Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178719 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panggabean, R.M.
"Pembahasan mengenai budaya hukum hakim hanya difokuskan pada periode 1950 s/d 1965, karena satu hal yang sangat menarik untuk dianalisis yaitu mengenai Hakim Agung yang ada dan yang menjabat pada masa pemerintahan Demokrasi Parlementer adalah sama dalam jumlah maupun orangnya, dengan yang ada pada masa Pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Dari latar belakang di atas telah tergambar mengenai budaya hukum Hakim dalam
menjalankan fungsinya yang selalu berbeda-beda, karena pada prinsipnya banyak
dipengaruhi kebijakan kekuasaan politik, padahal kekuasaan tersebut selalu didasarkan pada
Konstitusi (UUDS 1950 dan UUD 1945) yang sama-sama memiliki asas kemandirian
Hakim/Peradilan. Dalam perkembangannya kekuasaan kehakiman tidak selalu mandiri,
karena budaya hukum Hakim dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa. Hakim sering
berada di bawah kendali Eksekutif dan membenarkan tindakan penguasa melalui putusan-
putusan atau penetapan-penetapan Hakim, sehingga tindakan pemerintah dibenarkan
menurut keadilan formal, namun tidak menurut keadilan substansial. Demikian juga
sebenarnya selain faktor politik masih banyak faktor lainnya yang mempengaruhi budaya
hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya.
Oleh karena itu penelitian ini mencoba mengembangkan pembahasan yang
difokuskan kepada budaya hukum Hakim, khususnya budaya hukum Hakim Agung sebagai
persoml Hakim yang tertinggi dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, sekaligus
merupakan benteng terakhir dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukurn.
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka disusun rumusan masalah yang
menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mengapa budaya hukum dalam sistem hukum merupakan aspek yang sangat penting
dan menentukan bexjalannya sistem hukum itu?
2. Faktor-faktor apakah yang paling menentukan sikap atau budaya hukum Hakim
dalam menjalankan fungsinya?
3. Mengapa pada masa pemerintahan Demokrasi Parlementer sikap atau budaya
hukum Hakim dapat mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat, padahal waktu itu situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi
dan keamanan tidak menentu?
4. Mengapa pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin sikap atau budaya hukum
Hakim tidak banyak mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat?
5. Bagaimanakah sikap atau budaya hukun Hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara-perkara jika pemerintah sebagai salah satu pihak (kasus politik) atau yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, bagaimana pula jika tidak terkait dengan pemerintah pada periode Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin?
Beberapa metode penelitian digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian yuridis normative, metode penelitian sejarah hukum dan penelitian empiris yangbersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. penelitian juga dilakukan terhadap berbagai putusan Mahkamah Agung RI yang menarik perhatian masyarakat, baik dalam masa pemerintahan era Demokrasi Parlementer di bawah UUDS 1950, dan pemerintahan demokrasi terpimpin di bawah UUD 1945. Dalam penelitian lapangan digunakan pedoman wawancara (interview guide) dengan menggunakan metode non probability purbosive sampling, yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan subjektif dari peneliti. Jadi peneliti menentukan sendiri responden mana yang dianggap mewakili dalam kaitannya dengan budaya hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya.;;"
2003
D909
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, R.M.
"Budaya hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya yang selalu berbeda-beda, karena pada prinsipnya banyak dipengaruhi kebijakan kekuasaan politik, padahal keluasaan tersebut selalu didasarkan pada Konstitusi (UUDS 1950 dan UUD 1945) yang sama-sama memiliki asas kemandirian Hakim/Peradilan. Dalam perkembangannya kekuasaan kehakiman tidak selalu mandiri karena budaya hukum Hakim dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa. Hakim sering berada di bawah kendali Eksekutif dan membenarkan tindakan penguasa melalui putusan-putisan atau penetapan-penetapan Hakim, sehingga tindakan pemerintahan dibenarkan menurut keadilan formal, namum tidak menurut keadilan substansial. Demikian juga sebenarnya selain faktor politik masih banyak faktor lainnya yang mempengaruhi budaya hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya.
Beberapa metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yuridis normatif, metode penelitian sejarah hukum dan penelitian empiris yang bersifat kualitatif."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D1136
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, R.M.
Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
347.01 PAN b (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Tatanusa, 2005
342.02 HIM I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Ramly
"ABSTRAK
Pemerintahan otoriter merupakan suatu gaya kepemimpinan yang sejak abad-abad yang Iampau telah ada terutama dalam kerajaan-kerajaan yang ingin menjadikan rakyat tunduk dan patuh pada kekuasaan penguasa, Tatanan demokrnsi mulai tumbuh ketika masyarakat dunia menggunakan sislem dalam negara. Namun sering pula terjadi dalam sistem republik adanya pemerintahan otoriter umpamanya di negara-negara ASEAN, misalnya Presiden Marcos dari Philipina dan Presiden Soeharto di Indonesia adalah penguasa otoriter yang iustru berkuasa dalam negara Republik. Pemerimahan Soeharto mulai eksis setelah terjadinya Gerakan 30 September PKI tahun |965 pada Fase berikutnya Soekarno gagal memberikan per1anggungjawaba11nya dalam sidang lstimewa MPRS tanggal 7 Marci l967. Kekuasaan Soekarno kemudian dicabut berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyal Sementara Nomor XXXIII/MPRS/I967. Permerintahan Soeharto melaksanakan Pemerimahannya secara konstuiusional. Namun pemerintahan konstitusional ini relatif bcrlangsung hanya sekitar tahun 1966 sampai dengan 1968.
Setelah itu mulai terjadi penyimpangan terutama dalam menata dan melaksanakan demokrasi politik. Rekayasa pemerintahan Soeharto tentang demokrasi politik mulai tampak sejak lahun 1969 Seterusnyn fenomena penyimpangan karena otorilarianisme yang menggunakan produk hukum sebzlgai instrumen kekuasaan semakin sering terjadi. Pada tahun 1985 lahirlah lima Undang-Undang Politik yang menjadi kekuatan Soeharto mengenclalikan demokrasi poiitik, yang terdiri dari Undang-Undang Nomor l Tahun 1985 Tentang Pemilihan Umum_ Undang-Undnng Nomor 2 Tahun 1985 Temang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dewnn Perwakilan Rakyal dan Dewan Perwakllan Rakyal Daerah, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Referendum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tenlang Organisasi Kemasyarakatan. lni sekedar contoh saja dari produk hukum yang digunakan Soeharto untuk menciptakan politik hukum mengendalikan demokrasi politik. Penelitian mengenai hal ini menggunakan teori rl Baggs dan Alfred Stepan tenlang Teori Korporatisme. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan uneumitikberatkan pada kajian perundang-undangan terutama yang berhubungan dengan demokrasi politik. Pengumpulan data dilakukan melalui Studi kepustakaan dan wawancara. Data yang digunakan adalah data sekunder untuk memperkuat data primer. Pendckamn penelitian adalah deskriptif analisis dengan analisis yang bersifat kualitatif Sedangkan fokus penelitian ini adalah politik hukum pemerintahan Soeharto tentang demokrasi politik pada tahun 1971-l997."
Depok: 2004
D1054
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Ramly
Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
321.8 HUT p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pangabean, Henry P.
Bandung: Alumni, 2008
347.035 PAN p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mira Mutiarani Kusumastuti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S8744
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Keberadaan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 adalah untuk mengatur prosedur acara dalam gugatan perwakilan kelompok. Gugatan ini merupakan produk hukum baru di Indonesia. Peraturan yang diberlakukan pada tanggal 26 April 2002, dibuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam melakukan prosedur gugatan kelompok, walaupun sebelumnya sudah ada 3 undang-undang, yaitu Undang-undang Pengelolaan lingkungan Hidup, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang Kehutanan yang memberikan peluang dilakukannya gugatan kelompok. Walaupun demikian masih ada permasalahan yang timbul berkaitan dengan dikeluarkannya peraturan ini, yaitu mengapa gugatan perwakilan kelompok yang diajukan oleh para pihak yang merasa dirugikan ada yang ditolak oleh pengadilan?; Apakah gugatan perwakilan kelompok ini sama dengan hak gugat LSM (Legal standing?; dan bisakah gugatan kelompok ini diajukan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN)?. Tiga permasalahan ini yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini, sedangkan metodologi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum secara normatif dengan menggunakan data sekunder atau bahan-bahan pustaka dan bentuknya adalah penelitian preskriptif yaitu penelitian yang ditujukan untuk mendapat saran-saran tentang apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah. Agar dalam prakteknya berjalan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam peraturannya, maka perlu adanya pemahaman yang mendalam dan sosialisasi bagi pihak-pihak yang terkait antara lain hakim, jaksa, pengacara dan pihak yang dirugikan terhadap keberadaan Peraturan Mahkamah Agung ini, sehingga tidak ada lagi gugatan yang ditolak oleh pengadilan karena tidak memenuhi syarat dalam mengajukan gugatan perwakilan kelompok. Dengan adanya Perma No. 1 tahun 2002 ini diharapkan dapat memberi harapan baru bagi masyarakat dalam menggapai keadilan.
"
Universitas Indonesia, 2004
S21226
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>