Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 218014 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Kelompok usia risiko tinggi infeksi malaria di Kulonprogo adalah 2-14 thn. Anemia merupakan kondisi umum yang terjadi akibat infeksi kronis malaria. Anemia akan makin berat bila penderita menderita kekurangan gizi dan protein. Pnelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara asupan makanan anak terutama protein, vitamin C, zat besi terhadap kejadian anemia pada usia 7-15 tahun di daerah endemik malaria. Penelitian menggunakan rancangan cross sectional - retrospectif pada sampel terpilih. Subyek penelitian sebanyak 61 anak (kelas 4-6 sekolah dasar) berasal dari 6 dusun. Anak sehat tidak memiliki riwayat penyakit menahun selain malaria atau penyakit kongenital. Anak mengisi daftar asupan makanan selam 7 hari, setelah itu diukur berat dan tinggi badan, darah diperiksa kada Hbnya dengan metoda Sahli. Asupan makanan dianalisis dengan Food processor I, umtuk mengetahui persen asupan makanan perhari. Analisis hubungan asupan protein, vitain C, zat besi terhadap kedar hemoglobin digunakan uji korelasi perason. Hasil penelitian menujukkan rerata asupan protein, zat besi dan vitamin C berturut-turut adalah sebesar 25,064 - 10,055 gram (38,9% RDA(recommended daily alowance), 6,253 - 2,635 mg (56,33% RDA), dan 68,5% RDA. Rerata kadar hemoglobin sebesar 10,3 - 1,2 gram/dl. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungsn linear antara asupan vitamin C dengan aupan zat besi (r-0,765) rendah berhubungan dengan kejadian anemia."
610 MUM 10:2(2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fadinda Shafira
"Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh anak yang disebabkan oleh rendahnya asupan gizi, dimulai sejak janin hingga 1.000 hari pertama kehidupan. Salah satu indikator penyebab terjadinya kekurangan gizi adalah kekurangan Vitamin C. Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dan dikeluarkan melalui urine. Kadar Vitamin C urine kurang dari 1,12 mmol/L mengindikasikan bahwa pasien kekurangan asupan Vitamin C. Oleh sebab itu, diperlukan deteksi dini untuk pemantauan asupan Vitamin C yang cukup pada ibu hamil. Dalam penelitian ini, dilakukan pengembangan sistem kolorimeteri untuk pengukuran kadar Vitamin C dalam urine dengan model klasifikasi dan regresi berbasis citra dengan strip uji. Citra ditangkap menggunakan kamera ponsel pintar Samsung Galaxy A72, Samsung Galaxy A31, Huawei Nova 5T, dan Vivo Y12. Proses akuisisi citra menggunakan kotak uji yang berisikan papan warna referensi yang mengacu pada X-Rite Color Checker Classic dan barcode uji. Barcode uji merupakan transformasi dari strip uji dengan cara menggunting strip menjadi dua bagian sama besar. Diterapkan model koreksi warna Polynomial Color Correction (PCC) pada citra sebelum memasuki model. Arsitektur model Convolutional Neural Network (CNN) yang digunakan adalah VGG16. Dilakukan variasi bentuk citra input untuk mengetahui bentuk citra yang paling sesuai untuk sistem kolorimetri, studi kasus Vitamin C urine. Variasi bentuk citra input meliputi citra analit tunggal, citra analit multiple, citra seluruh analit, dan citra barcode urinalisis. Citra barcode urinalisis merupakan gabungan antara barcode uji dan warna referensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model terbaik didapatkan dengan menggunakan bentuk citra input barcode urinalisis. CNN-VGG16 mampu melakukan koreksi warna serta ekstraksi fitur di dalam model. Keluaran sistem berupa 5 kelas kadar Vitamin C urine dan kadar Vitamin C urine. Eksperimen dilakukan dengan 3500 citra dengan sampel urine buatan dan 680 citra dengan sampel urine asli. Diperoleh performa model klasifikasi CNN-VGG16 dengan akurasi sebesar 99,5% pada urine buatan dan 88,7% pada urine asli. Didapatkan performa model regresi CNN-VGG16 dengan nilai R2 sebesar 0,998 dan RMSE sebesar 0,067 dengan urine buatan, serta nilai R2 sebesar 0,930 dan RMSE sebesar 0,457 dengan urine asli. Performa tersebut menandakan bahwa sistem kolorimetri urinalisis dapat digunakan untuk menentukan kelas kadar Vitamin C urine dan mengukur kadar Vitamin C urine.

Stunting is a condition of impaired growth and development that children experience caused by low nutrional intake, starting from fetus until the first 1,000 days of life. One indicator that cause malnutrition is a lack of Vitamin C. Vitamin C is a water-soluble vitamin and excreted in the urine. A urine Vitamin C level less than 1.12 mmol/L, indicates that the patient is deficient in Vitamin C intake. Therefore, early detection is needed to monitor adequate intake of Vitamin C in pregnant women. In this study, a colorimetric system was developed for predict Vitamin C contents in urine using image-based classification and regression models with urine test strip. The image was captured using the Samsung Galaxy A72, Samsung Galaxy A31, Huawei Nova 5T, and Vivo Y12 smartphone cameras. The image acquisition process uses an image housing box contains a reference color board that refers to the X-Rite Color Checker Classic and a test barcode. The test barcode is a transformation of the urine test strip by cutting the strip into two equal parts. The Polynomial Color Correction (PCC) color correction model is applied to the image before entering the CNN models. The architecture of the Convolutional Neural Network (CNN) model used is VGG16. Variations in the input image form were carried out to determine the most suitable image form for the colorimetric system, in case study of Vitamin C urine. Variations of input image form including single analyte image, multiple analyte image, all analyte image, and urinalysis barcode image. The urinalysis barcode image is a combination of the test barcode and the reference color. The results showed that the best model was obtained using the form of urinalysis barcode input image. CNN-VGG16 can perform color correction and feature extraction in the model. The system outputs are 5 classes of urine Vitamin C contents and Vitamin C contents of urine. Experiments were carried out with 3500 images using artificial urine samples and 680 images using real urine samples. The performance of the CNN-VGG16 classification model was obtained with an accuracy of 99.5% using artificial urine and 88.7% using real urine samples. The performance of the CNN-VGG16 regression model was obtained with an R2 value of 0.998 and an RMSE of 0.067 using artificial urine, as well as an R2 value of 0.930 and an RMSE of 0.457 using real urine. This performance indicates that the urinalysis colorimetric system can be used to determine the class of urine Vitamin C contents and measure urine Vitamin C contents."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andriamuri Primaputra
"Latar Belakang. Pasien yang mengalami sepsis dan syok sepsis akan mengalami disfungsi organ akibat reaksi radikal bebas dengan sel endotel mikrovaskular sehingga menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Kondisi difungsi organ dapat diukur melalui perubahan kadar Interleukin-6 (IL-6), C-Reactive Protein (CRP), dan skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) yang terjadi pada pasien-pasien tersebut. Pemberian asam askorbat yang memiliki kemampuan sebagai free radical scavenging, diharapkan dapat menurunkan proses peradangan atau inflamasi sehingga terjadi perbaikan fungsi organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena terhadap perubahan kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol, tersamar tunggal yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun dengan diagnosis sepsis atau syok sepsis dalam perawatan 24 jam pertama masuk intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta dan ICU RSUP H. Adam Malik-Medan sejak bulan Juli sampai dengan Desember 2019. Sebanyak 49 subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok perlakuan (n=23), yang menerima vitamin C 1,5 gram per 6 jam selama 3 hari, dan kelompok kontrol (n=26), yang tidak menerima vitamin C tersebut. Pemeriksaan kadar IL-6, kadar CRP, dan skor SOFA dilakukan pada jam ke-24, 48, dan 72.
Hasil. Tidak terdapat perubahan bermakna pada kadar IL-6 (P=0,423), CRP (P=0,080), dan skor SOFA (P=0,809) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Kesimpulan. Pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena tidak memberikan perubahan bermakna terhadap kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.

Background. Septic and septic shock patients will have organ dysfunctions due to free radical reaction with microvacular endothelial cells, thus morbidity and mortality rate will increase in these conditions. Those organ dysfunctions can be measured through the changes of Interleukin-6 (IL-6) levels, C-Reactive Protein (CRP) levels, and Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scores. The administration of ascorbic acid has a feature known as free radical scavenging. The feature is expected to reduce the inflammatory rate in the organs and to improve the functions. This study was aimed to analyze the intravenous administration effect of 6 grams of ascorbic acid towards the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit
Methods. This was a single blind randomized controlled clinical trial study on patients aged 18-65 years old with septic and septic shock conditions in the first 24 hour care in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital-Jakarta and H. Adam Malik Hospital-Medan from July to December 2019. In total, 49 subjects were included in the study and randomized into two groups. Intervetion group (n=23) received 1.5 gram/6 hours of vitamin C in three days consecutively, whereas the control group (n=26) did not receive the vitamin C. Measurements of IL-6 levels, CRP levels, and SOFA scores were performed in the 24th, 48th, and 72th hour.
Results. There were no significant changes of IL-6 levels (p=0.423), CRP levels (p=0.080), and SOFA scores (p=0.809) between the two groups.
Conclusion. The intravenous administration of 6 grams of ascorbic acid did not significantly affect the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Zuainah Saswati
"Serat asbes yang terinhalasi masuk ke dalam alveolus menyebabkan terjadinya peningkatan produksi reactive oxigen spesies (ROS) yang dapat memicu terjadinya reaksi inflamasi. Interleukin 6 merupakan penanda reaksi inflamasi akibat pajanan serat asbes. Vitamin C dan E merupakan antioksidan yang bekerja sebagai scavenger ROS. Vitamin C juga dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi NFқB. Vitamin E selain dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi JAK/STAT3 dan NFқB, juga dapat menghambat aktivitas COX2 dan LOX5.
Penelitian potong lintang di sekretariat serikat buruh pabrik asbes X Kabupaten Karawang bulan Oktober 2014 dilakukan untuk menilai korelasi asupan vitamin C, E dengan kadar interleukin 6 pada pekerja pabrik asbes. Lima puluh dua pekerja pabrik asbes berhasil menyelesaikan protokol penelitian. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna (p >0,05) antara asupan vitamin C dengan kadar IL-6 dan antara asupan vitamin E dengan kadar IL-6. Terdapat korelasi positif antara kadar vitamin C dengan kadar IL-6 (r = 0,31) dengan p <0,05, namun tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin E dengan kadar IL-6.

Asbestos fibers that are inhaled into the alveoli cause increased production of reactive oxygen species (ROS) which may trigger inflammation reaction. Interleukin 6 (IL-6) is a marker of inflammation reaction caused by asbestos fibers exposure. Vitamin C and vitamin E are antioxidants acting as ROS scavengers. Vitamin C can also inhibit the activity of transcription factor NFқB. Vitamin E can inhibit the activities of transcription factors JAK/STAT3 and NFқB as well as the activities of COX2 and LOX5.
A cross-sectional sudy at a labor union secretariat in Karawang Regency in October 2014 was conducted to evaluate the correlations between intakes and levels of vitamin C and vitamin E and level of IL-6 in asbestos factory workers. Fifty two asbestos factory workers finished the study. The result showed no significant correlation between vitamin C intake and IL-6 level or between vitamin E intake and IL-6 level. There was a moderate positive correlation between vitamin C level and IL-6 level (r = 0.31, p <0.05), but there was no correlation between vitamin E level and IL-6 level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayok Witarto
"Tujuan : Mengetahui korelasi antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma berdasarkan gradasi merokok
Tempat : PT. NATIONAL GOBEL - Cimanggis - Jawa Barat.
Metodologi : Studi korelasi, pada 108 orang laki-laki berusia 20 - 55 tahun, perokok dan bukan perokok, yang terpilih secara simple random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi data umnm, kebiasaan mcrokok, konsumsi suplemen vitamin C, asupan makanan serta kadar vitamin C plasma dan MDA plasma.
Hasil : Kebiasaan merokok terdapat pada 45.4% subyek penelitian. Berdasarkan Indeks Brinkman, 37,1% termasuk perokok ringan, 8,3% perokok sedang dan tidak didapatkan perokok berat. Nilai median kadar vitamin C plasma 0.51( ,04 - 1.36 ) mg/dl dan nilai median kadar MDA plasma 0,63 ( 0,22 - 4,74 ) nmol/ml. Didapatkan hubungan bermakna antara asupan energi, protein, serat, merokok dan konsumsi suplemen vitamin C dengan kadar vitamin C plasma serta hubungan bermakna antara konsumsi suplemen vitamin C dengan kadar MDA plasma. Didapatkan korelasi negatif antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma pada bukan perokok, perokok ringan dan perokok sedang namun korelasi tersebut tidak bermakna ( r-0,014; p=0,916; r--0,170; p=0,295; 1=a-0,317; Korelasi negatif, kuat dan bermakna antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma didapatkan pada perokok yang mengkonsumsi suplemen vitamin C (r=-0,943; p = 0,005 ).
Kesimpulan : Didapatkan korelasi negatif antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma berdasarkan gradasi merokok, namun korelasi tersebut tidak bermakna. Walaupun tidak bermakna, ada kecenderungan korelasi semakin menguat sesuai peningkatan gradasi merokok. Korelasi negatif, kuat dan bermakna antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma didapatkan pada perokok yang mengkonsumsi suplemen vitamin C.

Objective: To identify the correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA based on smoking gradation.
Place : PT. National Gabel - Cimanggis - Bogor.
Methods : The simple random sampling was used for correlation study of 108 subjects, smokers and non smokers, age between 20 - 55 years. Data collections including: general data, smoking habit, consumption of vitamin C supplement, food intake and plasma level of vitamin C and MDA.
Result : The smokers found a total of 45.4% of the subjects. Using Brinkman's index, the gradation of light smokers were 37.1%, moderate smokers were 82% and there was no heavy smoker. Median value of vitamin C level in plasma was 0.51(0.04 - 1.36) mg/dl and for MDA level in plasma was 0.63 (0.22 -- 4,74) nmol/ml. Significant relationship was found between energy intake, protein, fiber, smoking habit and consumption of vitamin C supplement with plasma level of vitamin C. Significant relationship was found between consumption of vitamin C supplement with plasma level of MDA. Negative correlation was found between plasma level of vitamin C with plasma level of MDA of non smokers, light smokers and moderate smokers but not significant ( r -0.014, p=0.15; r=-0.170, p:'J.295; r=-0.317,p=0406). Smokers who consumed vitamin C supplement was found a negative, strong and significant correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of' MDA( r = - 0.943, p = 0.005 ).
Conclusion : Negative correlation was found between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA based on smoking gradation, but not significant. Although not significant, there was a tendency of stronger correlation if smoking gradation increase. Smokers who consumed vitamin C supplement was found a negative, strong and significant correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfida Fadhia
"Skripsi ini membahas hubungan pengetahuan gizi dan faktor lainnya dengan asupan vitamin C. Penelitian menggunakan desain studi cross-sectional dengan total sampel 290. Penelitian ini dilakukan di Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia dengan sasaran mahasiswa RIK UI angkatan 2013 pada tahun 2014. Analisis hubungan menggunakan chi square, uji t independen, dan regresi logistik ganda. Hasil yang didapat adalah sebanyak 62,4 % mahasiswa tidak mencukupi kebutuhan vitamin C perhari dan faktor yang berhubungan secara bermakna adalah konsumsi buah dan sayur, uang saku, dan konsumsi suplemen vitamin C. Tetapi tidak ada hubungan yang bermakna dengan pengetahuan gizi, kebiasaan sarapan, jenis kelamin, perilaku diet, ketersediaan buah dan sayur, dan durasi menonton televisi. Faktor dominan pada penelitian ini adalah konsumsi suplemen vitamin C.

This paper discusses about the relationship of nutrition knowledge and other factors with vitamin C intake. This study used a cross-sectional design with 290 of total sample and was conducted in Science Health of Universitas Indonesia and the target is college student batch 2013, Science Health of UI in 2014. Analyse used chi square, independent t-test, and multiple logistic regression. The result were 62,8 % of college student do not meet their recommended daily intake of vitamin C and the factors that significantly associated are fruit and vegetable consumption, pocket money, and consumption of vitamin C supplement. No significant relationship with nutrition knowledge, breakfast habits, gender, dieting, fruit and vegetable availability, and duration of television viewing. The dominant factor in this study was consumption of vitamin C supplement."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S54900
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhisman Imran
"[Latar Belakang. Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab stroke iskemik yang diawali dengan terjadinya disfungsi endotel akibat dari peningkatan stress oksidatif oleh reactive oxygen species (ROS). Proses ini mengakibatkan penebalan komplek intima media (KIM) pada pembuluh darah karotis. Vitamin C (antioksidan) berperan dalam proteksi terhadap stress oksidatif dengan mencegah oksidasi LDL. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar dan asupan vitamin C dengan ketebalan komplek intima-media, sehingga konsumsi makanan yang tinggi vitamin C diharapkan dapat menghambat perjalanan aterosklerosis.
Metode. Desain penelitian adalah potong lintang untuk mengetahui gambaran kadar dan asupan vitamin C dengan komplek intima media penderita stroke iskemik onset sampai dengan 2 minggu. Subjek penelitian sejumlah 40 orang didapatkan di ruang rawat inap, poli neurologi dan IGD RSCM. Dilakukan wawancara pola maka melalui metode food recall, pemeriksaan laboraturium kadar vitamin C plasma dan USG carotis doppler.
Hasil. Didapatkan kadar rerata vitamin C plasma sebesar 0,13 ± 0,11mg/dl dan rerata asupan vitamin C yang dikonsumsi pasien perhari dalam 1 minggu terakhir SMRS adalah 102 ±74mg. Rerata ketebalan komplek intima media pada subyek penelitian adalah 0,98 ± 0,23mm. Tidak terdapat hubungan antara rerata kadar Vitamin C plasma dengan ketebalan komplek intima media dan asupan vitamin C. Terdapat hubungan antara asupan vitamin C dengan ketebalan komplek intima media (p = 0,05).
Simpulan. Kadar rerata vitamin C plasma pada penderita stroke iskemik lebih rendah dari nilai normal. Rerata ketebalan komplek intima media pada pasien stroke lebih tinggi dibandingkan nilai normal. Asupan vitamin C yang tinggi memiliki kemungkinan ketebalan kompleks intima media yang tidak menjadi semakin tebal.;Background. Atherosclerosis is one of the cause of ischemic stroke that is initiated by endothelial dysfuncion caused by increased oxidative stress from reactive oxygen species (ROS). This process leads to the thickening of intima media complex within the carotid arteries. Vitamin C, an antioxidant, plays a protective role against oxidative stress by preventing LDL oxidation. This research is aimed to study the level and intake of vitamin C in relation to intima media complex thickness so that high vitamin C intake is expected to decelerate the atherosclerotic process.
Method. This research is a cross-sectional study to know the level and intake of vitamin C in relation to the thickness of intima media complex in ischemic stroke patients at the time of onset until 2 weeks after the onset. This study recruited 40 patients from the inpatient, outpatient, and emergency deparments of Cipto Mangunkusumo hospital. Daily food consumption was assessed using food recall interview method. The serum vitamin C level was measured in the laboratorium and the intima media thickness was assessed using carotid doppler sonogram.
Result. The mean serum vitamin C level was 0.13 ± 0.11mg/dL and the mean daily vitamin C intake within the last week before hospital admission was 102 ±74mg. The mean intima media thickness was 0.98 ± 0.23mm. There was no relation between the mean serum vitamin C level with the thickness of intima media complex and vitamin C intake. There was a significant relation between vitamin C intake and the intima media thickness (p = 0.05).
Conclusion. The mean serum vitamin C level in ischemic stroke patient was lower than normal level. The mean inima media complex thickness in stroke patients was higher than normal thickness. High vitamin C intake may have a preventive relation in intima media complex thickening., Background. Atherosclerosis is one of the cause of ischemic stroke that is initiated by endothelial dysfuncion caused by increased oxidative stress from reactive oxygen species (ROS). This process leads to the thickening of intima media complex within the carotid arteries. Vitamin C, an antioxidant, plays a protective role against oxidative stress by preventing LDL oxidation. This research is aimed to study the level and intake of vitamin C in relation to intima media complex thickness so that high vitamin C intake is expected to decelerate the atherosclerotic process.
Method. This research is a cross-sectional study to know the level and intake of vitamin C in relation to the thickness of intima media complex in ischemic stroke patients at the time of onset until 2 weeks after the onset. This study recruited 40 patients from the inpatient, outpatient, and emergency deparments of Cipto Mangunkusumo hospital. Daily food consumption was assessed using food recall interview method. The serum vitamin C level was measured in the laboratorium and the intima media thickness was assessed using carotid doppler sonogram.
Result. The mean serum vitamin C level was 0.13 ± 0.11mg/dL and the mean daily vitamin C intake within the last week before hospital admission was 102 ±74mg. The mean intima media thickness was 0.98 ± 0.23mm. There was no relation between the mean serum vitamin C level with the thickness of intima media complex and vitamin C intake. There was a significant relation between vitamin C intake and the intima media thickness (p = 0.05).
Conclusion. The mean serum vitamin C level in ischemic stroke patient was lower than normal level. The mean inima media complex thickness in stroke patients was higher than normal thickness. High vitamin C intake may have a preventive relation in intima media complex thickening.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar C-Reactive Protein pada pasien kanker paru stadium IIIB-IV. Progresivitas kanker paru dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh, faktor genetik dan respon inflamasi. CRP sebagai salah satu marker inflamasi dapat diandalkan sebagai salah satu parameter untuk memprediksi perkembangan kanker. Subjek didapatkan melalui consecutive sampling yang melibatkan 49 subjek kanker paru stadium IIIB ndash; IV yang tidak sedang menjalani terapi di RS Kanker 'Dharmais'. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 55,82 12,26 tahun, sebanyak 63,3 berjenis kelamin laki-laki. Nilai median CRP yaitu 23,82 0,30 - 207,29 mg/L. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna antara asupan karbohidrat dengan kadar CRP serum p = 0,919 , asupan protein dengan kadar CRP serum p = 0,257 dan asupan lemak dengan kadar CRP serum p = 0,986 . Kesimpulan: pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar CRP serum sebagai penanda perkembangan kanker.

The aim of the study was to determine the correlation between carbohydrate, fat and protein intake with the serum C Reactive Protein level in lung cancer patients stage IIIB ndash IV. The progression of lung cancer is influenced by immune system, genetic factors and inflammatory response, therefore CRP can be relied as one of the parameters for predicting cancer cell growth. Subjects were recruited by consecutive sampling, 49 subjects with lung cancer stage IIIB IV who currently not receving any treatment in Dharmais Cancer Hospital participating in this study. The mean age of subject was 55,82 12,26 years old and 63,3 were male. The median value of CRP was 23,82 0,30 207,29 mg L. This study did not showed significant correlation between carbohydate, protein and fat intake with serum CRP value p 0,919 p 0,257 p 0,986, respectively. In conclusion, there is no correlation between carbohydrate, protein and fat intake with serum CRP level in lung cancer stage IIIB ndash IV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadiati Rabbani
"

Hepatitis imbas obat termasuk salah satu efek samping serius dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang dapat menurunkan kepatuhan pasien tuberkulosis dalam menjalani pengobatan sehingga dapat meningkatkan risiko kegagalan pengobatan atau berkembang menjadi resistensi obat. Salah satu mekanisme hepatitis imbas obat adalah terjadinya stres oksidatif akibat pembentukan metabolit reaktif, terganggunya rantai respirasi mitokondria, dan menurunnya pool enzim antioksidan yang dapat dipicu oleh OAT. Vitamin C merupakan antioksidan potensial yang diketahui memiliki efek protektif pada kerusakan hati akibat obat. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara asupan vitamin C dengan kejadian hepatitis imbas OAT pada pasien tuberkulosis paru. Studi potong lintang dilakukan di RSUP Persahabatan pada bulan Februari – Maret 2024. Sebanyak 108 pasien yang memenuhi kriteria menjadi subjek penelitian. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara kuesioner sosiodemografi, pengukuran antropometri, penilaian asupan vitamin dengan SQ FFQ, dan data hasil laboratorium fungsi hati subjek dalam 1 bulan terakhir. Proporsi hepatitis imbas obat pada pasien TB paru di penelitian ini sebesar 6.5%. Mayoritas subjek berjenis kelamin laki-laki (54.6%) dan memiliki nilai tengah usia 41 tahun. Sebagian besar berstatus gizi BB kurang (40.7%), dengan tingkat pendidikan tamat sekolah menengah (73.1%), dan pendapatan kurang (72.2%). Sebanyak 40.7% memiliki penyakit penyerta, 4.6% berstatus positif HIV, 43.5% mengonsumsi obat lain bersama dengan OAT, 52.8% tidak merokok, dan 7.4% subjek mengonsumsi alkohol. Lebih dari separuh subjek berada pada fase pengobatan intensif (56.5%) dan memiliki status bakteriologis positif (50.9%). Umumnya subjek tidak mengonsumsi suplemen vitamin C (85.2%). Sebagian besar pasien memiliki asupan vitamin E dan C yang rendah (97.2% dan 63.0%) dengan nilai tengah asupan sebesar 1.20mg/hari dan 66.65mg/hari. Tidak terdapat hubungan antara asupan vitamin C dengan kejadian hepatitis imbas OAT (OR 3.77 IK 95% 0.44-32.55, nilai p 0.256). Tidak terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hepatitis imbas OAT pada penelitian ini.


Drug-induced hepatitis is one of the serious side effects of anti-tuberculosis drugs (ATD) that can reduce patient compliance in tuberculosis treatment, thus increasing the risk of treatment failure or developing drug resistance. One of the proposed mechanisms is the occurrence of oxidative stress due to the formation of reactive metabolites, disruption of the mitochondrial respiration chain, and decreased antioxidant enzyme pools that can be triggered by ATD. Vitamin C is a potential antioxidant that is known to have a protective effect on drug-induced liver damage. This study aims to find the relationship between vitamin C intake and the incidence of ATD-induced hepatitis in pulmonary tuberculosis patients. A cross-sectional study was conducted at Persahabatan General Hospital from February to March 2024. A total of 108 patients who met the criteria became research subjects. Data were collected using sociodemographic questionnaire interviews, anthropometric measurements, assessment of vitamin intake with the SQ FFQ, and data on the subject's liver function laboratory results in the last 1 month. The proportion of drug-induced hepatitis in pulmonary TB patients in this study was 6.5%. The majority of subjects were male (54.6%) and had a median age of 41 years. Most of them had poor nutritional status (40.7%), with completed secondary school education (73.1%), and low income (72.2%). A total of 40.7% had comorbidities, 4.6% were HIV positive, 43.5% took other drugs along with ATD, 52.8% did not smoke, and 7.4% of subjects consumed alcohol. More than half of the subjects were in the intensive phase (56.5%) and had positive bacteriological status (50.9%). Many subjects did not take vitamin C supplements (85.2%). Most patients had low intakes of vitamins E and C (97.2% and 63.0%) with median intake values ​​were 1.20 mg/day and 66.65 mg/day. There was no relationship between vitamin C intake and the incidence of ATD-induced hepatitis (OR 3.77 95% CI 0.44-32.55, p value 0.256). There were also no factors that influenced the incidence of OAT-induced hepatitis in this study.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Metta Dewi
"Latar Belakang: Inflamasi pada kehamilan normal disebabkan oleh oksidatif stress yang disebabkan oleh produksi radikal bebas dan peningkatan biomarker inflamasi, seperti IL-6. 830 wanita meninggal setiap harinya karena hamil dan melahirkan, diantaranya 15% disebabkan oleh komplikasi pada kehamilan seperti preeklampsia. Preeklampsia merupakan sebuah sindrom yang muncul pada kehamilan, terutama pada trimester ketiga, dan terasosiasi dengan inflamasi yang berlebihan. Sebagai antioksidan, vitamin C diduga berperan menurunkan stress oksidatif pada kehamilan dan persalinan, sehingga menurunkan tingkat kematian ibu, sehingga dilakukan penelitian untuk mencari hubungan antara asupan vitamin C dan kadar IL-6 sebagai biomarker dari inflamasi. Metode: Penelitian berdesain potong- lintang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Magunkusumo pada 40 orang ibu hamil trimester ketiga dikelompokkan menjadi preeklampsia dan non-preeklampsia. Subjek diwawancara menggunakan semi-kuantitatif food frequency questionnaire yang diolah dengan NutriSurvey untuk asupan vitamin C, dan ELISA untuk kadar IL-6. Data diuji distribusinya dengan uji normalitas Shapiro-Wilk, kemudian dilakukan analisis univariat dengan uji T tidak berpasangan, Mann-Whitney, dan Chi-square; serta bivariat dengan uji korelasi Spearman. Analisis dilakukan dengan SPSS for Windows ver. 20. Hasil: Hasil yang tidak signifikan ditunjukkan pada usia subjek dan usia gestasi terhadap preeklampsia dan non- preeklampsia dengan p=0,545 dan p=0,34. Asupan vitamin C yang ditunjukkan oleh subjek preeklampsia sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non-preeklampsia dengan median sebesar 76,37(28,05–396,88) mg dan 68,87(8,57–198,53) mg dengan p=0,358. Sedangkan, kelompok preeklampsia menunjukkan kadar IL-6 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok non-preeklampsia [15,8(2,2–67,4) pg/ml vs 6,8(1,8–43,5) pg/ml] dengan perbedaan yang tidak signifikan. Uji korelasi non-parametrik menunjukkan tidak adanya asosiasi yang signifikan antara vitamin C dan kadar IL-6 (p=0,361; r= -0,147). Selain itu juga, tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara asupan vitamin C dan kadar IL-6 untuk setiap kelompok dengan r= -0,143 dan -0,198 secara berturut-turut. Pembahasan: Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara asupan vitamin C dan kadar IL-6 pada ibu hamil trimester ketiga pada penelitian ini. Hasil ini dapat disebabkan oleh asupan vitamin C pada subjek yang kurang (<85 mg) pada kedua kelompok dan juga inflamasi pada trimester ketiga yang meningkat. Selain itu, penelitian ini hanya meneliti hubungan asupan vitamin C dengan kadar IL-6, sedangkan peran melawan stress oksidatif dan inflamasi melibatkan seluruh antioksidan, baik eksogen maupun endogen. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antioksidan lainnya dengan IL-6 sangat disarankan.

Background: Inflammation in pregnancy is primarily caused by systemic oxidative stress due to production of free radicals and increased levels of inflammatory biomarkers such as IL-6. Every day, 830 women associated with pregnancy and childbirth die globally, approximately 15% of which is caused by prenatal complications such as preeclampsia. Preeclampsia is a syndrome developed during pregnancy which occurs mostly on the third trimester and is strongly associated with inflammation. As an antioxidant, vitamin C could potentially play a role in reducing oxidative stress in either pregnancy or delivery, thus decreasing mortality rate. Therefore, a research to investigate the relationship between vitamin C intake and levels of IL-6 as a biomarker of oxidative stress was conducted. Methods: A cross-sectional study done in Cipto Mangunkusumo National General Hospital. 40 women in third trimester pregnancy are then grouped into preeclampsia and non- preeclampsia, and surveyed via Food Frequency Questionnaire and NutriSurvey for vitamin C, as well as ELISA assay for IL-6 expression. All data was firstly analyzed using Shapiro- Wilk normality test, then analyzed univariately using unpaired T-test, Mann-Whitney, and Chi-square; bivariate analysis was conducted with Spearman correlation test. All analysis was done using SPSS software ver. 20. Results: There is no significant difference shown between mean age and gestational age of the preeclampsia and non-preeclampsia group with p=0.545 and p=0.34 respectively. Subjects in the preeclampsia group were shown to consume vitamin C slightly higher than the non-preeclampsia with median values of 76.37(28.05–396.88) mg and 68.87(8.57–198.53) mg respectively with p=0.358. On the other hand, the preeclampsia group expressed higher level of IL-6 than the non-preeclampsia [15.8(2.2–67.4) pg/ml vs 6.8(1.8–43.5) pg/ml] with no significant difference. A nonparametric correlation test showed no significant association between vitamin C (p=0.361; r = -0.147) and total IL-6 level. There was also no significant difference between vitamin C consumption and IL-6 level for each group with r= -0.143 and -0.198 respectively. Discussion: There was no significant association between vitamin C intake and IL-6 level on third trimester pregnancy women (p= 0.361). This result could be caused by inadequate intake of vitamin C in both groups and the increase of inflammation on the third trimester. In addition, this study only examined association between vitamin C and IL-6 level, while role of neutralizing oxidative stress and inflammation involved both endogenous and exogenous antioxidants. Therefore, further research should be considered to study vitamin C alongside the other antioxidants level and IL-6 level."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>