Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97394 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saragih, Arlyando Hezron
"ABSTRAK
Latar Belakang: COX-2 adalah mediator sintesis prostaglandin yang kadarnya
meningkat pada tumor kolorektal. Gen messenger RNA COX-2 diekspresikan
berlebihan pada sebagian besar tumor kolorektal. MessengerRNA COX-2 tinja
merupakan modalitas non invasif untuk mendeteksi lesi neoplastik kolorektal.
Tujuan: Mengetahui akurasi ekspresi mRNA COX-2 tinja dalam mendiagnosis
lesi neoplastik kolorektal.
Metode: Studi potong lintang pada pasien yang dicurigai kanker kolorektal.
Ekspresi mRNA COX-2 tinja diperiksa dengan nested PCR dan hasilnya
dianalisis untuk mendapatkan akurasi uji diagnostik.
Hasil: Terdapat total 96 sampel yang ikut serta dalam penelitian dengan rerata
usia 56,22 tahun. Sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 51 orang dan
perempuan sebanyak 45 orang. Sebanyak 14 sampel merupakan pasien dengan
lesi neoplastik kolorektal dan 82 pasien bukan dengan lesi neoplastik kolorektal.
Akurasi diagnostik mRNA COX-2 tinja adalah sebagai berikut, sensitivitas 35,71
% (95% IK 0,04 ? 0,29), spesifisitas 95,12 % (95% IK 0,85 ? 0,97), nilai prediksi
positif 55,55 % (95% IK 0,16 ? 0,75), nilai prediksi negatif 89,65 % (95% IK 0,61
? 0,80), ratio kemungkinan positif 7,439 (95% IK 0,2 ? 16,34), ratio kemungkinan
negatif 0,6758 (95% IK 0,72 ? 1,24).
Kesimpulan: Pemeriksaan mRNA COX-2 tinja memiliki sensitivitas yang rendah
dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi lesi neoplastik kolorektal.
Kata kunci: Akurasi diagnostik; kanker kolorektal; mRNA COX-2 tinja.
ABSTRACT
Background : COX-2 is the mediator of prostaglandin synthesis that increased in
colorectal cancer. COX-2 has overexpressed in most of colorectal cancer. Fecal
mRNA COX-2 is the non-invasive modality to detect neoplastic lesion of
colorectal.
Objective:Analyzing the accuracy of fecal mRNA COX-2 in diagnosing
neoplastic lesion of colorectal.
Methods : This is a cross sectional study in patient who is suspected colorectal
cancer. Expression of fecal mRNA COX-2 examined with nested PCR and
analyzed to get the diagnostic test accuration.
Results: There were 96 total samples included in this research, with the mean age
of 56,22 years old. There were 51 male subjects and 45 female subjects, 14
subjects with neoplastic lesion of colorectal and 82 subjects without neoplastic
lesion of colorectal. Fecal mRNA diagnostic accuration is sensitivity 35,71 %
(95% IK 0,04 ? 0,29), spesificity 95,12 % (95% IK 0,85 ? 0,97), positive
predictive value 55,55 % (95% IK 0,16 ? 0,75), negative predictive value 89,65 %
(95% IK 0,61 ? 0,80), positive likelihood ratio 7,439 (95% IK 0,2 ? 16,34),
negative likelihood ratio 0,6758 (95% IK 0,72 ? 1,24).
Conclusion : Fecal mRNA COX-2 assay has low sensitivity and high specificity
to detect neoplastic lesion of colorectal.
Keyword: Colorectal cancer; diagnostic accuration; fecal mRNA COX-2."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Poetrie Febrinadya
"Pendahuluan: Pergerakan gigi ortodonti akan merangsang terjadinya proses inflamasi sehingga mengeluarkan mediator inflamasi. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu mediator inflamasi yang dikeluarkan selama pergerakan ortodonti dan berperan dalam resorpsi tulang. Proses inflamasi ini terjadi pada semua pergerakan ortodonti termasuk pada penggunaan sistem self-ligating. Walaupun sistem self-ligating diklaim banyak memiliki keuntungan, termasuk efeknya pada ligamen periodontal, akan tetapi belum ada penelitian secara biomolekular yang membandingkan mediator inflamasi dalam ligamen periodontal.
Metode: Duabelas pasien dari klinik ortodonti, FKG-UI, dengan kasus nonekstraksi dan indeks iregularitas pada insisif mandibula sebesar 4-9 mm, mendapatkan perawatan ortodonti dengan sistem self-ligating pasif (Damon Q, Ormco) dan sistem konvensional preskripsi MBT (Agile, 3M). Cairan krevikular gingiva diambil dari sisi labial regio insisif mandibula pada 0 jam (sebagai kontrol), 24 jam, dan 4 minggu. Kadar PGE2 diperiksa menggunakan ELISA.
Hasil: Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan kadar PGE2 pada pemakaian braket self-ligating dibandingkan dengan konvensional pada 0 jam, 24 jam (p=0,815), dan 4 minggu (p=0,534), namun secara deskriptif kelompok selfligating memiliki kadar PGE2 lebih tinggi dari konvensional secara konsisten pada 0, 24jam, dan 4 minggu. Pada waktu 24 jam, kadar PGE2 meningkat dibandingkan saat 0 jam, pada kedua sistem, dan kadar PGE2 pada kelompok self-ligating pasif (302,55±26,33 pg/ mL) lebih besar daripada kelompok konvensional (264,43±83,08 pg/mL). Pada waktu 4 minggu, kadar PGE2 menurun dibandingkan dengan waktu pengambilan 0 jam dan 24 jam, pada kedua kelompok sistem, dan kadar PGE2 pada kelompok self-ligating (236,17±42,63 pg/mL) lebih besar dari kelompok konvensional (208,267±81,83 pg/mL).
Kesimpulan: Penelitian kami menyimpulkan bahwa sistem self-ligating memberikan respon selular yang berbeda dibandingkan sistem konvensional.

Introduction: Inflammation process, as a result of orthodontic tooth movement, will trigger the release of inflammatory mediator. Prostaglandin E2 (PGE2) is one of the inflammatory mediator that is released during the orthodontic movement and plays an important role in bone resorption. These inflammatory process occurred in all orthodontic movement included in orthodontic treatment using self-ligating system. Although self-ligating system?s advantages have been claimed, including the effect of the system in periodontal ligament, there are still no research in biomolecular level comparing the mediator release in periodontal ligament.
Objective: The purpose of this study was to examine PGE2 concentration in gingival crevicular fluid (GCF) during initial alignment of anterior mandible, using two different system brackets, passive self-ligating and conventional bracket.
Methods: Twelve patients with mandibular incisor irregularities of 4 to 9 mm and prescribed nonextraction cases, from orthodontic clinic, faculty of dentistry, Universitas Indonesia, were having orthodontic treatment. They were divided into 2 groups, each group were using Damon passive self-ligating system (Damon Q, Ormco), and conventionally ligated bracket with MBT?s prescription (Agile, 3M). GCF were taken from labial site of mandibular incisors at 0 hour (served as control), 24 hours, and 4 weeks. PGE2 level was determined using ELISA kit.
Results: There was no statistically difference in PGE2 level in self-ligating system group compared with conventional group, at 0, 24 hours, and 4 weeks, but from descriptive view self-ligating group had higher PGE2 levels than conventional at 0, 24 hours, and 4 weeks. At 24 hours, mean of PGE2 level was elevated from 0 hour, in both groups, and mean of PGE2 level was higher in self-ligating group (302,55±26,33 pg/ mL) than conventional group (264,43±83,08 pg/mL). At 4 weeks, mean of PGE2 level was decrease from 0, and 24 hours in both groups, and mean of PGE2 level was still higher in self-ligating group (236,17±42,63 pg/mL) than conventional group (208,267±81,83 pg/mL).
Conclusion: Our findings suggest that self-ligating giving difference cellular response than conventional systems during orthodontic tooth movement
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31294
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tofan Rakayudha
"Latar belakang: Kanker kolorektal merupakan keganasan peringkat ketiga terbesar di dunia dengan insidensi dan penyebab kematian terbanyak, Peran deteksi dini kanker kolorektal dengan visualisasi langsung dan penanda tertentu terbukti menurunkan angka insidensi dan kematian, namun program ini memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Metode non invasif pemeriksaan berbasis feses telah digunakan dan dikembangkan. Kombinasi mRNA CEA, mRNA COX-2 dan FIT pada feses diharapkan sebagai metode deteksi dini non invasif dengan sensitivitas dan spesifitas yang baik dalam penanda diagnostik kanker kolorektal.
Tujuan: Mengevaluasi nilai diagnostik kombinasi pemeriksaan mRNA CEA, mRNA COX-2 dan FIT pada feses sebagai penanda diagnostik kanker kolorektal
Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa yang diduga kanker kolorektal di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo pada bulan November 2015 hingga Februari 2016, Uji diagnostik digunakan untuk mengevaluasi nilai sensitivitas, spesifisitas, NPP, NPN, PLR, NLR pada kombinasi dalam mendeteksi kanker kolorektal dengan pemeriksaan histopatologi jaringan yang diambil dari kolonoskopi sebagai baku emas.
Hasil: Dari total 97 subjek penelitian, rerata usia 56 tahun, 50,5% pria dan 77,3% berusia > 50 tahun. Keluhan klinis perdarahan nyata saluran cerna terbanyak dengan 43,3%. Lokasi tumor terbanyak pada kolon descenden, sigmoid, dan rektum yaitu 8,24%, 6,18%, dan 5,15%. Proporsi lesi kanker kolorektal (adenokarsinoma) sebanyak 15% dan lesi non kanker kolorektal sebanyak 84.5%. Nilai sensitivitas dan spesifitas pada kanker kolorektal sebesar 93,33% (IK 95% 70,18-98,81) dan 60,98% (IK 95% 50,15-70,82). NPP, NPN, PLR, dan NLR berturut turut 30,43% (IK 95% 19,08-44,81), 98.04% (IK 95% 89,70- 99,65), 2,39 ( IK 95% 1,28-4,48), dan 0,11 (IK 95% 0,02 – 0,79). Skor AUC untuk membedakan kanker kolorektal adalah 77,2 % (IK 95% 66,3 – 88,0)
Kesimpulan: Nilai sensitivitas, spesifitas, NPP, NPN, PLR dan NLR kombinasi pemeriksaan mRNA CEA, mRNA COX-2 dan FIT pada feses untuk mendeteksi kanker kolorektal berturut-turut adalah 93,33%, 60,98%, 30,43%, 98,04%, 2.39, dan 0,11.

Background: Colorectal cancer is the third largest malignancy in the world with the highest incidence and cause of death. The role of early detection of colorectal cancer with direct visualization and certain markers has been proven to reduce incidence and death rates, however this program has a low participation rate. Non-invasive methods of stool-based examination have been used and developed. The combination of CEA mRNA, COX-2 mRNA and FIT in feces is expected to be a non-invasive early detection method with good sensitivity and specificity as a diagnostic marker for colorectal cancer.
Aim: Evaluating the diagnostic value of a combination of CEA mRNA, COX-2 mRNA and FIT examination in feces as a diagnostic marker for colorectal cancer
Method: Cross-sectional study with an accessible population of adult patients suspected of colorectal cancer at Ciptomangunkusumo Hospital from November 2015 to February 2016. Diagnostic tests were used to evaluate the value of sensitivity, specificity, NPP, NPN, PLR, NLR in combination in detecting colorectal cancer with histopathological examination tissue taken from colonoscopy as the gold standard.
Results: Of the total 97 research subjects, the average age was 56 years, 50.5% were men and 77.3% were > 50 years old. Clinical complaints of real gastrointestinal bleeding were the highest with 43.3%. The most common tumor locations were the descending colon, sigmoid and rectum, namely 8.24%, 6.18% and 5.15%. The proportion of colorectal cancer lesions (adenocarcinoma) was 15% and non-colorectal cancer lesions was 84.5%. The sensitivity and specificity values ​​for colorectal cancer were 93.33% (95% CI 70.18-98.81) and 60.98% (95% CI 50.15-70.82). NPP, NPN, PLR, and NLR respectively 30.43% (95% CI 19.08-44.81), 98.04% (95% CI 89.70- 99.65), 2.39 (95% CI 1 .28-4.48), and 0.11 (95% CI 0.02 – 0.79). The AUC score for differentiating colorectal cancer is 77.2% (95% CI 66.3 – 88.0)
Conclusion: The sensitivity, specificity, NPP, NPN, PLR and NLR values ​​of the combination of CEA mRNA, COX-2 mRNA and FIT examination in feces to detect colorectal cancer were 93.33%, 60.98%, 30.43%, 98.04%, 2.39, and 0.11.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tammy Nurhardini
"ABSTRAK
Kanker kolorektal menempati urutan ketiga terbanyak dari kasus kanker pada laki-laki
dan menempati urutan kedua pada wanita di seluruh dunia. Karakteristik enzimatik
kanker kolorektal menunjukkan adanya peningkatan enzim M2PK tumor. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi pemeriksaan M2PK tumor pada feses pasien tersangka
keganasan kolorektal dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku
emas, menggunakan nilai titik potong baru dan nilai titik potong berdasarkan manufaktur.
Desain penelitian adalah desain potong lintang dengan penyajian data secara deskriptif
analitik. Subjek penelitian terdiri dari 86 pasien dewasa yang menjalankan kolonoskopi.
Pemeriksaan M2PK tumor pada feses dilakukan menggunakan kit ScheBo Tumor M2-
PK Stool Test dengan metode ELISA. Proporsi M2PK tumor pada feses pasien
tersangka kanker kolorektal pada penelitian ini didapatkan sebesar 72,09%. Nilai titik
potong baru untuk pemeriksaan M2PK tumor didapatkan sebesar 14,18 U/ml dengan
sensitivitas 59,26%, spesifisitas 59,32%, NPP 40,00% dan NPN 76,09%. Hasil uji
diagnostik menggunakan nilai titik potong M2PK berdasarkan manufaktur (≥4 U/ml)
didapatkan sensitivitas 92,59%, spesifisitas 37,29%, NPP 40,32%, dan NPN 91,67%.
Berdasarkan hasil tersebut, maka pemeriksaan M2PK tumor pada feses dengan nilai titik
potong 4 U/ml dapat digunakan, terutama sebagai uji penapisan (screening) kanker
kolorektal, sedangkan pemeriksaan M2PK sebagai uji diagnostik kanker kolorektal masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Setiawan
"Sampai saat ini, etiologi simple bone cyst(SBC) masih belum jelas; terdapat sejumlah teori mengenai terbentuknya SBC. Salah satu teori yang paling populer adalah obstruksi vena yang berakibat pada akumulasi cairan. Cairan-cairan ini diketahui mengandung faktor resorptif tulang, diantaranya adalah interleukin-1b(IL-1b) dan prostaglandin E2 (PGE2). Selain itu, parameter rasio limfosit monosit (LMR) saat ini sering dipakai memprediksi prognosis suatu keganasan, namun belum ada data yang berhubungan dengan tumor jinak. Kortikosteroid diketahui memiliki efek inhibitorik pada resorpsi tulang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar IL-1bdan PGE2 pada pasien SBC yang dilakukan injeksi steroid serial. Desain studi kohort prospektif dilakukan dengan menganalisis cairan kista pasien SBC yang datang ke RSCM pada bulan Januari 2018 sampai Juli 2019. Dilakukan dekompresi dan injeksi metilprednisolon asetat dosis 80-120mg tergantung dari usia dan berat badan subyek. Interval antar injeksi adalah satu bulan. Cairan dianalisis untuk mengukur kadar IL-1bdan PGE2 dengan menggunakan Quantikine ELISA(R&D System, Minnesota, Amerika Serikat), serta dinilai LMR nya. Kriteria penyembuhan tulang dinilai menggunakan kriteria radiologis Chang. Terdapat 4 subjek dalam penelitian kami, dengan median usia 12 (8-18) tahun. Seluruh subjek berjenis kelamin laki-laki. Dua subjek mengalami SBC pada humerus proksimal, dan dua subjek lainnya mengalami SBC pada femur proksimal. Seluruh kista bersifat aktif. Dua subjek sembuh, satu subjek sembuh dengan defek, dan satu subjek mengalami kista persisten. Didapatkan kadar IL-1bpada 3 subjek berada dibawah 3,9 pg/mlpada serial injeksi dan 1 subjek memiliki kadar 6,7, 13,31, dan 5,42 pg/ml.Sedangkan kadarbaselinePGE2 pada4 subjekadalah411, 122,5, 437,99dan 261,49pg/ml.Nilai LMR pada 4 subjek 6,2, 6,54, 5,4 dan 8,13.Terdapat perubahan kadar PGE2 dalam cairan SBC yang dilakukan pada injeksi steroid serial dengan kecenderungan meningkat paska injeksi yang pertama, lalu menurun paska serial injeksi berikutnya.Kadar interleukin IL-1βberada dibawah 3,9pg/mldalam cairan SBC yang dilakukan injeksi steroid serial.Tidak terdapat hubungan LMR dengan proses penyembuhan dan progresivitas lesi SBC

To date, the aetiology of simple bone cyst (SBC) remains controversial. Several theories regarding its pathogenesis exist, and one of the most popular ones is venous obstruction which leads to fluid accumulation. This fluid contains bone resorptive factor, such asinterleukin-1b(IL-1b) and prostaglandin E2 (PGE2). Corticosteroid is known to possess an inhibitory effect on bone resorption. The objective of this study is to analyze IL-1bdan PGE2 in patients with SBC who treated with serial steroid injection. This prospective study was conducted by analyzing cyst fluid of patients diagnosed with SBC who went to Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia during the period between January 2018 and July 2019. The subjects underwent decompression, and subsequently they were injected with methylprednisolone acetate. The dose of the steroid varied from 80 to 160 mg according to the subject's age and weight. The interval of each injection was one month. The fluid was analyzed for its IL-1band PGE2 levels by means of Quantikine ELISA (R&D System, Minnesota, United States). Bone healing was evaluated using Chang criteria. A total of 4 subjects (median age: 12 [8-18] years of age) were included in our study. All subjects were male. Two subjects had SBC on the proximal humerus, and the other two had SBC on the proximal femur. All cysts were active. Two subjects healed, one healed with defect, and one had persistent cyst. We found that the IL-1bof3 subjects were below3.9 pg/mlin serial injection, and one subject had IL-1blevels of6.7, 13.31, and5,42 pg/ml.Whereas, the baseline PGE2 levels in four subjects were 411, 122.5, 437.99and261,49pg/ml.TheLMRin four subjects werepada 4 subjek 6.2, 6.54, 5.4 dan 8.13.We found change in PGE2 levels in SBC fluid that was treated with serial steroid injection. We found an increasing trend after the first injection, which was followed by a decreasing trend in the subsequent injection. The IL-1β levels in all timepoint were below3.9pg/ml."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmawati Fadlin
"Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi pada diabetes melitus, salah satunya adalah nefropati diabetik. Pendeteksian nefropati diabetik dapat dilakukan dengan menghitung nilai eLFG maupun UACR. Di sisi lain, senyawa 8-iso-Prostaglandin F2? yang merupakan salah satu biomarker stres oksidatif sedang diteliti sebagai penanda awal gangguan fungsi ginjal.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kadar 8-iso-Prostaglandin F2? dengan bertambahnya durasi DM tipe 2 dan korelasinya dengan nilai eLFG. Subjek penelitian terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok pasien DM tipe 2 n = 48 dan kelompok subjek non DM n = 13 di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Kadar 8-iso-Prostaglandin F2? diukur dengan menggunakan ELISA dan nilai eLFG dihitung menggunakan persamaan CKD-EPI.
Hasil uji beda rerata menunjukkan terdapat perbedaan kadar 8-iso-Prostaglandin F2? p = 0,010 tetapi tidak terdapat perbedaan nilai eLFG p = 0,610 pada pasien DM tipe 2 tahun 2016-2017. Hubungan antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2? dengan eLFG berdasarkan persamaan CKD-EPI pada sampel DM tipe 2 r = 0,293; p = 0,043 . Sehingga diketahui bahwa terdapat hubungan positif bermakna antara kadar 8-iso-Prostaglandin F2? dengan nilai eLFG pada pasien DM tipe 2 tahun 2016-2017.

Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characteristics of hyperglycemia. Hyperglycemia can lead to various complications in diabetes mellitus, one of them is diabetic nephropathy. Detection of diabetic nephropathy can be done by calculating both eLFG and UACR values. On the other hand, the 8 iso Prostaglandin F2 compound which is one of the oxidative stress biomarkers is being investigated as an early marker of impaired renal function.
The objective of this study was to analyze the level of 8 iso Prostaglandin F2 with increasing duration on T2DM patients and its correlation with eGFR. Samples were divided into two groups, which was T2DM patients n 48 and non DM subjects n 13 at Pasar Minggu Community Health Center. 8 iso Prostaglandin F2 concentrations were measured using ELISA and eGFR were calculated using CKD EPI equation.
The result of mean different test showed there was difference of 8 iso Prostaglandin F2 concentration p 0,010 but there was no difference of eGFR value p 0,610 on T2DM patients in 2016 2017. The correlation between 8 iso Prostaglandin F2 and eGFR in T2DM samples r 0,293 p 0,043 . The results showed that there was a significant positive correlation between 8 iso Prostaglandin F2 concentration and eGFR CKD EPI equation on T2DM patients in 2016 2017.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Maulana
"Latar belakang. Kanker kolorektal merupakan keganasan saluran cerna yang menjadi salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terkait kanker paling banyak di dunia. Perkembangan sel normal menjadi kanker melalui proses mutasi genetik yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Program skrining dapat menurunkan angka kematian namun partisipasinya masih rendah. Saat ini tersedia metode yang bersifat tidak invasif diantaranya dengan dasar pemeriksaan feses yang telah luas digunakan baik sebagai tes tunggal maupun kombinasi. Berbagai metode skrining terus dikembangkan untuk mendapatkan nilai diagnostik yang baik. Dengan mengkombinasikan mRNA CEA feses dan FIT diharapkan dapat menghasilkan metode skrining dengan sensitivitas dan spesifistas yang baik serta terjangkau. Tujuan. Mengevaluasi nilai diagnostik pemeriksaan kombinasi mRNA CEA feses dan FIT dalam mendeteksi lesi neoplastik kolorektal. Metode. Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa yang diduga kanker kolorektal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan November 2015 sampai Februari 2016. Analisis uji diagnostik digunakan untuk mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, RKP dan RKN kombinasi mRNA CEA feses dan FIT dalam mendeteksi lesi neoplastik kolorektal dengan pemeriksaan histopatologi jaringan yang diambil melalui kolonoskopi sebagai baku emas. Lesi neoplastik kolorektal terdiri dari lesi prakanker/adenoma dan kanker.
Hasil. Sebanyak 78 subjek penelitian dengan rerata umur 55,32±12,6 tahun, 73,1% berumur 3 50 tahun dan 53,8% berjenis kelamin pria. Keluhan klinis terbanyak berupa perdarahan nyata saluran cerna 33,3%, nyeri perut 28,2%, dan perubahan pola defekasi 24,4%. Proporsi lesi neoplastik kolorektal sebesar 30,7% terdiri dari prakanker/adenoma 12,8% dan kanker 17,9%. Sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, RKP dan RKN untuk mendeteksi lesi neoplastik kolorektal berturut turut 75%, 61,11%, 46,07%, 84,66%, 1,93, 0,41; adenoma berturut-turut 50,00%, 50,00%, 12,80%, 87,20%, 1,00, 1,00; dan kanker kolorektal berturut turut 92,86%, 59,37%, 33,26%, 97,44%, 2,29, 0,12. Kesimpulan. Kombinasi mRNA CEA feses dan FIT untuk mendeteksi lesi neoplastik kolorektal di Indonesia memiliki nilai NDN tinggi tetapi sensitivitas, spesifisitas, NDP, RKP dan RKN yang rendah.

Background. Colorectal cancer is one of the gastrointestinal tract malignancy which is one of the most common causes of cancer-related morbidity and mortality in the world. The development of normal cells into cancer through genetic mutations process that take years. Screening programs can reduce mortality rates but low participation. Currently, non-invasive methods are available including the stool based examination which has been widely used as a single test or in combination. Various screening methods continue to be developed to obtain good diagnostic value. By combining faecal CEA and FIT mRNA, it is expected to produce a screening method with good sensitivity and specificity and is affordable. Objective. We aimed to evaluate the diagnostic value of combination faecal mRNA CEA and FIT to detect neoplastic lesions of colorectal Methods. Cross-sectional study with with suspected colorectal cancer at Ciptomangunkusumo Hospital from November 2015 to February 2016. Diagnostic test analysis was used to obtain sensitivity, specificity, PPV, NPV, PLR and NLR of the combination of faecal mRNA CEA and FIT in detecting neoplastic lesions of colorectal by histopathological examination of tissues taken through colonoscopy as the gold standard. Colorectal neoplastic lesions consist of precancerous/adenoma and cancerous lesions.
Results. A total of 78 subjects with a mean age of 55.32±12.6 years, 73.1% aged older than fifty and 53.8% were male. The most clinical complaints were obvious gastrointestinal bleeding 33.3%, abdominal pain 28.2%, and changes in bowel habits 24.4%. The proportion of colorectal neoplastic lesions was 33.3% consisting of 15.4% precancer/adenoma and 17.9% cancer. Sensitivity, specificity, PPV, NPV, PLR and NLR for detecting colorectal neoplastic lesions was 75%, 61.11%, 46.07%, 84.66%, 1.93, 0.41 respectively; adenoma 50.00%, 50.00%, 12.80%, 87.20%, 1.00, 1.00 repectively; colorectal cancer 92.86%; 59.37%; 33.26%; 97.44%; 2.29; 0.12 respectively. Conclusion. The combination of faecal CEA mRNA and FIT in detecting colorectal neoplastic lesions has high NPV but low sensitivity, specificity, PPV, PLR and NLR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambarini Hermawan
"ABSTRAK
Frekuensi karsinoma kolorektal tertinggi diantara
karsinoma saluran pencernaan. Sebagian besar pasien
datang pada stadium lanjut. Di Amerika Serikat
(Siluerberg 1981) tercatat 120.000 kasus karsinoma kolorektal
baru, 37.000 diantaranya adalah karsinoma rektum, dengan
perkiraan kematian 8.700 kasus. Perbandingan pria dan wanita
adalah 9:5. Golighsr mencatat bahwa karsinoma ini paling
sering didapatkan pada usia di atas 60 tahun, dan pada usia
kurang dari 30 tahun hanya dijumpai 2,1%.
Di Bagian Bedah RSCM antara Januari 1980 sampai dengan
April 1982, didapatkan bahwa frekuensi karsinoma rektum
tertinggi pada pasien berusia diantara 31-40 tahun, di bawah
usia 30 tahun 17 persen, dan pria dan wanita berbanding
sebagai 27:20.
Untuk lebih mengenal pola penyebaran karsinoma rektum,
diperlukan pengetahuan anatomi daerah rektum dan sekitarnya. Karsinoma rektum akan menyebar melalui lima cara, yaitu
secara perkontinuitatum, limfogen, hematogen, transperitoneal,
dan implantasi (5, 20, 25).
Berbagai pendapat telah diajukan untuk mengobati
karsinoma rektum ini. Pendekatan multidisipliner dikembangkan untuk memilih cara pengobatan, meliputi pengobatan:
pembedahan, radiasi, dan kenoterapi, bahkan kombinasi
cara-cara tersebut (7,8,19,21,22). Walaupun demikian sampai
saat ini masih didapat adanya perbedaan pendapat.
Sejak tahun 1982 di RSCM telah dibuat suatu protokol
penatalaksanaan karsinoma rektum, tetapi penerapan protokol
ini masih jauh dari yang diharapkan.
Pada makalah ini akan dikemukakan pengobatan radiasi pada
karsinoma rektum, dengan suatu laporan retrospektif pengobatan
radiasi pada pasien yang dikirim ke Unit RaHiotarapi RSCH/FKUI
selama periode Januari 1985 sampai dengan Desember 1986."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henry Tandow
"Latar Belakang: Pemberian cairan intravena perioperatif, yang meliputi cairan prabedah dan cairan intrabedah, adalah salah satu persiapan pembedahan pada pasien anak. Akan tetapi, pemberian cairan intravena memiliki potensi menyebabkan gangguan dalam parameter-parameter laboratorium, seperti natrium darah, glukosa darah, hemoglobin, dan hematokrit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian berbagai jenis cairan perioperatif terhadap kadar natrium darah, glukosa darah, hemoglobin, dan hematokrit.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Subjek penelitian adalah pasien anak dengan usia kurang dari 5 tahun yang akan menjalani pembedahan kolorektal elektif dengan anestesia umum. Cairan prabedah diberikan diberikan oleh sejawat Ilmu Kesehatan Anak, sementara pemberian cairan intrabedah ditentukan oleh anestesiologis yang melakukan prosedur anestesia. Data laboratorium (hemoglobin, hematokrit, kadar glukosa darah, dan kadar natrium) diambil pada saat admisi, sebelum insisi, dan setelah pembedahan selesai.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 33 subjek penelitian. Terdapat penurunan hemoglobin, hematokrit, dan kadar natrium darah serta peningkatan kadar glukosa darah yang signifikan (p <0,001) setelah pemberian cairan prabedah menggunakan larutan hipotonik dengan glukosa. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar hemoglobin, hematokrit, dan kadar glukosa darah setelah pemberian cairan intrabedah menggunakan larutan isotonik (p >0,05). Terdapat peningkatan kadar natrium darah yang signifikan setelah pemberian cairan intrabedah (p = 0,024).
Kesimpulan: Pemberian berbagai cairan perioperatif memengaruhi kadar natrium, glukosa, hemoglobin dan hematokrit pasien anak yang menjalani pembedahan kolorektal dengan anestesia umum.

Background: Perioperative intravenous fluid administration, which includes preoperative fluids and intraoperative fluids, is one of the surgical preparations in surgical pediatric patients. However, intravenous fluid administration has the potential to cause disturbances in laboratory parameters, such as blood sodium, blood glucose, hemoglobin, and hematocrit. This study aims to determine the effect of various types of perioperative fluids on blood sodium, blood glucose, hemoglobin, and hematocrit levels.
Methods: This is a prospective cohort study. The research subjects were pediatric patients aged less than 5 years who were going to undergo elective colorectal surgeries under general anesthesia. Preoperative fluids were administered by pediatricians, while intraoperative fluid administration was determined by the anesthesiologist performing the anesthetic procedure. Laboratory data (hemoglobin, hematocrit, blood glucose level, and sodium level) were collected at the time of admission, before incision, and after surgery was completed.
Results: This study involved 33 research subjects. There was a significant decrease in hemoglobin, hematocrit, and blood sodium levels, as well as a significant increase in blood glucose levels (p < 0.001) after administration of preoperative fluids using hypotonic solutions with glucose. Meanwhile, there was no significant difference in hemoglobin, hematocrit, and blood glucose levels after administration of intraoperative fluids using isotonic solutions (p > 0.05). There was a significant increase in blood sodium levels after intraoperative fluid administration (p = 0.024).
Conclusions: Perioperative administration of various fluids affects sodium, glucose, hemoglobin and hematocrit levels in pediatric patients undergoing colorectal surgery under general anaesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Esti Cahyani Adiati
"Latar Belakang: Penyakit periodontal merupakan penyakit inflamasi yang memengaruhi jaringan penyangga gigi. Patogen memicu sistem imun bawaan ada jaringan periodontal untuk melepaskan mediator proinflamasi dan sitokin, salah satunya yaitu Prostaglandin E2 (PGE2). Periodontitis diketahui memiliki pengaruh dua arah dengan beberapa penyakit sistemik. salah satunya COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang berkaitan dengan sindrom badai sitokin. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk melihat korelasi respons imun individu penyintas COVID-19 dalam hal ini mediator inflamasi PGE2 dengan kondisi jaringan periodontal berdasarkan parameter klinis periodontal yaitu BOP, PD, dan CAL. Metode: Desain penelitian potong lintang pada 38 orang subjek dengan membagi dua kelompok subjek berdasarkan riwayat COVID-19. Dilakukan pemeriksaan parameter klinis periodontal BOP, PD, CAL dan pengambilan sampel GCF untuk mengukur kadar PGE2 menggunakan metode ELISA. Analisis data dilakukan dengan SPSS 25 dan GraphPad 10.0.0 Hasil: Terdapat perbedaan kadar PGE2 (p<0,05) antara penyintas dan bukan penyintas COVID-19. Tidak terdapat perbedaan parameter klinis periodontal (p>0,05) antara penyintas dan bukan penyintas COVID-19. Terdapat hubungan linear positif (p<0,05; r>0) antara kadar PGE2 dengan PD dan BOP. Kesimpulan: Kadar PGE2 pada subjek penyintas COVID-19 diindikasikan berkorelasi positif terhadap parameter klinis periodontal PD dan BOP.

Background: Periodontal disease is an inflammatory condition that affects the supporting tissues of the teeth. In periodontitis, pathogens trigger the innate immune system to release proinflammatory mediators and cytokines in the periodontal tissues, one of which is Prostaglandin E2 (PGE2). Periodontitis is known to have a bidirectional relationship with several systemic diseases, one of them is COVID-19 which caused by the SARS-CoV-2 and associated with a cytokine storm syndrome. Objective: This research is conducted to examine the correlation between the immune response of individuals who have survived COVID-19, specifically the inflammatory mediator PGE2, and the condition of periodontal tissues based on clinical periodontal parameters, namely BOP, PD, and CAL. Methods: The design of this study was cross-sectional on 38 subjects by dividing two groups of subjects based on history of COVID-19. Periodontal clinical parameters BOP, PD, CAL were examined and GCF samples were taken to measure PGE2 levels using the ELISA method. Data analysis was carried out with SPSS 25 and GraphPad 10.0.0. Results: There is a significant difference in PGE2 levels (p<0.05) between former COVID-19 patients and non-COVID-19. No significant differences in clinical periodontal parameters (p>0.05) were found between two groups. A positive linear relationship (p<0.05; r>0) was observed between PGE2 levels and PD, as well as BOP. Conclusions: PGE2 levels in subjects who survived COVID-19 were indicated to be positively correlated with the periodontal clinical parameters of PD and BOP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>