Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58701 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dikdik M. Arief Mansur
Jakarta: Pensil, 2012
344.598 052 DIK h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yanesya Lastika Putri Muhadi
"Pada perkara advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi, terdapat polemik mengenai eksistensi hak imunitas advokat. Pasal 16 UU Advokat menyebutkan: advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Undang- Undang Advokat tidak memberikan penjelasan mengenai standar “iktikad baik”. Lebih lanjut lagi, terdapat perdebatan apakah dengan adanya hak imunitas, advokat harus diperiksa terlebih dahulu di Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebelum diproses menurut hukum acara pidana. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, penelitian ini menjawab dua pertanyaan penelitian: pertama, mengenai keberlakuan hak imunitas advokat pada perkara obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi; dan kedua, mengenai peran DKOA pada perkara obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Penelitian ini menunjukkan bahwa seorang advokat dapat dilindungi oleh hak imunitas apabila ia tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan, kode etik, dan proporsionalitas. Meskipun advokat memiliki hak imunitas, tidaklah diperlukan proses pemeriksaan terlebih dahulu oleh DKOA. Peran DKOA pada perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan advokat masih minim, hal tersebut ditandai dengan tidak dipecatnya advokat yang telah dinyatakan bersalah tersebut. Atas permasalahan tersebut, undang-undang perlu mengatur secara rinci mengenai standar “iktikad baik”. Organisasi advokat melalui DKOA seharusnya lebih proaktif dalam mengawasi pelaksanaan kode etik advokat, khususnya mengenai tindak lanjut terhadap advokat yang telah dijatuhi pidana. Selain itu, untuk mencegah berpindah-pindahnya advokat yang telah diberhentikan, diperlukan standar profesi tunggal yang mencakup: pengangkatan advokat, pengawasan advokat, dan dewan kehormatan pusat dari seluruh organisasi advokat yang ada di Indonesia.

In the case wherein advocate named as a defendant of obstruction of justice in corruption crime cases, there is a polemic about the existence of advocate’s immunity. Article 16 of Advocate’s Act stated that advocates shall not be prosecuted either civil or criminal in carrying out their professional duties in good faith for the benefit of the client’s defense inside or outside court proceedings. Advocate’s act does not provide further explanation about the standard of “good faith”. Furthermore, there is a debate whether with the existence of advocate’s immunity, advocate should be examined by The Disciplinary Committee, before being processed according to criminal procedural law. By using the descriptive method, this study aims to answer two questions: first, regarding the enforcement of advocate’s immunity in obstruction of justice in corruption crime cases; second, regarding the role of The Disciplinary Committee in obstruction of justice in corruption crime cases. This thesis shows that an advocate shall be protected by adcovate’s immunity if he/she take an action in accordance with law and regulations, and Code of Ethics, and proportionality. Despite of the existence of advocate’s immunity, there is no need to carry out preliminary examination process by The Disciplinary Committee. The role of The Disciplinary Committee is not good enough towards advocate who has been convicted for committing obstruction of justice in corruption crime cases. This is indicated by the fact that the advocate is not permanently disbarred from the Bar Association. For this issues, the law and regulation shall regulate clearly the standard of “good faith”. Bar Association should be more proactive in supervising the enforcement of the Code of Ethic, especially when taking action regarding to an advocate who is convicted for committing a crime. Beside that, to prevent the advocate that has been disbarred to join another Bar Association, an integrated professional standard is needed, which is including: registration and qualification of advocates, supervision of advocates, and integrated disciplinary committee for the whole Bar Association."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ghazy Al Kindy
"Penelitian ini dilatarbelakangi dari kejahatan siber phishing yang merupakan suatu bentuk kegiatan yang bersifat mengancam atau menjebak seseorang dengan konsep memancing orang tersebut. Peningkatan serangan siber mulai dirasakan sejak awal pandemi dan terus berlanjut hingga pasca pandemi Covid-19. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis serta mendapatkan hasil analisis mengenai strategi dari Dittipidsiber Bareskrim Polri dalam melakukan penanggulangan kejahatan siber phising pada pasca pandemi Covid-19. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kejahatan siber, teori strategi dan teori smart policing. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian eksploratif, yang dilaksanakan di wilayah Dittipidsiber Bareskrim Polri. Hasil dari strategi Dittipidsiber Bareskrim Polri didalam melakukan penanggulangan kejahatan siber phising dengan tindakan pre-emtif, tindakan preventif (pencegahan), dan tindakan represif (penegakan hukum) serta masih memerlukan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, guna memaksimalkan didalam pencegahan kejahatan siber phising. Serta edukasi kepada masyarakat lebih di tingkatkan kembali melalui media elektronik di jaman sekarang ini.

This research is motivated by the cyber crime of phishing, which is a form of activity that threatens or traps someone with the concept of luring that person. The increase in cyber attacks began to be felt since the beginning of the pandemic and continued until after the Covid-19 pandemic. The aim of this research is to carry out an analysis and obtain analysis results regarding the strategy of the Dittipidsiber Bareskrim Polri in dealing with phishing cyber crimes in the post-Covid-19 pandemic. The theories used in this research are cyber crime theory, strategy theory and smart policing theory. This type of research is qualitative research with exploratory research methods, which was carried out in the Dittipidsiber Bareskrim Polri area. The results of the strategy of Dittipidsiber Bareskrim Polri in tackling cyber phishing crimes with pre-emptive action, preventive action (prevention), and repressive action (law enforcement) and still requires cooperation with related institutions, in order to maximize the prevention of cyber phishing crime. And education to the public is being further improved through electronic media now a days."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davina Nindita
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22334
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Supriyono
"ABSTRAK
Pembahasan dalam Tesis ini adalah bahwa tindak pidana perjudian di wilayah
Jakarta Utara khususnya di wilayah Penjaringan dan Pademangan yang makin
tumbuh makin subur, menuntut Polres Metro Jakarta Utara meningkatkan peranan
dan operasionalnya, sehingga tindak pidana perjudian yang terjadi dapat diminimalisir.
Penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukan: 1) Jenis tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polres
Metro Jakarta Utara adalah: (a) Judi Togel Singapura; (b) Judi Kartu Remi (Sam
gong); (c) Judi Kartu Domino (d) Judi Kartu Capsa; (e) Judi Sepak Bola; dan (f)
Judi online dengan internet; 2) Maraknya tindak pidana perjudian di wilayah hukum
Polres Metro Jakarta Utara disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (a) Faktor
Pendidikan; (b) Faktor ekonomi; (c) Faktor lingkungan; dan (d) Faktor budaya; 3)
Tindak pidana perjudian yang dilakukan oleh para pelaku di wilayah hukum Polres
Metro Jakarta Utara dilakukan dengan berbagai modus operandi yang kesemuanya
bertujuan untuk menghindarkan diri dari aparat Polisi; 4) Berbagai upaya yang
dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Utara dalam mengungkap kasus Tindak Pidana
Perjudian dilakukan dengan beberapa kegiatan: (a) Penyelidikan dan pencarian
informasi; (b) Ikut serta bermain Judi; (c) Melakukan penyamaran; (d) Melakukan
Pengintaian; (e) Menangkap Tersangka dan menyita barang bukti; dan (f)
Melakukan operasi dan razia; 5) Tindakan pencegahan dan penanggulangan tindak
pidana perjudian oleh Polres Metro Jakarta Utara, dilakukan dengan dua model
tindakan yaitu: (a) Tindakan Pencegahan (Preventif) dan (b) Upaya Penanggulangan
(Represif); 6) Kendala-kendala yang dihadapi oleh Polres Metro Jakarta Utara dalam
pengungkapan kasus tindak pidana perjudian adalah: (a) pemahaman pola pikir
masyarakat; (b) kurangnya partisipasi masyarakat; (c) sulitnya pengumpulan barang
bukti; (d) adanya kebocoran operasi sebelum dilakukan razia; (e) terbatasnya
anggaran, sarana dan prasarana; (f) terbatasnya jumlah personil Polri; (g) ringannya
hukuman yang diterima oleh pelaku; dan (h) dikembalikannya BAP oleh Jaksa
Penuntut Umum. Implikasi dari kajian tesis ini adalah: (a) harus lebih meningkatkan
kegiatan pengawasan dan operasi penggerebekan; (b) Polri, Kejaksaan dan
Pengadilan diharapakan bersungguh-sungguh menerpakan aturan hukum tindak
pidana perjudian yang tercantum dalam UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penetiban
Perjudian; (c) Perlunya peran aktif dari masyarakat; (d) Perlunya penambahan
anggaran serta penambahan sarana dan prasarana yang di Polres Metro Jakarta
Utara; (e) Perlunya peran intensif dari Binamitra Polres Metro Jakarta Utara dalam
memberikan penyuluhan hukum dan bimbingan kepada masyarakat tentang tindak
pidana Perjudian.

ABSTRACT
This thesis discusses about gambling crime action that happened at the area of North
Jakarta, particularly in Penjaringan and Pademangan that is getting develop and
demands North Jakarta Metro Resort Police to improve their roles and operational to
minimize the presence of gambling action that is rampant. The research was
conducted through qualitative approach. Data collection was conducted through
interview, observation and documentation. The research showed: 1) Types of
gambling crime that often happen at the legal area of North Jakarta Metro Resort
Police are: (a) Singapore gambling; (b) Bridge card gambling (Sam gong); (c)
Domino Card gambling (d) Capsa Card gambling; (e) Soccer gambling; and (f)
Online gambling through internet; 2) Rampant gambling action at the region of
North Jakarta Metro Resort Police is triggered by several factors: (a) Education; (b)
Economy; (c) Environment; and (d) Cultural; 3) Gambling action committed the
suspect at the region of North Jakarta Metro Resort Police is triggered by some
motifs that have aim to avoid the officers; 4) Some efforts conducted by North
Jakarta Metro Resort Police to reveal gambling are seen from several activities: (a)
Investigation and searching information; (b) Participate in gambling; (c) Disguise;
(d) Spying; (e) Capture the suspects and confiscate evidences; and (f) Conducting
operational and raid; 5) Prevention and repressiveness of gambling action by North
Jakarta Metro Resort Police are conducted in two actions: (a) Preventive action and
(b) Repressive action; 6) Obstacles that are experienced by North Jakarta Metro
Resort Police to reveal gambling are: (a) the lack of comprehension of the society;
(b) the lack of participation from the society; (c) difficulty in gaining evidence; (d)
the leak of information before raid or searching is conducted; (e) limitation in
budget and infrastructure; (f) the limiation of police officer presonnel; (g) mitigate
punishment experienced by the suspects; and (h) the returning of Investigation
Report (BAP) by the prosecutors. Implication of this thesis contains: (a) increasing
monitoring and raid & searching operation; (b) Indonesian Police, Attorney
General’s Office and Court are expected to have high determination in
implementing gambling crime Law as mentioned on Law No. 7/1974 concern on
Gambling Controlling Action; (c) The need of active role from the society; (d) The
need to improve budget and the existed infrastructure at North Jakarta Metro Resort
Police; (e) Intensive role is needed from Binamitra of North Jakarta Metro Resort
Police to provide training about legal to the society about disadvantages of
gambling."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusno Adi
"Criminal policy in preventing and handling drug abuse among juvenile in Indonesia."
Malang: UMM Press, 2009
345.598 KUS k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) . Penanggulangan tindak pidana korupsi ini membutuhkan suatu kebijakan penanggulangan kejahatan yang komprehensif. Kebijakan ini harus memadukan pendekatan penerapan hukum pidana dan pendekatan tanpa menggunakan hukum pidana. Kebijakan non-penal (pencegahan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana) dimaksudkan untuk mendorong dan menciptakan prakondisi kehidupan masyarakat Indonesia yang kondusif. Implementasi kebijakan penal (penerapan hukum pidana) terus berjalan melalui mekanisme sistem peradilan pidana. Secara keseluruhan, pendekatan integratif ini tetap terpadu di bawah payung visi criminal policy."
JLI 8:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Pitoyo
"ABSTRAK
Bangsa Indonesia merupakan anggota PBB, dengan demikian bangsa
Indonesia memiliki komitmen untuk menghormati dan menegakkan hak asasi
manusia.Setiap komitmen yang dimiliki bangsa Indonesia harus dilaksanakan oleh
instansi penegak hukumnya, sehingga ini merupakan kewajiban anggota Polri untuk
menegakkan dan menghormati hak asasi manusia dan untuk bekeija sama dalam
menegakkan hak asasi manusia. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih
terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh anggota Polri.
Tujuan dilakukanya penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap yang
dimiliki oleh anggota Reserse Polri, terhadap hak asasi manusia tersangka tindak
pidana pencurian dengan kekerasan.
Penelitian ini dilakukan pada anggota Reserse bagian Reserse umum, yang
merupakan salah satu fungsi teknis dari Reserse yang menangani kasus pencurian
dengan kekerasan. Subyek pada penelitian ini beijumlah 100 orang, yang diambil
secara purposive sampling di Direktorat Reserse Polda Metro Jaya. Pengumpulan
data mengenai sikap ini dilakukan dengan menggunakan skala sikap teknik Likert.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis mean.
Hasil pengolahan data dan analisis hasil yang dilakukan, diperoleh
kesimpulan bahwa sikap anggota Reserse terhadap hak asasi manusia tersangka
tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah unfavorable, artinya anggota
Reserse mempunyai kecenderungan tidak menyukai, menentang dan tidak
sependapat terhadap hak asasi manusia tersangka tindak pidana pencurian dengan
kekerasan. Sikap yang unfavorable dari anggota Reserse ini dibentuk oleh proses
belajar dari pengalaman-pengalaman yang dilalui dalam menangani kasus. Selain itu
juga terbentuk karena ketiga komponen sikapnya yang negatif terhadap HAM.
Sikap yang unfavorable dari anggota Reserse terhadap hak asasi manusia
tersangka tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini harus dirubah menjadi
sikap yang favorable. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan materi tentang
hak asasi manusia pada lembaga pendidikan Polri, selain itu perlu adanya kebijaksanaan dari kapolri, yaitu berupa tindakan tegas bagi anggota yang
melanggar. Pada penelitian ini hanya menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan
skala sikap. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, sebaiknya ditambah dengan
metode kualitatif, yaitu dengan wawancara."
2003
S3238
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>