Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106912 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andisyah Putri Sekar
"Abnormalitas metabolisme glukosa yang terjadi pada pasien diabetes mengambarkan peningkatan risiko pada perkembangan dan prognosis kanker tertentu. Metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikaitkan dengan risiko berkurangnya berbagai sel kanker. Penelitian ini membandingkan dan menganalisis efektivitas pengobatan metformin tunggal/kombinasi dan non-metformin terhadap nilai antibodi anti-p53 dan hubungannya dengan nilai HbA1c pada pasien T2DM yang memiliki faktor risiko kanker. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional dengan menggunakan metode cross-sectional dengan jumlah sampel 32 orang yang diambil di Puskesmas Pasar Minggu, Puskesmas Cimanggis, RSUD Depok, dan pasien volunteer di kabupaten Tangerang dengan teknik total sampling. Nilai rerata antibodi anti-p53 diukur menggunakan elisa kit MESACUP anti-p53 Test, sedangkan HbA1c diukur di lab klinik terakreditasi dengan metode ion exchange HPLC. Nilai antibodi anti-p53, yaitu 0,17 ± 0,07 pada kelompok metformin tunggal/kombinasi dan 0,25 ± 0,12 pada kelompok non-metformin. Namun, nilai antibodi anti-p53 pada kedua kelompok tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p = 0,970). Analisis korelasi antara nilai HbA1c dengan nilai antibodi anti-p53 pada kelompok non-metformin menghasilkan hubungan negatif yang kuat dan bermakna (r = -0,709; p = 0,003). Sedangkan pada kelompok metformin tunggal/atau kombinasi tidak ditemukan hubungan yang bermakna (r = -0,056; p = 0,830).

Abnormalities of glucose metabolism that occur in diabetic patients describe an increased risk in the development and prognosis of certain cancers. Metformin is a first-line therapy for patients with type 2 diabetes melitus has been associated with a reduced risk of various cancer cells. This study compares and analyzes the effectiveness of treatment in group of metformin or combination and non-metformin towards anti-p53 antibody ​​and their relation to HbA1c in T2DM patients who have risk factors for cancer. Type of research is an observational study using cross-sectional method with a total sample is 32 people in Puskesmas Pasar Minggu, Puskesmas Cimanggis, RSUD Depok, and volunteers patient in Tangerang district using total sampling technique. Anti-p53 antibody was measured using elisa kit MESACUP anti-p53 Test whereas HbA1c was measured in accredited clinical lab by ion exchange HPLC method. The average of anti-p53 antibody is 0,17 ± 0,07 in metformin single dose/combinations group and 0,25 ± 0,12 in non-metformin group. Moreover, there was no significance difference between the group of metformin or combination and non-metformin (p = 0,970). On the other hand, there was a strongly correlation between HbA1c values and anti-p53 antibody in group of non-metformin (r = -0,709; p = 0,003) but none in the group of single dose or combinations group (r = -0,056; p = 0,830).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aisyah
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan faktor seperti jenis kelamin dan usia, obesitas, dan resistensi insulin, pada diabetes mellitus tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Hiperinsulinemia dapat mempengaruhi risiko kanker tidak hanya melalui efek mitogenik langsung dari insulin tetapi juga secara tidak langsung melalui peningkatan produksi IGF-1. Metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikaitkan dengan risiko berkurangnya berbagai sel kanker. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis hubungan antibodi anti-p53 dengan beberapa penanda metabolik HbA1c, insulin, dan IGF-1 pada pasien diabetes melitus yang menerima terapi antidiabetes metformin n=47 , non-metformin n=31 , dan subjek sehat n=16 di Puskesmas Pasar Minggu. Sampel yang digunakan adalah serum darah yang kemudian diuji menggunakan metode ELISA untuk menganalisis antibodi anti-p53, IGF-1, dan Insulin. Nilai antibodi anti-p53, yaitu 0,26 0,06 dan pada kelompok metformin tunggal/kombinasi dan 0,24 0,08 pada kelompok non-metformin. Nilai pada kedua kelompok memiliki perbedaan yang bermakna p< 0,001 jika dibandingkan dengan subjek sehat. Terdapat korelasi negatif menengah antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c r = -0,407; p= 0,023 dan dengan IGF-1 r = - 0,571; p = 0,021 pada kelompok non-metformin. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan kadar insulin pada ketiga kelompok.

Either epidemiological studies or meta analysis has shown that several factors such as gender, age, obesity, and insulin resistance are related to cancer incidents. Hyperinsulinemia affect cancer progression not only trough insulin mitogenic activities but also trough inducing IGF 1 production. Metformin as a first line therapy for patients with type 2 diabetes mellites has been associated with a reduced risk of various cancer cells. Aside from its insulin sensitizer mechanism, several studies showed other mechanism related to cancer treatment. This cross sectional study compares and analyzes the correlation between effect of antidiabetic treatment in the group of metformin combination n 47 and non metformin n 31 against anti p53 antibody and their relation to HbA1c, IGF 1, and insulin in type 2 diabetes mellitus patients in Pasar Minggu Primary Health Center. Patient rsquo s blood serum was collected then analyzed with ELISA kit to measure the value of anti p53 antibody, IGF 1, and insulin. The average of anti p53 antibody were 0.26 0.06 and 0.24 0.08 in metformin combination group and non metformin group, respectively. There was a statistically significant difference anti p53 antibody level between the two groups against age and sex match 16 apparently healthy subjects.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karla Carolina
"Beberapa studi epidemiologi dan meta analisis menunjukkan faktor risiko berhubungan dengan diabetes melitus dan kanker, diantaranya jenis kelamin, usia, hiperglikemia dan obesitas. Hiperinsulinemia, hiperglikemia dan inflamasi pada diabetes dapat menginduksi kerusakan sel yang bertransformasi  menjadi sel kanker. Kerusakan sel dapat berupa stress oksidatif, lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan non-parallel sampling design yang bertujuan untuk mengukur dan melihat hubungan antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada dua kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 (n = 78) dan pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis antibodi anti-p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer. Pada penelitian ini kadar serum antibodi anti-p53 pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (0,25 ± 0,05 U/ml) berbeda bermakna dengan kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). Sementara, HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 (8,39 ± 0,23 %) berbeda bermakna dengan kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak ada korelasi antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (r = -0,188,  p = 0,099).  Terdapat korelasi sedang antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (r = -0,359, p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antibodi anti-p53 dan HbA1c pada kedua kelompok. Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown risk factors are related with diebetes mellitus and cancer, they are such as gender, age, hyperglycemia and obesity. Hyperinsulinemia, hyperglycemia dan inflamation on diabetes can induce cell destruction that are transformed into cancer cells. Cell destruction form of oxidative stress, lipotoxicity and glucotoxicity. This study was a cross-sectional with  non-parallel sampling design which compares and analyzes the correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus and type 2 diabetes mellitus with cancer, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 78) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Analyze for anti-p53 antibody was using ELISA,while HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer. The serological level of anti-p53 antibody in the type 2 diabetes mellitus (0,25 ± 0,05 U/ml) significant diference between type 2 diabetes mellitus type 2 (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). HbA1c showed significant difference in the type 2 diabetes mellitus (8,39 ± 0,23 %) between type 2 diabetes mellitus type 2 (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). There was no correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus (r=-0,188, p=0,099). There was moderate correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus with cancer (r = -0,359, p = 0,01).  Based on result showed there were significant difference between anti-p53 antibody with HbA1c in both groups. There was negative correlation anti-p53 antibody with HbA1c in the type 2 diabetes mellitus with cancer.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Rachman
"Obat antidiabetes yang paling banyak diresepkan di Puskesmas Indonesia adalah metformin atau kombinasi metformin dan sulfonilurea. Studi tentang metformin telah menunjukkan berbagai dampak penurunan kognitif pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, sedangkan sulfonilurea telah terbukti mengurangi dampak ini. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dampak metformin dan metformin-sulfonilurea pada fungsi kognitif dan menentukan faktor apa yang mempengaruhinya. Studi potong lintang ini dilakukan di Puskesmas Pasar Minggu dengan melibatkan 142 pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengonsumsi metformin atau metformin-sulfonilurea selama >6 bulan dan usia >36 tahun. Fungsi kognitif dinilai menggunakan kuesioner Montreal Cognitive Assessment versi bahasa Indonesia. Efek dari metformin dan metformin-sulfonylurea pada penurunan kognitif tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, bahkan setelah mengontrol kovariat (aOR = 1,096; 95% CI =  13.008px;">0,523–2,297; nilai-p = 0,808). Analisis multivariat menunjukkan usia (OR = 4,131; 95% CI = 1,271–13,428; nilai-p = 0,018) dan pendidikan (OR = 2,746; 95% CI = 1.196–6.305; nilai-p = 0,017) mempengaruhi fungsi kognitif. Pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih tua cenderung menyebabkan penurunan kognitif, tenaga kesehatan didorong untuk bekerja sama dengan ahli kesehatan masyarakat untuk mengatasi faktor risiko fungsi kognitif ini.

The most prescribed antidiabetic drugs in Indonesian primary health care are metformin or a combination of metformin and sulfonylurea. Studies on metformin have shown various impacts on cognitive decline in patients with type 2 diabetes mellitus, whereas sulfonylurea has been shown to reduce this impact. This study aimed to compare the impacts of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive function and determine what factors affected it. This crosssectional study was conducted at Pasar Minggu Primary Health Care involving 142 type 2 diabetes mellitus patients taking metformin or metformin-sulfonylurea for >6 months and aged >36 years. Cognitive function was assessed using the validated Montreal Cognitive Assessment Indonesian version. The effects of metformin and metformin-sulfonylurea on cognitive decline showed no significant difference, even after controlling for covariates (aOR = 1.096; 95% CI = 0.523–2.297; p-value = 0.808). Multivariate analysis showed age (OR = 4.131; 95% CI = 1.271–13.428; p-value = 0.018) and education (OR = 2.746; 95% CI = 1.196–6.305; p-value = 0.017) affected cognitive function. Since a lower education and older age are likely to cause cognitive decline, health professionals are encouraged to work with public health experts to address these risk factors for cognitive function."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafa’atun Mirzanah
"Self management diabetes berdampak positif terhadap peningkatan outcome klinis. Observasi pada fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan pelaksanaan edukasi kurang efektif. Inovasi teknologi dapat menjadi alternatif solusi dalam mengatasi masalah ini. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh aplikasi self management berbasis android terhadap tingkat pengetahuan dan perilaku self management pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini berdesain quasi eksperimental pre-posttest dengan kelompok kontrol. Partisipan direkrut di poli rawat jalan dan rawat inap sejak Juni-Agustus 2020. Analisis data menggunakan SPSS versi 25 pada 66 responden. Pada analisis bivariat, terdapat peningkatan pengetahuan pada kelompok intervensi di akhir penelitian (p=0,07). Tidak ada pengaruh aplikasi terhadap perilaku self management diabetes (p=0,940). Pada analisis multivariat, didapatkan hubungan yang signifikan antara penggunaan aplikasi (p=0,045) dan tingkat pengetahuan sebelumnya (p=0,0001) terhadap tingkat pengetahuan posttest. Aplikasi D-SyIs berpotensi meningkatkan pengetahuan diabetes. Perbaikan desain aplikasi diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penggunaan aplikasi.

Self management diabetes has positive impact on increasing clinical outcome. Field observation in healthcare setting showed an ineffective implementation of health education. Technology innovation could be an alternative solution to solve this problem. This research was to examine the effect of android based self management apps towards diabetes self management behavior and diabetes knowledge among type 2 diabetes mellitus patients. A pre-posttest quasy experimental design with control group is used. Participants were recruited from outpatient and inpatient from June to July 2020. SPSS version 25 was used to analyse 66 participants. In bivariat analysis, there was enhancement of diabetes knowledge in intervention group (p=0,07) at the end of research. There was no significant different in self management (p=0,908). In multivariate analysis, there were significant effect of D-SyIs apps (p=0,045) and previous diabetes knowledge (p=0,0001) towards diabetes knowledge. This apps has potential effects to increase diabetes knowledge. Upgrading the app design is needed to increase the apps effectiveness."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruzicka Ilma Faradisi
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan beberapa faktor pada DM tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Mutan p53 yang terbukti berkontribusi terhadap perkembangan tumor sementara insulin yang diketahui berperan dalam mengendalikan kadar gula tubuh, dipilih menjadi biomarker yang akan diteliti pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan kadar mutan p53 dan insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (n=51) dan pasien DM tipe 2 (n=51). Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Pada penelitian, diketahui tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,774) pada nilai mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (1,65±0,10 ng/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (1,62±0,09 ng/mL). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,001) pada kadar insulin antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (19,33±2,68 µIU/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (37,31±2,68 µIU/mL). Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dengan kadar insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (r=0,191; p= 0,179) dan pada kelompok pasien DM tipe 2 (r=-0,081; p= 0,574). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada kadar mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker dan kelompok pasien DM tipe 2, namun terdapat perbedaan pada kadar insulin pada kedua kelompok. Selain itu, tidak ada korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dan insulin pada kedua kelompok.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown that several factors in type 2 DM are related to cancer incidents. Mutant p53 is scientifically proven to contribute in tumor development while insulin that known well to play an important role in controlling body glucose levels, therefore those two biomarkers were chosen to be investigated in this study. This research aimed to study the correlation of mutant p53 and insulin in type 2 DM + cancer (n=51) and type 2 DM patients (n=51). This research was a cross-sectional study with consecutive technique sampling. This study showed that there was no significant difference (p=0.774) of mutant p53 value between type 2 DM + cancer patients group (1.65±0.10 ng/mL) and type 2 DM patients group (1.62±0.09 ng/mL). However, it was significant difference (p<0.001) of insulin value in type 2 DM + cancer patients group (19.33±2.68 µIU/mL) and type 2 DM patients group (37.31±2.68 µIU/mL). There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in type 2 DM + cancer patients group (r=0.191; p=0.179) and type 2 DM patients group (r=-0.081; p=0.574). Based on the results, we concluded that there was no significant difference of mutant p53 value in type 2 DM + cancer patients group and in type 2 DM patients group but there was significant difference of insulin value in both groups. There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in both groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathia Yusrina
"Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah penyakit gangguan metabolisme yang menyebabkan regulasi insulin terganggu dan dapat mengakibatkan komplikasi penyakit ginjal diabetes (PGD). Saat ini, gold standard penilaian fungsi ginjal dilakukan berdasarkan parameter eGFR dan albuminuria, tetapi kedua parameter tersebut memiliki beberapa keterbatasan. Oleh karena itu, metode baru untuk deteksi dini fungsi ginjal dapat bermanfaat dalam upaya pencarian target terapi yang lebih tepat, salah satunya melalui pendekatan metabolomik. Tujuan penelitian ini yaitu melihat perbedaan profil metabolit serum pasien DMT2 risiko rendah (n=16) dan tinggi (n=16) PGD berdasarkan klasifikasi KDIGO 2022 yang mengonsumsi metformin-glimepirid. Desain penelitian cross-sectional dengan teknik consecutive sampling dilakukan di Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dan RSUD Jatipadang. Sebanyak total 32 partisipan yang memenuhi kriteria inklusi dibandingkan profil metabolitnya berdasarkan kategori risiko PGD. Sampel darah, urin, serta data karakteristik dasar dan klinis dikumpulkan untuk analisis metabolomik. Analisis untargeted metabolomics dilakukan menggunakan LC/MS-QTOF dengan metode yang sudah tervalidasi. Pengolahan data dilakukan menggunakan MetaboAnalyst 5.0 dan SPSS versi 24.0. Seluruh metabolit yang terdeteksi diidentifikasi oleh database Metlin, HMDB, PubChem, dan KEGG. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada seluruh karakteristik dasar dan klinis subjek penelitian. Terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi metabolit antara dua kelompok sampel. Berdasarkan parameter VIP score >1; FC >1.2; p-value <0,05; AUC >0,65 yang ditetapkan, diperoleh tiga metabolit yang memiliki potensi sebagai senyawa biomarker dalam perkembangan PGD, yaitu acetyl-N-formyl-5-methoxykynurenamine (AFMK), phosphatydilinositol-4,5-bisphosphate (PIP2), dan cytidine diphosphate diacylglycerol (CDP-DAG). Berdasarkan ketiga metabolit tersebut, tiga jalur metabolisme berhasil terdeteksi dan berpotensi terlibat dalam perkembangan PGD yaitu metabolisme triptofan, metabolisme fosfatidilinositol, serta metabolisme gliserofosfolipid. 

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disorder causing insulin regulation to be disrupted and may lead to diabetic kidney disease (DKD) complication. The current gold standard for assessing kidney function based on eGFR and albuminuria have some limitations. Therefore, a new method for assessing kidney function may be useful for a better therapeutic target discovery, such as through metabolomics approach. This study aims to compare the serum metabolite profiles of T2DM patients consuming metformin-glimepiride with low (n=16) and high (n=16) risk of DKD based on KDIGO 2022. A cross-sectional study with consecutive sampling method was carried out at Puskesmas Pasar Minggu and RSUD Jatipadang. A total of 32 participants fulfilled the inclusion criteria were compared for their metabolite profiles. Blood, urine, baseline and clinical characteristics data were collected to perform untargeted metabolomics analysis using a validated LC/MS-QTOF method. Data processing was performed using MetaboAnalyst 5.0 and SPSS 24.0. Metabolites were identified by Metlin, HMDB, PubChem, and KEGG databases. There were no significant differences among all basic and clinical characteristics of the participants. There were significant differences of metabolite expression between two sample groups. Based on the applied parameters VIP score >1; FC>1.2; p-value <0.05; AUC >0.65, three metabolites were found to have potential as biomarker in the development of DKD, namely acetyl-N-formyl-5-methoxykynurenamine (AFMK), phosphatydilinositol-4,5-bisphosphate (PIP2), and cytidine diphosphate diacylglycerol (CDP-DAG). Based on these metabolites, three metabolic pathways were detected and found to be potentially involved in the development of DKD, namely tryptophan metabolism, phosphatidylinositol metabolism, and glycerophospholipid metabolism."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faradilla Eka Herastuti
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan kasus diabetes yang paling umum terjadi dengan peningkatan prevalensi setiap tahun. Penyakit diabetes dapat menyebabkan biaya perawatan tinggi dan penurunan kualitas hidup. Terapi pengobatan diabetes yang beragam variasi dapat memberikan efektivitas dan biaya yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis efektivitas biaya terhadap kombinasi metformin-pioglitazon dan metformin-glimepirid pada pasien diabetes melitus tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan teknik pengumpulan data retrospektif. Data penelitian diambil dari rekam medis dan data biaya pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 dengan kombinasi metformin-pioglitazon dan metformin-glimepirid di RSUD Pasar Rebo tahun 2020-2022. Parameter untuk melihat efektivitas terapi adalah pencapaian target HbA1c <7,0% dengan minimal 3 bulan. Data biaya pengobatan pasien menggunakan biaya langsung medis dengan perspektif rumah sakit. Nilai efektivitas terapi yang dihasilkan menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok metformin-pioglitazon dengan metformin-glimepirid (p > 0,05). Berdasarkan hasil analisis, nilai inkremental efektivitas antara kedua kelompok terapi sebesar 8% dan nilai inkremental total biaya sebesar Rp350.170,00. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terapi kombinasi metformin-pioglitazon lebih efektivitas-biaya dibandingkan metformin-glimepirid dengan penambahan biaya sebesar Rp43.771,25 untuk berpindah dari terapi metformin-glimepirid menjadi metformin-pioglitazon pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUD Pasar Rebo.

Diabetes mellitus type 2 is the most common case of diabetes with an increase in prevalence every year. Various diabetes treatment therapies can provide different effectiveness and costs. This study was performed to analyze cost-effectiveness of the combination of metformin-pioglitazone and metformin-glimepiride in patients with type 2 diabetes mellitus. This method was cross-sectional with retrospective data collection techniques. The research data was taken from medical records and cost data for type 2 diabetes with combination of metformin-pioglitazone and metformin-glimepiride at Pasar Rebo Hospital in 2020-2022. The parameter to see effectiveness of therapy is achievement of HbA1c target of <7.0% at least 3 months. Patient treatment cost data using medical direct costs with a hospital perspective. The resulting therapeutic effectiveness value showed no significant difference between the metformin-pioglitazone group and metformin-glimepiride (p > 0.05). Based on the results of the analysis, incremental value of effectiveness between the two therapy groups was 8% and total incremental value of cost was Rp350,170.00. Based on the results of this study, metformin-pioglitazone combination therapy is more cost-effective than metformin-glimepiride with additional cost of Rp43,771.25 by changing metformin-glimepiride therapy to metformin-pioglitazone in type 2 diabetes mellitus patients at RSUD Pasar Rebo."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Alda Manda Ananti
"ABSTRAK
Tatalaksana diabetes merupakan hal kompleks yang melibatkan serangkaian tindakan medis dan gaya hidup seperti diet secara teratur, olahraga, pengobatan, tes kadar gula, suntik insulin, atau pengobatan oral Glasgow Nutting, 2004 . Rangkaian tatalaksana yang menimbulkan respon psikologis seperti stres bahkan depresi perlu dilaksanakan untuk mencegah komplikasi sehingga dibutuhkan kepatuhan adherence yang baik. Menurut Gherman et al. 2011 , pasien yang lebih percaya diri dalam melakukan perawatan diri memiliki kepatuhan yang lebih baik, hal ini dapat direprsentasikan dalam self-efficacy. Selain self-efficacy, dukungan sosial juga dianggap sebagai faktor yang memengaruhi kepatuhan serta berdampak positif membantu individu menjalani pengobatan. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi dampak interaksi antara self-efficacy dan dukungan sosial terhadap kepatuhan pengobatan penderita diabetes melitus tipe 2. Peneliti menggunakan tiga alat ukur, yaitu The Diabetes Activity Questionnaire TDAQ , Diabetes Management Self-Efficacy Survey DMSES , dan Medical Outcome Study-Social Support Survey MOS-SS . Penelitian ini melibatkan 109 sampel. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, model yang terdiri dari self-efficacy dan dukungan sosial mempengaruhi kepatuhan secara signifikan p.

ABSTRACT
Management of diabetes is a complex matter that involves a series of medical and lifestyle measures such as regular diet, exercise, medication, glucose test, insulin injections or oral medication Glasgow Nutting, 2004 . Management sequences that generate psychological responses such as stress and even depression need to be implemented to prevent complications so that adherence is required. According to Gherman et al. 2011 , patients who are more confident in self care have better adherence, this can be represented in self efficacy. In addition to self efficacy, social support has also considered a factor that affects adherence and has a positive impact on helping individuals through treatment. The purpose of this study was to evaluate the impact of the interaction between self efficacy and social support for treatment adherence with diabetes mellitus type 2. Researchers using three measurements, such as The Diabetes Activity Questionnaire TDAQ , Diabetes Management Self Efficacy Survey DMSES , and the Medical Outcome Study Social Support Survey MOS SS . The study involved 109 samples. Based on the results of multiple regression analysis, the model consists of self efficacy and social support significantly affect adherence p"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>