Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18682 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasty Larasati
"Artikel ini bertujuan untuk melihat bagaimana orang menilai kulitnya, apakah dinilai
cantik atau jelek. Hingga saat ini, cantik masih diasosiasikan dengan kulit putih, salah
satunya menurut orang-orang Indonesia. Hal ini menjadi penting karena bagaimana
kita merepresentasikan diri sendiri berkaitan dengan identitas kita− siapa kita dan
bagaimana kita ingin dilihat. Perilaku orang kulit hitam entah percaya diri dengan
kulitnya ataupun tidak, adalah cara mereka untuk merepresentasikan dirinya yang didapatkan dari negosiasi identitas. Tetapi diantara orang kulit hitam, ada yang secara
percaya diri merepresentasikan dirinya melawan diskursus tentang kecantikan atau
counter-discourse. Literatur terdahulu menjelaskan ada dua alasan terjadinya hal
tersebut, yaitu: rekognisi dan negosiasi. Rekognisi adalah saat aktor berjuang
melawan diskursus, sementara negosiasi adalah saat aktor menegosiasikan apa yang
ia miliki. Argumen dalam penelitian ini adalah perempuan bisa menolak diskursus
karena negosiasi, mereka memiliki pilihan dan otonomi atas tubuhnya. Mereka juga
bisa menolak diskursus karena memiliki kekuatan, yaitu melalui kekuatan tawar
menawar. Artikel ini menggunakan penelitian kualitatif dengan wawancara
mendalam terhadap sembilan informan. Informan yang masuk dalam kriteria adalah
perempuan dengan usia 16 – 24 tahun karena rentang usia tersebut adalah rentang
usia dengan penggunaan internet yang besar. Klasifikasi warna kulit untuk pemilihan
informan didasarkan dengan skala warna kulit Fitzpatrick. Hasil penelitian
menemukan tujuh dari sembilan informan telah menolak diskursus kecantikan.
Informan juga menjelaskan bagaimana kepribadian atau kemampuan mereka bisa
menjadi kekuatan tukar menukar mereka yang mempermudah untuk menolak
diskursus kecantikan. Selain itu, informan telah melakukan negosiasi identitas dari
menerima diskursus tentang warna kulit yang diinginkan hingga menolaknya. Hal ini
bukanlah proses secara tiba-tiba, tetapi dibutuhkan peran dari faktor internal dan
eksternal. Faktor internal adalah kesadaran diri sendiri tentang cantik, sementara
faktor eksternal berasal dari sosialisasi keluarga, teman atau media."
Depok: [Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia;, ], 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Zavera Monica
"[ABSTRAK
Tesis ini berbicara mengenai negosiasi perantau Minangkabau asal Kabupaten
Agam yang lahir dan besar di Jakarta sebagai generasi kedua, terhadap identitas
Minangkabau mereka. Keterkaitan antara latar belakang orangtua yang masih
membawa kebudayaan dari Sumatera Barat, dengan faktor Jakarta sebagai kota
kosmopolitan, membawa pengaruh-pengaruh dan dampak terhadap identitas
mereka sebagai masyarakat Minangkabau. Negosiasi sosial perantau
Minangkabau generasi kedua ini tidak hanya terhadap hibriditas di Jakarta, tapi
juga menciptakan identitas baru atas hibriditas budaya Minangkabau di Jakarta itu
sendiri. Hibriditas ini salah satunya bisa dilihat dalam adat pernikahan yang sudah
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti lingkungan dan finansial. Keterbatasan
melakukan prosesi yang sama dengan di Sumatera Barat, disebabkan perbedaan
pola masyarakat dan lingkungan yang mempengaruhi.

ABSTRACT
This thesis is about the negotiation of perantau Minangkabau from Agam
Regency, who were born and grew up in Jakarta as a second generation, on their
identity as Minangkabau people. Their identity as a Minangkabau person is
affected by the interrelationship between the background of their parents who are
still inducing Minangkabau culture that they brought from Sumatera Barat and the
social factors in Jakarta as a cosmopolitan city. The social negotiation of the
second generation of perantau Minangkabau is not only through the hibridity in
Jakarta, but also created a new identity of cultural hibridity of Minangkabau in
Jakarta itself. This can be observed in the matrimonial custom which is influenced
by many factors such as environment and financial issues. The restrictiveness in
doing the same traditional ritual procession in Sumatera Barat is due to the
differences in the pattern of society and the environmental concern.;This thesis is about the negotiation of perantau Minangkabau from Agam
Regency, who were born and grew up in Jakarta as a second generation, on their
identity as Minangkabau people. Their identity as a Minangkabau person is
affected by the interrelationship between the background of their parents who are
still inducing Minangkabau culture that they brought from Sumatera Barat and the
social factors in Jakarta as a cosmopolitan city. The social negotiation of the
second generation of perantau Minangkabau is not only through the hibridity in
Jakarta, but also created a new identity of cultural hibridity of Minangkabau in
Jakarta itself. This can be observed in the matrimonial custom which is influenced
by many factors such as environment and financial issues. The restrictiveness in
doing the same traditional ritual procession in Sumatera Barat is due to the
differences in the pattern of society and the environmental concern., This thesis is about the negotiation of perantau Minangkabau from Agam
Regency, who were born and grew up in Jakarta as a second generation, on their
identity as Minangkabau people. Their identity as a Minangkabau person is
affected by the interrelationship between the background of their parents who are
still inducing Minangkabau culture that they brought from Sumatera Barat and the
social factors in Jakarta as a cosmopolitan city. The social negotiation of the
second generation of perantau Minangkabau is not only through the hibridity in
Jakarta, but also created a new identity of cultural hibridity of Minangkabau in
Jakarta itself. This can be observed in the matrimonial custom which is influenced
by many factors such as environment and financial issues. The restrictiveness in
doing the same traditional ritual procession in Sumatera Barat is due to the
differences in the pattern of society and the environmental concern.]"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T43265
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faradina Dillafiesta Sekarningtyas
"ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai pergeseran makna kecantikan di kalangan perempuan muda di era berkembangnya media baru di Indonesia. Penulis berangkat dari studi sebelumnya yaitu dimana nilai-nilai kecantikan yang dibentuk lebih difokuskan pada postur tubuh perempuan secara keseluruhan. Berbeda dengan studi sebelumnya, artikel ini melihat bahwa makna kecantikan yang dibentuk dalam konteks media baru telah memfokuskan perhatiannya pada bentuk dan tampilan wajah seperti yang digambarkan oleh beauty vlogger. Penulis beragumen bahwa pada masyarakat digital, realita kecantikan yang direpresentasikan oleh beauty vlogger telah menguatkan pemaknaan remaja akan tren kecantikan pada tampilan wajah dan berimplikasi pada munculnya representasi diri secara online. Hasil analisis menunjukan bahwa makna kecantikan yang dibangun oleh beauty vlogger terhadap tubuh telah menghadirkan: kecantikan sebagai ldquo;simbol rdquo; dan kecantikan sebagai ldquo;agen rdquo;. Proses dari pemaknaan kecantikan tersebut, kemudian direpresentasikan melalui selfies, caption dan pemberian filter pada foto yang dibagikan di media sosial. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik observasi dan wawancara mendalam kepada delapan remaja perempuan yang berusia 17-24 tahun dan menjadi viewers beauty vlogger.

ABSTRACT
This article discusses the shifting meaning of beauty among young women in the era of the development of new media in Indonesia. The author sets out from previous studies where the values ??of beauty that is formed more focused on the shape of the female body as a whole. In contrast to previous studies, this article sees that the meaning of beauty shaped in the context of new media has focused its attention on the shape and appearance of faces as portrayed by beauty vloggers. The authors argue that in the digital community, the beauty reality represented by beauty vlogger has reinforced the adolescent meaning of beauty trends in facial appearance and has implications for the emergence of self-representation online. The results of the analysis show that the beauty meaning built by beauty vlogger against the body has presented: beauty as symbol and beauty as agent . The process of the meaning of beauty, then represented through selfies, captions and filtering on photos that are shared on social media. This article uses a qualitative approach with observation techniques and in-depth interviews to eight girls aged 17-24 years old and become beauty vlogger rsquo;s viewers."
2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistami Prihandini
"Membaca wacana di media, saat ini jilbab dihadirkan sebagai tren berbusana semata. Untuk itu, penelitian ini hendak melihat bagaimana jilbab direpresentasikan pada media baru yang berideologi Islam, yaitu situs MyQuran. Dengan menggunakan paradigma konstruksionis dan teknik analisis framing, penelitian ini mencoba mengkaji teks yang terdapat pada situs MyQuran. Hasilnya, ternyata situs ini mencoba merekonstruksi kembali makna jilbab. Jilbab pada situs ini, dilihat sebagai bagian dari ajaran Islam yang harus ditaati dengan segala ketentuannya. Namun demikian, rekonstruksi tersebut tetap tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi isi media.

Nowadays, discourse in media stated that veil attended as trend dress. This research will see how veil represented at new media which have Islam as its ideology, that is MyQuran site. Contructionist paradigm and framing technique analysis, were used to analyze the text that found in the site. Its result describes that MyQuran site try to reconstruct the meaning of veil. This site sees a veil as a part of Islam?s teaching which must adhere with all its rules. However, the reconstruct not free of other factors that give influence to the media?s content."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Layla Pradipta
"Media sering kali menggambarkan perempuan secara ideal dan sempurna. Hal ini berkontribusi pada body shaming pada perempuan yang dianggap tidak memenuhi gambaran ideal tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, gerakan body positivity atau pandangan positif mengenai tubuh semakin berkembang. Salah satu media yang menggunakan konsep body positivity adalah Germany's Next Topmodel (GNTM). Pada tahun 2022 program ini menggunakan tema keberagaman dan menampilkan kontestan dari beragam kelompok usia, bentuk tubuh, dan ras. Penelitian ini menganalisis secara semiotik keberagaman yang ditampilkan dalam GNTM 2022 dan menemukan bahwa keberagaman tersebut menjadi bentuk perlawanan terhadap standar kecantikan yang ada di Jerman, khususnya dalam dunia mode. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun GNTM 2022 mempromosikan ide keberagaman dan menunjukkan perlawanan terhadap penggambaran ideal perempuan, tetapi standar kecantikan yang seragam masih sangat melekat dalam industri mode di Jerman.

The media often portrays women as idealized and perfect. This contributes to body shaming of women who are perceived as not living up to that idealized image. However, over time, the body positivity movement has grown. One of the media that uses the concept of body positivity is Germany's Next Topmodel (GNTM). In 2022 this program used diversity and featured contestants from various age groups, body shapes, and races. This research semiotically analyzes the diversity displayed in GNTM 2022 and finds that diversity is a form of resistance to existing beauty standards in Germany, especially in the fashion world. The results of the analysis show that although GNTM 2022 promotes the idea of diversity and shows resistance to the ideal depiction of women, uniform beauty standards are still very much embedded in the fashion industry in Germany."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Satrio Wibowo
"ABSTRAK
Prancis adalah salah satu negara dengan populasi orang kulit hitam yang cukup besar di Eropa. Orang kulit hitam di Prancis kerap kali dilekatkan dengan prasangka dan stereotipe negatif oleh masyarakat. Melalui karya seni khususnya musik rap, stereoritpe dan prasangka negatif dapat dikukuhkan atau sebaliknya, karena di dalamnya mengandung subjektivitas dan sudut pandang pengarang mengenai suatu hal. Tak terkecuali dengan lagu, yaitu Sur Ma Route dan Force d rsquo; tre karya seorang rapper terkenal Prancis Black M. Menggunakan teori representasi dan identitas Stuart Hall, penulis berusaha menelusuri bagaimana identitas orang kulit hitam direpresentasikan dalam larik lagu rap karya Black M. Artikel ini memperlihatkan identitas orang kulit hitam yang berlawanan dengan stereotipe masyarakat. Orang kulit hitam dalam dua lagu tersebut direpresentasikan sebagai sosok yang tangguh dan membanggakan. Musik rap Black M hadir untuk mengekspresikan opini dan kritiknya dengan memaparkan kisah hidupnya sebagai role model orang kulit hitam yang berhasil melawan stereotipe negatif masyarakat.
ABSTRACT

France is one of the countries with large black people population in Europe. French black people are often attached to negative prejudgement and stereotypes by society. Through art, especially rap music, negative stereotypes and prejudices could be reinforced or vice versa, because they contain the creator rsquo s subjectivity and point of view about something. No exception to these rap songs titled Sur Ma Route and Force d rsquo tre by a famous French rapper Black M. Using the theory of representation and identity by Stuart Hall, the author tries to explore how the identity of black people are represented in the lyrics of rap songs by Black M. This article shows the identity of black people as opposed to community stereotypes. The black people in these two songs are represented as a formidable and proud figure. Black M 39 s rap music came to express his opinions and criticisms by describing his life story as a role model of black people who succeeded against the negative stereotypes of society."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Aisha Darby
"Media adalah sumber informasi penting untuk standar dan norma kecantikan yang dianut masyarakat dan salah satunya standar yang paling banyak ditemui di masyarakat adalah ide mengenai warna kulit yang ideal. Data dari Mills (2017) menemukan bahwa standar kecantikan yang ditransmisikan oleh media terutama sangat berdampak pada perempuan. Salah satu cara media mengimplementasikan standar kecantikan tersebut adalah melalui iklan. Iklan produk kecantikan seringkali menggambarkan warna kulit yang gelap sebagai sesuatu yang buruk sedangkan warna kulit terang selalu digambarkan sebagai pertanda kecantikan. Hal ini mengungkap cara kerja colorism di Indonesia. Colorism, adalah proses diskriminasi yang memberikan hak istimewa bagi mereka yang memiliki warna kulit lebih terang dibandingkan mereka yang kulitnya gelap. Colorism memiliki implikasi internal (konsep diri), dan juga implikasi eksternal (diskriminasi). Tulisan ini berusaha untuk mengetahui implikasi internal colorism, yakni konsep diri, sebagai akibat dari iklan kecantikan. Setelah melakukan wawancara dengan dua orang informan, penulis dapat menyimpulkan bahwa iklan kecantikan memang memainkan peran yang penting dalam melestarikan colorism di kalangan perempuan yang pada akhirnya membentuk self-esteem, ideal self, self image (konsep diri) perempuan tersebut.

Media is an important source of beauty norms and standards that a society adheres to and a beauty standard that we come across a lot in society are skin color ideals. Data from Mills (2017) shows that beauty standards that are transmitted by the media have an especially profound impact on women. One of the ways in which beauty standards are implemented by the media is through advertisements. Beauty advertisements often portray dark skin as something that is bad and shows lighter skin tones as a sign of beauty. This shows how colorism works in Indonesia. Colorism is the process of discrimination that gives priviledges to those with lighter skin tones compared to those with darker skin tones. Colorism has internal (self concept) and external (discrimination) implications. This writing attempts to discover the internal implications of colorism, namely self concept, as a consequence of beauty advertisements. After conducting interviews with two informants, it can be concluded that beauty advertisements do play an important role in strengthening colorism in women, which in turn impacts their self-esteem, ideal self, and self image (self concept)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Khansa Nabila
"Media tanpa kita sadari ikut berperan dalam konstruksi mitos kecantikan. Mereka menggunakan sosok perempuan yang memiliki elemen-elemen yang dipercaya sebagai kecantikan. Analisis iklan dalam penelitian ini, yaitu blend-a-med 3D: White Luxe dan blend-a-med 3D: Whitestripes, menunjukkan bagaimana lembaga dan perusahaan melalui media mengkonstruksi standar kecantikan dan mengontrol masyarakat untuk mencapai mitos kecantikan. Makalah ini bertujuan untuk memaparkankan konstruksi gigi putih di Jerman.

Media unnoticeably participates in the construction of beauty myth. They use female figures with elements which are considered as beauty. Analysis of advertisments in this study, the blend-a-med 3D: White Luxe and blend-a-med 3D: Whitestripes, shows how institutions and companies through the media construct beauty standard and control the society in order to achieve the beauty myth. This study aims to describe the construction of white teeth in Germany.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Harfiana Ashari
"Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana beauty influencer berupaya meredefinisi kecantikan di media sosial dan bagaimana audiens menegosiasikan wacana tersebut. Studi sebelumnya telah menunjukkan beauty influencer dapat membuat sebuah tindakan untuk meredefinisikan standar kecantikan, salah satunya dengan meluncurkan produk kecantikan dengan model yang memiliki tampilan visual tidak sesuai dengan standar kecantikan. Meskipun demikian, belum banyak studi membahas upaya beauty influencer meredefinisi standar kecantikan di media sosial, bagaimana strategi penyebaran wacana tersebut, dan bagaimana audiens menegosiasikannya. Berdasarkan konsep Mitos Kecantikan Naomi Wolf, studi ini melihat beberapa beauty influencer berperan dalam mereproduksi diskursus yang meredefinisikan standar kecantikan ideal. Berpijak dari teori resepsi Stuart Hall, maka studi ini berargumen beauty influencer yang berupaya meredefinisi kecantikan masih menjadi pihak yang juga melanggengkan standar kecantikan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa beauty influencer menggunakan lima strategi untuk menyebarkan wacana redefinisi standar kecantikan, yaitu foto tanpa filter, video, berkolaborasi dengan industri kecantikan dan beauty influencer lain, menjadi narasumber webinar, dan menjalin relasi dengan audiens. Namun hal tersebut masih dinegosiasikan karena relasi kuasa dari budaya patriarkal dan kapitalisme di kalangan audiens. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, sehingga teknik pengambilan data menggunakan teknik observasi daring melalui berbagai praktik yang dilakukan beauty influencer di media sosial dan wawancara mendalam.

This study aims to explain how beauty influencers try to redefine beauty standards on social media and how audiences negotiate it. Previous studies have shown that female beauty influencers are able to make an action to redefine beauty standards, one of which is by launching a beauty product that displays a model with a visual form that is not in accordance with beauty standards. However, there are not many studies yet that discuss the beauty influencers’s method to redefine beauty standards on social media, how to spread, and how audiences negotiate it. Reflecting on the concept of the Beauty Myth by Naomi Wolf, this study sees several beauty influencers play a role in reproducing the discourse that redefines the ideal beauty standards. Based on reception theory by Stuart Hall, this study argues that beauty influencers who try to redefine beauty are still the ones who also perpetuate beauty standards. The research findings show that beauty influencers use five strategies to spread the discourse on redefining beauty standards, namely unfiltered photos, making videos, collaborating with the beauty industry and other beauty influencers, hosting webinars, and establishing relationships with the audiences. The efforts is still being negotiated due to the power of the relation between patriarchal cultural values and capitalism among the audiences. This research uses a case study method, so that the techniques for the data collection will use online observation through various practices carried out by beauty influencer on social media and in-depth interviews.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumiris, Evani Tama
"Mempertahankan kondisi tubuh dan wajah menjadi sebuah tuntutan sosial di masyarakat sehingga wanita bisa merasa lebih percaya diri. Kulit yang tetap kencang, elastis, dan tanpa kerutan merupakan dambaan setiap wanita yang sudah melewati usia tertentu. Citra ideal yang terus menerus dikonstruksi secara perlahan dapat menjadi standar budaya tentang kecantikan yang secara tidak sadar mempengaruhi pikiran wanita, yaitu keinginan untuk tetap awet muda. Berbagai fenomena tersebut semakin gencar dimanfaatkan oleh industri kosmetik untuk meningkatkan penjualan produknya, salah satunya melalui media iklan. Beberapa produsen yang menawarkan produk anti-penuaan melalui iklan adalah Nivea, Garnier, dan Reviderm. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana representasi wanita cantik dalam iklan produk anti-penuaan dan juga menelaah bentuk representasi awet muda yang menjadi identitas tertentu di masyarakat.

Many women nowadays always try to maintain the condition of her body and face that fit into social standard. Many of them believe that it makes them more confident. Tight, elastic and flawless skin is a dream of every women in certain age. This continuously constructed image slowly becoming cultural standard of beauty and affect women’s mind. The phenomena is intensively used by the cosmetics industry to increase sale of its products and one of them is with advertising media. Some manufacturers that offer anti-aging products are Nivea, Garnier, and Reviderm. This research discusses how the representation of beautiful women in anti-aging products advertising and also examines the anti-aging criteria that become certain identity in society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>