Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138976 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurindah
"Pengendalian hayati merupakan akar dalam pengelolaan hama secara terpadu. Dalam pengendalian hayati serangga hama, parasitoid dan predator mempunyai peran sangat nyata dalam menjaga perkembangan populasi hama untuk selalu pada tingkat yang tidak merusak tanaman. Serangga hama merupakan salah satu kendala dalam proses produksi serat kapas, sehingga pengendalian hama merupakan kegiatan penting dalam budi daya tanaman kapas. Pemanfaatan parasitoid dan predator dalam program pengendalian hayati hama kapas terbukti dapat mengendalikan populasi hama secara efektif dan ramah lingkungan. Pemanfaatan parasitoid dan predator dilakukan dengan menerapkan tindakan konservasi dan augmentasi musuh alami dalam sistem budi daya kapas sejak awal pertumbuhan tanaman. Konservasi parasitoid dan predator dilakukan melalui peningkatan keanekaragaman vege-tasi dengan menerapkan pola tanam tumpang sari dan konsep ambang kendali dengan mempertimbangkan keberadaan musuh alami. Pemanfaatan parasitoid dan predator dalam pengendalian hama memungkinkan budi daya kapas tanpa insektisida kimia sintetis untuk mendapat hasil yang optimal."
Kementerian Pertanian RI, 2013
630 PIP 6:4 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aldilah Rahmawati
"Remaja, yang saat ini termasuk dalam generasi Z berada di garis terdepan dalam penggunaan internet ataupun teknologi digital lainnya sehingga mereka rentan mengalami risiko teknologi digital, termasuk pelecehan seksual yang terjadi secara online. Penelitian ini merupakan survey deskriptif dengan melibatkan 427 responden yang dipilih menggunakan teknik quota sampling. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner data demografi, terjemahan Digital Literacy Scale dan yber-Sexual Experiences Questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan 50,6% dari total responden memiliki tingkat literasi digital yang kurang dan 90,2% dari total responden pernah mengalami pelecehan seksual secara online. Jenis pelecehan seksual yang paling banyak dialami yaitu pelecehan gender (47,1%). Hasil penelitian memperkuat fakta bahwa masih banyak remaja yang mengalami risiko teknologi digital khususnya pelecehan seksual karena memiliki kemampuan literasi digital yang kurang.

Teenagers, who are currently included in Generation Z, are at the forefront of using the internet or other digital technologies, so they are vulnerable to the risks of digital technology, including sexual harassment that occurs online. This research is a descriptive survey involving 427 respondents who were selected using quota sampling technique. The questionnaires used were demographic data questionnaire, Digital Literacy Scale translation and Cyber-Sexual Experiences Questionnaire. The results showed that 50.6% of the total respondents had a low level of digital literacy and 90.2% of the total respondents had experienced online sexual harassment. The most common type of sexual harassment experienced was gender harassment (47.1%). The results of the study reinforce the fact that there are still many teenagers who are at risk of digital technology, especially sexual harassment because they have a low level of digital literacy skills."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Nyoman Oka
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press , 1995
632.9 IDA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Baehaki S. E.
"Pengembangan program pengelolaan hama terpadu (PHT) nasional sejak 1989 mampu meningkatkan produksi padi di Indonesia. Namun produksi padi tahun 2001-2006 mengalami pelandaian, berada di sekitar 54 juta ton per tahun. Pada tahun 2007 pemerintah melaksanakan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dengan target meningkatkan produksi 5% per tahun (2 juta ton/tahun). Salah satu upaya mencapai target produksi tersebut adalah dengan melaksanakan program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) melalui 60.000 unit sekolah lapang PTT (SL-PTT). Hasil evaluasi pada 2008 dan 2009 menunjukkan, produksi padi melonjak dari 54,45 juta ton pada tahun 2006 menjadi 57,16 juta ton pada 2007, dan pada tahun 2008 dan 2009 produksi masing-masing mencapai 60,33 dan 64,4 juta ton. PHT bertujuan untuk mencapai stabilitas produksi, sedangkan PTT untuk meningkatkan produksi, efisiensi penggunaan input, dan nilai ekonomi tanaman. PTT terdiri atas beberapa komponen, yaitu pengelolaan varietas padi terpadu, pengelolaan nutrisi tanaman terpadu, pengelolaan hama terpadu, pengendalian gulma terpadu, pengelolaan air terpadu, pengelolaan pestisida terpadu, sosial ekonomi, mesin pertanian, dan pascapanen. Dalam era pembangunan pertanian tangguh pada koridor otonomi daerah, diperlukan sinkronisasi antara pusat dan daerah dalam implementasi Permentan No. 45/2011 dan sinergisme antardisiplin ilmu dalam upaya meningkatan produksi dan kesejahteraan petani."
Kementerian Pertanian RI, 2013
630 PIP 6:4 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rahmat Rukmana
Yogyakarta: Kanisius, 1997
632.3 RAH h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nonon Saribanon Rubyawan
"ABSTRAK
Pelaksanaan program intensifikasi di bidang pertanian
sejalan dengan peningkatan permintaan produk pertanian
berdampak pada tingginya pemakaian pupuk dan pestisida,
khususnya pada tanaman hortikultura. Tanaman sayuran
yang merupakan salah satu tanaman hortikultura penting,
umumnya memerlukan pemeliharaan intensif, dan adanya
tuntutan konsumen terhadap kualitas produk sehingga
penggunaan pupuk dan pestisida pun sangat intensif.
Dengan kata lain, konsumen sayuran umumnya menginginkan
produk yang kualitasnya baik dan bebas dari serangan
atau bekas serangan hama dan penyakit.
PRT merupakan suatu konsep yang berusaha untuk mendorong
dan memadukan beberapa faktor pengendalian untuk
menekan populasi hama serta memperkecil kerusakan
tanaman dan hasil tanaman. Pada prinsipnya konsep PHT
berbeda dengan konsep pengendalian hama pada sistem
Konvensional yang sangat tergantung pada penggunaan pestisida. Walaupun demikian, PHT bukanlah suatu konsep yang anti penggunaan pestisida (Reddy dalam Sastrosiswojo, 1994:5). Pada sistem PHT, pestisida yang digunakan adalah pestisida yang selektif dan aman, serta digunakan apabila benar-benar diperlukan dan sepanjang tidak mengganggu faktor pengendalian lainnya atau interaksinya (Untung dalam Sastrosiswojo, 1994:5).
Penggunaan pestisida yang tidak selektif dapat mengakibatkan
penurunan populasi musuh alami hama serta serangga
berguna dan makhluk bukan sasaran (Oka, 1993:6).
Hal ini dapat mengakibatkan penurunan keragaman jenis
(diversitas spesies) dalam ekosistem pertanian tersebut
yang mempengaruhi kestabilan ekosistem dan berarti pula
telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan.
Penurunan atau babkan punahnya musuh alami hama akibat
penggunaan pestisida yang tidak selektif, dapat menimbulkan
ketidakseimbangan antara populasi hama dengan
musuh alaminya sehingga apabila keadaan lingkungan
mendukung, dapat terjadi ledakan populasi hama (outbreak)
yang disebut resurgensi hama.
Residu pestisida di lingkungan merupakan akibat penggunaan
pestisida yang ditujukan pada sasaran tertentu
seperti tanaman dan tanah. Selain itu, pestisida dapat
terbawa oleh gerakan air dan udara sehingga residu
pestisida dapat berada di berbagai unsur lingkungan di
permukaan bumi (Untung, 1993:229).
Kubis merupakan salah satu tanaman sayuran dataran
tinggi yang penting di Indonesia. Pemakaian pestisida
pada tanaman kubis sangat intensif, demikian pula
penggunaan lahan oleh petani. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran adanya dampak negatif dari penggunaan
pestisida terhadap unsur-unsur lingkungan yang ada pada
ekosistem pertanian tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode percobaan
berpasangan (Paired Treatment comparison) antara penerapan
sistem PBT (P) dengan sistem Konvensional (K),
tanpa ulangan sebab luas lahan yang diamati yaitu 500 m2
untuk setiap perlakuan dianggap cukup memadai sebagai
suatu model ekosistem pertanaman kubis di lapangan.
Basil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem PHT
lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan sistem
Konvensional. Hal ini terlihat dari keragaman jenis
(diversitas spesies} fauna di atas tanah pada ekosistem
kubis dengan penerapan sistem PHT yang berkisar antara
1,664 sampai 2,021 lebih besar dibandingkan dengan
sistem Konvensional yang berkisar antara 1,606 sampai2,000.
Dari penelitian ini juga terlihat adanya keseimbangan
populasi hama dan musuh alami yang lebih baik pada
penerapan sistem PBT dibandingkan dengan sistem Konvensional.
Hal ini antara lain terlihat dari tingginya
tingkat parasitasi larva P. Xylostella oleh D. semi-clausum dan
besar populasi imago parasitoid D. Semiclausum dan inareolata sp.
Selain itu, koloni cendawan antagonis patogen tanaman
Trichoderma spp. pada tanah dengan penerapan sistem PHT
jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
Konvensional.
Dari beberapa jenis insektisida yang digunakan dan
dianalisis kadar residunya, hanya insektisida Asefat
yang terdeteksi pada seluruh unsur lingkungan yang
diteliti.
Kadar residu insektisida Asefat pada tanah dan air
larian pada penerapan sistem PBT lebih rendah dibandingkan
dengan sistem Konvensional, tetapi tidak terdapat
perbedaan residu insektisida Asefat pada krop
kubis.
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya
Bacillus tburingiensis Berliner pada tanah
labnya lebih besar pada penerapan sistem
populasi yang jumPHT akibat
penggunaan insektisida mikroba B. tburingiensis jika
dibandingkan dengan sistem Konvensional.
E. Daftar Kepustakaan 44 (1971 - 1995)

ABSTRACT
Agriculture production should be increased due to the
increasing of market demand. Beside quantity, the
quality products is important, especially for vegetable
crops. To meet this market demand, farmers usually use
fertilizers and pesticides intensively.
One of the important objectives of Integrated Pest
Management (IPM) implementation is to reduce the
amount of pesticide usage. In line with this objective,
the use of natural enemies and selective pesticides is
very important.
The impact of IPM implementation on cabbage against the
environmental aspects such as species diversity of
fauna, insecticide residues on soil and water, insecticide
residues on cabbage crop was studied.
The experiment used paired treatment comparison to
compare IPM system with Conventional system and conducted
at Lembang Experimental Garden of Lembang Horticultural
Institute from August 1994 to December 1994.
Some important results of this study are as follows:
1. Species diversity of fauna in the air (upper soil)
at IPM plot (1. 66-2.02) was higher than Conventional
plot (1.61 - 2.00).
2. The level of parasitism o f Plutella xylostella (L.)
larvae by Diadegma semi clausum Hellen was higher in
IPM system than in Conventional system.
3. The colonies of mycoparasite T.ricooderma spp.
in the soil was higher in IPM system compared with
4.Conventional system.
Insecticide residues
run off showed
(Acephate) in soil and
lower in IPM system
water
than
Conventional system. However, no difference of
insecticide residue on cabbage crop was found in
IPM system and Conventional system.
5. The colonies of Bacillus tburingiensis Berliner
in the soil was higher in IPM system compared with
Conventional system.
E. Number references : 44 (1971 - 1995)."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Dewanto
"ABSTRAK
Agroekosistem adalah suatu lingkungan binaan dan menjadi bagian dari ekosistem alam yang didominasi oleh manusia dan tanaman pertanian. Keanekaragaman hayati yang rendah dan ekosistemnya yang tidak stabil, menyebabkan terjadi eksplosi hama atau organisme pengganggu tanaman (OPT). Kondisi tersebut menjadi kendala utama bagi lingkungan produksi sayuran di Kabupaten Dati II Banjamegara Jawa Tengah.
Pada sistem konvensional, penggunaan pestisida yang intensif dianggap sebagai cara pengendalian OPT yang efektif, Namun demikian, cara tersebut memiliki dampak negatif seperti: tercernarnya tanah dan air, ancaman bagi kesehatan manusia, dan tidak efisiennya usaha tani. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, di Indonesia telah diterapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) untuk tanaman padi pada tahun 1989 dan untuk tanaman sayuran pada tahun 1992.
Sistem PHT adalah suatu konsep atau filosofi untuk menanggulangi masalah hama melalui pendekatan ekologi dan ekonomi. Ada tiga konsepsi dasar PHT yaitu: pengamatan agroekosistem, konsepsi ambang ekonomi (AE), dan konsepsi pelestarian lingkungan. Dalam program PHT, petani dilatih memahami konsepsi dasar itu melalui sekolah lapangan pengendalian hama terpadu (SLPHT) yang berlokasi di lahan milik petani, dengan proses belajar berdasarkan pengalaman, agar petani dapat menerapkan teknologi PHT di lahannya sendiri.
Tujuan dari studi ini ialah untuk mengetahui dampak implemetasi sistem PHT dibandingkan dengan sistem Konvensional pada komponen lingkungan yang meliputi: pendapatan usaha tani kentang dan kubis, keanekaragaman spesies serangga di pertanaman kentang/kubis, serta kadar residu pestisida di dalam hasil panen, tanah dan air larian yang berasal dari pertanaman kentang/kubis yang menerapkan sistem PHT dan sistem konvensional.
Metode penelitian yang digunakan adalah Ex Post Facto atau kausal komparatif dengan metode penetapan sampel Purposive Sampling dan Simple Random Sampling. Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi Dieng Kabupaten Dati II Banjarnegara mulai bulan November 1998 sampai dengan Januari 1999. Wilayah penelitian meliputi kecamatan Batur, Pejawaran dan Wanayasa. Dipilih dua sampel desa dari tiap kecamatan, yang terdiri atas satu desa yang mewakili sistem PHT dan satu desa mewakili sistem konvensional (non PHT). Sebagai responden ditentukan 20 petani kentang dan 20 petani kubis dari setiap desa. Jumlah responden di enam desa sampel tersebut ialah 240 petani, yang terdiri atas 120 petani PHT dan 120 petani non PHT. Untuk mengamati residu pestisida dan keanekaragaman serangga, ditentukan empat petak pertanaman kentang dan empat petak pertanaman kubis di setiap desa.
Pengaruh implementasi PHT pada nisbah manfaat dan biaya (BIC Ratio) usahatani kentang dan kubis berbeda sangat nyata dibandingkan dengan sistem konvensional. Demikian pula keanekaragaman spesies serangga bukan sasaran pada pertanaman sistem PHT berbeda sangat nyata. Secara umum pengaruh sistem PHT pada kandungan residu pestisida (insektisida) di dalam hasil panen dan tanah berbeda nyata sampai sangat nyata dengan sistem konvensional, sedangkan residu di dalam air larian pada umumnya tidak berbeda nyata.
Berdasarkan batas maksimum residu (BMR) menurut SKB MENKES dan MENTAN No, 8811MENKESISKBIVIII11 996-7 1 11Kpts/ TP.27018196, kadar residu dalam hasil panen di wilayah studi masih rendah, Rata-rata kadar residu yang terdeteksi di dalam umbi kentang ialah 0,0026 ppm dan di dalam krop kubis 0,0024 ppm, sedangkan BMR untuk kartaphidroklorida untuk umbi kentang adalah 0,1000 ppm dan untuk krop kubis adalah 0,2000 ppm. Hasil peneiitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pendapatan usaha tani kentang/kubis pada sistem PHT lebih tinggi daripada sistem konvensional. Nisbah manfaat dan biaya pada kentang sistem PHT ialah 1,04 dan sistem konvensional 0,85, sedangkan pada kubis sistem PHT ialah 1,18 dan sistem konvensional sebesar 0,82; (2) Keanekaragaman spesies serangga bukan sasaran di pertanaman kubis dan kentang yang menerapkan sistem PHT lebih tinggi daripada sistem konvensional, Rata-rata nilai keanekaragaman pertanaman sistem PHT adalah 2,01 dan sistem konvensional 1,10; dan (3) Kadar residu senyawa insektisida di dalam hasil panen (kentang dan kubis), di dalam tanah dan dalam air larian yang berasal dari pertanaman yang menerapkan sistem PHT lebih rendah daripada sistem konvensional, dengan perincian sebagai berikut: (a) residu insektisida pada basil panen pada sistem PHT adalah 0,0042 ppm, sedangkan pada sistem konvensional 0,0113 ppm, (b) Residu insektisida dalam tanah pada pertanaman sistem PHT ialah 0,0496 ppm dan pada sistem konvensional sebesar 0,06'70 ppm, dan (c) residu insektisida pada air larian di pertanaman sistem PHT adalah 0,0027 ppm dan pada sistem konvensional adalah 0,0054 ppm.

ABSTRACT
Impact of Integrated Pest Management on the Environment of Vegetable Crop (A Case Study on the Environment of Potato and Cabbage Planting in the Distric of Banjarnegara, Central Java Province)Agroecosystem is an artificial environment and as a part of the natural ecosystem in where dominated by human and crops. Due to low biological diversity and unstable ecosystem, pest outbreak always occur in a certain agroecosystem. This condition becomes major constraint for the environment of vegetable planting in the distric of Banjarnegara, Central Java Province.
In the conventional system, the use of pesticide intensively is considered as the most effective control measure to overcome pest problem. However, this In the conventional system, the use of pesticide intensively is considered as the most effective control measure to overcome pest problem. However, this system has negative impacts such as soil and water pollution, threat to human health, and inefficient farming system. To overcome this problem, integrated pest management (IPM) has been adopted and implemented in Indonesia since 1989 in rice and in vegetable crops since 1992.
IPM system is a concept or philosophy to overcome pest problem through ecological and economical approach. There are three basic concepts of IPM namely observation of the agroecosystem, establishment of economic treshold and environmental conservation. In IPM program, farmers were trained to understand these basic concepts through Farmer's Field School (FFS) located at farmer's field, using experience learning processes, in order they can implement 1PM technology at their own fields.
This objective of this study was to investigate the impact of the IPM implementation versus the Conventional system on the environment components, includes the income gained by farmers from the potato and cabbage farming, diversity of non-target insect species in potato and cabbage field, and the level of pesticide residues in yield, soil and run off originated from the fields which were subjected to IPM system versus Coventional system.
Wanayasa, located at Dieng plateau area district of Banjarnegara, Central Java-Two sample villages were chosen from each sub-districts. One village represented IPM system while the other one represented conventional system (non IPM). Respondents in each village comprised 20 potato farmers and 20 cabbage farmers; the total number of respondents involved in this study were 240 farmers (120 farmers for IPM system and 120 farmers for non IPM system). To observe the pesticide residues and the diversity of insects, four blocks of potato field and four blocks of cabbage field were chosen in each sample village.
It was found that the impact of 1PM implementation on the net profit of potato and cabbage farming was significantly higher than that of conventional system. It was also found that the diversity of non-target species in the potato and cabbage field for IPM system was significantly higher than that of conventional system. In general, the effect of IPM system on the level of pesticide (insecticide) residues in the potato tubers and cabbage crops and in the soil was significantly lower than that of conventional system while the level of insecticide residues in run off was generally not significantly different in both systems.
Compared with the maximum residue limit (MRL) defined by joint decree of Ministry of Health and Ministry of Agriculture No. 881IMENKES/SKBIVIIII1996-71 liKpts/TP.27018/96, the levels of pesticide residue in the study area was relatively low because the average residue levels detected in potato tubers was 0.0026 ppm and in cabbage crops was 0.0024 ppm. According to this decree, the maximum levels for cartaphydrochioride residue in potato tuber is 0.1000 ppm and in cabbage crop is 0.2000 ppm.
In conclusion, results of this study are: (I) the net profit obtained by the farmer from potato/cabbage fanning with 1PM system was higher versus conventional system. The BIC ratios for potato with 1PM system and conventional system were 1.04 and 0.85 respectively while for cabbage with IPM system and conventional system were 1.18 and 0.82 respectively; (2) the diversity of non target insect species in cabbage and potato fields with IPM system was higher than that of conventional system. The average of diversity of crop field with IPM system was 2.01 while in conventional system was 1.10; and (3) in IPM system, the insecticide residue levels in the potato tubers and cabbage crops, in the soil and m the water run off were lower than that of conventional system; as follows: (a) the insecticide residues in the potato tubers and cabbage crops practicing IPM system was 0.0042 ppm while from conventional system was 0,0113 ppm, (b) the insecticide residues in the soil samples from the crop field with IPM system was 0.496 ppm while in conventional system was 0.0670 ppm, and (c) the insecticide residue in water run off in the field with IPM system was 0.0027 ppm and in conventional system was 0.0054 ppm.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S7581
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"lants provide insects with a range of specific foods, such as nectar, pollen, and food bodies. In exchange, they may obtain various services from arthropods. The role of food rewards in the plant-pollinator mutualism has been covered broadly. This book addresses another category of food-mediated interactions, focusing on how plants use foods to recruit arthropod "bodyguards" as a protection against herbivores." "Many arthropods with primarily carnivorous lifestyles require plant-provided food as an indispensable part of their diet. Only recently have we started to appreciate the implications of non-prey food for plant-herbivore-carnivore interactions. Insight into this aspect of multitrophic interactions is not only crucial to our understanding of the evolution and functioning of plant-insect interactions in natural ecosystems, it also has direct implications for the use of food plants and food supplements in biological control programs.". "This edited volume provides essential reading for all researchers interested in plant-insect interactions."--BOOK JACKET.
"
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2005
632 PLA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>