Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76799 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shanna Priangka Ramadhanti
"Pada zaman sekarang, teknologi terus berkembang agar dapat membantu manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Dengan adanya tekonologi yang dapat membuat informasi menjadi digital, terbuka serta meluas maka masyarakat semakin bergantung pada jaringan dan tekonologi informasi. Tidak hanya pada masyarakat, teknologi informasi sangat diperdaya oleh pemerintahan untuk dapat membangun negaranya. Suatu negara dapat menggunakannya untuk kegiatan militer dan bahkan melakukan aktivitas-aktivitas dengan menggunakan cyber. Suatu cyber operation dapat membantu militer, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini dapat mempengaruhi keamanan negara. Terdapat kasus-kasus dimana negara menuduh negara lain untuk melakukan cyber operation terhadap negaranya dan telah terbukti memberikan dampak-dampak terhadap infrastruktur negara. Cyber operation dan aktivitas cyber merupakan hal yang baru dan belum terdapat pengaturan khusus yang mengaturnya. Dengan demikian, skripsi ini melihat bagaimana penerapan hukum internasional ( khususnya dari segi jus ad bellum) yang ada pada perkembangan cyber, khususnya terhadap cyber operation. Skripsi ini akan menganalisa tiga kasus yakni kasus pada Estonia (2007), Iran (2010) dan Ukraina (2015).

In the current era, technology continues to evolve and develop in order to help humans perform its daily activities. With the technology and digital information, it has made the public?s reliability towards them for its lives. Not only the people, information technology is being deceived by the government to be able to build and develop the country. A country can use them for military activities and even perform various activities using cyber. A military cyber operation can be a positive thing, however, it be denied that this could affect the security of the state. There have been cases where a state has been accused by other countries to conduct cyber operations against its country and has likely provide the effects on the country's infrastructure. Cyber operations and cyber activity is new and there are no specific law which govern them. Thus, this thesis seek to see how the current international law (from the perspective of jus ad bellum) applies towards the development of cyber particularly against cyber operation. This thesis will analyze three cases of the case in Estonia (2007), Iran (2010) and Ukraine (2015)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valeryan Natasha
"Skripsi ini akan menganalisa Sistem Persenjataan Otomatis Mematikan/Lethal Auotonomous Weapons Systems (LAWS), suatu sistem senjata baru yang dapat beroperasi tanpa campur tangan manusia. Analisa terhadap LAWS didasari pada prinsip dasar hukum humaniter, yaitu prinsip pembedaan dan proporsionalitas, serta aturan dasar persenjataan, yaitu Larangan Indiscriminate Weapons, Larangan Pengguaan Senjata yang mengakibatkan Superfluous Injury dan Unncessary Suffering, dan Klausa Martens. Penelitian ini bersumber dari studi kepustakaan dengan metode yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa perlu dibuat suatu ketentuan yang bersifat pembatasan (restriction) terhadap pengembangan dan penggunaan LAWS.

This undergraduate thesis seeks out to analyze the use of Lethal Autonomous Weapon System (LAWS), a newly-invented weapon system which is capable to elf-operate without any human intervention. Analysis of the LAWS is based on he basic principles of humanitarian laws, namely, principle of distinction and rinciple of proportionality, as well as basic weaponry rules, such as Prohibition n Indiscriminate Weapons, Prohohibitions on Weapons that cause Superfluous njury and Unncessary Suffering, and Martens Clause. The research comes from iterature study with normative juridical method. Based on this research, it can be oncluded that a provision of a restriction nature shall be made to regulate the evelopment and use of LAWS."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Metha Ramadita
"Sejak awal kemunculan space era, masyarakat internasional telah mendorong secara keras penggunaan ruang angkasa untuk tujuan damai (peaceful purposes). Namun, pengertian peaceful belum ada yang pasti hingga kini. Apakah kegiatan militer diperbolehkan atau tidak. Pada faktanya, sejak peluncuran Sputnik I, satelit tersebut sudah digunakan untuk tujuan militer. Sehingga, penjelasan mengenai kegiatan militer apa saja yang diperbolehkan di ruang angkasa menjadi sangatlah penting. Selain itu, mengingat semakin bergantungnya negara dengan teknologi ruang angkasa, dimulaui pengembangan teknologi anti-satellite untuk melindungi aset-aset nasional di ruang angkasa. Sejak tahun 1950an, sudah dilaksanakan uji coba anti-satellite weapons oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mana banyak menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan tersebut sesuai dengan prinsip peaceful purposes atau tidak. Oleh karena itu, juga perlu diketahui bentuk dari threat atau use of force dan pengecualiannya di ruang angkasa.

Since the dawn of space era, international community has voiced the use of outer space for peaceful purposes. However, there is no authoritative definition regard of peaceful until today. In fact, since the launced of Sputnik I, its objective was military purposes. Thus, it is important to know which one of military activity in outer space is permissible. Moreover, the increasing of national's dependency on space-based asset, make the states develope the anti-satellite to protect their national space asset. The employment of anti-satellite began since the late of 1950s by United States and Union of Soviet Socialist Republics. The test raised questions on its compliance with peaceful purposes principle. Therefore, it is also important to know the form of threat and use of force and its execptions in space."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65247
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robiatna Agus Fanhar
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memberikan penugasan kepada Anak Perusahaan untuk melaksanakan suatu pekerjaan berdasarkan ketentuan Sinergi BUMN. Sebagai pelaku usaha, dalam menjalankan kegiatan usahanya BUMN diwajibkan untuk tetap tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat). Periode tahun 2012-2014, PLN dihadapkan dengan berbagai masalah tenaga kerja alih daya akibat banyaknya PHK dan pemotongan hak normatif pekerja alih daya yang dilakukan oleh perusahaan penerima pemborongan di PLN. Faktor utama penyebab permasalahan tersebut adalah adanya perang harga pada proses tender pengadaan barang / jasa yang menyebabkan harga pemenang tender tidak dapat lagi memenuhi hak normatif tenaga kerja, serta vendor lama yang kalah tender harus melakukan PHK kepada pekerjanya. Hal ini akhirnya berdampak pada terganggunya pelayanan operasi dan pemeliharaan distribusi dan transmisi kepada pelanggan PLN. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut PLN membentuk anak perusahaan PT HP untuk ditugaskan mengamankan layanan operasi dan pemeliharaan transmisi dan distribusi tenaga listrik. Strategi penugasan ini diduga telah menimbulkan persaingan usaha tidak sehat oleh PLN dan PT HP. Dengan corak pasar oligopsoni, PLN diduga telah melakukan penetapan harga, menghambat masuknya pelaku usaha lain ke pasar yang bersangkutan dan melakukan persekongkolan tender dengan PT HP. Dengan dasar hukum Sinergi BUMN yang diatur dalam PERMEN BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, penugasan PLN kepada PT HP termasuk perbuatan yang dikecualikan dari pemberlakuan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

This thesis discuss about the policy of State-Owned Enterprises (SOE) on assignment to the subsidiary to carry out a job under the provisions of SOE Synergy. As a business, in operation SOEs are obliged to remain subject to the Law No. 5 Year 1999 regarding Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition (The Law of Antirust and Unfair Competition). In 2012 to 2014, PLN confronted with various problems of outsourcing labor due to layoffs and cuts in workers normative rights of outsourcing undertaken by the vendor companies in PLN. The main factors of this problem are the war pricing in the procurement process, hence the price of the winner bidder could not fulfill workers basic rights. Furthermore, the existing company that lost the bid must layoffs its workers. Finally, those conditions disrupt transmission and distribution operation and maintenance services to PLN?s customers. To resolve these issues, PLN establish a subsidiary called PT HP to assigned for securing the operation and maintenance of transmission and distribution of electricity. This assignment strategy alleged to constitute unfair competition by PLN and PT HP. With oligopolistic market, PLN alleged to have committed pricing, barrier to relevant market entry and tender conspiracy with PT HP. Institutes by SOE Synergy regulated in SOE Minister Regulation No. PER-05/MBU/2008 regarding Guidelines for SOE Procurement of Goods and Services, assignment from PLN to PT HP includes acts that are excluded from the application of the Antitrust and Unfair Competition Law as provided in Letter a Article 50 The Law of Antirust and Unfair Competition."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nurlaili Fitri
"Penelitian ini membahas perkembangan konsep menghadap notaris dalam pembuatan akta ditinjau dari perspektif cyber notary. Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam tugas dan kewenangan notaris, tugas dan wewenangnya untuk proses membuat akta autentik yang semula dari sistem konvensional menuju pada sistem elektronik yang dinamakan cyber notary. Permasalahan dalam tesis ini yaitu perkembangan konsep menghadap dengan adanya perkembangan teknologi informasi, perkembangan konsep menghadap di negara lain khususnya negara yang mengadopsi cyber notary, dan konsep menghadap itu diterapkan dalam hukum di Indonesia dalam pelaksanaan cyber notary di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris-analitis. Hasil analisis, perkembangan konsep menghadap dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang sebelumnya menghadap notaris dilakukan secara fisik atau berhadapan langsung, dengan adanya perkembangan teknologi informasi menghadap notaris dapat dilakukan secara virtual atau audio-visual. Dahulu pekerjaan notaris bersifat konvensional, namun sekarang ini telah menggunakan alat teknologi informasi dan komunikasi dalam setiap kantor notaris. Perkembangan konsep menghadap di negara yang mengadopsi cyber notary khususnya di negara Belanda, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, sebelum perkembangan teknologi semakin pesat, menghadap notaris di negara-negara tersebut dilakukan secara fisik saja. Saat ini kehadiran dapat dilakukan dengan cara audio-visual, kehadiran di hadapan Notaris melalui komunikasi audio-visual adalah sama halnya dengan kehadiran di hadapan Notaris secara fisik. Penerapan konsep menghadap notaris dalam pelaksanaan cyber notary di Indonesia berdasarkan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan sudah dilakukan seperti Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN, namun belum dapat dilaksanakan secara sempurna. Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang belum bisa menjamin dan mengedepankan kepastian hukum serta belum memiliki payung hukum yang jelas terkait cyber notary di Indonesia.

This study discusses the evolution of the concept of before a notary in making a deed in terms of a cyber notary perspective. Along with the evolution of information and communication technology in the performance of a notary, their duties and authorities for the process of making an authentic deed which were originally from the conventional system will lead to an electronic system called a cyber notary. The problems raised in this study are the evolution of personal appearance concept with the evolution of information technology, the evolution of personal appearance concept in other countries, especially countries that adopt cyber notary, and the personal appearance concept is applied in Indonesian law in the implementation of cyber notary in Indonesia. The research method used is normative juridical research with explanatory-analytical research type. The results of the analysis show the evolution of personal appearance concept with the evolution of information technology that previously faced a notary was carried out physically or face to face, with the development of information technology facing a notary could be done virtually or audio-visually. In the past, the work of a notary was conventional, but now it has used information and communication technology tools in every notary office. The evolution of the concept of personal appearance concept in countries that adopt cyber notaries, especially in the Netherlands, the United States, and South Korea, before technological evolution grew rapidly, before a notary in these countries was done physically. Currently attendance can be done by audio-visual means, attendance before a notary through audio-visual communication is the same as being physically present before a notary. The application of the concept of before a notary in the implementation of a cyber notary in Indonesia based on several provisions of the legislation has been carried out such as UUJN, but has not been implemented perfectly. There are several laws and regulations that have not been able to guarantee and prioritize legal certainty and do not yet have a clear legal protection regarding cyber notaries in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Azkarilla
"Codeshare agreement merupakan kontrak transportasi udara dimana suatu pengangkut memberikan izin kepada pengangkut kedua untuk menggunakan kode penanda penerbangannya dalam sebuah penerbangan, atau dimana dua pengangkut berbagi kode penanda penerbangan dalam suatu penerbangan. Dengan demikian, penumpang diangkut oleh perusahaan penerbangan yang bukan merupakan pihak yang diidentifikasikan dalam tiket penerbangan. Codeshare agreement melibatkan contracting carrier dan actual carrier yang dapat berbeda status personalnya, sehingga menimbulkan permasalahan di bidang Hukum Perdata Internasional. Praktik codesharing memungkinkan pengalihan tanggung jawab dari contracting carrier kepada actual carrier yang berpengaruh terhadap konsep dan sistem tanggung jawab pihak actual carrier dan pihak contracting carrier yang berlaku terhadap penumpang.

Codeshare agreement is an air transportation contract, by which one carrier permits a second carrier to use its airline designator code on a flight, or by which two carriers share the same airline code on a flight. Passengers actually fly on an airline other than the one identified on the ticket. The contracting carrier and the actual carrier might have different nationalities, which cause Private International Law issues. In the operation of codesharing, there might be a transfer of liability from the contracting carrier to the actual carrier, which give an impact regarding the concept and system of liability which will be applied towards passengers."
2014
S55546
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Ziva Nurmansyah
"Studi ini membahas perlindungan hukum yang diberikan pada ekspresi budaya tradisional, baik secara internasional maupun nasional, terutama terhadap penggunaan dan klaim komersial oleh pihak asing. Studi kasus tentang klaim dan penggunaan komersial oleh pihak asing pada ekspresi budaya tradisional ditinjau dari perspektif internasional hukum perdata untuk mengetahui hukum yang akan diterapkan jika peristiwa serupa terjadi di masa depan. Penelitian ini adalah studi literatur-normatif menggunakan data sekunder, dan dibantu dari wawancara dengan pihak terkait sebagai data pelengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi ekspresi budaya tradisional di tingkat nasional dan ruang lingkup internasional sudah ada, tetapi belum dapat melindunginya sepenuhnya. Studi ini juga menunjukkan perlindungan hukum yang diberikan di tingkat nasional dan nasional tingkat internasional belum efisien hukum perdata internasional dapat digunakan dalam menentukan hukum yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan.

This study discusses the legal protection given to traditional cultural expressions, both internationally and nationally, especially against commercial uses and claims by foreign parties. Case studies of claims and commercial use by foreign parties on traditional cultural expressions are reviewed from an international perspective on civil law to find out which laws will be applied if similar events occur in the future. This research is a literature-normative study using secondary data, and is assisted from interviews with related parties as supplementary data. The results showed that regulation of traditional cultural expression at the national level and international scope already existed, but could not protect it fully. This study also shows that legal protection provided at the national level and at the national level has not been efficient. International civil law can be used in determining the law used in resolving disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Sekar Saraswati
"Mobilitasnya yang tinggi dan kemampuan menempuh jarak jauh lebih cepat dibandingkan transportasi lainnya adalah beberapa alasan yang membuat pesawat menjadi mode transportasi yang penting sekarang ini. Secara ilmiah, dengan alasan tersebut, pesawat dapat dikategorikan sebagai benda bergerak, begitu juga konvensi internasional terkait pesawat mengaturnya. Namun undang-undang di Indonesia menyatakan sebaliknya. Meskipun dianggap sebagai benda tidak bergerak, jaminan hipotek atas pesawat tidak lagi berlaku sejak berlakunya UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan jaminan atas pesawat adalah kepentingan internasional sebagaimana diatur dalam Cape Town Convention. Akan tetapi, kepentingan internasional ini tidak diakui dalam hukum jaminan yang berlaku di Indonesia, sehingga jaminan atas pesawat di Indonesia menjadi tidak pasti. Selain itu, benda terdaftar juga belum diakui di Indonesia, sehingga prinsip lex rei sitae berkembang dan memunculkan prinsip lex registri. Meskipun tidak diatur dalam suatu ketentuan hukum tersendiri, lex registri sudah diakui di Indonesia. Dengan mendaftarkan pesawat untuk dapat beroperasi dan terbang di, dari, dan ke Indonesia sudah secara implisit menghadirkan situs artifisial bagi pesawat. Sehingga dalam skripsi ini akan membicarakan tentang status kebendaan pesawat yang akan mempengaruhi hukum yang akan berlaku terhadap pesawat, sekaligus perkembangan dari cara penentuannya.Mobilitasnya yang tinggi dan kemampuan menempuh jarak jauh lebih cepat dibandingkan transportasi lainnya adalah beberapa alasan yang membuat pesawat menjadi mode transportasi yang penting sekarang ini. Secara ilmiah, dengan alasan tersebut, pesawat dapat dikategorikan sebagai benda bergerak, begitu juga konvensi internasional terkait pesawat mengaturnya. Namun undang-undang di Indonesia menyatakan sebaliknya. Meskipun dianggap sebagai benda tidak bergerak, jaminan hipotek atas pesawat tidak lagi berlaku sejak berlakunya UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan jaminan atas pesawat adalah kepentingan internasional sebagaimana diatur dalam Cape Town Convention. Akan tetapi, kepentingan internasional ini tidak diakui dalam hukum jaminan yang berlaku di Indonesia, sehingga jaminan atas pesawat di Indonesia menjadi tidak pasti. Selain itu, benda terdaftar juga belum diakui di Indonesia, sehingga prinsip lex rei sitae berkembang dan memunculkan prinsip lex registri. Meskipun tidak diatur dalam suatu ketentuan hukum tersendiri, lex registri sudah diakui di Indonesia. Dengan mendaftarkan pesawat untuk dapat beroperasi dan terbang di, dari, dan ke Indonesia sudah secara implisit menghadirkan situs artifisial bagi pesawat. Sehingga dalam skripsi ini akan membicarakan tentang status kebendaan pesawat yang akan mempengaruhi hukum yang akan berlaku terhadap pesawat, sekaligus perkembangan dari cara penentuannya.

High mobility and ability to reach far destination in a short span of time compared to other transportation modes are some of the reasons as to why airplane is becoming significant in modern life. Scientifically speaking, with the same reasoning, an aircraft can be categorized as a movable object. International conventions regarding airplane assumes the same. However, recurring Indonesian regulation states the otherwise. Even though aircraft is considered immovable object in Indonesia, mortgage upon an aircraft no longer prevails after Aviation Act 2009 puts into force, in which stated security rights of an aircraft is international interest as defined in Cape Town Convention. Even though recognized, the form of international interest is not known under any security rights in Indonesia, which makes security rights of an aircraft is not yet determined. Other than that, registered object is not yet recognized in Indonesia. This leads lex rei sitae enforcability developed into lex registri and is now applicable to registered ones. By registering the airplane in Indonesia in order to be able to operate and fly in, from, and to Indonesian air territory, lex registri has been acknowledged, though implicitly, and this leads an aircraft to have artificial situs. This article will discuss about property law aspects of an aircraft and its effect on applicable law towards an aircraft, as well as development of determinating manner of the applicable law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Annisa Pratiwi
"Web defacement merupakan bentuk serangan oleh defacer (pelaku serangan web defacement) terhadap sebuah situs web yang mengakibatkan perubahan pada tampilan asli atau konten situs tersebut. Web defacement menjadi salah satu bentuk cyber crime atau kejahatan siber yang banyak terjadi di Indonesia maupun dunia. Fokus dari penelitian ini adalah membahas kegiatan web defacement yang terjadi pada situs web milik lembaga pemerintah di Indonesia. Penelitian ini akan menganalisis kegiatan web defacement berdasarkan norma hukum Indonesia dan bagaimana implementasi hukumnya dengan menggunakan Putusan Nomor 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Nomor 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, dan Nomor 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr. Melalui penelitian dengan metode penelitian doktrinal ini, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan web defacement, terdapat 2 (dua) tindakan yang dilakukan, yaitu penerobosan terhadap keamanan sistem elektronik dan/atau komputer serta pengubahan yang dilakukan terhadap tampilan situs web. Kegiatan web defacement telah diatur dan diakomodir secara implisit dalam norma hukum Indonesia tepatnya pada UU ITE, PP PSTE, Perpres SPBE, Perpres IIV, dan UU Hak Cipta. Namun, pada praktiknya pengimplementasian norma hukum tersebut masih inkonsisten apabila melihat dari contoh kasus Putusan Nomor 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Nomor 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, dan Nomor 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr.

Web defacement is a form of attack by a defacer (web defacement attacker) against a website that results in changes to the original appearance or content of the site. Web defacement has become one of the most common forms of cyber crime in Indonesia and the world. The focus of this research is to discuss web defacement activities that occur on websites belonging to government agencies in Indonesia. This research will analyze web defacement activities based on Indonesian legal norms and how they are implemented using Decision Number 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Number 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, and Number 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr. Through this doctrinal research method, it can be concluded that in web defacement activities, there are 2 (two) actions taken, namely breaching the security of electronic and/or computer systems and modifying the appearance of websites. Web defacement activities have been regulated and accommodated implicitly in Indonesian legal norms, precisely in the ITE Law, PSTE Government Regulation, SPBE Presidential Regulation, IIV Presidential Regulation, and Copyright Law. However, in practice, the implementation of these legal norms is still inconsistent looking at the case examples of Decisions Number 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Number 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, and Number 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilah Shafa
"Perceraian dari perkawinan di luar negeri dan perkawinan campuran internasional dapat dikatakan sebagai perceraian dengan unsur asing. Dalam perkara perceraian dengan unsur asing ini jika ditinjau dari segi HPI memiliki persoalan pokok yang menyangkut pada penentuan hukum yang berlaku serta kewenangan mengadili dari sebuah forum. Dalam prakteknya, ketika perkara perceraian yang melibatkan unsur asing diajukan di hadapan pengadilan Indonesia, maka hukum yang digunakan dalam perkara-perkara perceraian tersebut selama ini adalah lex fori, yakni hukum Indonesia. Sementara itu, dengan adanya perbedaan hukum yang mengatur perceraian serta forum tempat mengadili perceraian yang mungkin berbeda dengan hukum dan forum perkawinan menyebabkan permasalahan perceraian dengan unsur asing menjadi kompleks, Penelitian ini akan membahas serta menganalisis mengenai pertimbangan hakim terhadap forum yang berwenang dan lex fori sebagai hukum yang berlaku dalam perkara-perkara perceraian di Indonesia yakni Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0304/Pdt.G/2014/PA.JP, Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor Register Perkara 1978/Pdt.G/2017/PA.Tng.Nomor, dan Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 449/Pdt.G/2015/PN.Sg. Penelitian ini akan mengaitkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan teori-teori HPI.

Divorce from marriage abroad and international mixed marriage in Indonesia can be considered as divorce with foreign elements. In the case of divorce with foreign elements, if viewed from the Private International Law (PIL) point of view, has the main problem concerning the determination of the applicable law and the competent to adjudicate from a forum. In practice, when cases such as divorce with foreign elements are presented before an Indonesian court, then the law used in divorce cases so far is lex fori, specifically Indonesian law. In fact, due to the differences of the laws governing divorce as well as forums where the divorce proceedings may be different from the law and marriage forums, the problem of divorce with foreign elements becomes complex. This research will discuss and analyze the judges' consideration of the authorized forum and lex fori as the applicable law in the case of Central Jakarta Religious Court Decision Number 0304 / Pdt.G / 2014 / PA.JP, Tangerang Religious Court Decision Case Registration Number 1978 / Pdt.G / 2017 / PA.Tng, and Singaraja District Court Decision Number 449 / Pdt.G / 2015 / PN.Sg. This research will correlate these considerations with PIL theories."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>