, in Indonesia, clinical and radiological outcomes after posterior instrumentation in tuberculosis of lumbar vertebrae is still scarce. This study aims to investigate the clinical and radiological outcomes of patients with spondylitis tuberculosis of the lumbar vertebrae after posterior instrumentation.
Method. This study was a cross sectional study in patients with spondylitis tuberculosis of the lumbar vertebrae who underwent posterior instrumentation in Cipto Mangunsukumo and Fatmawati Hospital. Subjects were collected through consecutive sampling. 23 subjects were collected and analyzed. Clinical and radiological outcomes before and after posterior instrumentation were compared. The clinical outcome included the Visual Analog Scale (VAS) and Oswestry Disability Index (ODI). The radiological outcome included sacral slope, pelvic tilt, pelvic incidence, and lumbar lordosis. Statistical analysis was performed using SPSS version 20.
Result. The median of age of the subjects was 31 (9-57) years. The subjects consisted of 60,9% female. The median of the total vertebral infected was 2 (1-4). Median of VAS score before surgery, 6 months after surgery, and 12 months after surgery were 9 (4 – 10), 4 (1-7), dan 2 (1-6) (p<0,001) consecutively. Median of ODI score before surgery, 6 months after surgery, and 12 months after surgery were 70 (40 – 86), 34 (10 – 74), dan 12 (2 – 74) (p<0,001) consecutively. There was no significant difference in lumbar lordotic, pelvic incidence, pelvic tilt, and sacral slope before and after the surgery. The difference of ODI score before and after the surgery inversely correlated with the difference of lumbar lordotic and sacral slope.
Conclusion. Posterior instrumentation could improve clinical outcomes in patients with spondylitis tuberculosis of lumbar. Posterior instrumentation did not significantly associate with correction of spinopelvic parameter. Change of lumbar lordotic and sacral slope after posterior instrumentation led to improvement of quality of life marked by reduction of ODI score
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M.Ade Putra
"Pendahuluan Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS) merupakan salah satu metode minimal invasif untuk melakukan dekompresi struktur saraf pada Degeneratif Lumbal Canal Stenosis (DLCS). Teknik ini memiliki keunggulan dibandingkan teknik lainnya dalam preservasi jaringan lunak dan struktur posterior tulang belakang. Penambahan prosedur discectomy pada pembedahan terbuka diketahui akan menyebabkan penurunan tinggi diskus secara signifikan, mempercepat proses degenerasi pada diskus itu sendiri sehingga akan merubah biomekanika segmen vertebra dan menimbulkan nyeri bahkan instabilitas di kemudian hari. Untuk itu, dilakukan penelitian dengan membandingkan hasil luaran klinis dan radiologis pada DLCS yang dilakukan BESS dengan penambahan discectomy dan tanpa discectomy
Metodologi Penelitian ini mengambil data dari 48 subjek DLCS yang memenuhi kriteria inklusi yang telah menjalani prosedur BESS. Kemudian dibagi menjadi kelompok BESS discectomy sebanyak 24 subjek dan BESS tanpa discectomy sebanyak 24 subjek secara consecutive sampling. Pada masing-masing kelompok dinilai luaran klinis berupa skala nyeri Numerical Rating Scale (NRS) dan skor Oswestry Disability Index (ODI) pre dan 1 tahun pasca operasi. Luaran radiologis dinilai berupa tinggi diskus pada x ray lumbal lateral berdiri pre dan pasca 1 tahun operasi dan adanya instabilitas dinilai dari translasi sagittal dinamik, angulasi sagittal dinamik pada x ray lumbal dinamik berdiri 1 tahun pasca operasi
Hasil Dari 48 orang subjek pada penelitian ini, rerata usia sebesar 57.56+8.37, sebagian besar berjenis kelamin perempuan 31 (64.6%), dengan level stenosis terbanyak pada L4-5 yaitu sebesar 64.6%, diikuti L5-S1 sebesar 25% dan L3-4 10.4%. Pada kelompok BESS discectomy didapatkan perbedaan yang bermakna terhadap skala nyeri NRS back dan leg pain, skor ODI, serta penurunan tinggi diskus pre dan pasca operasi 1 tahun (p<0,001), begitu juga dengan kelompok BESS tanpa discectomy. Perbandingan perbedaan penurunan tinggi diskus antara kedua kelompok pasca 1 tahun operasi, menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu pada BESS discectomy dengan rerata 1,63 + 0,87 mm, sedangkan pada BESS tanpa discectomy sebesar 0,46 + 0,36 mm (p <0,001). Perbandingan terjadinya instabilitas tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok ( p=0,234)
Diskusi dan Kesimpulan Prosedur BESS pada kasus DLCS memberikan penurunan skala nyeri NRS back pain dan leg pain yang sama baiknya pada kelompok BESS discectomy dan BESS tanpa discectomy. Tidak didapatkan perbedaan terjadinya instabilitas pada kedua kelompok, meskipun didapatkan perbedaan penurunan tinggi diskus yang signifikan antara kedua kelompok setelah 1 tahun operasi.

Introduction Biportal Endoscopic Spine Surgery (BESS) is a minimally invasive method for decompressing nerve structures in Degenerative Lumbar Canal Stenosis (DLCS). This technique has advantages over other techniques in the preservation of soft tissue and posterior structures of the spine. The addition of a discectomy procedure to open surgery is known to cause a significant reduction in disc height, accelerate the degeneration process of the disc itself so that it will change the biomechanics of the vertebral segments and cause pain and even instability in the future. For this reason, research was conducted by comparing the clinical and radiological outcomes of DLCS performed by BESS with the addition of discectomy and without discectomy.
Materials and Methods This study took data from 48 DLCS subjects who met the inclusion criteria who had undergone the BESS procedure. Then divided into BESS discectomy group with 24 subjects and BESS without discectomy with 24 subjects using consecutive sampling. In each group, clinical outcomes were assessed in the form of the Numerical Rating Scale (NRS) pain scale and Oswestry Disability Index (ODI) scores pre and 1 year after surgery. Radiological outcomes were assessed in the form of disc height on standing lateral lumbar x-ray pre and post 1 year of surgery and the presence of instability was assessed from dynamic sagittal translation, dynamic sagittal angulation on standing dynamic lumbar x ray 1 year post surgery.
Results Of the 48 subjects in this study, the average age was 57.56+8.37, the majority were female 31 (64.6%), with the highest level of stenosis at L4-5 (64.6%), followed by L5-S1 at 25% and L3-4 10.4%. In the BESS discectomy group, there were significant differences in the NRS back and leg pain scales, ODI scores, and reduction in disc height pre and post-operatively 1 year (p<0.001), as well as in the BESS group without discectomy. Comparison of the difference in disc height reduction between the two groups after 1 year of surgery, showed a significant difference,in BESS discectomy with a mean of 1.63 + 0.87 mm, while in BESS without discectomy it was 0.46 + 0.36 mm (p <0.001 ). Comparison of the occurrence of instability did not show a significant difference between the two groups (p=0.234)
Discussion and Conclusion The BESS procedure in DLCS cases provided an equally good reduction in the NRS back pain and leg pain scales in the BESS discectomy and BESS without discectomy groups. There was no difference in the occurrence of instability in the two groups, although there was a significant difference in disc height reduction between the two groups after 1 year of surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Demy Faheem Dasril
"Pendahuluan: Cedera ACL merupakan penyakit dengan impact besar pada pasien usia produktif. Pada penelitian ini, fokus utama adalah pilihan graft. Autograft quadriceps merupakan pilihan yang rasional untuk masyarakat Asia dimana diameter serta panjang tendon hamstring lebih kecil. Kami bermaksud melakukan perbandingan luaran klinis antara autograft quadriceps dan hamstring pada kasus rekonstruksi ACL per artroskopik.
Metode: Desain penelitian adalah kohort prospektif. Tiga puluh pasien diikutsertakan dalam studi ini yang dibagi menjadi dua grup (quadriceps dan hamstring). Pengambilan data berlangsung selama 1 tahun (Februari 2016-2017) di RSPAD Gatot Subroto dan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Instrumen yang digunakan adalah rolimeter dan 3 buah kuesioner (IKDC, Tegner-Lysholm, dan KOOS). Evaluasi dilakukan secara repeated time measurements.
Hasil: Rerata rolimeter kelompok quadriceps 3,12 ± 0,94 dan kelompok hamstring 3,87 ± 0,61 (p=0,015). Parameter side to side difference didapatkan lebih baik pada kelompok quadriceps (0,34 ± 0,70) dibandingkan hamstring (0,84 ± 0,60) dengan p=0,04. Pada skor IKDC, didapatkan data 1 bulan (p=0,002; rentang 95%IK [8,81-31,79]) dan 3 bulan (p=0,004; 95%IK [4,85-20,39]) paska operasi yang baik. Skoring Tegner-Lysholm bermakna pada kedua data (numerik dan kategorik). Pada data numerik (1 bulan paska operasi), didapatkan nilai p=0,004 yang sinkron dengan data kategorik (p=0,050). Untuk skoring KOOS, didapatkan hasil bermakna pada 3 dan 6 bulan paska operasi pada sub-item nyeri (p=0,034) serta symptoms (p=0,001).
Diskusi: Luaran klinis pada kelompok quadriceps lebih baik dibandingkan hamstring, baik secara parameter obyektif maupun subyektif.

Introduction: ACL rupture has a high impact in productive-age population. In this research, the main focus is the graft choice. Quadriceps is a rational choice for Asian population in which the diameter and length of the hamstring tendon is small. In this research, we evaluate the clinical outcome between quadriceps and hamstring autografts in arthroscopic-assisted ACL reconstruction.
Methods: Research design was prospective cohort. Total sample was 30 patients divided into 2 groups (quadriceps and hamstring). Sampling was taken between February 2016-2017 (1 year) in Army Hospital Gatot Subroto and Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Instruments used in this study are the rolimeter and questionnaires (IKDC, Tegner-Lysholm, dan KOOS). Data assessment was carried out in repeated time measurements.
Results: Mean difference of quadriceps (3,12 ± 0,94) and hamstring (3,87 ± 0,61) is statistically different (p=0,015). Side to side difference shows better result in quadriceps (0,34 ± 0,70) compared to hamstring (0,84 ± 0,60) with p=0,04. IKDC scores in 1 month (p=0,002; CI95% [8,81-31,79]) and 3 months (p=0,004; CI95% [4,85-20,39]) post operative is better in quadriceps group. In Tegner-Lysholm assessment (1 month post operative), the numbers were consistent between numeric data (p=0,004) and categoric data (p=0,050) in quadriceps group. There was an improvement during 3 and 6 months post operative KOOS sub-item scales; pain (p=0,034) and symptoms (p=0,001).
Discussion: The functional outcome of quadriceps group was better than hamstring group, based on objective and subjective parameters."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>