Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103728 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raissa Edwina Djuanda
"Latar belakang: Karsinoma nasofaring merupakan salah satu keganasan yang dapat menyebabkan malnutrisi. Radioterapi dan kemoterapi merupakan bagian dari terapi yang dapat menimbulkan berbagai efek samping yang dapat mempengaruhi status gizi. Tujuan dari tata laksana nutrisi adalah meminimalkan penurunan massa tubuh, meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Tata laksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrient spesifik, konseling dan edukasi.
Metode: Pasien serial kasus ini berjumlah empat orang dan berusia antara 38?69 tahun. Keempat pasien menjalankan terapi kemoradiasi. Hasil skrining pasien menggunakan malnutrition screening tools (MST) adalah SOH2. Kebutuhan energi total pasien dihitung menggunakan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stress sebesar 1,5. Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subyektif, kondisi klinis, tanda vital, antropometri, massa lemak, massa otot, kapasitas fungsional, pemeriksaan kekuatan genggam tangan, analisis asupan, dan laboratorium. Monitoring dan evaluasi dilakukan secara teratur untuk memantau pencapaian target nutrisi.
Hasil: Dukungan nutrisi pada keempat pasien dapat meningkatkan asupan, meminimalkan penurunan massa tubuh dan kapasitas fungsional pada pasien KNF yang menjalankan terapi kemoradiasi.
Kesimpulan: Dukungan nutrisi yang diberikan pada pasien KNF yang menjalankan terapi kemoradiasi dapat meminimalkan penurunan status gizi dan kapasitas fungsional pasien. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Edwina Djuanda
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Fossetta Manatar
"Latar Belakang: Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma yang berasal dari epitel permukaan nasofaring dengan angka insidensi yang tinggi di Tiongkok dan Asia Selatan. KNF masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan prognosisnya dilaporkan buruk terkait dengan penanganan yang sering tidak optimal karena kebanyakan (60-95%) pasien berobat dalam stadium lanjut. Saat ini berkembang penelitian terhadap tumor microenvironment yang dapat dinilai melalui tumor infiltrating lympochyte (TIL) yang berkaitan dengan respons terapi pada beberapa tumor, termasuk KNF. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa TIL salah satunya dapat dinilai dengan Foxp3. Foxp3 diketahui sebagai penanda sel T regulator (Treg) yang turut berperan dalam immunoregulator lingkungan sel-sel tumor dan dapat digunakan sebagai salah satu faktor prognosis. Hubungan antara ekspresi Foxp3 dengan respons terapi dapat dipertimbangkan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis KNF.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi Foxp3 dengan respons terapi karsinoma nasofaring.
Metode: Penelitian analitik dengan desain potong lintang pada sediaan KNF tidak berkeratin di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM selama periode Januari 2018 hingga Desember 2020. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling dari kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sesuai perhitungan besar sampel untuk masing-masing kelompok. Pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi primer monoklonal Foxp3. Data imunoekspresi dianalisis untuk mengetahui hubungannya dengan respons terapi karsinoma nasofaring.
Hasil: Dari 60 kasus yang terdiagnosis KNF, sebanyak 40 kasus (66,7%) berjenis kelamin laki-laki dan 20 kasus lainnya (33,3%) berjenis kelamin perempuan dengan rasio 2:1. Terdapat perbedaan bermakna ekspresi Foxp3 intratumoral dengan respons terapi (p=0,01). Tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi Foxp3 peritumoral dengan respons terapi (p=0,114).
Kesimpulan: Ekspresi Foxp3 mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan hasil evaluasi respons pasca kemoradiasi karsinoma nasofaring.

Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a carcinoma originating from the surface epithelium of the nasopharynx with a high incidence in Tiongkok and South Asia. NPC still become main health issue in Indonesia and the prognosis is reported to be poor due to suboptimal treatment because most of the patients (60-95%) are treated at an advanced stage. Currently, many research are developing on the tumor microenvironment that can be assessed by tumor infiltrating lymphochyte (TIL) which is associated with the treatment response in several tumors, including NPC. Some studies explore that TIL can be assessed with Foxp3. Foxp3 is known as a regulatory T cell (Treg) marker that plays a role in the immunoregulator environment of tumor cells and can be used as a prognostic factor. The relationship between Foxp3 expression and treatment response can be considered as one of the factors that influence the prognosis of NPC.
Aims: This study aims to determine the relationship between Foxp3 expression and treatment response of NPC.
Methods: An analytical study with a cross-sectional design on non-keratinizing NPC diagnosed at Anatomical Pathology Department of FKUI/RSCM during January 2018 until December 2020. The research sample was taken by consecutive sampling of cases that met the inclusion and did not include the exclusion criteria according to the calculation of the sample size for each group. Immunohistochemical examination using Foxp3 monoclonal antibody. Immunoexpression data were analyzed to determine its relationship with the treatment response of NPC.
Results: From 60 selected cases diagnosed with NPC, there were consisted of 40 male patients (66,7%) and 20 female patients (33,3%) with ratio 2:1. There was a significant difference in intratumoral Foxp3 expression with treatment response (p=0.01). There was no significant difference in peritumoral Foxp3 expression with treatment response (p=0.114).
Conclusion: Foxp3 expression had a statistically significant relationship with response therapy after chemoradiation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monik Ediana Miranda
"Latar Belakang : Karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia berkaitan dengan tingginya angka kemoresistensi dan residif yang tinggi. Salah satu teori yang menjelaskan hal ini adalah terdapatnya sel punca kanker yaitu sel kanker yang memiliki kemampuan self-renewal dan menumbuhkan sendiri sel tumor. Jalur sel punca kanker mengakibatkan adaptasi genetik sehingga tumor menjadi resisten terhadap pengobatan. SOX2 adalah salah satu penanda gen sel punca yang berperan penting pada faktor transkripsi dalam proses self-renewal. Terdapat hubungan antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi.Bahan dan Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 41 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM periode Januari 2014 hingga Desember 2016. Dilakukan pulasan imunohistokimia SOX2.Hasil : Ekspresi SOX2 positif pada 21 dari 41 51 kasus karsinoma nasofaring tidak berkeratin tidak berdiferensiasi. Sebanyak 11 dari 21 kasus diantaranya 52 memperlihatkan respons terapi pasca kemoradiasi yang baik p=0,636 . Dari 41 kasus terdapat 7 kasus residif, 2 kasus diantaranya 28,5 menunjukkan ekspresi SOX2 positif.Kesimpulan : Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi SOX2 dengan respons terapi pasca kemoradiasi.
Background Nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated still become main health issue in Indonesia concerning the high rate of chemoresistance and recurrence. One of the theories was the cancer stem cell, tumor cells with self renewal and self duplicating capabilities. The cancer stem cell pathway caused genetic adaptation resulting resistance in therapy. The main function of SOX2 as transcription factor holds key in the self renewal process. SOX2 became one of the markers for cancer stem cells. The SOX2 expressions have associations with response therapy after chemoradiation in nasopharyngeal carcinoma.Materials and Methods This was a cross sectional study with 41 cases of nasopharyngeal carcinoma non keratinized non differentiated diagnosed from Anatomical Pathology Department of FKUI RSCM during January 2014 until December 2016. All of the cases stained with SOX2 antibody with immunohistochemical methods.Results SOX2 positive expression can be found in 21 from 41 cases 51 . There were 11 out of 21 cases 52 showed well response therapy. From 41 cases there were 7 recurrent cases, 2 of them 28.5 expressing SOX2 positive.Conclusions There were no statistically significant associations between SOX2 expression with response therapy after chemoradiation. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Priambodo Kusumo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan Chin Tuck Against Resistance (CTAR) dengan latihan Shaker terhadap peningkatan kekuatan kontraksi otot suprahyoid pada pasien karsinoma nasofaring dengan disfagia pasca kemoradiasi. Penelitian ini merupakan studi pendahuluan pada karsinoma nasofaring pasca kemoradiasi yang datang berobat ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan nilai kekuatan kontraksi otot suprahyoid dengan menggunakan alat Vitalstim. Data diambil pada baseline, minggu ke-2, dan minggu ke-4. Latihan dilakukan di rumah dan latihan biofeedback di Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo 2 kali seminggu. Subjek penelitian terdiri dari 8 Latihan CTAR dan 6 latihan Shaker. Terdapat peningkatan kekuatan kontraksi otot suprahyoid pada Latihan CTAR pada minggu ke-2 dry swallowing : 93,5(51-118), p<0,05, isotonik : 114(48-140), p<0,05. Peningkatan kekuatan kontraksi otot suprahyoid Latihan Shaker terjadi pada minggu ke-4 dry swallowing :102,5(35-162), p<0,05, isometrik : 83(61-139), p<0,05, Isotonik : 121(73-151), p<0,05. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan antara Latihan CTAR dan Latihan Shaker. Kesimpulan penelitian ini adalah kedua kelompok menunjukkan peningkataan kekuatan kontraksi otot suprahyoid dari data baseline setelah 4 minggu latihan, namun perbandingan antar kedua kelompok tidak berbeda signifikan. Latihan CTAR memberikan perbaikan sejak minggu ke-2, sedangkan latihan Shaker pada minggu ke-4.

This study aims to determine the effect of Chin Tuck Against Resistance (CTAR) exercise with Shaker exercise on increasing the strength of suprahyoid muscle contraction in nasopharyngeal carcinoma patients with post-chemoradiation dysphagia. This research is a preliminary study on nasopharyngeal carcinoma after chemoradiation who came to the Medical Rehabilitation Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital. Examination of the strength value of suprahyoid muscle contraction using the Vitalstim tool. Data were taken at baseline, week 2, and week 4. Exercises were performed at home and biofeedback exercises at the Medical Rehabilitation Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital twice a week. The study subjects consisted of 8 CTAR exercises and 6 Shaker exercises. There was an increase in suprahyoid muscle contraction strength in CTAR Exercise at week 2 of dry swallowing: 93.5 (51-118), p<0.05, isotonic: 114(48-140), p<0,05. Increased suprahyoid muscle contraction strength Shaker exercise occurred at week 4 dry swallowing: 102.5 (35-162), p<0.05, isometric: 83 (61-139), p<0.05, Isotonic: 121(73-151), p<0,05. There was no significant difference when compared between CTAR Exercise and Shaker Exercise. This study concludes that both groups showed increased suprahyoid muscle contraction strength from baseline data after 4 weeks of training. Still, the comparison between the two groups was not significantly different. CTAR exercise provides improvement since week 2, while the Shaker exercise in week 4. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Paulina Toding
"Malnutrisi sering pada karsinoma hepatoselular (KHS), diakibatkan oleh anoreksia, penurunan asupan serta keadaan katabolik. Serial kasus bertujuan memberikan terapi gizi guna proses penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup. Empat orang pasien berusia 42–67 tahun, dengan KHS, penurunan berat badan 14,3–29,6% selama dua bulan hingga satu tahun. Tiga orang pro reseksi dan satu orang mendapat terapi paliatif dengan kanker kaheksia. Pemberian nutrisi disesuaikan keadaan klinis. Kebutuhan kalori berdasarkan Harris-Benedict. Sebelum pembedahan kebutuhan kalori total tercapai Setelah pembedahan, toleransi asupan baik, nutrisi ditingkatkan bertahap. Saat pulang keadaan umum stabil, kapasitas fungsional membaik, luka operasi baik.

Malnutrition is common in hepatocellular carcinoma (HCC), caused by anorexia, decreased intake and catabolic state. The aim of this case series provide nutrition therapy to support the healing process and to improve quality of life. Patients were four people, age between 42–67 years, with HCC, weight loss 14,3–29,6 % for two months to one year. Three people with pro resection and one person had palliative therapy and cachexia cancer. Nutrition was given according to clinical state. Calorie requirement was based on Harris-Benedict. Total calorie needs was achieved prior to surgery, and good tolerance intake after surgery, nutrition enhanced gradually. Patients discharge from hospital with stable general condition, improved functional capacity, and good surgical wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Salman Paris
"Latar Belakang: Karsinoma narofaring (KNF) termasuk kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia dengan prognosis yang cukup. Dalam menentukan progresifitas suatu kanker, didapatkan peranan penting dari penurunan tumor supresor gen dan peningkatan proliferasi. Hal tersebut ditandai oleh marker p53 sebagai gen supresor yang menginduksi apoptosis dan Ki67 sebagai marker proliferasi sel. Hingga saat ini belum terdapat penelitian mengenai hubungan overekspresi p53 dan Ki67 terhadap respon kemoradiasi dan analisis kesintasan selama 3 tahun pada KNF stadium lokal lanjut. Tujuan: Mencari hubungan antara overekspresi p53 dan Ki67 terhadap respon kemoradiasi dan kesintasan 3 tahun pasien KNF stadium lokal lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain analisis kesintasan. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kohort retrospektif, dengan pengambilan data dari rekam medis kemudian ditelusuri riwayat perjalanan penyakitnya. Sample penelitian berupa jaringan pada blok parafin pasien KNF stadium lokal lanjut yang diambil secara consecutive sampling dari populasi penelitian dari periode 2015–2017 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejumlah 82 orang. Hasil: Dari total 82 pasien KNF stadium local lanjut, terdapat 65 pasien kelamin laki – laki (79,3%) dan 17 pasien perempuan (20,7%), dengan usia paling banyak pada kelompok 41 – 50 tahun sebanyak 31,8%. Overekspresi p53 ditemukan pada 36 pasien (43,9%), sementara overekspresi Ki67 ditemukan pada 35 pasien (42,7%). Dari respon kemoradiasi, pasien dengan overekspresi p53 dan Ki67 berpeluang memberikan respon negatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan low ekspresi (RR = 3,052 dengan IK95%: 1,777 – 5,242, p = 0,009; RR = 2,573 dengan IK95%: 1,547 – 4,297, p = 0,002 berturut-turut). Dinilai dari kesintasan 3 tahun, pasien dengan overekspresi p53 memiliki kesintasan 3 tahun yang lebih buruk dibandingkan dengan low ekspresi (HR = 19,827 dengan IK95%: 5,974 – 65,798, p = <0,001). Begitu juga dengan overekspresi Ki67 memiliki kesintasan 3 tahun yang lebih rendah.

Background: Naropharyngeal carcinoma (NPC) is a cancer with a fairly high prevalence in Indonesia with a fairly poor prognosis. Tumor supressor gene and cancer proliferation played an important roles in determining the progression of a cancer. This was indicated by the marker p53 as a suppressor gene that induces apoptosis and Ki67 as a marker of cell proliferation. There has been limited research on the relationship of p53 and Ki67 overexpression to the chemoradiation response and 3-year survival in locally advanced NPC. Objective: To determine the relationship between p53 and Ki67 overexpression with chemoradiation response to therapy and 3-year survival in locally advanced NPC patients. Methods: This research is an observational analytic study with a survival analysis design. This study used a retrospective cohort study design, by collecting data from medical records and then tracing the history of the disease. The research sample was tissue in the paraffin block of locally advanced NPC patients taken by consecutive sampling from the study population from period 2015–2017 at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital with a total number of 82 patients.
Results: From a total of 82 patients with locally advanced NPC, there were 65 male patients (79.3%) and 17 female patients (20.7%), with the most age being in the 41-50 years group as many as 31.8 %. Overexpression of p53 was found in 36 patients (43.9%), while overexpression of Ki67 was found in 35 patients (42.7%). Based on therapy response, patients with overexpression of p53 and Ki67 had a higher chance of giving a negative response compared to those with low expression (RR = 3,052 with IK95%: 1,777 – 5,242, p = 0,009; RR = 2,573 with IK95%: 1,547 – 4,297, p = 0,002 respectively). Assessed by 3- year survival, patients with p53 overexpression were statistically significantly worse than those with low-expression (HR = 19,827 with IK95%: 5,974 – 65,798, p = <0,001). Likewise, Ki67 overexpression was statistically significant and had a lower 3-year survival compared to low Ki67 expression (HR = 14,634 with IK95%: 5,074 – 42,204, p = <0,001). Conclusion: Locally advanced NPC patients with p53 overexpression and Ki67 overexpression have a tendency to give a negative chemoradiation response and have a lower 3-year survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cipuk Muhaswitri
"Malnutrisi pada kanker nasofaring (KNF) disebabkan oleh peradangan, sel tumor dan efek kemoradioterapi. Malnutrisi dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup, fungsi fisik, dan kelangsungan hidup. Pemberian nutrisi pasien KNF yang menjalani radioterapi (RT) memperbaiki status gizi, kapasitas fungsional, dan prognosis keseluruhan. Pasien KNF dengan kaheksia, usia 29 - 67 tahun, tiga pria dan satu wanita yang menjalani kemoradioterapi. Diberikan nutrisi sesuai kebutuhan energi, makronutrien, mikronutrien, dan nutrien spesifik. Pemantauan pasien di awal, hingga RT selesai, pada keluhan terkait terapi, analisis asupan, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional, dan pemeriksaan CRP. Didapatkan penurunan asupan pada empat pasien saat RT, tetapi meningkat lagi pada tiga pasien setelah pemasangan NGT. Satu pasien dengan peningkatan berat badan (BB), sedangkan 3 pasien lainnya BB menurun 2,2-13% pasca RT. Tiga pasien dengan CRP meningkat pada awal RT, tetapi hanya 1 pasien dengan CRP kembali normal. Massa otot meningkat pada 3 pasien setelah RT. Tiga pasien mengalami perbaikan skor ECOG pasca RT, dan satu pasien dengan skor ECOG tetap stabil. Pemasangan NGT dapat mempertahankan asupan pasien. Terapi nutrisi memperbaiki penurunan BB, tetapi tidak terlihat kaitan dengan CRP, massa otot dan kapasitas fungsional karena faktor lain.

Malnutrition in nasopharyngeal carcinoma (NPC) is induced by inflammation, tumor cells and the effects of chemoradiotherapy. Malnutrition is associated with decrease in quality of life, physical function and survival. Nutritional therapy to NPC who underwent radiotherapy (RT) improves nutritional status, functional capacity, and prognosis. NPC cachexic patients, ages 29 - 67 years, three male and one female, all underwent chemoradiotherapy. Nutrition therapy start with planning of energy, macronutrient, micronutrient and specific nutrients needs. Patients monitoring start from the the beginning, until completed RT, related to therapy, intake analysis, anthropometry, body composition, functional capacity, and C-Reactive Protein (CRP) examination. Decrease intake in four patients during RT, but it increased in three patients after NGT insertion. One patient increase body weight (BW), while other 3 patients dropped BW 2.2-13% post-RT. Three patients increase in CRP at the start of RT, but only 1 CRP patient returned to normal. Muscle mass increased in 3 patients after RT. Three patients had improved ECOG scores after RT, and one patient with ECOG scores remained stable. Insertion of NGT can maintain patient intake. Nutritional therapy maintains BW, but does not appear to be related to CRP, muscle mass and functional capacity due to other factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Primahastuti
"Latar belakang: Kanker kepala dan leher merupakan salah satu kanker yang berisiko tinggi malnutrisi. Pada kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal, radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi merupakan terapi pilihan dan berkaitan dengan berbagai efek samping yang berperan dalam penurunan asupan makan dan berefek negatif pada status nutrisi. Tata laksana nutrisi bertujuan untuk mengurangi risiko malnutrisi, mendukung keberhasilan terapi kanker, meningkatkan kualitas hidup, serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Pemberian terapi nutrisi berupa konsultasi individu yang meliputi perhitungan kebutuhan energi, makronutrien, mikronutrien, dan nutrien spesifik, serta pemberian medikamentosa bila diperlukan.
Metode: Pasien pada serial kasus ini berjumlah empat orang dengan rentang usia 3055 tahun. Dua dari empat pasien mendapat kombinasi kemoterapi. Hasil skrining keempat pasien dengan malnutrition screening tools (MST) didapatkan skor ≥2. Kebutuhan energi total dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stres sebesar 1,4. Pemantauan yang dilakukan berupa anamnesis keluhan subyektif dan analisis asupan, pemeriksaan fisik, antropometri, massa otot skelet, massa lemak, kekuatan genggam tangan, dan hasil laboratorium. Pemantauan dilakukan secara rutin dengan frekuensi satu kali per minggu untuk menilai pencapaian target nutrisi.
Hasil: Terapi nutrisi dapat meningkatkan asupan protein dan nutrien spesifik, namun tidak dapat mencegah penurunan BB, massa otot skelet, dan kekuatan genggam tangan pada pasien kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal yang menjalani terapi radiasi dengan atau tanpa kemoterapi.
Kesimpulan: Tata laksana nutrisi pada pasien kanker kepala dan leher stadium lanjut lokal yang menjalani terapi kanker dapat memberikan efek positif pada asupan nutrien pasien.

Introduction: Head and neck cancer is one of malignancy with higher risk of malnutrition. Treatment of choice for locally advanced head and neck cancer is radiotherapy with or without chemotherapy and is associated with various side effects that may decrease food intake and negatively affect nutritional status. The aim of nutrition management is to reduce the risk of malnutrition, to support the success of cancer therapy, to enhance the quality of life, and to reduce morbidity and mortality. Nutrition therapy in the form of consultation includes calculation of energy needs, macronutrient, micronutrient, and specific nutrients, as well as drug therapy when needed.
Methods: This case series consist of four patients between 3055 years old. Half of the patients received combination with chemotherapy. All patients had screening score with malnutrition screening tools (MST) ≥2. The total energy requirement was calculated using Harris-Benedict equation then multiplied with stress factor 1.4. Monitoring was done by anamnesis of subjective complaints and food intake, physical examination, anthropometric, muscle mass, fat mass, hand grip strength, and laboratory results. Monitoring was performed frequently once a week to assess the accomplishment of nutritional target.
Results: Nutrition therapy could improve intake of protein and specific nutrients, but couldn't prevent weight loss, a decrease in muscle mass and hand grip strength in locally advanced head and neck cancer patients receiving radiation therapy with or without chemotherapy.
Conclusion: Nutrition management in locally advanced head and neck cancer patients receiving anticancer therapy positively affect patient's nutrient intake.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dya Iqtha Poetri
"Apoteker memiliki berbagai peran penting dalam pengaturan praktik farmasi. Penyelenggaraan praktik atau pekerjaan kefarmasian meliputi pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi. Seorang profesi apoteker perlu menguasai standar kompetensi apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian sesuai dengan kompetensi profesi. Standar tersebut memastikan bahwa seorang apoteker memiliki seluruh kompetensi yang relevan untuk mejalankan perannya dan mampu memberikan pelayanan kefarmasian sesuai ketentuan tentang praktik kefarmasian, peraturan, etika, kode etik, dan pedoman praktik apoteker. Terdapat sepuluh (10) elemen standar kompetensi apoteker yang perlu dikuasai sebagai persyaratan untuk memasuki dunia kerja dan menjalani praktik profesi. Standar kompetensi telah dilengkapi oleh elemen yang perlu dikuasai oleh apoteker pada saat lulus dan masuk ke tempat praktik/kerja. Sebagai calon apoteker, pentingnya membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan kemampuan tentang peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker melalui Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Dengan dilaksanakannya PKPA, seorang calon apoteker diharapkan memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sehingga menjadi siap untuk memasuki dunia kerja sebagai tenaga farmasi yang professional.

Pharmacists work in diverse roles and practice settings. The implementation of pharmacy practice includes pharmaceutical work in the procurement, production, distribution of pharmaceutical preparations and and pharmaceutical care. A pharmacist is expected to master pharmacy standard competency to maintain and practice within the limits of professional competence. The standard competency is a commitment to practice with an an obligation to do in accordance with expected behaviours as set down in professional codes, standards and guidelines which results in facilitating professional practice and growth. There are 10 elements of pharmacy competency standards which need to be attained by an individual to practise effectively as a pharmacist. It is important to equip students with knowledge and abilities about the roles and responsibilities of pharmacists in the real field through an internship program. A future pharmacist is expected to have the insight, knowledge, skills and experience through the internship program in order to be become a professional in the pharmacy practice."
Depok: Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>