Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97043 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Langitantyo Tri Gezar
"Industri televisi Indonesia terus memproduksi konten media hiburan seperti program musik dengan menggunakan jasa penonton bayaran dalam proses produksinya demi menarik khalayak dan meraih keuntungan ekonomi yang berpatokan pada rating dan share, lalu menjualnya kepada pengiklan. Dalam hal ini, industri televisi melakukan komodifikasi konten, khalayak, dan pekerja media yang menempatkan penonton bayaran sebagai komoditas. Dengan menggunakan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif disertai wawancara dan observasi lapangan pada studi kasus penonton bayaran program Dahsyat, peneliti menyimpulkan bahwa industri media telah melakukan komodifikasi terhadap penonton bayaran sebagai pekerja media yang berada pada relasi kuasa yang tidak seimbang.

ndonesian television industry continues to produce entertainment content such as music programs by using the services of paid audiences in the production process to attract audiences and gain economic benefits based on rating and share, then sell it to advertisers. Television industry is doing commodification of content, audiences, and workers that put paid audiences as commodities. By using critical paradigm and qualitative approach through interviews and field observations on a case study of paid audiences in Dahsyat program, researcher concluded that the media industry has done commodification of media workers to the paid audiences who are in unequal power relations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S64970
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiani Wulandari
"Pekerja Precariat Dalam Kapitalisasi Industri Televisi Kasus: Penonton Bayaran Pada Program Musik Televisi Hadirnya profesi penonton bayaran dengan status pekerja kontrak atau outsourcing merupakan sebuah konsekuensi dari adanya proses kapitalisasi di industri televisi. Tesis ini ditelah menggunakan kerangka pemikiran Guy Standing, yang intinya bahwa terdapat kelas precariat di lingkup ketenaga kerjaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan desain deskriptif. Hasilnya menunjukkan bahwa, penonton bayaran adalah pekerja yang digolongkan sebagai kaum precariat, dan mengalami tekanan secara struktural dan sosial. Kapitalisasi yang terjadi dalam industri televisi telah menciptakan struktur menekan sehingga menyebabkan penonton bayaran berada pada lapisan bawah dan menempatkan mereka pada posisi rentan. Tekanan yang mereka hadapi, berasal dari struktur relasi saling menekan pihak-pihak dalam proses produksi program musik di televisi. Akibatnya penonton bayaran menjadi rentan dalam kehidupan sosial.

Precariat Workers in Capitalization of Television Industry Case Paid attendees on The Music Program Appearances of paid attendees with contract worker status or outsourcing in television industry is a consequence from capitalization nowadays. This outsourcing system creates suppression structures into its practice so that put outsourcing labors into lower level and keep them more depressed. In this study, paid attendees have status as lower level worker which called as precariat. Correlation pattern of paid attendees in music program production system with capitalization of television industry put their in unstable position. This thesis researched by Guy Standing theory within qualitative and descriptive methods. In results show that paid attendees is categorized as precariat group and sustain a structural and social oppression, which is come from relation between structure of suppressing parties in television music program. As a result paid attendees become unstable in social environment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T48122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Paskah Eka Putri Rivai
"Dalam industri budaya, selalu terdapat pola dan formula yang berulang kemudian membentuk standar dan selera khalayak terhadap produk yang dihasilkan oleh media. Fenomena tersebut terlihat dalam tren program India yang diciptakan oleh saluran ANTV sejak tahun 2013. Saluran ANTV berhasil membangun sebuah industri budaya, di mana program serial India adalah produk dari industri tersebut. ANTV melakukan komodifikasi dalam pemilihan program impor maupun program produksinya sendiri. Komodifikasi dilakukan terhadap isi konten program demi mengikuti pola dalam industri budaya yang telah terstandarisasi. ANTV yang sebelumnya hanya mengimpor program serial India, memutuskan untuk menayangkan program lokal berjudul Malaikat Kecil dari India. Komodifikasi yang dilakukan dalam program ini adalah komodifikasi terhadap konten dan khalayak. Pada segi konten, komodifikasi dilakukan melalui penentuan latar, alur cerita, dan aktor. Sementara komodifikasi khalayak dilakukan dengan mentransformasikan khalayak menjadi suatu komoditas dalam bentuk rating dan share untuk djiual kepada pengiklan untuk mendapatkan keuntungan.

In culture industry, there rsquo s always a repeated pattern and formula that creating audience standard for media products they consume. This phenomenon can be seen in Indian television program trend, started by ANTV since 2013. ANTV has succeeded building a culture industry, which Indian serial program is their main product. ANTV conducted a commodification in either importing or producing their Indian television programs. Content commodification is done to the program in order to follow the pattern of the culture industry standard. After a few years importing Indian serial program, ANTV decided to broadcast a local program called Malaikat Kecil dari India where they did some content and audience commodification. Content commodification can be seen from the the program rsquo s plot, story settings and actor. While audience commodification is done by transforming their audience into a commodity through rating, then sold them to advertisers in order to gain profit.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Cosmas Gatot Haryono
"

Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam era globalisasi ini, media tidak lagi dilihat dan dikelola sebagai entitas bisnis special dengan tata kelola khusus. Sebaliknya, media diperlakukan layaknya entitas bisnis biasanya yang dikelola dengan menggunakan logika-logika industri pada umumnya. Maka tidak mengherankan bila tata kelola media tidak jauh dari tata kelola bisnis pada umumnya yang mengedepankan spirit khas kapitalisme dalam mengelola bisnis, yaitu pengeluaran biaya sedikit mungkin untuk mencapai laba sebesar mungkin. Dalam konteks produksi program siaran dunia media, hal itu kemudian diterjemahkan dengan penetapan share dan rating menjadi satu-satunya justifikasi dari kesuksesan sebuah program.

Akibatnya, pengelola media berupaya dengan berbagai cara untuk mencapai rating yang tinggi sehingga terjadilah komodifikasi pekerja. Para pekerja televisi dikondisikan untuk bekerja mati-matian tanpa pernah memperhatikan jam kerja dan hak-hak dasar mereka demi tercapainya rating yang tinggi. Dengan slogan profesionalisme dan tuntutan kerja, mereka sering bekerja dengan beban yang lebih, tapi dengan penghasilan yang pas-pasan. Banyak pekerja media yang dituntut multi tasking (mempunyai peran dan tanggungjawab yang lebih banyak) tetapi tidak digaji semestinya. Celakanya, sebagian besar pekerja media televisi menikmatinya dan terjebak dalam suatu kesadaran palsu yang membuai kehidupan mereka.

Penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma kritis. Teori yang digunakan adalah teori ekonomi politik media yang dikembangkan oleh Vincent Mosco. Peneliti juga menggunakan teori strukturasi untuk melihat bagaimana agen dan struktur melakukan constraining dan enabling. Fokus penelitian ini adalah tentang komodifikasi pekerja media, dimana peneliti berusaha untuk menngungkap bagaimana komodifikasi pekerja media terjadi dalam produksi program siaran televisi dan bagaimana kesadaran palsu pekerja media berperanan besar dalam memperkokoh komodifikasi tersebut.

Hasil dari penelitian ini antara lain: komodifikasi pekerja televise di Indonesia muncul dalam bentuk eksploitasi pekerja yang telah dimulai sejak persetujuan kontrak kerja. Struktur eksploitatif ini kemudian diterima pekerja dan direproduksi dalam sistem kerja televise di Indonesia. Reproduksi struktur eksploitatif ini pada dasarnya merupakan perwujudan atau cermin dari “ketidakberdayaan” pekerja terhadap struktur eksploitatif yang ada. Ketidakberdayaan pekerja ini pada dasarnya merupakan sedimentasi dari keberulangan praktek sosial yang “salah” tetapi tidak dikritik atau dipertanyakan oleh agen. Para agen justru hidup dalam kesadaran palsu yang membelenggu sedari awal bekerja di industri televisi dan justru menikmatinya sebagai bentuk pencapaian hidup.


This Research demonstrate that in globalization era, the media no longer seen and managed as a special business entity with special management. On the contrary, the media is treated like an ordinary business entity that is managed with the logic of industry in general. Capitalist has penetrated into the world of media (including television) in Indonesia and ultimately leads to the fulfillment of the "economic interest" of capital owners, translated by rating placement as central to all broadcasting management. As aresult, media managers strive with various ways to achieve a high rating so that there is a labor commodification. Television labor are conditioned to work desperately without ever paying attention to their working hours and basic rights in order to achieve a high rating.

The focus of this study is on the commodification of television labor, where reseacher try to uncover how the commodification of labor occures in the production of television broadcasting program and how false cosnciousess plays a big role in strengthening this commodification. This research use Mosco's political economic of communication theory and structuration theory of Antony Giddens in critical paradigm.

The result of this study include: commodification of television labor in Indonesia appearing in the form of exploitation of labor which has been started since the approval of the employment contract. This exploitative structure then accepted and reproduced in Indonesian television work system. Reproduction of this exploitation structure is basically an embodiment or miror of the “helplessness” of worker against the existing exploitative structure. Basically, this ”helplessness of worker” is sedimentation of the repetition of “wrong” social practices, but not critized or questioned by workers as agents. As agents, television workers actually live in the false consciousness which shackles from the beginning of working in the televisison industry and even they observes it as a form of the achievement of life.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2018
D2547
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Nur Fitria
"Stasiun televisi berlomba-lomba membuat program yang menarik agar mendatangkan rating dan share yang tinggi. Salah satunya adalah program ajang pencarian bakat. Salah satu program ajang pencarian bakat yang sedang naik daun adalah D rsquo;academy 4. D rsquo;Academy adalah ajang pencarian bakat penyanyi dangdut. Salah satu yang menarik dari program ini adalah sesi dimana para peserta melakukan pengungkapan diri di atas panggung. Media membuat cerita pribadi peserta sebagai suatu konten yang menarik dan bertujuan untuk menarik perhatian publik. Terjadi komodifikasi konten dimana cerita pribadi peserta yang tadinya bukan untuk konsumsi publik, dibuat menjadi pertunjukan yang menarik demi mendapat keuntungan.

Television stations are competing to make interesting programs to increase high ratings and share. One of them is a talent search program. One of the populer talent search programs is D 39 academy 4. D 39 Academy is a talent search event for dangdut singers. One of the highlights of this program is the session where participants perform self disclosure on stage. The media makes the participant rsquo s personal stories as an interesting content and aim to attract the public 39 s attention. There was a commodification of content where the personal story of the participants, which was not for public consumption, was made as aninteresting show for the media rsquo s profit.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Mandalawangi
"Artikel ini mengkaji eksistensi program televisi berbasis keagamaan di dalam masyarakat modern. Studi-studi sebelumnya memandang bahwa program televisi berbasis keagamaan eksis karena agama mampu mengintegrasikan diri ke dalam pasar melalui proses komodifikasi, juga karena program televisi dapat digunakan sebagai media kampanye ideologi agama. Namun, studi-studi tersebut belum menjelaskan soal mengapa minat konsumen terhadap program televisi berbasis keagamaan dapat tumbuh. Penulis berpendapat bahwa perkembangan minat terhadap program televisi berbasis keagamaan merupakan konsekuensi logis dari kontestasi fundamentalisme dan modernitas. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis mengangkat kasus program televisi Hafiz Indonesia. Pengamatan dilakukan pada saluran media sosial YouTube Hafiz Indonesia yang bersisi 1286 video. Semua postingan video diperiksa untuk mendapat informasi mengenai konten, informasi jumlah penonton, jumlah reaksi suka, jumlah reaksi tidak suka, dan jumlah komentar. Sementara itu, komentar dari 174 postingan video pada tahun 2019 diolah menggunakan teknik analisis konten untuk mengidentifikasi ekspresi relijiusitas penonton. Penulis menemukan bahwa satu program televisi dapat memuat multi-komodifikasi agama. Selain itu, kegiatan konsumsi juga melibatkan proses multi-refleksi relijiusitas individu. Artikel ini berkesimpulan bahwa komoditas berbasis keagamaan dapat berkembang karena mampu berfungsi sebagai alat kontrol individu terhadap risiko-risiko yang disebabkan oleh modernitas. 

This article examines the existence of religious-based television programs in modern society. Previous studies view that religious-based television programs exist because religion is able to integrate itself into the market through the process of commodification, also because television programs can be used as a media for promoting religious ideology. However, these studies have not explained why consumers' interest in faith-based television programs can grow. The author believes that the development of interest in religiously based television programs is a logical consequence of the contestation of fundamentalism and modernity. To explain this, the author raised the case of the Indonesian television program Hafiz. Observations were made on the social media channel YouTube Hafiz Indonesia which contained 1286 videos. All video posts are examined to get information about the content, information on the number of viewers, the number of likes, the number of dislikes and the number of comments. Meanwhile, comments from 174 video posts in 2019 were processed using content analysis techniques to identify the audience's religious expression. The author finds that a television program can contain multi-commodification of religion. In addition, consumption activities also involve a multi-reflection process of individual religiousity. This article concludes that religious-based commodities can develop because they are able to function as an individual control tool against the risks caused by modernity."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Zulham
"Maraknya program-program bernuansa hantu dan alam gaib atau yang lebih dikenal dengan "dunia lain" (supranatural) di sejumlah besar stasiun televisi swasta nasional di tanah air dalam pasca reformasi 1998 lalu, telah menciptakan suatu kondisi yang cukup memprihatinkan bagi dinamika perkembangan media penyiaran Indonesia itu sendiri. Tiada hari tanpa hantu (mistis) di layar kaca pemirsa kita. Demikian kritikan sejumlah kalangan masyarakat di berbagai kesempatan dan diekspos di berbagai media massa, yang memprihatinkan mengapa tontonan semacam ini begitu tumbuh subur. lronisnya, walau pandangan miris terus berkembang, toh program-program bernuansa penampakkan makhluk-makhluk halus dari "dunia lain" itu justru kian bertambah. Makin dihujat, malah makin bertambah-tambah. TransTV sebagai pendatang baru dalam industri televisi swasta pun tak mau ketinggalan memproduksi dan mendistribusikan (praktik komodifikasi) program sejenis, yang disebut dengan Program Dunia Lain, yang saat ini bahkan ditayangkan sebanyak 3 (tiga) kali seminggu: Selasa, Kamis dan Sabtu malam.
Menyikapi kondisi program-program televisi swasta bertemakan nuansa kegaiban ini (yang oleh sebagian kalangan kerap disebut sebagai cerminan tontonan yang berselera rendah, mudah memproduksinya dan murah dalam pembiayaannya), peneliti terdorong untuk melakukan penelitian tentang apa yang sesungguhnya menjadi latar belakang televisi swasta kita itu (TransTV) mengkomodifikasinya ke dalam programnya, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomi politik seperti apa yang dijadikan landasan.
Merujuk pada hal ini, ke-concern-an tesis ini adalah untuk berusaha "membongkar" dan mengkritisi praktik-praktik komodifikasi dalam perspektif ekonomi-politik komunikasi media, dan mencoba mengungkapkan "motif tersembunyi" di balik argumentasi bahwa program semacam ini yang tengah digandrungi stasiun televisi dan oleh sebagian besar pemirsa kita sebagai refleksi dari selera masyarakat kita. Bukan karena persoalan rating dan iklannya.
Dalam mengkritisi fenomena program bernuansa hantu dan alam gaib (dunia lain) ini, tesis ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan paradigma kritis, dan bersifat deskriptif. Sementara metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi literatur (kepustakaan), wawancara mendalam sejumlah narasumber yang berkompeten di TransTV, serta melakukan observasi langsung terhadap tayangan Program Dunia Lain tersebut.
Hasilnya ditemukan bahwa dengan semakin ketatnya persaingan antar industri televisi swasta nasional saat ini (yang notabene hampir seluruhnya mengkomodifikasi program semacam ini, kecuali MTV Indonesia, Global TV dan TVRI, mendorong para pengelola stasiun televisi untuk menciptakan peluang-peluang bisnis tertentu melalui rating dengan menciptakan strategi programming yang disukai pemirsanya. Alibi bahwa media televisi yang merupakan industri bisnis yang luar biasa investasinya, seolah "memaksa" mereka untuk berargumentasi bahwa selama pemirsa dan pengiklan menyukai tayangan bemuansa kegaiban ini, maka selama itu pula mereka akan memproduksi dan menayangkan (mendistribusikan) ke layar kaca pemirsanya.
Bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa membanjirnya iklan (sold out) ke Program Dunia Lain, mendorong manajemen TransTV untuk tens menambah frekuensi penayangannya, dari yang semula sekali kini telah menjadi tiga kali dalam seminggunya. Ironisnya, program yang semula diklaim memiliki ciri khas dengan sentuhan teknologi kamera dan audionya itu, ternyata dalam perjalanannya tak lebih hanya sekedar sebagai bagian dari tekno kapitalis.
Implikasi hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa studi terhadap masalah-masalah isi program televisi bagi pemirsanya, khususnya studi ekonomi-politik yang terkait dengan komodifikasi program-program mistik atau supranatural di stasiun televisi swasta kita, pada dasarnya perlu dikaji lebih lanjut secara kritis dan holistik dengan menyertakan dua entry point lainnya, yakni spasialisasi dan strukturasi.
Apa yang pemah diungkapkan oleh Ishadi SK sebagai kondisi vicious circle (lingkaran tak berujung), dikotomis antara bisnis dan idealisme dalam kehidupan media (di mana dalam derajat tertentu para perencana program karena terlalu mengacu pada rating, terdorong untuk melupakan, mengesampingkan, bahkan cenderung meremehkan idealisme dalam arti tidak mempertimbangkan sisi pengaruh jelek dari program yang ditayangkannya), kini pun menimpa stasiun televisi TransTV yang sekarang dipimpinnya. Komitmen untuk bertanggungjawab sosial seolah sekedar retorika, ada tapi tiada mirip dengan substansi program semacam ini.

The flourishing ghost and supernatural nuance programs or known as "the other world" program in a number of national private television stations after the reformation era 1998, has created a condition which caused a concern for the dynamic development of broadcasting media itself in Indonesia. There is no day without ghost (mystic) in the screen our viewers. The criticism of some people in various occasions is exposed in various mass media. The thing, which caused the concern, is why such views grow abundantly. Ironically, even though such a concern continue to increase, however, the programs that have a nuance of supernatural creatures from "the other world" is even more increasing. The more people condemn it, the more it grows. TransTV as a new corner in the private television industry also produces and distributes similar programs (commodification practices) which is called as Program Dunia Lain, and currently it even casts 3 (three) times a week: on Tuesday, Thursday and Saturday night.
In anticipating the private television programs that have the topics of supernatural world (which is often called by some people as the reflection of the low taste of the viewers which is easy to produce and inexpensive in its financing), researcher encouraged to perform a research regarding what is actually the reason of our private television (TransTV) to commodification such a program and what political and economical considerations that they have in mind.
Referring to this problem, This thesis concern to attempt to "reveal" and criticize the commodification practices in the economical and political perspective of media communication, and attempt to reveal the "hidden motive" behind the argumentation of such program which is preferred by the television stations and most of the viewers reflect the taste of our people. It is not because of the problem of rating and the advertising.
In criticizing the phenomena of ghost-nuances and supernatural programs, this thesis use a qualitative approach, with a critical paradigm, and descriptive in nature. While the data collection method in this research is done through literature study (bibliography), in-depth interview and a number of competent resource person in TransTV, and direct observation towards such casting of the Program Dunia Lain.
The results indicates that with the increasingly severe competition between the current national private television stations (almost all of the stations perform such corn modification, except MTV Indonesia (Global TV) and TVRI), has encouraged the television station managers to create a programming strategy that the viewers like. The reason that the television media is a high investment industry forced them to argument that as long as the viewers and the advertisers like the supernatural nuance casting, they will produce and cast (distribute) it to the screen for the viewers.
The evidence that found out indicates that the increasing advertising (sold out) to the Program Dunia Lain, has encouraged the management of TransTV to continue to increase its casting frequency from once into three times a week. Ironically, the program, which claims that it has a special characteristic with a high tech camera touch and its audio, it turned that it is only a part of the capitalistic technology.
The implication of this research indicates that the study towards the content of television programs on the viewers is needed. Especially the political economy study related to commodification of mystic or supernatural program in our private television stations, basically must be further studied critically and in an holistic manner, by including two other entry points, namely spatialization and structuration.
What has been said by Ishadi SK as a vicious circle condition, a dichotomy between business and idealism in the media aspect (in which to some extent the program planners is very much oriented to the rating, which caused them to overlook and set aside, even tend to undervalue the idealism, in the sense they do not consider the negative impacts of the casting of the programs), now it is taking place at the TransTV television station which is now under his supervision. The commitment for social responsibility is only lip service, it is there but doesn't exist which is similar to such kind of programs.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14076
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Valerie Shanaz
"Penelitian ini berusaha menjelaskan terjadinya komodifikasi pekerja media (jurnalis) dalam industri media massa televisi dengan studi kasus pada grup media MNC. Peneliti mengembangkan kerangka pemikiran dari teori ekonomi politik komunikasi, dengan menggunakan konsep utama komodifikasi. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dengan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Penelitian ini mengungkapkan bahwa dalam perkembangan MNC Media menjadi stasiun televisi terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, telah terjadi praktik komodifikasi para pekerjanya. Spasialisasi yang dilakukan MNC Media melalui integrasi empat stasiun televisi swasta menyebabkan para jurnalis mengalami komodifikasi. Pekerja media telah ditransformasikan menjadi komoditas utama dalam industri media massa sebagai alat untuk mengakumulasi modal kapital. Industri media massa yang erat kaitannya dengan kapitalisme menerapkan struktur yang menguntungkan pemodal semata kepada pekerjanya melalui waktu kerja yang tidak menentu, pemberian upah minimum, serta struktur eksploitatif lainnya seperti pengulangan kontrak kerja. Para pekerja media ini kemudian menerima komodifikasi baik secara sadar maupun tidak sadar melalui eksploitasi, alienasi, mistifikasi, reifikasi, dan naturalisasi. Kekuasaan yang berpusat pada pemilik modal membuat proses komodifikasi dapat dengan mudah dilakukan terhadap pekerja media, sementara mereka menerima bentuk komodifikasi tersebut sebagai suatu kewajaran atas profesinya.

This study seeks to reveal the commodification of media workers (journalists) in the television mass media industry with a case study on the MNC media group. The researcher develops a framework of thought from the political economy theory of communication, using the main concept of commodification. This study uses a critical paradigm with a qualitative approach and case study method. This research reveals that in the development of MNC Media into the largest integrated television station in Southeast Asia, there has been a practice of commodification of its workers. The spatialization carried out by MNC Media through the integration of four private television stations has caused journalists to experience commodification. Media workers have been transformed into a major commodity in the mass media industry as a means to accumulate capital. The mass media industry, which is closely related to capitalism, applies a structure that benefits investors only through erratic working hours, the provision of minimum wages, and other exploitative structures such as the repetition of work contracts. These media workers then receive commodification both consciously and unconsciously through exploitation, alienation, mystification, reification, and naturalization. The power that is centered on the owners of capital makes the process of commodification easy for media workers, while they accept this form of commodification as a natural thing for their profession."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gama Ramadita
"Perkembangan tingkat kebutuhan manusia seiring dengan perkembangan kemajuan tingkat dan pola konsumsi masyarakat tidak akan pernah berhenti. Kebutuhan manusia akan hiburan dan informasi, merupakan suatu kesempatan dalam memperkenalkan produk-produk kebutuhan utama maupun kebutuhan akan informasi. Dunia informasi tidak akan berakhir selama manusia masih membutuhkan tingkat kehidupan yang Iebih baik dan untuk memenuhi tingkat kebutuhan yang mendasar. Dengan mendapatkan informasi mengenai tingkat perkembangan kebutuhan akan hiburan, pendidikan dan dunia disekitar kita, maka media informasi sangat dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan inforrnasi terhadap perkembangan tehnologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Diperlukan suatu wadah sebagai penunjang akan kebutuhan tersebut yakni media informasi televisi.
Perkembangan tehnologi dan informasi yang perlu disampaikan oleh sebuah media yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Biro lklan dan media televisi sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam melakukan kegiatan usahanya memberikan informasi, hiburan dan pendidikan kepada pemirsanya. Perkembangan dunia periklanan semakin kompetitif. Kekuatan - kekuatan biro iklan membawa pandangan konsumen akan penawaran - penawaran terhadap produk -produk yang dihasilkan oleh advertiser. Persaingan semakin ketat terhadap perkembangan media televisi, cetak maupun radio. Pada awal tahun 2005, perkembangan televisi semakin besar. Ditandai dengan hadimya stasiun televisi dengan jangkauan terbatas dengan area (Lokai TV) dan bertambahnya media televisi dengan jangkauan area nasional.
Seiring dengan pertumbuhan televisi, persaingan biro iklan mengikuti dan berkompetisi dengan para kliennya dalam menghadirkan ide ~ ide kreatif iklan yang dilakukan. Perkembangan biro iklan dan media televisi membawa perubahan yang dinamis terhadap perkembangan advertiser dengan memproduksi berbagai produk unggulan sehingga pada akhimya akan berpengaruh pada pemirsa televisi sebagai target audiens dari suatu produk/ jasa yang diiklankan. Pertumbuhan media televisi, sangat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya stasiun - stasiun televisi swasta yang baru hadir ke layar kaca. Persaingan sangat ketat dalam memperoleh jumlah pemirsa yang akan mempengaruhi dalam ranking masing-masing televisi melalui program acara yang disajikan ke layar lcaca. Data -data mengenai pertumbuhan televisi dan beberapa media advertising, dipercayakan kepada suatu lembaga penelitian AC Nielsen Media Research.
Panduan yang dikeluarkan oleh AC Nielsen Media Research membantu dalam perjalanan media televisi dan biro iklan serta media lainnya (seperti radio, Surat kabar, tabloid dan majalah). Detail data yang dikeluarkan oleh AC Nielsen dapat membantu dalam melakukan penelitian strategi bersaing Biro lklan di stasiun televisi TPI terhadap pemirsa TPI. Dunia periklanan (advertising), membawa pengaruh kepada pemirsa yang melihat iklan yang ditayangkan melalui media televisi TPI. Kategori masing-masing audience tergolong menjadi beberapa bagian yakni, dari segi gender, umur dan kelas sosial di masyarakat sebagai pemirsa televisi pada umumnya. Pemilihan program dan stasiun televisi sangat mempengaruhi dari Biro lklan dalam mengiklankan brand/produk dari kliennya (advertiser).
Pemilihan coverage area dari stasiun televisipun mempengaruhi pula pemilihan dari Biro lklan, dikarenakan produk yang dipromosikan dapat tercakup secara luas dan secara langsung target audiencepun akan semakin banyak. Akhimya penilaian media advertising terhadap media televisipun akan lebih selektif. Keunggulan dari program - program yang disajikan oleh media televisi TPl pun akan difokuskan pada hiburan dan edukasi pada kategori masyarakat berkelas BCD dan memberikan tayangan dengan nuansa religius untuk membimbing audiencenya dalam tingkat kehidupan sehari-hari. Dampak positif yang dialami media televisi TPI dari pemirsanya sangat dirasakan pada program - program unggulan dan jumlah iklan yang masuk di media televisi TPI.
Penelitian ini melihat pengaruh dari media advertising terhadap pemirsa TPI dengan program dan iklan yang dipromosikan melalui media televisi TPI. Dan bagaimana persaingan industri televisi dalam kreatifitas program yang berkualitas dengan maksud menarik perhatian dari pemirsa yang membawa pengaruh terhadap rating dan pendapatan iklan suatu media televisi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfida Hafiah Respati
"ABSTRAK
Perkembangan televisi streaming dalam dunia digital telah mengembangkan fenomena binge-watching kepada tahap yang baru. Perbedaan platform dari televisi analog dan digital menciptakan fenomena yang terjadi di penonton pada masing-masing platform juga berbeda. Dalam platform digital, penonton memiliki kekuasaan penuh untuk memilih apa saja yang mereka ingin tonton dan kapan saja mereka ingin menonton. Hal ini yang kemudian menimbulkan gelombang fenomena binge-watching di berbagai Negara. Menurut teori uses and gratifications, penonton televisi merupakan penonton aktif yang mencari medium sesuai dengan kebutuhan dirinya. Sehingga mereka memiliki kekuasaan penuh untuk memilih apakah mereka ingin atau tidak mau melakukan binge-watching. Alasan dan motivasi bagi para penonton televis streaming untuk melakukan binge watching antara lain adalah karena excitement, escape, enjoyment, relaxation, dan separation from others.

ABSTRACT
Television streaming development in the digital world has led the binge watching phenomenon to a whole new level. The differences on analog television platform and digital television platform also create a different phenomenon that occurs in the audiences of each platform. In the digital platform, the audiences have the full power to choose what they want to watch and when they will watch it. This has made the rises of binge watching phenomenon in many countries. According to uses and gratifications theory, the television audience is an audience that actively seeks medium to fulfill their needs. So they have the full power to consciously choose whether they want to do binge watching or not. The television streaming audience rsquo s reasons and motivations to do binge watching are because of excitement, escape, enjoyment, relaxation, and separation from others."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>