Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113088 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christin Wigin Hia
"Latar Belakang: Kanker ovarium menduduki peringkat ke-3 sebagai kanker tersering pada perempuan di Indonesia. Keganasan ovarium dianggap sebagai silent killer karena tidak memiliki gejala yang signifikan pada stadium awal sehingga hampir 50% pasien datang sudah pada stadium lanjut. Oleh karena itu, diperlukan alat skrining di pelayanan primer untuk mendeteksi keganasan ovarium dan salah satu modalitas pemeriksaan adalah ultrasonografi sederhana.
Tujuan: Mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan ultrasonografi sederhana dalam menilai keganasan tumor ovarium dibandingkan hasil histopatologi pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien tumor ovarium di polikinik Ginekologi RSCM Jakarta yang dilakukan operasi pada bulan Maret hingga Juli 2015. Sampel penelitian diambil dengan metode consecutive sampling. Analisis menggunakan uji Chi-square dan regresi logistik untuk mencari hubungan antara pola morfologi ultrasonografi dengan hasil histopatologi dimana terdapat hubungan bermakna apabila nilai p<0,05. Selain itu, dibuat model persamaan dari regresi logistik untuk menghitung probabilitas
Hasil: Terdapat 80 subjek penelitian dimana 58 subjek (72,5%) dengan tumor jinak dan 22 subjek (27,5%) dengan tumor ganas. Hasil ultrasonografi dengan pola morfologi ≥2 menunjukkan hasil ganas pada 53,8% subjek dengan nilai diagnostik sensitivitas 100%, spesifisitas 82,8%, nilai duga positif 68,8%, dan nilai duga negatif 100%. Pola morfologi yang paling berpengaruh terhadap keganasan tumor ovarium adalah permukaan dalam dinding kista ireguler, multilokular, terdapat penonjolan papiler, dan ada bagian padat dalam tumor. Probabilitas subjek mendapat tumor ganas apabila memiliki pola morfologi ≥3 adalah lebih dari 88,9%,
Kesimpulan: Pemeriksaan ultrasonografi sederhana dapat digunakan untuk mendeteksi keganasan tumor ovarium.

Background: Ovarian cancer ranked 3rd most common cancer in Indonesian women. Ovarian malignancy is considered as silent killer because there is no significant symptom in early stage therefore almost 50% patients came in late stage. Thus, screening tool is needed in primary health care to detect ovarian malignancy and one of recommended modality is simple ultrasound examination.
Aim: To know diagnostic values of simple ultrasound examination to detect ovarian malignancy compared with post operative histopathologic findings.
Method: This study used cross-sectional design in Cipto Mangunkusumo Hospital gynecologic outpatients with ovarian tumor undergone operation between March to July 2015. Samples were taken using consecutive sampling. Analysis was done using Chi-square test and logistic regression to find the relationship between ultrasound morphologic patterns with histopathologic findings where there is a significant relationship when p value < 0.05. Furthermore, a model derived from logistic regression was made to calculate the probability having ovarian malignancy.
Result: There were 80 subjects which 58 subjects (72.5%) have benign tumor and 22 subjects (27.5%) have malignant tumor. Ultrasound examination result using ≥2 morphologic patterns gave malignant result in 53.8% subjects with diagnostic values of sensitivity of 100%, specificity 82.8%, positive predictive value of 68.8%, and negative predictive value of 100%. The most important patterns were irreguler internal cyst wall, multilocular, presence of pappilary projection, and presence of solid component. The probability of subject having ovarian malignancy if there were ≥3 morphologic patterns was more than 88.9%.
Conclusion: Simple ultrasound examination can be used to detect ovarian malignancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Hiro Hidaya Danial
"Latar Belakang : Sampai saat ini kanker ovarium masih menjadi salah satu kanker dengan angka mortalitas yang tinggi pada wanita dikarenakan tidak dijumpainya gejala yang khas sehingga lebih banyak kasus terdiagnosis pada stadium lanjut. Belum adanya metode skrining menjadikan pentingnya metode diagnostik yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Evaluasi biomarker yang baru diperlukan untuk dapat mendeteksi tumor ovarium ganas pada stadium awal.
Objektif : Penelitian ini dilakukan untuk menilai ekspresi Immediate Early Response Gene X-1 (IEX-1) saliva sebagai prediktor keganasan pada tumor ovarium epitelial.
Metode : Merupakan penelitian uji diagnostik pada pasien tumor ovarium yang direncanakan operasi elektif dengan mengambil 3-5 ml saliva pasien sebelum tindakan operasi. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan hasil histopatologi yaitu tumor ovarium epitelial jinak dan ganas. Dilakukan pemeriksaan ekspresi IEX-1 saliva dengan metode Real Time qPCR.
Hasil : Hasil penelitian ini didapat dari 47 subjek, 22 subjek tumor ovarium epitelial ganas dan 25 subjek merupakan tumor ovarium epitelial jinak. Rerata ekspresi IEX-1 saliva lebih tinggi pada tumor ovarium epitelial jinak (1,976) dibandingkan ganas (0,554) (p<0,001). Didapatkan nilai AUC ekspresi IEX-1 0,949 (IK95% 0,894-1,000), nilai cut off point IEX-1 saliva ≥ 0.9115 dengan sensitivitas 84%, spesifisitas 86,4%, nilai duga positif 82,6% dan nilai duga negatif 87,5%. Terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi IEX-1 saliva dengan kejadian tumor ovarium epitelial ganas (OR 5,031, IK95% 2,039-12,41; p<0,001).
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara penurunan ekspresi IEX-1 saliva dengan kejadian tumor ovarium epitelial ganas dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik.

Backgound: Ovarian cancer is still one of the cancers with a high mortality rate in women because there are no typical symptoms so that more cases are diagnosed at an advanced stage. The absence of a screening method makes the importance of a diagnostic method that has high sensitivity and specificity. Evaluation of new biomarkers is needed to detect malignant ovarian tumors at an early stage.
Objectives: This study was conducted to assess the expression of salivary Immediate Early Response Gene X-1 (IEX-1) as a predictor of malignancy in epithelial ovarian tumors.
Methods: This is a diagnostic test study in ovarian tumor patients who are planned for elective surgery by taking 3-5 ml of patient's saliva before surgery. Research subjects who met the inclusion and exclusion criteria were divided into two groups based on the histopathological results, benign and malignant epithelial ovarian tumors. The salivary IEX-1 expression was examined using the Real Time qPCR method.
Results: The results of this study were obtained from 47 epithelial ovarian tumors subjects, 22 malignant tumors and 27 benign tumors. The mean salivary IEX-1 expression was higher in benign epithelial ovarian tumors (1.976) than in malignant (0.554) (p<0.001). The AUC expression value of IEX-1 was 0.949 (95% CI 0.894-1,000), salivary IEX-1 cut off point value was 0.9115 with sensitivity 84%, specificity 86.4%, positive predictive value 82.6% and negative predictive value 87, 5%. There was a significant relationship between salivary IEX-1 expression and the event of malignant epithelial ovarian tumors (OR 5.031, 95% CI 2.039-12.41; p<0.001).
Conclusions: There is a significant correlation between decreased salivary IEX-1 expression and the event of malignant epithelial ovarian tumors with a good sensitivity and specificity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seprializa
"Latar belakang: Kanker ovarium yang paling sering terjadi adalah jenis epitel, mayoritas terjadi pada perempuan usia lanjut namun ditemukan 3 - 17 wanita usia muda yaitu kurang dari 40 tahun. Meningkatnya angka survival dari keganasan ovarium maka mempertahankan fertilitas adalah hal yang sangat penting pada pasien usia muda. Prosedur diagnostik yang tepat diperlukan untuk oportunitas fungsi reproduksi pasien kedepannya, yaitu potong beku. Prosedur potong beku dapat mempertajam diagnosis dan penatalaksanaan yang terarah pada neoplasma ovarium suspek ganas dan mencegah terjadinya overprocedure maupun underprocedure.
Tujuan : Mengetahui peran prosedur potong beku pada neoplasma ovarium suspek ganas pada usia dibawah 40 tahun di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan studi potong lintang yang dilaksanakan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan data rekam medik pada pasien neoplasma ovarium suspek ganas usia dibawah 40 tahun yang menjalani pembedahan dengan atau tanpa prosedur potong beku dari tahun 2013 hingga 2018.
Hasil: Dari 109 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi didapatkan 62 kasus menjalani prosedur potong beku dengan hasil ganas (34,9%), borderline (14,7%) dan jinak (7,3%) sedangkan tanpa prosedur potong beku terdapat 47 kasus. Subjek yang menjalani potong beku didapatkan seluruh prosedur sesuai (100%) dengan kelengkapan prosedur pembedahan konservatif surgical staging, sedangkan tanpa potong beku didapatkan 4,8% outcome dengan hasil overprocedure.
Kesimpulan: Tatalaksana konservatif menjadi prioritas utama dalam manajemen neoplasma ovarium suspek ganas usia muda, dengan adanya prosedur potong beku dapat menentukan tatalaksana lebih terarah secara intraoperatif.

Background: The most common ovarian cancer is the type of epithelium, the majority occur in elderly women but found 3-17 young women that is less than 40 years. The increased survival rate of ovarian neoplasm is to maintain fertility is very important in young patients. Appropriate diagnostic procedures are needed for the future reproductive function of the patient, which is frozen section. Frozen section procedures can diagnose clearly and directed treatment of suspected malignant ovarian neoplasms and prevent overprocedure or underprocedure.
Aim: Knowing the role of frozen section procedures in suspected malignant of ovarian neoplasms under the age of 40 years at RSCM.
Methods: This research is descriptive with a cross sectional study conducted at RSCM using medical record data on patients with suspected of malignant ovarian neoplasms age under 40 years who underwent surgery with or without frozen cut procedures from 2013 to 2018.
Results : 109 study subjects which were taken from the inclusion criteria, 62 cases underwent frozen section procedures with malignant results (34.9%), borderline (14.7%) and benign (7.3%) whereas without procedures frozen section there are 47 cases. Subjects who underwent frozen section obtained all procedures according to (100%) with complete conservative surgical staging procedures, whereas without frozen section obtained 4.8% outcome with overprocedure results.
Conclusions: Conservative management is the main priority in the management of young woman with ovarian neoplasms, with the presence of frozen section procedures can determine management more directed intraoperatively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossalyn Sandra Andrisa
"Latar belakang : Tumor ganas adneksa mata merupakan keganasan epitel yang berasal dari kelopak mata, konjungtiva dan kelenjar kelenjar yang berada pada jaringan tersebut. Tumor ini sebenarnya mempunyai prognosis baik bila diobati pada stadium dini.
Metode : Dilakukan studi historical cohort dengan survival analysis. Subyek adalah penderita tumor ganas adneksa mata yang berobat ke poliklinik subbagian Tumor Mata FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember 2000 mendapat tindakan operasi. Analisis data menggunakan cara cox proportional hazard dan analisis life table menurut metode Kaplan-Meier.
Hasil : Dari 74 penderita tumor ganas adneksa mata didapat angka harapan hidup 74.24%. Penderita terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (51.4%), karsinoma set basal (28.4%), adenokarsinoma (14.8%) dan melanoma maligna (5.4%). Metastasis memberikan resiko tertinggi terhadap kematian HR 51.69(9.72-274.76), kelompok tumor karsinoma sel skuarnosa - adenokarsinoma HR 4.91 (0.62-38.81), penderita mendapat tambahan radiasi HR 10.72(1.25-92.18), dan jenis operasi eksenterasi HR 7.63(1.59-36.48)
Kesimpulan : Faktor resiko yang berhubungan dengan kematian adalah metastasis, kelompok tumor karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, dilakukan tindakan radiasi dan tindakan eksenterasi orbita.

Background : Malignant eye adnexa tumor originates from epithelium of eye lid, conjunctiva, and nodes of those tissues. The prognosis of this tumor is good if it is treated during the initial stadium.
Method : A historical cohort study was carried out with survival analysis. The subject of the study were patients with malignant eye adnexa tumor who went to Sub-division of Eye Tumor FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from the period of January I, 1996 to December 31, 2000 and received surgical treatment. Data analysis used was cox proportional hazard and life table analysis with Kaplan Meier method.
Result : From 74 patients with malignant eye adnexa tumor we obtained a survival rate of 74.24%. Most of them suffer from squamous cell carcinoma (51.4%), basal cell carcinoma (28.4%), adenocarcinoma (14.8%) and melanoma maligna (5.4%). Metastasis contributes to a high risk of death HR 51.69 (9.72-274.76), squamous cell carcinoma - adenocarcinoma group type HR 4.91 (0.62-38.81), patients receiving additional radiation treatment HR 10.72 (1.25-92.18), and exenteration HR 7.63 (1.59-36.48).
Conclusion : The risk factor which causes death is metastasis, squamous cell carcinoma and adenocarcinoma group type, radiation treatment and exenteration of the orbit were done.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarrah Stiafani Afientari
"Tujuan: Mengetahui bahwa indeks morfometrik USG merupakan metode yang baik dalam mendiagnosis keganasan ovarium tipe epitelial.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan mengambil data retrospektif dari Januari 2016 hingga Desember 2017. Pasien poliklinik rawat jalan ginekologi dengan kecurigaan memiliki neoplasma ovarium kistik direkrut. Standar baku emas adalah temuan histologi dari massa adneksa yang dioperasi. Karakteristik gambaran pola morfometrik ultrasonografi meliputi bilateralitas, jumlah lokus, regularitas dinding dalam (inner wall), tonjolan papiler (papillary projection), bagian padat (solid part), asites, dan doppler blood flow.  Analisis ROC dilakukan untuk menentukan seberapa baik model ini digunakan sebagai metode diagnostik keganasan ovarium tipe epitelial. Analisis statistik dihitung, untuk mendapatkan nilai akurasi, sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 178 pasien, sebanyak 101 kasus (56.74%) adalah k asusjinak dan 77 kasus (43.25%) adalah kasus ganas. Pola karakteristik USG, papillary projection (p-value = 0.000), solid part (p-value = 0.000), inner wall (p-value = 0.000), asites (p-value = 0.000) dan Doppler blood flow (p-value = 0.000) subjek penelitian memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian keganasan ovarium. Pola morfologi papillary projection memiliki nilai sensitifitas yang paling tinggi (83%), kemudian adanya asites (82%), dan iregularitas dinding (81%). Untuk kategori spesifisitas, didapatkan adanya bagian padat (solid part) memiliki nilai spesifisitas yang paling tinggi (93%).Analisis regresi multinomial digunakan untuk menilai gabungan pola karateristik yang bermakna untuk diagnostik keganasan ovarium tipe epitelial dengan AUC 89.40% (95%CI 84.70%-94.00%), Model ini akurat  secara statistik (p <0,05).
Kesimpulan: Indeks morfometrik USG merupakan salah satu metode yang baik dalam memprediksi keganasan ovarium.

Objective: To know whether the ultrasound morphometric index is a good method to diagnose epithelial ovarian malignancy.
Materials and methods: This study is a diagnostic test conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. All data were taken retrospectively from January 2016 to December 2017. Gynecological outpatient polyclinic patients with suspicion of having cystic ovarian neoplasms were recruited. Characteristics of ultrasound morphometric patterns include bilaterality, number of loci, inner wall regularity, papillary projection, solid part, ascites, and doppler blood flow.
Results: The study involved 178 patients, 101 cases (56.74%) were malignant and 77 cases (43.25%) were malignant cases. The characteristics of ultrasound, papillary projection, solid part, inner wall, ascites and Doppler blood flow patterns of the study subjects had a significant relationship with the incidence of ovarian malignancy. Multinomial regression analysis was used to assess the combined characteristic patterns for the diagnostic epithelial type ovarian malignancy with AUC 89.40% (95% CI 84.70% -94.00%), this model was statistically accurate (p <0.05).
Conclusion: Morphometric index of ultrasound is a good methods in predicting epithelial ovarian malignancy 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mitari Nuzullita
"Latar belakang: Kanker ovarium merupakan jenis kanker ke-3 yang paling sering dialami oleh wanita di Indonesia. Diagnosis yang terlambat berperan besar dalam tingginya angka mortalitas. Metode skrining cepat kanker ovarium semakin penting untuk diteliti, dengan beragam biomarker penanda kanker seperti CA-125, HE4, dan FOLR1 yang menawarkan indeks diagnostik dan kemudahan prosedur yang menjanjikan.
Metode: Studi deskriptif desain potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari 2022 hingga Januari 2023. Kadar serum CA-125, HE4, dan FOLR1 dianalisis dari 48 subjek yang terbagi dalam kelompok tumor ovarium ganas dan jinak. Diagnosis pasti tumor merujuk hasil pemeriksaan histopatologis dan pencitraan. Data demografis pasien seperti usia, status menopause, ukuran tumor, hingga hasil analisis sitologi cairan asites dikumpulkan.
Hasil: Hasil analisis demografis menunjukkan kecenderungan subjek menopause untuk memiliki tumor ovarium non-maligna (57,6% vs. 26,7%; p < 0,05), dan subjek dengan cairan asites ganas cenderung memiliki tumor ovaium maligna (3,0% vs. 40,0%; p < 0,05). Kadar ketiga biomarker serum meningkat pada kelompok tumor maligna, namun hanya HE4 (median 12,43 vs. 42,03; p < 0,05) yang memiliki perbedaan bermakna (CA-125 median 102,50 vs. 461,85; p = 0,062; FOLR1 median 0,070 vs. 0,172; p=0,213). Area under the curve (AUC) pada hasil analisis kurva receiver operating characteristic (ROC) menunjukkan hasil 0,630, 0,747, dan 0,794 secara berturut-turut untuk biomarker FOLR1, Ca125, dan HE4, dengan analisis beda proporsi signifikan pada titik potong 0,1165 ng/mL (Se 66,7%, Sp 60,6%), 208,00 U/mL (Se 73,3%, Sp 84,8%), dan 19,66 pg/mL (Se 86,7%, Sp 60,6%). Analisis kombinasi biomarker menunjukkan peningkatan sensitifitas namun penurunan spesifisitas.
Kesimpulan: Kadar serum ketiga biomarker memiliki kemampuan yang baik sebagai prediktor keganasan tumor ovarium maligna. Pada populasi penelitian, HE4 secara tunggal memiliki indeks diagnostik terbaik, dan kombinasi biomarker tidak memberikan peningkatan kemampuan diagnostik.

Background : Ovarian cancer is the third most common cancer in women in Indonesia. Late diagnosis significantly contributes to high mortality rates. Rapid screening methods for ovarian cancer are increasingly important, with biomarkers such as CA-125, HE4, and FOLR1 offering promising diagnostic indices and procedural ease.
Methods: This cross-sectional descriptive study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta from January 2022 to January 2023. Serum levels of CA-125, HE4, and FOLR1 were analyzed in 48 subjects divided into malignant and benign ovarian tumor groups. Tumor type diagnosis was based on histopathological examination and imaging. Patient demographic data including age, menopausal status, tumor size, and cytology analysis of ascitic fluid were collected.
Results: Demographic analysis showed tendencies of menopausal subjects to have non-malignant ovarian tumors (57.6% vs. 26.7%; p < 0.05), and subjects with malignant ascitic fluid were more likely to have malignant ovarian tumors (3.0% vs. 40.0%; p < 0.05). Serum levels of all three biomarkers were higher in the malignant group, but only HE4 (median 12.43 vs. 42.03; p < 0.05) showed significant differences (CA-125 median 102.50 vs. 461.85; p = 0.062; FOLR1 median 0.070 vs. 0.172; p = 0.213). The area under the curve (AUC) for the receiver operating characteristic (ROC) curve analysis showed 0.630, 0.747, and 0.794 for FOLR1, CA-125, and HE4, respectively. Significant cut-off points were 0.1165 ng/mL (Se 66.7%, Sp 60.6%), 208.00 U/mL (Se 73.3%, Sp 84.8%), and 19.66 pg/mL (Se 86.7%, Sp 60.6%). Biomarker combination analysis increased sensitivity but decreased specificity.
Conclusion: Serum levels of the three biomarkers are good predictors of malignancy in ovarian tumors. In this study population, HE4 alone had the best diagnostic index, and combining biomarkers did not enhance diagnostic capability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Fauzan
"Kanker ovarium merupakan kanker keempat tersering yang ditemukan pada wanita di seluruh dunia . Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi angka kejadian kanker ovarium, diantaranya penggunaan kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum dan faktor penggunaan kontrasepsi terhadap angka kejadian kanker ovarium. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan bersifat deskriptif retrospektif dengan total sampel 106 pasien kanker ovarium berdasarkan pemeriksaan histopatologik di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2007. Dari hasil penelitian didapatkan jumlah angka kejadian 106 kasus kanker ovarium pada kurun waktu 2003-2007. Terdapat 25 kasus ( 23,6 % ) penderita kanker ovarium yang menggunakan kontrasepsi dan tidak menggunakan kontrasepsi sebanyak 74 kasus ( 69,8 %). Jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah kontrasepsi oral sebanyak 16 kasus ( 15,1 %) dan paling sedikit adalah ligasi tuba dan implan masing-masing 1 kasus (0,9 %). Lama penggunaan kontrasepsi paling banyak ditemukan pada rentang waktu 1-5 tahun sebanyak 17 kasus ( 16,0 %), dan paling sedikit pada rentang waktu 11-15 tahun sebanyak 2 kasus ( 1,9 % ). Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin lama durasi penggunaan kontrasepsi maka semakin berkurang risiko kejadian kanker ovarium, kontrasepsi oral merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan dari semua metode kontrasepsi, serta karsinoma ovarium yang paling banyak ditemukan adalah jenis epithelial.

Kanker ovarium merupakan kanker keempat tersering yang ditemukan pada wanita di seluruh dunia . Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi angka kejadian kanker ovarium, diantaranya penggunaan kontrasepsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum dan faktor penggunaan kontrasepsi terhadap angka kejadian kanker ovarium. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan bersifat deskriptif retrospektif dengan total sampel 106 pasien kanker ovarium berdasarkan pemeriksaan histopatologik di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2007. Dari hasil penelitian didapatkan jumlah angka kejadian 106 kasus kanker ovarium pada kurun waktu 2003-2007. Terdapat 25 kasus ( 23,6 % ) penderita kanker ovarium yang menggunakan kontrasepsi dan tidak menggunakan kontrasepsi sebanyak 74 kasus ( 69,8 %). Jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah kontrasepsi oral sebanyak 16 kasus ( 15,1 %) dan paling sedikit adalah ligasi tuba dan implan masing-masing 1 kasus (0,9 %). Lama penggunaan kontrasepsi paling banyak ditemukan pada rentang waktu 1-5 tahun sebanyak 17 kasus ( 16,0 %), dan paling sedikit pada rentang waktu 11-15 tahun sebanyak 2 kasus ( 1,9 % ). Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin lama durasi penggunaan kontrasepsi maka semakin berkurang risiko kejadian kanker ovarium, kontrasepsi oral merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan dari semua metode kontrasepsi, serta karsinoma ovarium yang paling banyak ditemukan adalah jenis epithelial."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adithya Welladatika
"Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan kanker kedelapan tersering, terhitung hampir 4% dari semua kanker pada perempuan di dunia. Kanker ovarium memiliki prognosis yang buruk dan angka kematian tertinggi. Setiap tahunnya terdapat 225.000 perempuan yang terdiagnosis kanker ovarium dan 140.000 perempuan meninggal disebabkan oleh penyakit ini. Berdasarkan jumlah tersebut, 90% kasus merupakan kanker ovarium epitelial. Bila berdasarkan stadium, lebih banyak pasien datang terdiagnosis dengan kanker ovarium stadium lanjut dibandingkan dengan stadium dini. Hal ini dikarenakan kanker ovarium bersifat asimtomatik, onset gejala yang terlambat dan belum adanya skrining yang terbukti efektif untuk kanker ovarium. Tujuan utama pengobatan kanker stadium lanjut adalah memperpanjang waktu untuk bertahan hidup dengan kualitas hidup yang baik dan tata laksana standarnya adalah operasi sitoreduksi. Di RSCM, evaluasi kesintasan dari pasien kanker ovarium epitelial stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi belum dianalisis.
Tujuan: Mengetahui kesintasan pasien kanker ovarium stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi di RSCM dan juga mengetahui kesintasannya berdasarkan hasil histopatologi dan pemberian kemoterapi ajuvan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data dari rekam medis. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Subjek penelitian adalah semua pasien kanker ovarium epitelial stadium lanjut yang menjalani operasi sitoreduksi pada bulan Januari 2013-Januari 2015 di RSCM.
Hasil: Dari 48 subjek yang diteliti, didapatkan sebanyak 23 (48%) subjek menjalani operasi sitoreduksi optimal dan 25 (52%) subjek menjalani operasi sitoreduksi suboptimal. Didapatkan kesintasan 5 tahun pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi optimal sebesar 43,5%, sedangkan untuk sitoreduksi suboptimal sebesar 32%. Pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi optimal, yang diberikan kemoterapi ajuvan didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 40%, sedangkan pada pasien yang tidak diberikan sebesar 46,2%. Pada pasien yang menjalani operasi sitoreduksi suboptimal, yang diberikan kemoterapi ajuvan didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 40%, sedangkan pada pasien yang tidak diberikan sebesar 20%. Pada pasien dengan hasil histopatologi seromusinosum didapatkan kesintasan 5 tahun sebesar 100%, sedangkan untuk serosa, musinosa, endometrioid dan sel jernih berturut-turut sebesar 50%, 33,3%, 25%, dan 21,4%.
Kesimpulan: Operasi sitoreduksi optimal memiliki kesintasan 5 tahun yang lebih baik dibandingkan dengan operasi sitoreduksi suboptimal. Operasi sitoreduksi suboptimal dan tidak dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi ajuvan memiliki kesintasan yang buruk. Jenis histopatologi seromusinosum memiliki kesintasan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis serosum, musinosum, endometrioid dan sel jernih.

Background: Ovarian cancer is the eighth most common cancer, almost 4% of all cancers in women in the world. Ovarian cancer has a poor prognosis and the highest mortality rate. Every year 225,000 women are diagnosed with ovarian cancer and 140,000 women die from this disease. Based on this number, 90% of cases are epithelial ovarian cancer. Based on stadium, more patients diagnosed with advanced-stage ovarian cancer compared with early stage, because ovarian cancer is asymptomatic, delayed onset and there is no screening that has proven effective for ovarian cancer. The standard management for advanced stage ovarian cancer is debulking surgery. At RSCM, evaluation of survival of advanced stage epithelial ovarian cancer patients who were performed debulking surgery has not been analyzed.
Objective: Knowing the survival of patients with advanced-stage ovarian cancer who underwent debulking surgery at RSCM and also knowing their survival based on histopathological results and adjuvant chemotherapy.
Methods: This was a retrospective cohort study using data from medical records. Sampling was done by consecutive sampling. The subjects of this study were all patients with advanced-stage epithelial ovarian cancer patients who were performed debulking surgery in January 2013-January 2015 at RSCM.
Results: From the 48 subjects, 23 (48%) subjects were performed optimal debulking surgery and 25 (52%) subjects were performed suboptimal debulking surgery. Overall survival in patients undergoing optimal debulking surgery is 43.5% with a median survival rate of 39 months, while for suboptimal debulking surgery is 32% with a median survival rate of 29 months. In patients who underwent optimal cytoreduction surgery, those given adjuvant chemotherapy obtained a overall survival is 40%, whereas in patients who were not given is 46.2%. In patients who underwent suboptimal cytoreduction surgery, those who were given adjuvant chemotherapy found a overall survival rate of 40%, whereas in patients who were not given is 20%. In patients with histopathological results seromucinous obtained 5-year survival by 100%, while for serous, mucous, endometrioid and clear cells simultaneously were 50%, 33.3%, 25%, and 21.4%.
Conclusion: Optimal debulking surgery has a better 5-year survival compared to suboptimal debulking surgery. Suboptimal cytoreduction surgery and not followed by adjuvant chemotherapy has poor survival. The histopathological type of seromucinous has better survival compared with the types of serous, mucinous, endometrioid and clear cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfikha Handayani
"Latar belakang: Angka ketahanan hidup 5 tahun pasien keganasan ovarium rendah, karena >70% kasus terlambat didiagnosis. Skor Gatot Purwoto merupakan metode prediksi keganasan ovarium pra-bedah. Terdapat rentang yang berbeda cukup jauh antara nilai diagnostik Gatot Purnomo dari beberapa penelitian. Pada aplikasinya penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto (GP) < 4 (rendah) masih terdapat kecurigaan adanya keganasan ovarium sehingga masih dilakukan prosedur potong beku sebagai alat diagnostik intrabedah.
Tujuan: Untuk mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif prosedur potong beku yang dilakukan pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto ≤ 4 dan untuk mengetahui peningkatan nilai diagnostik antara prosedur potong beku dibandingkan dengan skor gatot purwoto pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto ≤ 4
Metode: Uji ini adalah uji diagnostik dengan desain potong lintang. Pasien tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi Gatot Purwoto (GP) < 4 yang dilakukan prosedur potong beku di RSCM selama periode Juli 2008 – Juli 2013 diikutsertakan dalam penelitian ini. Data diambil secara konsekutif dari rekam medik, kemudian dianalisis secara manual dengan menggunakan tabel 2x2 dan rumus parameter diagnostik. Kami menganalisis nilai diagnostik potong beku dibandingkan dengan baku emas yaitu blok parafin. Kemudian kami melihat adakah peningkatan nilai diagnostik prediksi keganasan ovarium jika hanya dilakukan skor GP saja dan jika dilakukan skor GP disertai dengan potong beku
Hasil: Dari 160 orang subyek penelitian didapatkan prosedur potong beku memiliki akurasi yang cukup baik dalam mendiagnosis keganasan ovarium yaitu 78,5%. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan akurasi prosedur potong beku pada penelitian ini berturut turut adalah 84,3%, 92,9%, 75%, 95,9% dan 85,5%. Selain itu prosedur potong beku pada penderita tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi GP ≤4 secara bermakna memberikan manfaat dalam mendiagnosis keganasan ovarium yaitu meningkatkan nilai diagnostik sebesar 15,9% dibandingkan hanya menggunakan skor GP saja tanpa potong beku.
Kesimpulan: Prosedur potong beku memiliki nilai diagnostik yang baik dan masih memberikan manfaat dalam mendiagnosis tumor ovarium curiga ganas dengan skor prediksi GP < 4. Skor prediksi GP memberikan nilai diagnostik yang cukup rendah untuk memprediksi keganasan ovarium, sehingga perlu dilakukan perbaikan sistem penilaian prediksi keganasan ovarium.

Background: The 5-year survival rate of patients with ovarian cancer is low, because over 70% of cases are diagnosed in a late stage. Gatot Purwoto score is a method to predict ovarian malignancy prior to surgery. There is a variabel range on the diagnostic values of Gatot Purwoto (GP) score from several studies. In its application, patients with GP prediction score < 4 (low) still has a suspicion for ovarian malignancy, therefore frozen section is still performed as an intraoperative diagnostik tool.
Aim: To obtain the sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of frozen section performed in patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4 and to discover the increase of diagnotic value of frozen section compared to GP score in patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4.
Methods: This is a diagnostic study with cross sectional design. Patients with suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4 who underwent frozen section in RSCM from July 2008 – July 2013 were included in this study. Data were obtained consecutively from medical records, then analyzed manually with 2x2 tables and diagnostik parameter formula. We analyzed frozen section compared to the gold standard (paraffin block). Then we observed if there was an increase of diagnostic value of predicting ovarian malignancy with GP score alone or GP score combined with frozen section.
Result: We obtained 160 subjects. Frozen section had an overall good accuracy in predicting ovarian malignancy (78.5). The sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value of frozen section are 84,3%, 92,9%, 75%, 95,9% and 85,5%, respectively. Frozen section also increased the diagnostic value as much as 15,9% compared to GP score alone without frozen section.
Conclusion: Frozen section had a good diagnostic value and is still useful in diagnosing suspected malignant ovarian tumors with GP score ≤ 4. GP prediction score has a quite low diagnostic value in predicting ovarian malignancy, therefore an improved system to predict ovarian malignancy is needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Theresia Ongkowidjaja
"Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ROMA dengan RMI dalam memprediksi keganasan tumor ovarium epitelial di RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan desain potong lintang yang dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUPNCM. Pada penelitian ini, dari 213 subjek diperoleh sensitivitas dan spesifisitas RMI 85.3%, dan 66.3%, Nilai Duga Positif dan Negatif RMI 79.7%, dan 74.3%, Rasio Kemungkinan Positif dan Negatif RMI 2.53, dan 0.22; dan sensitivas dan spesifisitas ROMA 95.4%, dan 32.5%, Nilai Duga Positif dan Negatif 68.9%, dan 81.8%, Rasio Kemungkinan Positif dan Negatif 1.41, dan 0.14. AUC ROMA lebih baik daripada RMI, tetapi tidak bermakna secara statistik (seluruh kelompok: AUC 69.56%>67.49%, perbedaan AUC 0.0207, p 0.526; kelompok pascamenopause: AUC 91.47%>88.97%, perbedaan AUC 0.0250, p 0.0571; kelompok premenopause: AUC 86.20%>78.16%, perbedaan AUC 0.0804, p 0.0571). Pada titik potong ideal (RMI 330, ROMA premenopause 30,4; dan pascamenopause 53.1), ROMA mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibandingkan RMI (sensitivitas 82.31% vs 74.62%; spesifisitas 78.31% vs 75.9%). Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara ROMA dengan RMI, tetapi sensitivitas dan spesifisitas ROMA lebih baik daripada RMI pada titik potong ideal.

The purpose of this research is to compare ROMA with RMI to predict malignancy of ovarian tumor, epithelial type in Indonesia, especially at the Cipto Mangunkusumo hospital. It was a cross sectional study with a diagnostic design, which was performed in the Oncology Gyneology division. From 213 sampels, the RMI showed a sensitivity of 85.3%, a specificity of 66.3%, a PPV of 79.7%, a NPV of 74.3%, a LR+ of 2.53, LR- 0.22 and an accuracy of 0.77; while ROMA has a sensitivity of 95.4%, a specificity of 32.5%,a PPV 68.9% of, a NPV of 81.8%, a LR+ 1.41, LR- 0.14 and an accuracy of 0.71. Overall AUC ROMA indicated better results compared to those results using the RMI diagnostic method, (all groups: AUC 69.56%>67.49%, p 0.526; as with the postmenopause group: the AUC was 91.47%>88.97%, p 0.0571; and the premenopause group: the AUC 86.20%>78.16%, p 0.0571). At ideal the cut-off point (RMI 330, ROMA premenopause 30,4; and postmenopause 53.1), ROMA has shown better sensitivity and specificity than RMI (sensitivity 82.31% vs 74.62%; specificity 78.31% vs 75.9%). It can be concluded that there is no significantly different between ROMA and RMI, but at ideal cut off, sensitivity and specificity ROMA better than RMI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>