Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 242796 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reni Hirda
"Latar Belakang: Teknik blok saraf femoralis dengan menggunakan stimulator saraf merupakan teknik yang sering digunakan di Indonesia. Teknik ini memerlukan pemahaman tentang landmark anatomi yang baik. Terdapat perbedaan anatomi antara ras Melayu dengan ras Kaukasoid dan ras Mongoloid sehingga menyebabkan perbedaan jarak saraf femoralis ke arteri femoralis yang menjadi landmark untuk blok saraf femoralis. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui pengaruh eksorotasi tungkai bawah terhadap jarak saraf femoralis dan arteri femoralis pada lipatan inguinalis dengan menggunakan panduan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.
Metode: Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang akan menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 30 subjek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Februari 2016. Ultrasonografi dua dimensi digunakan untuk mendapatkan gambaran saraf femoralis pada empat posisi dari kedua tungkai bawah yaitu: eksorotasi tungkai bawah 0o, 15o, 30o dan 45o . Data yang diperoleh adalah jarak saraf ke arteri dan jarak saraf ke kulit. Dengan menggunakan SPSS 20 dilakukan uji Anova untuk melihat perbedaan jarak saraf femolis ke arteri femoralis pada keadaan berbagai sudut eksorotasi tungkai bawah 0o, 15o, 30o dan 45o dan uji t melihat perbedaan jarak saraf femolis ke arteri femoralis antara kaki kanan dan kaki kiri. Analisis post hoc dengan uji Bonferroni juga dilakukan untuk melihat perbedaan jarak saraf femoralis ke arteri femoralis yang signifikan antar derajat eksorotasi tungkai bawah pada kaki kanan dan kaki kiri.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna jarak saraf femoralis dan arteri femoralis pada ras Melayu di Indonesia antara berbagai derajat eksorotasi 0o, 15o, 30o dan 45o pada kaki kanan maupun kaki kiri dengan nilai p < 0,001. Tidak ada perbedaan jarak saraf femoralis ke arteri femoralis pada kaki kanan maupun kaki kiri antara semua derajat eksorotasi. Tidak ada perbedaan bermakna jarak saraf femoralis ke kulit antara eksorotasi tungkai bawah 0o, 15o, 30o dan 45o.
Simpulan: Terdapat pengaruh eksorotasi tungkai bawah terhadap jarak saraf femoralis dan arteri femoralis di lipatan inguinalis pada ras Melayu di Indonesia yaitu semakin besar sudut eksorotasi tungkai bawah semakin jauh jarak saraf femoralis ke arteri femoralis.

Background: Femoral nerve block with nerve stimulation guidance technique is a technique that has been widely practiced in Indonesia. A good anatomical landmark is a requirement to have a succesfull femoral nerve block. There are anatomical differences between the Malay race with Caucasian and Mongoloid race, causing a different position of the femoral nerve from the femoral artery which is the landmarks for femoral nerve block. The objective of this study is to know the effect of the lower extremity exorotation to the distance between the femoral nerve and the femoral artery on the inguinal crease using ultrasound guidance in Indonesia Malay race.
Methods: This study was an observational with cross sectional design in patients undergoing elective surgery at Surgical Center Installation Cipto Mangunkusumo. This study has been approved by FKUI-RSCM Research Ethical Committee Jakarta. A total of 30 obtained by consecutive sampling in February 2016. Two-dimensional ultrasonographic images of the femoral nerve were obtained using an ultrasound unit in the inguinal crease, for four positions of the bilateral lower extremities: 0°, 15°, 30°and 45° exorotation of each extremity. The following assessments were made in each position: nerve to artery distance and nerve to skin distance . By using SPSS 20 do Anova test to see the difference between the nerve femoralis into the femoral artery in the exorotation state of various angles below 0 °, 15 °, 30 ° and 45o .T test see the difference within nerve femoralis into the femoral artery of the right side and left side.
Results: There are significant differences within the femoral nerve and femoral artery between various degrees exorotation 0o, 15o, 30o and 45o on the right and the left with p <0.001. There is no difference within the femoral nerve into the femoral artery on the right and left in all degrees of exorotation. There is no significant difference in the distance between the femoral nerve to the skin of the lower extremity exorotation 0o, 15o, 30o and 45o.
Conclusion: There is effect of the lower extremity exorotation to the distance between the femoral nerve and the femoral artery on the inguinal crease in Indonesia Malay Race. The greater degrees of lower extremity exorotation make the futher distance the femoral nerve into the femoral artery."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Norman Hardi Utama
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pungsi arteri femoralis yang tidak disengaja pada saat
kanulasi vena femoralis memiliki insiden yang cukup tinggi(20-50%).
Penambahan fleksi lutut pada posisi abduksi-eksorotasi(posisi kodok)
meningkatkan luas lintang vena femoralis. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh posisi kodok, posisi abduksi-eksorotasi dan posisi
anatomis terhadap jarak antara arteri dan vena femoralis.
Metode. Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan
rancangan potong lintang pada satu kelompok dengan pengukuran
berulang. Jarak arteri-vena, dan lebar sisa vena diukur pada tiga posisi
berbeda, masing-masing sebanyak dua kali. Pertama gambar diambil
pada semua pasien oleh satu operator dan mesin ultrasonografi yang
sama. Setelah itu dilakukan pengukuran pada gambar dengan fitur
kaliper pada mesin ultrasonografi oleh operator yang berbeda.
Hasil. Penambahan jarak arteri-vena femoralis yang terbesar tampak
pada perubahan posisi dari posisi anatomis ke posisi kodok (2.7 mm
(95%CI: 2.2-3.2 mm), diikuti dengan perubahan dari posisi anatomis ke
posisi abduksi-eksorotasi (2.1 mm (95%CI: 1.7-2.5mm).
Simpulan. Jarak antara arteri dan vena femoralis pada posisi kodok
lebih besar dibandingkan kedua posisi lainnya.

ABSTRACT
Background: The incidence of unintentional arterial puncture during
cannulation of femoral vein was high(20-50%). The addition of knee
flexion to abcudtion-exorotation position(frog position) have been shown to increase the cross sectional area of femoral vein. The purpose
of this study is to compare the distance between femoral artery and vein in frog position, abduction-exorotation position and anatomical
position.
Method:. This study is an analytical observational study with cross
sectional design within one grup with repeated measurement. The
distance between artery and vein was measured in three position. The
measurement was taken twice for each position. First picture was taken
by one operator and one ultrasonography for all patient. Then another
operator measured the distances with caliper feature on the ultrasonograph.
Result: The artery-vein distance in frog position(7.26 +0.69 mm) was
greater than in abduction-exorotaion position(6.65 +0.94 mm) and
anatomical position(4.53 +1.99 mm). The difference of the artery-vein
distance between frog and anatomical position was 2.7mm(95%CI: 2.2-
2.3 mm).
Discusion: The frog position provided the greatest distance between
femoral artery and vein"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Prabowo
"Latar Belakang: Blok aksilaris dikatakan berhasil bila tidak hanya saraf ulnaris, medianus dan radialis saja yang dapat terblok, tetapi juga saraf muskulokutaneus. Ternyata saraf muskulokutaneus di regio fossa aksilaris sudah keluar dari selubung neurovaskular dan berada jauh dari arteri aksilaris, sehingga memerlukan blok terpisah bila menggunakan stimulator saraf. Perubahan posisi lengan dapat membuat susunan saraf di regio fossa aksilaris berubah, salah satunya jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris makin mendekat sehingga dapat memudahkan melakukan blok aksilaris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh posisi lengan yang memberikan jarak optimal antara jarak saraf muskulokutaneus dengan arteri aksilaris di regio fossa aksilaris pada ras Melayu.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang pada orang dewasa ras Melayu yang berusia antara 18 hingga 60 tahun dengan rentang waktu dari Juli sampai dengan September 2018. Sebanyak 79 subjek penelitian diambil dengan metode consecutive sampling. Subjek penelitian akan diposisikan tidur terlentang dan ada tiga perubahan posisi lengan saat pengukuran yaitu: (1) posisi A (lengan abduksi 90° dan siku 0°), (2) posisi B (lengan abduksi 90° dan siku 90°) dan (3) posisi C (lengan abduksi dan lengan bawah fleksi dengan tangan menyentuh bagian belakang kepala). Pengukuran tiap perubahan posisi lengan dari jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris menggunakan pencitraan ultrasonografi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji repeated ANOVA.
Hasil: Perubahan posisi lengan secara signifikan dapat mengubah jarak saraf muskulokutaenus ke arteri aksilaris (p <0,001). Dari ketiga posisi lengan, posisi C adalah posisi lengan dengan jarak saraf muskulokutaneus ke arteri aksilaris paling dekat dengan rerata 13,27±3,95 mm.
Simpulan: Posisi C menghasilkan jarak yang paling dekat antara saraf muskulokuteneus ke arteri aksilaris, namun jarak yang didapatkan bukan jarak optimal untuk melakukan blok aksilaris.

Background: Successful axillary block happens if not only the ulnar, median and radial nerve are blocked, but also the musculocutaneous nerve. Evidently, musculocutaneous nerve in axillary fossa is already out of the neurovascular sheath and far from the axillary artery. This condition requires a separate block when using a nerve stimulator. Varying arm positions can influence the nervous system in axillary fossa changing, which later makes the distance of the musculocutaneous nerve to the axillary arteries getting closer and much more easier to do the axillary block. This study aimed to determine which arm position give unsurpassed distance of musculocutaneous nerve to axillary artery in the axillary fossa of Malay race.
Method: This study was an observational study with a cross-sectional design to Malay race of the ages of 18 to 60 years old. It was conducted from July to September 2018. By using a consecutive sampling, a total of 79 volunteers were recruited. Each volunteer lied in supine with three changes of arm positions: (1) position A (abduction arm 90 ° and elbow 0 °), (2) position B (abduction arm 90 ° and elbow 90 °) and (3) position C (abduction arm and forearm flexion with hands touching the back of the head). Each changes of the arm positions was measured by using ultrasonography-guided. Then, the data obtained were analyzed by using repeated ANOVA.
Results: Significantly, varying of arm position can change the distance of musculocutaneous nerve to axillary artery (p <0.001). Among the three arm positions, position C is the finest position which give closest distance of the musculocutaneous nerve to the axillary artery for a mean of 13.27 ± 3.95 mm.
Conclusion: Position C is the closest distance of musculokutaenus nerve to axillary artery, but not the optimal distance to do axillary block."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
"Latar belakang : Teknik blok popliteal menggunakan stimulator saraf masih menjadi pilihan di Indonesia. Keberhasilan blok meningkat jika pengetahuan dan pemahaman landmark anatomi baik. Landmark anatomi berupa jarak titik pereabangan saraf skiatik terhadap lipatan fossa popliteal dan kedalaman titik tersebut dari kulit. Perbedaan landmark anatomi dapat terjadi karena perbedaan ras akibat perbedaan ukuran tulang panjang dan massa otot. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kelamin, usia, dan data antropometri terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia dengan menggunakan panduan ultrasonografi. Metode : Penelitian bersifat analitik observasional dengan raneangan potong lintang. Penelitian dilaksanakan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Januari-April 2017 setelah medapatkan izin dari komite etik. Usaha meneari gambaran pereabangan saraf skiatik pada tungkai kanan dan kiri menggunakan ultrasonografi dua dimensi dilakukan pada 107 pasien yang akan menjalani operasi bedah tereneana di Instalasi Bedah Terpadu. Data yang diperoleh dianalisis melalui SPSS untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara jenis kelamin, usia tinggi badan, berat badan dan IMT terhadap landmark blok popliteal serta memperoleh formula prediksi landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia. Hasil : Pada penelitian ini diperoleh hubungan bermakna jenis kelamin, tinggi badan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke lipatan fossa popliteal dan hubungan bermakna berat badan, IMT terhadap jarak pereabangan saraf skiatik pada permukaan kulit dengan nilai p <0.005. Tinggi badan dorninan berpengaruh terhadap jarak pereabangan saraf skiatik dari lipatan fossa popliteal (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) sedangkan berat badan dominan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke permukaan kulit (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). Formula prediksi jarak pereabangan skiatik dari lipatan fossa popliteal (em) pada tungkai kanan - 12.548 + 0.133 x (Tb dalam em) dan tungkai kiri -6.549 + 0.091 x (Tb dalam em) + 0.63 x Jenis Kelamin. Formula prediksi jarak pereabangan skiatik ke kulit pada tungkai kanan 0.277 + 0.288 x (BB dalam kg) dan tungkai kiri 0.319 + 0.028 x (BB dalam kg) Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelarnin dan data antropometrik terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia.

Background : Popliteal nerve block with nerve stimulator remains as peripheral nerve block of choice in Indonesia. The successfulness of such block increases with better knowledge of anatomical landmark is the distance between the point of sciatic nerve to the popliteal fossa crease. The anatomical landmark might differ between races due to different bone length and mucle mass. This study aimed to observe the influence between races, age, and anthropometric data to the landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia by using ultrasonography guidance. Methods : This was an observational analytic study with cross-sectional design. This study was held ini Cipto Mangunkusumo Hospital from January-April 2017 following approval from ethical committee. An attempt to find the sciatic nerve branch on the left and right limb by using ultrasonography was done in I 07 patients undergoing surgery. Data was analysed by using SPSS to observe the relationship between age, sex, body weight and height, and BMI to such landmark Result : This study generated that sex and body height had strong association with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease. Strong association was also observed between body weight and BMI to such distance. Body height was associated with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) while body weight was associated with the distance of sciatic nerve branch to skin surface (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (em) in right limb was -12.548 + 0.133 x (body height in em) and in left limb was -6.549 + 0.091 x (body height in em) + 0.63 x age. The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the skin surface (em) in the right limb was 0.277 + 0.288 x (body weight in kg) and in left limb was 0.319 + 0.028 x (body weight in kg) Conclusion: Sex and anthropometric data were associated with the anatomical landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2017
T58309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stesy Natassa
"Latar Belakang: Penanda anatomi yang dipakai pada anestesia spinal adalah ruang sela tulang belakang setinggi L4-L5. Letak ruang sela tulang L4-L5 selama ini dianggap tepat berada pada garis Tuffier yang merupakan garis khayal transversal yang menghubungkan kedua krista iliaka. Letaknya sangat bervariasi karena pengaruh beberapa faktor seperti adanya perbedaan ras, jenis kelamin, usia, dan faktor antropometrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan panduan ultrasonografi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani anestesia spinal di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Februari-Mei 2017 setelah mendapatkan izin dari komite etik. Sebanyak 93 subjek diambil dengan metode consecutive sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan uji Mann Withney dan uji Pearson, kemudian dilakukan analisis multivariat dengan metode regresi linier berganda untuk memperoleh formula prediksi jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu.
Hasil: Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier adalah -2.59 1.58 cm. Analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tinggi badan dan jenis kelamin terhadap jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak yang diperoleh pada penelitian ini adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm.
Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelamin dan tinggi badan terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak antara ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada subjek ras Melayu dewasa adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm . Kata kunci: garis Tuffier ndash; ras Melayu dewasa-ruang sela tulang belakang L4-L5 ndash; Ultrasonografi

Background The anatomical marker used in spinal anesthesia is L4 L5 interspace. The L4 L5 interspace is thought to be right on the Tuffier`s line which connects the two highest point on the iliac crest. The location of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line varies greatly due to the influence of several factors such as differences in race, sex, age, and anthropometric factors. This study aimid to examine the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance of L4 L5 interspace from Tuffier`s line among Malay race patients using ultrasound guidance at Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods This was an observational analytic study with cross sectional design. Following assessment the ethics committee, patients undergoing spinal anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital in February May 2017 were admitted in the study.. A total of 93 subjects were included by using the consecutive sampling method. Statistical analysis was performed to find the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance L4 L5 interspace from Tuffier`s line using Mann Withney and Pearson test. Additionally, multivariate analysis with multiple linear regression method was used to obtain the prediction formula of the distance between L4 L5 interspace to the Tuffier`s line on the Malay race.
Result This study generated that the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier line is 2.59 1.58 cm. Correlation analysis showed a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace and the Tuffier`s line. The distance prediction formula obtained in this study is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm.
Conclusion There was a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line. The distance prediction formula between L4 L5 interspace and Tuffier`s line on adult Malay race subject is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm . Keywords adult Malay race L4 L5 interspace Tuffier`s line Ultrasonography.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadli Rokyama
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan kateter vena sentral yang semakin banyak seiring meningkatnya mutu pelayanan kesehatan di kamar operasi dan ruang rawat intensif membuat risiko komplikasi juga semakin meningkat. Ultrasonografi direkomendasikan untuk menurunkan insiden komplikasi kanulasi vena jugularis interna. Namun, keterbatasan akses dan ketersedian ultrasonografi membuat metode penanda anatomi masih diminati walaupun insiden komplikasi mencapai 19 Merrer, 2011 , sehingga posisi yang tepat diharapkan dapat mengurangi insiden komplikasi. Rotasi kepala pada sudut tertentu mempengaruhi posisi vena jugularis interna dan arteri karotis. Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional denga rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 34 subyek diambil dengan metode consecutive sampling pada bulan Oktober 2016. Jarak dan rasio overlapping vena jugularis interna terhadap arteri karotis setinggi kartilago krikoid diukur dengan menggunakan ultrasonografi dua dimensi pada sudut rotasi kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o. Data diolah menggunakan program SPSS 21. Uji Anova digunakan untuk melihat hubungan jarak vena dan rasio overlapping jugularis interna terhadap arteri karotis dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey.Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid pada ras Melayu di Indonesia pada sudut rotasi kepala kontra lateral 0o, 30o, 45o, 60o p < 0,001 . Terdapat hubungan antara berat badan dan tinggi badan terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis. Tidak Terdapat hubungan antara jenis kelamin, usia dan Indeks Massa Tubuh IMT terhadap rasio overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis.Simpulan: Terdapat pengaruh rotasi kepala kontra lateral terhadap jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis setinggi kartilago krikoid dengan bantuan ultrasonografi pada ras Melayu di Indonesia.Kata kunci: rotasi kepala kontra lateral, jarak dan overlapping vena jugularis interna dan arteri karotis, ras Melayu ABSTRACT Background The use of central venous catheters are widely increasing as well as improvement of health care quality in the operating theather and the intensive care unit. Complication incidences also increasing too. Ultrasound is recommended to decrease complication of internal jugular vein cannulation. However, limited access and availability to ultrasound makes anatomical landmark methods still in demand even though the incidence of complications was 19 Merrer, 2011 , exact position is expected to reduce the incidence of complications. Certain head rotation the position of the internal jugular vein and carotid artery. This study aims the effect of contra lateral head rotation to distance and overlapping of internal jugular vein and carotid artery at cricoid cartilage level by ultrasound guidance on the Malay race in Indonesia. Methods This study was analytical observational with cross sectional design in patients undergone elective surgery at Central Surgery Unit RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta. After getting approval from ethics committee and informed consent, 34 subjects were taken with consecutive sampling method in October 2016. Distance and overlapping ratio the internal jugular vein to carotid artery at cricoid level was measured using two dimensional ultrasound in contra lateral head rotation angle of 0o, 30o, 45o, 60o. The data were processed using SPSS 21. Anova test used to view the relationships within the vein and internal jugular overlapping ratio of the carotid artery followed by post hoc Tukey test. Results There were significant differences on distance and overlapping of the internal jugular vein and carotid artery at cricoid level on the Malay race in Indonesia at contra lateral head rotation angle 0o, 30o, 45o, 60o p "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55670
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syaifudin
"Latar Belakang: Penyakit Kaki Diabetik memiliki prevalensi 6,3% populasi dunia. Angka amputasi mayor 139,97 kasus per 100.000 populasi. Penyakit arteri perifer pada kaki diabetik erat kaitannya dengan arteri femoralis ke distal yaitu arteri femoralis komunis sebagai gambaran inflow dan arteri poplitea sebagai arteri yang berhubungan langung dengan arteri infrapoplitea. Keputusan tatalaksana debridemen dan amputasi sangat penting dan berhubungan dengan biaya, morbiditas dan mortalitas yang salah satunya bisa ditentukan dengan pemeriksaan vaskular. Penelitian untuk mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas and volume flow pasien kaki diabetik terhadap keputusan debridemen atau amputasi belum banyak dilakukan.
Metode: Desain penelitian adalah potong lintang, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2023 – April 2023.
Hasil: Total subyek 38 orang, sebanyak 19 subyek yang dilakukan debridemen, 19 subjek yang dilakukan amputasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara gambaran fasisitas bifasik arteri poplitea dengan keputusan amputasi pasien kaki diabetik (p<0,05). Uji Chi-Square menunjukkan hasil pemeriksaan ultrasonografi bifasik memiliki faktor prediksi terhadap keputusan amputasi pada pasien kaki diabetik, didapatkan jumlah subjek yang bifasik dan dilakukan amputasi tiga kali lipat lebih tingi daripada yang dilakukan debridemen. Pada pemeriksaan tekanan sistolik arteri popliteal, fasisitas arteri femoralis komunis, volume flow arteri popliteal dan arteri femoralis komunis tidak didapatkan hubungan yang bermakna terhadap keputusan tatalaksana debridemen atau amputasi pada pasien kaki diabetik.
Kesimpulan: Pemeriksaan fasisitas ultrasonografi pada arteri popliteal dapat menjadi prediksi tindakan amputasi pada pasien kaki diabetik.

Background: Diabetic Foot Disease has a prevalence of 6.3% of the world's population. The major amputation rate is 139.97 cases per 100,000 population. Peripheral arterial disease in the diabetic foot is closely related to the distal femoral artery. Common femoral artery as an inflow feature and the popliteal artery as an artery that is directly related to the infrapopliteal artery. The decision to treat debridement and amputation is very important and is related to costs, morbidity and mortality, one of which can be determined by vascular examination. Research to determine the relationship between systolic pressure, fascisity and volume flow of diabetic foot patients on debridement or amputation decisions has not been carried out much.
Methods: The research design was cross-sectional, conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The research was conducted in January 2023 – April 2023.
Results: A total of 38 subjects, 19 subjects underwent debridement, 19 subjects underwent amputations. There was a significant relationship between the description of the popliteal artery biphasic phasicity and the decision to amputation in diabetic foot patients (p<0.05). The Chi-Square test showed that the results of biphasic ultrasound examination had a predictive factor for the decision to amputation in diabetic foot patients. It was found that the number of subjects who were biphasic and had amputation three times higher than those who underwent debridement. On examination of popliteal artery systolic pressure, common femoral artery phasicity, popliteal artery volume flow and common femoral artery found no significant relationship to the decision of debridement or amputation treatment in diabetic foot patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rizki Maulana
"Latar belakang: Intervensi endovaskular aorta perkutan rutin dilakukan dan menjadi pilihan tatalaksana invasif aneurisma atau diseksi aorta serta penyakit katup aorta. Komplikasi vaskular pasca intervensi sering terjadi pada pasien dengan diameter arteri femoralis komunis yang lebih kecil. Namun terdapat perbedaan bermakna dari diameter arteri femoralis komunis antara populasi Kaukasia dan Asia terkait komplikasi vaskular. Pada populasi Indonesia belum ada data terkait diameter arteri femoralis komunis dengan komplikasi vaskular.
Tujuan: Mengetahui diameter minimal arteri femoralis komunis sebagai prediktor komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan pada populasi Indonesia.
Metode: Pasien yang dilakukan intervensi endovaskular aorta perkutan, diukur diameter arteri femoralis komunis dengan CT scan. Pasien dievaluasi kejadian komplikasi vaskular selama perawatan pasca tindakan.
Hasil: Terdapat 101 pasien dengan 135 arteri femoralis komunis yang menjadi sampel penelitian. Dibagi menjadi dua kelompok ukuran diameter arteri femoralis komunis berdasarkan median 7,6 mm, yaitu diameter ≥7,6 mm dan diameter <7,6 mm. Dari analisis multivariat, tidak terdapat hubungan bermakna antara kategori diameter arteri femoralis komunis dengan komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan (p 0,38). Variabel lain yang berhubungan dengan kejadian komplikasi vaskular adalah jenis kelamin perempuan (p 0,03) dan RSAF ≥0,82 (p <0,001).
Kesimpulan: Diameter arteri femoralis komunis tidak dapat menjadi prediktor kejadian komplikasi vaskular pasca intervensi endovaskular aorta perkutan pada populasi Indonesia karena berdasarkan analisis multivariat tidak ditemukan hubungan yang bermakna.

Background: Percutaneus endovascular aorta repair has been routinely performed and become the primary choice of invasive therapy for aortic aneurism, aortic dissection and aortic valve disease. The occurrence of vascular complications resulting from intervention, often occurs in patients with smaller common femoral artery. However there is a significant difference in the diameter of common femoral artery between the Caucasian and Asian populations related to the incidence of vascular complications. Objectives: To investigate the minimal diameter of common femoral artery as a predictor of vascular complications after percutaneus endovascular aorta repair in the Indonesian population.
Methods: Patients who performed percutaneus endovascular aorta repair, measured the diameter of the common femoral artery with a CT scan and than evaluated for the occurrence of vascular complications after procedure.
Results: 101 patients with 135 common femoral arteries are divided into two groups based on median of common femoral arteries (7,6 mm), diameter ≥7,6 mm and diameter <7,6 mm. From multivariate analysis, there is no significant association between the common femoral artery diameter and vascular complications after percutaneous aortic endovascular repair (p 0,38). Other variables that related to the incidence of vascular complications were female (p 0.03) and RSAF ≥0.82 (p <0.001).
Conclusion: Diameter of common femoral artery can not be used as predictor of vascular complications after percutaneus endovascular aorta repair in the Indonesian population because based on multivariate analysis there was no significant relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Anggara
"Latar Belakang: Ulkus diabetik merupakan komplikasi diabetes melitus dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan prevalensi 6,3% populasi dunia dan angka amputasi mencapai 139,97 kasus per 100.000 orang. Pada kasus lanjut, pasien ulkus diabetik dilakukan debridemen atau bahkan amputasi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Prediksi penyembuhan luka pasca debridemen merupakan suatu penilaian yang sangat penting untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Namun, hingga saat ini, penelitian untuk mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas dan volume flow pada pasien ulkus diabetik terhadap penyembuhan luka pasca debridemen belum banyak dilakukan.

Tujuan: Mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas and volume flow pasien ulkus diabetik terhadap penyembuhan luka pasca debridemen.

Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2023 – Oktober 2023.

Hasil: Terdapat 40 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Profil subjek penelitian  sebagian besar terdiri dari jenis kelamin perempuan dengan rata-rata usia 56,93 tahun. Jumlah pasien yang memiliki riwayat hipertensi adalah 21 orang (52,5%), riwayat dislipidemia adalah 10 orang (25%), dan riwayat merokok adalah 17 orang (42,5%). Analisis bivariat dengan uji Pearson mendapatkan faktor risiko yang berhubungan signifikan terhadap skor DFUAS adalah diabetes melitus (p<0,001), merokok (p<0,001), dan hipertensi (p=0,007). Terdapat hubungan korelasi yang kuat dan signifikan antara nilai ABI yang semakin kecil dengan skor DFUAS yang semakin besar (p<0,001). Selain itu, terdapat juga hubungan korelasi kuat dan signifikan antara fasisitas arteri poplitea bifasik dengan nilai DFUAS yang semakin besar (p<0,001). Sementara itu, tidak terdapat hubungan korelasi yang signifikan antara tekanan sistolik arteri poplitea, fasisitas arteri femoralis komunis, dan volume flow arteri poplitea maupun femoralis komunis terhadap skor DFUAS atau penyembuhan luka.

Kesimpulan: Pemeriksaan ABI dan fasisitas arteri poplitea dengan ultrasonografi dapat menjadi prediksi penyembuhan luka pada pasien ulkus diabetik.


Diabetic ulcer is a complication of diabetes mellitus with high morbidity and mortality, with a prevalence of 6.3% of the world population and an amputation rate of 139.97 cases per 100,000 people. In advanced cases, diabetic ulcer patients undergo debridement or even amputation which greatly affects the patient's quality of life. Prediction of wound healing after debridement is a very important assessment to provide the best service for patients. However, until now, there has not been much research to determine the relationship between systolic pressure, fascicity and volume flow in diabetic ulcer patients on post-debridement wound healing.

Objective: Knowing the relationship between systolic pressure, fascicity and volume flow of diabetic ulcer patients on wound healing after debridement.

Method: The design of this study was cross-sectional, conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted in August 2023 - October 2023.

Results: There were 40 research subjects who met the inclusion criteria. The profile of the research subjects mostly consisted of female gender with an average age of 56.93 years. The number of patients who had a history of hypertension was 21 people (52.5%), a history of dyslipidemia was 10 people (25%), and a history of smoking was 17 people (42.5%). Bivariate analysis with the Pearson test found that the risk factors significantly associated with DFUAS scores were diabetes mellitus (p<0.001), smoking (p<0.001), and hypertension (p=0.007). There was a strong and significant correlation between a smaller ABI value and a larger DFUAS score (p<0.001). In addition, there was also a strong and significant correlation between biphasic popliteal artery fascicity and greater DFUAS score (p<0.001). Meanwhile, there was no significant correlation between popliteal artery systolic pressure, common femoral artery fascicity, and popliteal or common femoral artery flow volume on DFUAS score or wound healing.

Conclusion: Ankle brachial index examination and popliteal artery fascicity with ultrasonography can be predictive of wound healing in diabetic ulcer patients."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Surya Dharma
"Latar belakang. Vena femoralis merupakan situs vaskular yang sangat penting terutama pada kondisi gawat darurat. Pada bulan Oktober 2018 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dilakukan 152 kali kanulasi vena femoralis di unit gawat darurat dan ruang perawatan untuk keperluan resusitasi. Kanulasi vena femoralis saat ini dilakukan menggunakan ultrasonografi dan topografi anatomi. Penggunaan ultrasonografi pada kondisi gawat darurat dinilai kurang praktis karena bergantung ketersediaan alat dan pengalaman operator. Teknik topografi anatomi untuk kanulasi vena femoralis yang selama ini dikenal mengandalkan pulsasi arteri femoralis. Teknik tersebut terkendala apabila pulsasi arteri femoralis sulit dittemukan, seperti pada kondisi syok atau henti jantung. Penelitian ini bertujuan meneliti teknik V sebagai topografi anatomi baru untuk kanulasi vena femoralis tanpa bergantung kepada terabanya pulsasi arteri femoralis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang terhadap 115 pasien dewasa usia 18-65 tahun dengan IMT 18-25 kg/m2 yang menjalani operasi terencana di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada periode Februari – Maret 2020. Analisis Mcnemar dilakukan untuk membandingkan proporsi ketepatan teknik V dan teknik perabaan pulsasi arteri femoralis dalam menentukan lokasi vena femoralis dengan ultrasonografi sebagai alat untuk mengonfirmasi lokasi vena femoralis. Data jarak lokasi prediksi vena femoralis berdasarkan teknik V dan teknik perabaan pulsasi arteri femoralis ke titik tengah vena femoralis berdasarkan ultrasonografi juga akan dikumpulkan dan dilakukan analisis korelasi.
Hasil. Proporsi ketepatan teknik V dalam menentukan lokasi vena femoralis sebesar 93,9% sedangkan teknik perabaan pulsasi arteri femoralis sebesar 96,5%. Dari uji Mcnemar tidak didapatkan perbedaan kedua proporsi ketepatan dari tiap-tiap teknik (p 0,549). Terdapat korelasi positif yang bermakna secara statistik antara jarak lokasi prediksi vena femoralis berdasarkan teknik V dan teknik perabaan pulsasi arteri femoralis ke lokasi vena femoralis yang ditunjukkan oleh ultrasonografi dengan kekuatan korelasi sedang (r 0,548, p < 0,001).
Simpulan. Teknik V sebagai mempunyai ketepatan yang sama dengan teknik perabaan pulsasi arteri femoralis dalam menentukan lokasi vena femoralis.

Background. Femoral vein is an important vascular access especially during emergency situation. On October 2018, in emergency room dan ward of Cipto Mangunkusumo Hospital, femoral vein cannulation was done 152 times in a month for resuscitation need. Nowadays, femoral vein cannulation was done using ultrasonography and topographic anatomy. The use of ultrasonography in emergency situation is considered not practical because it depends on the availability of the tools and operator experience. Topographic anatomy technique relies on pulsation of femoral artery but it can be difficult to find in condition such as shock and cardiac arrest. This study aims to study the V technique as new topographic anatomy for femoral vein cannulation without relying on pulsation of femoral artery.
Methods. This study was a cross sectional study on 115 adult patients aged 18-65 years old with BMI 18-25 kg/m2 who underwent elective surgery in Surgery Centre Installation of Cipto Mangunkusumo Hospital on February until March 2020. Mcnemar analysis was done to compare the precision of V technique with palpation of femoral artery pulsation prediction location distance based on V technique and pulsation of femoral artery technique to the midpoint of femoral vein using ultrasonography were also collected and were analyzed with correlation analysis.
Results. The proportion of precision of V technique in determining femoral vein location was 93,9% while palpation of femoral artery pulsation technique was 96,5%. From Mcnemar analysis there was no difference of precision from each technique (p 0,549). There was a significant positive correlation statistically on femoral vein location prediction distance between V technique and palpation of femoral artery pulsation technique using ultrasonography with moderate correlation power ( r 0,548, p <0,001).
Conclusion. V technique has the same precision with palpation of femoral artery pulsation technique in determining femoral vein location.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>