Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157752 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Martina W. Nasrun
"ABSTRAK
Pendahuluan: Hendaya kognitif non demensia (HKND) merupakan kondisi prademensia
yang perlu dideteksi pada kelompok 'brain at risk?, terutama penyandang DM tipe 2.
Demensia akan menjadi masalah epidemik karena tingginya laju pertumbuhan usia lanjut,
sementara saat ini belum ada terapi yang menyembuhkan (cure). Umumnya HKND akan
berkembang menjadi demensia dalam waktu 5 - 6 tahun. Saat ini belum ada pedoman
standar untuk diagnosis HKND dan belum diketahui faktor risiko yang berperan pada
HKND. Hal tersebut mendorong dilakukarmya penelitian untuk mendapatkan model
prediksi HKND dengan membandingkan kelompok terpajan DM dan non-DM dengan
pendekatan klinis, psikometrik dan MR Spektroskopi.
Subyek dan metode: Terhadap 199 subyek telitian (88 DM, 85 non-DM dan 26 TGT)
berusia 45 - 75 tahun dengan pendidikan minimal tamat SMP, dilakukan serangkaian
evaluasi klinis, psikometrik dan radiologik (desain potong lintang, analitik kornparatit).
Diagnosis HKND mengacu pada evaluasi DSM IV, CDR, TMIG, GDS, MMSE dan hasil
tes ROCF, TMT B, dig!! backward, CDT dan verbal fluency caregory. Data klinis
diperoleh dari rekam medis dan hasil pemeriksaan Jaboratorium. MR Spektroskopi
dilakukan di gims singulat posterior dengan MRI 1,5 Tesla, TE 35 ms.
Hasil: Model prediksi HKND yang terbentuk dari analisis multivariat terdiri dad 6
variabel yaitu DM Tipe 2, dislipidemia, gangguan deprsi, tes ROCF, TMT B dan digit
backward. Tes ROCF mempunyai peran terbesar sebagai prediktor I-IKND. Dalam telitian
ini dikembangkan model deteksi HKND dengan sistem skor untuk memudahkan aplikasi
klinis selain model dengan perhitungan probabilitas. Uji diagnoslik model skor
menunjukkan sensitivitas dan spesititas yang baik.
Bagi penyandang DM Tipe 2, probabilitas HKND ditentukan oleh hasil tes ROCF, TMT
B dan skor fungsi kemandirian individu (TMIG). Profil psikometrik yang menunjukkan
gangguan sirkuit subkortikal-frontal ini ditunjang oleh temuan lesi subkortikal (52 %) dan
atrofi sentral (33 %). Pada evaluasi MRS, subyek HKND mempunyai rerata rasio
NAA/Kr yang rendah, ml/Kr dan kolin/Kr yang tinggi.
Simpulan: Deteksi prademensia pada kelompok berisiko dapat dilakukan dalam praldik
dengan menghitung skor HKND dan persentase probabilitasnya bila diketahui kondisi
klinis dan hasil tes psikometrik spesifik. Kondisi depresi, DM Tipe 2 dan dislipidemia
merupakan faktor risiko yang dapat dihindari dan dikelola agar individu tidak mengalami
hendaya kognitif yang lebih berat (demensia).

Abstract
Introduction: Cognitively Impaired Not Demented (CIND) is a predementia state among
?brain at risk? population such as people with type-2 diabetes mellitus. Detection of CIND
is very important because dementia has been reach an epidemic problem due to the
increasing number of aging population, meanwhile until now there are still no cure for
dementia. Most CIND will develop to dementia within 5 - 6 years. The standard criteria
for CIND and its risk factors have not yet been identified. Therefore in this study we
develop a prediction model of CIND through clinical approach, psychometric and
MR- Spectroscopy in person with and without type-2 diabetes mellitus.
Subject and methods: The study was done in Jakarta. One hundred ninety nine subjects
(88 with DM, 85 non-DM and 26 IGT) age 45 - 75 years who at least graduated junior
high school were involved in the study (cross-sectional, comparative analytic). CIND
diagnosis was made clinically according to DSM IV, CDR, TMIG, GDS, MMSE and
specific psychometric tests (ROCF, TMT B, digit backward, CDT and verbal fluency
category). Clinical data were obtained from medical record and laboratory tests. MR-
Spectroscopy was made in posterior cingulate voxel gyms (MRI 1.5 Tesla, TE 35 ms).
Result: Multivariate analysis revealed CIND prediction model that consists of 6 variables
as follow: type-2 DM, dyslipidemia, depression, ROCF test, TMT B, and digit backward.
ROCF test was the Strongest predictor of CIND. In this study, besides the probability
model we also have developed CIND scoring system for clinical application, which
showed good sensitivity and specificity in statistical diagnostic test.
The probability of CIND among diabetics (VCIND) was determined by 2 specific
cognitive tests (ROCF and TMT B) and higher functional capacity TMIG questioner. The
psychometric profile of VCIND showed subcortical-frontal circuit dysfunction that might
be related to subcortical lesion (52 %) and central atrophy (33 %) findings in MRI. Mean
of NAA/Kr ratio was low among CIND, but ml/Kr and Cho/Kr were high.
Conclusion: Predementia detection among brain at risk population can be done in
practice by calculating the score of CIND model prediction if the clinical condition and
specific psychometric tests were reported. Type-2 DM, depression and dyslipidemia are
modifiable dementia risk factors which can be managed to avoid severe cognitive
impairment."
2007
D846
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivien Puspitasari
"Latar belakang. Kognitif merupakan proses sejumlah fungsi kompleks dari berbagai sirkuit di otak. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko gangguan kognitif melalui mekanisme vaskuler dan non-vaskuler. Berbagai studi menunjukkan hubungan antara diabetes dengan risiko terjadinya demensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran fungsi kognitif pada penyandang OM tipe 2 . Metode. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan populasi penyandang OM tipe 2 berusia - 50 tahun yang berobat di Puskesmas Tebet dan Pasar Minggu Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi. Semua subyek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis serta pencatatan kadar gula darah puasa dalam 2 tahun terakhir. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif untuk menilai atensi, bahasa, memori, praxis, fungsi eksekutif dan kecepatan psikomotor. Kriteria gangguan kognitif ringan tanpa demensia (CIND) adalah bila ditemukan satu atau lebih skor kognitif di bawah < 1.5 standard deviasi nilai normatif. Data dianalisis menggunakan tes chi- square, Fisher's exact dan Mann Whitney memakai program SPSS versi 11.5 hasil. Pada penelitian ini didapatkan % pasien DM tipe 2, rentang usia antara 50-75 tahun (rerata 59.5 ± 5.53 tahun), terdiri dari 55 (57.3%) wanita. Sebanyak 84 (87.5%) subyek memenuhi kriteria CIND. Rana kognitif yang paling terganggu adalah fungsi eksekutif (77 .1% ). Sebagai hasil tambahan, didapatkan hubungan bermakna antara gangguan fungsi kognitif dengan tingkat pendidikan (p=0.007; OR:6.69; IK.95% 1.48;34.34). Subyek berusia - 60 tahun memiliki kecenderungan terjadi gangguan atensi(p=0.023) dan immediate memory (p=0.039). Subyek dengan durasi DM - 5 tahun cenderung memiliki gangguan pada immediate memory (p=0.002). Subyek dengan kriteria pengendalian GOP buruk berhubungan bermakna dengan gangguan fungsi eksekutif (p=0.006). Subyek dengan riwayat hipertensi memiliki kecenderungan terjadi gangguan atensi (p=0.0035). Kesimpulan. Gangguan kognitif umum ditemukan pada penyandang OM tipe 2 terutama gangguan fungsi eksekutif. Pasien DM tipe 2 dengan tingkat pendidikan rendah mempunyai kecenderungan memiliki gangguan fungsi kognitif (CIND). Faktor usia lanjut, lama OM, pengendalian GOP dan hipertensi berhubungan dengan gangguan pada rana kognitif spesifik.

Background. Cognitive function is the process of several complex functions of various circuits in the brain. Type 2 diabetes is one of the risk factors which may cause cognitive function impairment through vascular and non-vascular mechanisms. Many studies show that there is a positive correlation between diabetes mellitus and the risk of dementia. The aim of this study was to describe the cognitive function of people with type 2 diabetes before any dementia manifestation occurred. Methods. This was an cross sectional study which included all type 2 diabetes patients who fulfilled the inclusion criteria. Medical history, physical and neurology examination were performed, fasting blood glucose levels of all the patients in the last 2 years were also collected. The patient's cognitive function was examined using neurophsycology test of CERAD, digit span, trail making B and finger tapping test Criteria of mild cognitive impairment without dementia (CIND) were confirmed if one or more cognitive scores were < 1.5 SD below normative value. The data were analyzed using chi-square, Fisher' exact and Mann Whitney test with SPSS for Windows version 11.5. Result. There were found 96 subjects with type 2 diabetes, 55 (57.3%) subjects were female, range of age was 50-75 years old (mean 59.5 years old SD 5.53). Eighty four (87.5%) subjects fulfilled the CIND criteria. The most affected cognitive domain was executive function (77.1%). In addition, a significant correlation was found between the cognitive impairment and the level of education (p=0.007;0R 6.69; Cl95% 1.48;34.34). Subjects with advanced aged or prior hypertension tended to have attention decicit; subjects with poor control of blood glucose had a significant correlation with executive dysfunction ; Subjects - 60 years-old and with diabetes more than 5 years tended to have immediate memory impairment (p<0.05). Conclusion. Cognitive impairment without dementia is commonly encountered in people with type 2 diabetes particularly in the domain of executive function. Type 2 diabetes patients with lower levels of education are more likely to have a cognitive impairment. There is a correlation between advanced age, duration of diabetes, control of blood glucose and hypertension with specific cognitive domain impairment."
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2010
T58265
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivien Puspitasari
"Latar belakang. Kognitif merupakan proses sejumlah fungsi kompleks dari berbagai sirkuit di otak. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan salah satu faldor risiko gangguan kognitif melalui mekanisme vaskuler dan non-vaskuler. Berbagai studi menunjukkan hubungan antara diabetes dengan risiko terjadinya demensia. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran fungsi kognitif pada penyandang OM tipe 2 . Metode. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan populasi penyandang OM tipe 2 berusia 2: 50 tahun yang berobat di Puskesmas Tebet dan Pasar Minggu Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi. Semua subyek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis serta pencatatan kadar gula darah puasa dalam 2 tahun terakhir. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif untuk menilai atensi, bahasa, memori, praxis, fungsi eksekutif dan kecepatan psikomotor. Kriteria gangguan kognitif ringan tanpa demensia (CIND) adalah bila ditemukan satu atau lebih skor kognitif di bawah < 1.5 standard deviasi nilai normatif. Data dianalisis menggunakan tes chi- square, Fisher's exact dan Mann Whitney memakai program SPSS versi 11 .5 Hasil. Pada penelitian ini didapatkan 96 pasien OM tipe 2, rentang usia antara 50-75 tahun (rerata 59.5 ± 5.53 tahun), terdiri dari 55 (57.3%) wan ita. Sebanyak 84 (87.5%) subyek memenuhi kriteria CIND. Rana kognitif yang paling terganggu adalah fungsi eksekutif (77.1%). Sebagai hasil tambahan, didapatkan hubungan bermakna antara gangguan fungsi kognitif dengan tingkat pendidikan (p=O.007; OR:6.69; IK.95% 1.48;34.34). Subyek berusia ~ 60 tahun memiliki kecenderungan terjadi gangguan atensi(p=O.023) dan immediate memory (p=0.039). Subyek dengan durasi OM ~ 5 tahun cenderung memiliki gangguan pada immediate memory (p=O.OO2). Subyek dengan kriteria pengendalian GOP buruk berhubungan bermakna dengan gangguan fungsi eksekutif (p=O.006). Subyek dengan riwayat hipertensi memiliki kecenderungan terjadi gangguan atensi (p=0.OO35). Kesimpulan. Gangguan kognitif umum ditemukan pada penyandang OM tipe 2 terutama gangguan fungsi eksekutif. Pasien OM tipe 2 dengan tingkat pendidikan rendah mempunyai kecenderungan memiliki gangguan fungsi kognitif (CINO). Faktor usia lanjut, lama OM, pengendalian GOP dan hipertensi berhubungan dengan gangguan pada rana kognitif spesifik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesian Journal of Dentistry; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 333-337
Hyperglycemia which occurs in type 2 diabetic patient increases prostaglandin E2 (PGE2), cytokine expression, and decreases neutrophil phagocytotic function. This will induce inflammation and periodontal destruction, thus decreasing periodontal status. The aim of the study was to analyze the pattern of interleukine-1β (IL-1β) level, phagocytotic function, and periodontal status. The study's design was cross-sectional on 45 controlled diabetes mellitus (CDM) and 45 uncontrolled diabetes mellitus (UCDM) subjects and 45 non diabetic subjects, 40-60 years old in Metabolic-Endocrinology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital. Statistical analysis was performed using a Stata 7.0 software computer. The result showed that the pattern alteration of increasing IL-1β level was in 2 hours-post prandial glucose level of >150mg/dL, decreasing phagocytotic function in glucose level of >170mg/dL, and decreasing periodontal status in glucose level of >240mg/dL. Therefore it is concluded that the pattern alteration of decreasing periodontal status, increasing IL-1β, and decreasing phagocytotic function showed on certain blood glucose level."
Fakultas Kedokteran Gigi, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hardjono Sastrohamidjojo
Yogyakarta : Liberty, 1994
543.5 HAR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Isna Fatya
"Latar Belakang: Terdapat dua jenis obesitas berdasarkan risiko kardiometaboliknya, yaitu metabolically healthy obese (MHO) dan metabolically unhealthy obese (MUO). Kelompok MUO lebih berisiko mengalami DM tipe 2 karena terdapat resistensi insulin yang dicetuskan endotoksemia metabolik akibat disbiosis usus, melalui peningkatan permeabilitas usus. Belum ada data mengenai perbedaan permeabilitas usus, yang diwakili oleh kadar intestinal fatty acid binding protein (I-FABP), pada penyandang obesitas dengan dan tanpa DM tipe 2 di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui perbedaan rerata kadar I-FABP pada penyandang obesitas dengan dan tanpa DM tipe 2 di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian Divisi Endokrin, Metabolik, Diabetes FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang berjudul “Profil Mikrobiota Usus, Mikrobiota Rongga Mulut, Inflamasi, dan Resistensi Insulin pada Berbagai Spektrum Disglikemia” periode Juli 2018-Agustus 2019. Sebanyak 63 subjek obesitas berdasarkan kriteria WHO untuk Asia (IMT ≥25 kg/m2) dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan kriteria ADA: dengan dan tanpa DM tipe 2. Kadar I-FABP diperiksa dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay. Analisis data dengan uji T tidak berpasangan untuk perbedaan rerata I-FABP. Uji regresi logistik dilakukan untuk faktor perancu.
Hasil: Mayoritas subjek ialah perempuan (82,53%), usia >45 tahun (63,50%), obesitas grade I (54,00%), obesitas sentral (93,70%). Rerata I-FABP pada kelompok dengan DM tipe 2 lebih tinggi, yaitu 2,82 (1,23) ng/mL vs. 1,78 (0,81) ng/mL (p<0,001; IK95% 0,51-1,55).
Simpulan: Rerata kadar I-FABP lebih tinggi pada kelompok obesitas dengan DM tipe 2 dan independen terhadap faktor usia.

Background: There are two types of obesity based on its cardiometabolic risk, which are metabolically healthy obese (MHO) and metabolically unhealthy obese (MUO). The MUO exerts higher risk to develop type 2 DM because of higher state of insulin resistance due to metabolic endotoxemia through gut dysbiosis and increased intestinal permeability. There is no study regarding the difference of intestinal permeability, using intestinal fatty acid binding protein (I-FABP), in obese people with and without type 2 DM in Indonesia.
Objective: To know the mean difference of I-FABP in obese people with and without T2DM in Indonesia.
Method: A cross-sectional study using secondary data from the study of Division of Endocrine, Metabolism and Diabetes FMUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta entitled "Profile of the Intestinal Microbiota, Oral Cavity Microbiota, Inflammation, and Insulin Resistance in Various Spectrums of Dysglycemia" for the period July 2018-August 2019. A total of 63 obese subjects based on WHO criteria for Asia (BMI ≥25 kg/m2) were divided into 2 groups based on ADA criteria for diabetes: with and without T2DM. The I-FABP levels were checked using enzyme-linked immunosorbent assay method. Data was analyzed using unpaired T test for mean difference of I-FABP while logistic regression test was performed for confounding factors.
Results: The majority of the subjects were women (82.53%), age >45 years (63.50%), obesity grade I (54.00%) and central obesity (93.70%). The I-FABP level of T2DM group was higher compared to without T2DM group, namely 2.82 (1.23) ng/mL vs. 1.78 (0.81) ng/mL (p<0.001; 95% CI 0.51-1.55).
Conclusion: The mean level of I-FABP was higher in the obese group with T2DM which is independent of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Laksono
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Kemala Hayati
"Complications of diabetes mellitus could influence salivary gland function in either output or composition of saliva. The objective of this study was to investigate the correlations between salivary total protein concentrations and whole unstimulated salivary flow rates in poorly controlled type 2 diabetes mellitus. Saliva samples were collected from 14 subject diabetic group and 16 subject control group, which were matched on age and sex. Saliva was analyzed for concentration of total protein and flow rates. Bradford method was used to determine salivary total protein concentration. Statistical analyzed was done by using paired sample t-test to compare salivary flow rates and salivary total protein concentration between diabetic and control group. Pearson?s test was used to correlate salivary total protein concentration with salivary flow rates in diabetic and control. There was no significant difference in whole unstimulated salivary flow rates or salivary total protein concentration between diabetic and the control group. There was no significant correlation between saliva total protein concentration and whole unstimulated saliva flow rates in both groups. It could be concluded that there was no significant correlation between salivary total protein concentrations and whole unstimulated salivary flow rates.

Diabetes melitus (DM) dapat menyebabkan komplikasi yang mempengaruhi fungsi kelenjar saliva baik dari segi volume maupun komposisi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara konsentrasi protein total saliva dengan laju alir saliva tanpa stimulasi pada penyandang DM tipe 2 terkontrol buruk. Sampel saliva dikumpulkan dari 14 subyek kelompok DM dan 16 subyek kelompok kontrol yang telah disesuaikan usia dan umurnya. Sampel saliva diukur laju alir dan konsentrasi protein totalnya. Konsentrasi protein total saliva diukur dengan metode Bradford. Analisis data penelitian dilakukan dengan uji t berpasangan untuk uji komparasi konsentrasi protein total saliva dan laju alir saliva antara kelompok DM dengan kontrol dan uji Pearson untuk uji korelasi konsentrasi protein total saliva dengan laju alir saliva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai laju alir dan konsentrasi protein total saliva tanpa stimulasi pada kedua kelompok subyek penelitian. Konsentrasi protein total saliva dengan laju alir memiliki korelasi yang tidak bermakna pada kelompok DM. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah tidak terdapat korelasi yang bermakna antara konsentrasi protein total saliva dengan laju alir saliva tanpa stimulasi pada penyandang diabetes melitus tipe 2 terkontrol buruk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Runi Oktayani
"Type 2 diabetes mellitus (DM) altered the quantity and quality of saliva by disturbing the salivary glands. The objective of this study was to examine the relation between the concentration of salivary total protein and viscosity in patient with poorly controlled type 2 DM. Whole unstimulated saliva samples were collected from 12 poorly controlled diabetic patients (diabetic group) and 16 non diabetics (control group). Diabetic group had fasting blood sugar ³ 126 mg/dL and HbA1c > 8%. Control group were matched on age and sex to diabetic group, and had fasting blood sugar < 100 mg/dL. Saliva was analyzed for concentration of total protein, flow rate and viscosity. The total protein concentration was measured by Bradford method. Statistical analyzed was done by using paired sample t-test to compare concentration of salivary total protein, flow rate and viscosity between diabetic and control group. Statistical analyzed was done by using Pearson test to correlate salivary flow rate and viscosity, and concentration of salivary total protein with viscosity. Neither concentration of salivary total protein nor viscosity differed significantly between the two groups. Significantly greater salivary flow rate was seen in diabetic group. However, no correlation was found between the salivary flow rate and viscosity or concentration of salivary total protein and viscosity in diabetic group. In conclusion, there was no significant correlation between concentration of salivary total protein and viscosity in poorly controlled diabetic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amrita Widyagarini
"Diabetes melitus tipe 2 biasanya mengakibatkan perubahan sekresi saliva akibat berbagai gangguan pada kelenjar saliva yang akan mempengaruhi kuantitas, komposisi, dan kualitas saliva. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi protein total saliva dengan pH saliva tanpa stimulasi pada penyandang diabetes melitus tipe 2 terkontrol buruk. Subyek penelitian terdiri dari kelompok diabetes melitus sebanyak 13 pasien dari Poliklinik Metabolik-Endokrin Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta dan 16 orang kontrol sebagai kelompok kontrol. Gula darah puasa (≥ 126 mg/dl) dan HbA1c (> 8%) diukur untuk menentukan kriteria diabetes melitus tipe 2 terkontrol buruk. Gula darah puasa (< 100 mg/dl) diukur untuk menentukan kriteria kelompok kontrol. Setelah pengumpulan saliva tanpa stimulasi, pH dan konsentrasi protein total saliva diukur. pH saliva diukur dengan pH meter Mettler Toledo. Konsentrasi protein total saliva diukur dengan metode Bradford. Analisis statistik digunakan uji t-berpasangan untuk membandingkan konsentrasi protein total saliva dan pH saliva tanpa stimulasi pada kelompok diabetes melitus dan kontrol. Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat korelasi antara konsentrasi total protein saliva dan pH saliva. Konsentrasi protein total saliva dan pH saliva antara kelompok diabetes melitus dan kontrol tidak berbeda bermakna berdasarkan uji t-berpasangan. Konsentrasi protein total saliva dan pH saliva tanpa stimulasi tidak mengalami korelasi bermakna pada kelompok diabetes melitus berdasarkan uji Pearson. Konsentrasi protein total saliva dan pH saliva dapat berubah pada kelompok diabetes melitus tapi tidak ada korelasi di antara konsentrasi total protein saliva dengan pH saliva.

Type 2 diabetes mellitus usually altered salivary secretion. The objective of this study was to examine if there is a correlation between total salivary protein concentration and whole unstimulated salivary pH in poorly controlled type 2 diabetes mellitus. A diabetic group comprised 13 patients from Metabollic-Endocrin Clinic of Department of Internal Medicine of Cipto Mangunkusumo National Hospital, with 16 healthy subjects as a control group. Fasting blood sugar (≥ 126 mg/dl) and HbA1c (> 8%) were measured to determine poorly controlled diabetics. Fasting blood sugar (< 100 mg/dl) was measured to determine healthy subjects. After collecting whole unstimulated saliva, pH and concentration of total protein were measured. Salivary pH was measured by pH meter Mettler Toledo. Total salivary protein concentration was analyzed by Bradford method. The data was statistically analized by using paired sample T-test to compare salivary pH and concentration of total protein between diabetic and control group. Pearson?s correlation coefficient was used to examine the relation between total salivary protein concentration and salivary pH. There were no statistical significant difference between diabetic and control group in salivary pH and concentration of salivary total protein. There were no statistical significant correlation of concentration of salivary total protein between whole unstimulated salivary pH in diabetic group. Total salivary protein concentration and salivary pH could be changed in diabetic group but no correlation between total salivary protein concentration and salivary pH."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>