Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23185 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Religious plurality is real in the Indonesian society. In such society, therefore, interrligious dialogue is very important, even it is a must, because it will enrich faith and religious life of the people. Second Vatican Council (1962-1965) emphasized that in his nature, human being is free and social (Gaudium et Spes 17, 24). Human being is endowed with freedom in his or her social life. In his or her very existence, human being is always found together with others. Personal stance based on the personal freedom is more determinant rather than social rules. In the Indonesian context, Pancasila and the 1945 constitution are social grounds which are enough in guiding social life of the people. It is no need other rules for guiding social life in the private affairs. That is why the Bill of Harmony on Religious Life (RUU Kerukunan Hidup Beragama) is not needed. It should be refused."
2004
340 JEPX 24:1 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syafiq Effendhy
"ABSTRAK
Indonesia merupakan suatu negara yang telah mendudukkan agama pada postal yang sangat penting, sehingga seluruh gerak kehidupan bangsa dan negara Indonesia selalu saja diwarnai oleh agama yang terdapat di Indonesia. Beberapa agama yang terdapat dan diakui di Indonesia, ialah agama Hindu (Bali), Buddha, Islam,Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Dengan kedudukannya yang penting tersebut, agama telah dijadikan modal rohaniah dan mental dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan ketahanan nasional.
Bahwa agama di Indonesia mempunyai posisi yang sangat penting tampak dengan dicantumkannya sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang telah diyakini oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi negara. Dengan adanya sila pertama Pancasila tersebut berarti negara Indonesia berdiri di atas landasan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, serta menunjukan bahwa negara Indonesia bukan merupakan negara teokratis dan bukan juga negara sekuler. Untuk itu, negara Indonesia bukan negara agama, bukan negara yang mendasarkan diri kepada agama tertentu saja, juga bukan negara yang tidak mempeduli kan agama. Kenyataan ini membawa akibat bahwa negara Indonesia menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Untuk itu pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memberi kesempatan dan mendorong tumbuhnya kehidupan beragama yang sehat. Hal ini tidak berarti, negara Indonesia memaksakan agama, sebab agama itu sendiri merupakan suatu keyakinan, sehingga tidak dapat untuk dipaksakan kepada seseorang untuk memeluknya. Kewajiban ini sudah semestinya sebab negara Indonesia memberikan ja minan akan adanya kebebasan beragama. Jaminan ini diberikan karena kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak asasi manusia. Kebebasan agama tersebut langsung bersumber dari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sehingga hak akan kebebasan beragama bukan pemberian negara dan atau bukan pemberian golongan. Adanya jaminan kemerdekaan dan kebebasan beragama tersebut menunjukan bahwa negara Indonesia sangat menghargai dan menghormati agama tanpa mengadakan diskriminasi atau pembedaan perlakuan antara agama yang satu dengan agama yang lain, sehingga setiap agama menerima hak, fasilitas, perlindungan serta kesempatan yang sama. "
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wakhid Kozin
"Penelitian ini berjudul "Studi tentang Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Kurukunan Umat Beragam?. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pelaksanaan demokrasi dan partisipasi, implementasi Ham dan anti kekerasan, semangat kebersamaan dan kesetaraan di MUI. Metode yang dipergunakan adalah kualitatif dengan mengandalkan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data.
Setelah melakukan penelitian, secara factual, MUI telah melaksanakan demokrasi dan partisipasi yang dilembagakan dalam setiap pengambilan keputusan. Keputusan jangka pendek diambil melalui Rapat Pengurus Paripurna, Rapat Pleno Dewan Pimpinan, Rapat Pimpinan Harian Sedangkan instrumen pengambilan keputusan jangka panjang terwadahi dalam Musyawarah Nasional yang diadakan lima tahun sekali, dan Rapat Kerja Nasional yang dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam dua tahun.
HAM dan anti kekerasan yang dikembangkan MUI adalah rumusan yang didasarkan pada ajaran agama Islam. Dalam konteks beragama, HAM dimaknai sebagai hak kebebasan yang dimiliki setiap manusia. Karena kebebasannya itu, manusia dituntut pertanggungjawabannya atas segala tindakannya. Berdasarkan landasan kebebasan tersebut, MUI secara kelembagaan menolak semua kekerasan yang bernuansa agama. Penolakan tersebut dibarengi upaya untuk ikut meredakan konflik dengan ikut aktif terlibat dalam dialog-dialog keagamaan, bersama dengan Majelis-Majelis agama lainnya.
Semangat kebersamaan yang dianut MUI juga mengabil dasar dari ajaran agama Islam, meliputi persaudaraan sesama umat Islam (ukhwah lslamiyah), persaudaraan sebangsa (ukhwah wathaniyah) dan persaudaran antar atau sesama manusia (ukhwah basyariah). Untuk membangun semangat kebersamaan harus melalui saling percaya antar lembaga keagaman. Konsep MUI tentang saling percaya ini dirumuskan dalam bahasa agama yaitu masing-masing lembaga keagamaan harus memiliki rasa keikhlasan untuk saling menghargai dan tidak saling mengganggu. Semangat kebersamaan dijunjung oleh MUI melalui cara-cara formal dan informal. Secara formal, semangat kebersamaan diwadahi melalui Komisi Kerukunan Antar Umat beragama yang salah satu programnya adalah meningkatkan kerja sama dan konsultasi dengan Majelis-Majelis Agama lain. Secara informal, dilakukan dengan melihat perkembangan dan tuntutan masyarakat. Ketika masalah Ambon mencuat, MUI aktif melakukan upaya penyelesaian konflik melalui diskusi dan pertemuan-pertemuan. Sementara konsep kesetaraan yang dianut adalah konsep yang didasarkan pada ajaran agama Islam. Oleh karena itu, menurut pandangan MUI, kesetaraan tidak bisa diartikan semua sama. Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa saksi terdiri dari satu laki-laki dan dua perempuan. Ini tidak bisa dirubah. Ada batasan-batasan yang sifatnya kodrati dan sunnatullah. Jadi, kesetaraan merupakan keseimbangan sesuai dengan bakat alamiah yang ada.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa MUI telah menjalankan demokrasi dengan baik, menjunjung nilai-nilai HAM, dan kesetaraan. Harus diakui masih ada konsep-konsep yang sifatnya local dengan mendasarkan pada ajaran agama (Islam) yang barangkali bisa menimbulkan perbedaan persepsi bila dilihat dari kacamata demokrasi, Ham dan Kesetaraan universal. Tapi ini adalah kekhasan MUI yang sekaligus menjadi titik lemahnya.
Dalam hal peran MUI untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, MUI sebagai organisasi yang memiliki tugas memberi nasehat, tidak bisa berkiprah langsung pada tataran masyarakat (praktis). MUI bisa berperaan dalam tataran moral, misalnya memberi fatwa, himbauan, ajakan, memberi rekomendasi dan saran terhadap organisasi keagamaan sejenis, lembaga-lembaga pemerintah dan DPR. Bila peran ini dijalankan oleh MUI secarra maksimal, terutama berkenaan dengan masalah-masalah kerukunan umat beragama, tentu MUI telah memerankan dirinya dengan baik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sarah Zhafira Afifah
"Skripsi ini membahas mengenai peranan Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) dalam menyebarkan informasi terkait dengan kerukunan umat beragama. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa peranan PKUB dalam penyebaran informasi dilakukan melalui kegiatan dialog maupun ceramah. Untuk menunjukkan, bahwa PKUB serius dengan tugas yang diemban, mereka melibatkan narasumber, seperti para aparatur daerah, para petinggi PKUB, bahkan perwakilan dari Kementerian Agama pada kegiatan dialog maupun ceramah yang diselenggarakan. Melalui para narasumber tersebut, informasi- informasi yang terkait dengan kerukunan umat beragama disampikan. Selain itu, PKUB juga turut melibatkan para pemuka agama untuk menjadi fasilitator antara PKUB dengan masyarakat. Namun, kegiatan tersebut belum berjalan dengan baik. Sebab, pada hakikatnya PKUB hanya menyebarkan peraturan-peraturan pemerintah dan informasi terkait kerukunan umat beragama, tanpa memahami karakter masyarakat dan tidak peduli apakah mereka paham atau tidak tentang informasi yang telah disampaikan oleh PKUB tersebut.

The focus of this thesis is to describe the role of Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) in disseminating information related to religious harmony. This research is qualitative research with case study method and the methods of collecting data that used in this research are interview and document analysis. The result of this research is showing that PKUB disseminating information by having dialogues and also speeches. Besides, for showing that PKUB seriously carrying out theirs duties, PKUB involve some speakers, such as district officials, staff of PKUB, and also Ministry of Religious Affairs on dialogues and also speeches. They are presenting the information and the rule of law about religious harmony. PKUB also involve religious leaders to be facilitator between PKUB and society. But the role of PKUB doesn’t run optimally. Because, the role of PKUB is only disseminating information and the rule of law about religious harmony, without giving attention to the characteristics of society and also neglact the understanding of society about the information which have been presented by PKUB."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S43519
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdi Kurnia D
"Tesis ini membahas politik hukum kerukunan umat beragama oleh rezim-rezim yang berkuasa di Indonesia sejak Tahun 1998 sampai dengan 2008. Pengamatan terhadap model-model politik hukum yang digunakan oleh setiap rezim tersebut dilakukan untuk mengukur sampai sejauh mana proses demokratisasi menyentuh persoalan yang lebih esensial di dalam kehidupan masyarakat, yaitu persoalan kerukunan umat beragama. Sebagaimana dikemukakan oleh Hussein Umar, mantan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, kerukunan umat beragama merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Pemeliharaan kerukunan umat beragama sangat bergantung kepada sikap tegas Negara, di dalam kaitan ini terutama Pemerintah atau Rezim Politik yang berkuasa. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah mendorong segera diterbitkannya sebuah undang-undang yang mengatur kerukunan umat beragama, yang dengannya umat beragama benar-benar memperoleh jaminan kemerdekaan di dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.

This thesis studies legal policy of religious harmony amongst believers by the ruling regimes in Indonesia since the year 1998 until 2008. Observation of the legal political models used by each regime was performed to measure the extent of the democratization process which is more essential matters touched on in the life of society, namely the issue of religious harmony. As stated by Hussein Umar, a former Chairman of the Board of Da'wa Islamiyya Indonesia, religious harmony is one of important pillars in maintaining the integrity of the nation and the country of Indonesia. Such effort is depend on the State assertiveness, in this connection especially the government or the ruling political regime. This research is a normative law research. The result of this study suggested that the government should encourage the immediate issuance of a law regulating religious harmony, by which religious people actually obtain assurance of independence in carrying out religious activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27957
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
S.Panata Harianja
"Pluralitas dalam masyarakat adalah sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Selain menjadi kekayaan bagi sebuah masyarakat, keberadaan pluralitas ternyata juga memicu ketegangan dan bahkan konflik karena ketidaksetujuan (disagreement) atas nama suatu klaim kebenaran. Berbagai pemikiran mencoba merespon problem pluralitas tersebut, di antaranya adalah konsep toleransi klasik yang biasanya merujuk pada John Locke dengan bukunya yang berjudul A Letter Concerning Toleration. Penelitian ini menganalisis teks John Locke itu dengan metode hermeneutika Gadamer dan bantuan konsep komponen toleransi dari Rainer Forst. Konsep toleransi klasik Lockean digagas untuk mengabolisi intoleransi dalam konteks konflik keagamaan pada abad ke 17. Locke melihat manusia beragama punya kencerderungan bersikap ortodoks yang merupakan pintu menuju sikap intoleran. Susunan argumen Locke ini dirancang untuk menegaskan bahwa intoleransi adalah hal irasional. Penelitian ini ingin memperlihatkan bahwa konsep toleransi klasik Lockean masih memliki potensi relevansi bagi masyarakat plural karena sifat pragmatiknya dan karena pluralitas akan selalu menghadirkan disagreement. Dalam masyarakat plural yang dinamis diperlukan pluralitas pemikiran dan konsep toleransi klasik Lockean adalah salah satunya.

Plurality is something inevitable in today's society. Besides being a great treasure to a society, the existence of society itself actually triggers tension and even conflicts because of disagreements made in the name of a claimed truth. A number of thoughts have tried to respond to this problem regarding plurality; one among them is the concept of classic tolerance that usually refers to John Locke with his book A Letter Concerning Toleration. This research analyzes John Locke’s text with Gadamer’s hermeneutic method and with the help of Rainer Forst’s concept of components of toleration. The Lockean concept of classic tolerance was created to abolish intolerance in the context of religious conflicts in the 17th century. Locke saw that religious people had a tendency to be orthodox in nature, often leading to an intolerant attitude. This argument of Locke’s was used to highlight how intolerance is something irrational. This research also aims to show that the Lockean concept of classic tolerance still holds potential relevance for pluralistic societies because of its pragmatic nature, and because disagreements will always find its way in plurality. A dynamic plural society requires a plurality of thoughts, and the Lockean concept of classic tolerance is one of them."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reno Amrih Rahadjeng
"Perceraian perkawinan dalam agama Katolik tidak dimungkinkan bagi perkawinan ratum et Consummatum. Ini dikuatkan dengan sabda Allah daiam Matius 19:6 " Apa yang telah Kusatukan tak dapat diceraikan manusia" dan Kanon 1056 dikatakan bahwa sifat hakiki perkawinan adalah monogami dan tak terceraikan, serta sakral. Ini hanya dapat dimungkinkan pada perkawinan Matrimoium non Consummatum, Matrimonium Inter partem baptiza tam et non bapti zatam/ privilegium petrinum dan Matrimonium inter non baptizatos/Privilegium Paulinum. Urutan proseduralnya adalah melalui pastor paroki kemudian Tribunal melalui persetujuan Uskup dikirim ke Roma untuk disetujui Paus. Pandangan Gereja bagi perceraian yang dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan Kanon 1141 "Tidak ada kekuatan manusiawi yang dapat memutuskan ikatan perkawinan kategori ratum et Consummabum" sehingga perceraian ini tidak efektif, karena perkawinan itu dianggap tetap berlangsung hingga salah satu pasangannya meninggal. Sehingga keberadaan lembaga pisah dan ranjang dapat dijadikan alternatif untuk menghindari perceraian. Untuk itu lembaga pisah meja dan ranjang dipandang perlu dihidupkan kembali. Dengan menggunakan metode studi dokumen dan wawancara, tulisan ini dibuat dan bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi orang yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai putusnya perkawinan karena perceraian bagi umat Katolik di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21197
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>