Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151577 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Sudah digariskan dalam konstitusi, bahwa mahkamah konstitusi mempunyai satu kewajiban, yakni memutus pendapat DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban yang diberikan konstitusi ini untuk membuktikan kalau Indonesia adalah negara hukum. Meskipun Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, tetapi kewajiban ini diragukan independensinya oleh publik, karena faktor rekruitmen hakim-hakim Mahkamah Konstitusi. Kalaupun mereka ini berhasil menjatuhkan vonis bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah melanggar hukum, belum tentu putusannya mutlak mengikat kewenangan majelis permusyawaratan rakyat."
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wendi Darain
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25453
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arofah
"Perubahan struktur ketatanegaraan seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 sebagai salah satu akibat dari Reformasi 1998, sehingga muncul komposisi baru pembentuk institusi MPR yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih oleh rakyat hasil Pemilu 2004.
Beberapa perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 memberikan implikasi terhadap komposisi dan relasi antarlembaga negara. Komposisi dalam lembaga MPR Sebelum Perubahan terdiri dari anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum dan utusan daerah serta utusan golongan, berubah menjadi anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan komposisi tersebut diikuti dengan beberapa perubahan peran, kedudukan, dan kewenangan lembaga MPR.
Berubahnya tugas dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945 sangat mempengaruhi kedudukan MPR dalam struktur ketatanegaraan. Perubahan dari pemegang kedaulatan negara dan sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
Implikasi lain dari perubahan yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 yang berkenaan dengan lembaga MPR adalah relasi MPR dengan lembaga-lembaga tinggi negara lain. Relasi ini berkaitan erat denagn kedudukan, fungsi, peran, dan kewenangan lembaga MPR.
Dengan mengacu pada Pasal 3 UUD 1945 Setelah Perubahan, kewenangan MPR adalah :
1. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD.
2. MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dari ketiga kewenangan MPR tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara mengingat pada Pasal 6A (1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Sehingga Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR lagi dan mempunyai tingkat legitimasi yang sama dengan demikian, jelas bahwa kedudukan MPR berubah dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara.
Perubahan tersebut telah mengubah Sistem Hukum Tata Negara Indonesia dalam kedudukan, tugas, dan wewenang .Lembaga Negara. Sangat penting untuk diselidiki bagaimanakah nantinya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia. Dalam penelitian ini dibahas mengenai kewenangan lembaga MPR dalam kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pembahasan dikhususkan setelah Perubahan Ketiga UUD 1945 dengan mencermati Pasal 3 ayat (3) serta kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19888
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Dzaki Wiyata
"Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga cabang, yakni legislatif, eksekutif, dan kekuasaan kehakiman. Setelah amendemen UUD NRI 1945, Indonesia memiliki lembaga kehakiman, yakni Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentukan MK ditujukan untuk menafsir dan mengawal konstitusi melalui putusannya. Salah satu kewenangan dari MK adalah memberikan putusan terkait dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden atau proses impeachment Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam proses impeachment Presiden ada beberapa lembaga yang berperan, yakni lembaga politik DPR dan MPR serta lembaga peradilan yaitu MK. Adapun yang menjadi masalah proses yang dilaksanakan DPR ini adalah bersifat politis walaupun atas dasar dugaan pelanggaran hukum. Berbeda dengan lembaga politik, tentu lembaga peradilan mengambil keputusan berdasarkan fakta material. Sehingga, timbul persoalan jika MK memutuskan Presiden bersalah dan MPR kemudian membatalkan putusan tersebut dengan tidak memberhentikan Presiden. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dalam penelitian ini dengan menganalisis prinsip hukum dan sumber hukum tertulis terkait dengan impeachment di Indonesia dan membandingkannya dengan mekanisme impeachment di negara lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peranan MK melalui putusannya memiliki peran yang strategis sebab putusan tersebut final dan mengikat bagi DPR sebagai pihak yang melakukan permohonan ke MK. Selain itu, putusan MK disini bukan sebagai vonis tetapi lebih kepada suatu pertimbangan hukum bagi DPR dan MPR. Maka dari itu, perlu untuk melakukan amendemen UUD 1945 dengan menjelaskan secara tegas mengenai sifat final dan mengikat putusan MK dalam proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden.

Montesquieu divided government power into three branches, namely legislative, executive, and judicial powers. After the amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Indonesia has a judicial institution, namely the Constitutional Court (MK). The formation of the Constitutional Court is intended to interpret and guard the constitution through its decisions. One of the powers of the Constitutional Court is to give decisions related to the dismissal of the President and/or Vice President or the impeachment process of Article 24C paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. MK. The problem with the process carried out by the DPR is that it is political in nature even though it is based on alleged violations of the law. In contrast to political institutions, of course the judiciary makes decisions based on material facts. Thus, a problem arises if the MK decides the President is guilty and the MPR then cancels the decision by not dismissing the President. The author uses the juridical-normative method in this study by analyzing legal principles and written legal sources related to impeachment in Indonesia and comparing them with impeachment mechanisms in other countries. The results of the study show that the role of the MK through its decisions has a strategic role because the decisions are final and binding for the DPR as the party making the application to the MK. In addition, the MK decision here is not a verdict but rather a legal consideration for the DPR and MPR. Therefore, it is necessary to amend the 1945 Constitution by clearly explaining the final and binding nature of the Constitutional Court's decision in the process of dismissing the President or Vice President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Hidayat
"Penelitian ini membahas mengenai analisa kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tujuannya adalah untuk mengetahui yang didasarkan pada suatu analisa mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, terutama yang terkait dengan kewenangan MK dan MPR. Metode penelitian menggunakan metode penelitian kepustakaan, deskriptif, komparatif, dan dengan metode pengolahan data secara kualitatif. Diadopsinya MK dan perubahan dalam kedudukan dan kewenangan MPR dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada akhirnya merubah konsep pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesudah perubahan, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hanya semata merupakan proses politik, yaitu proses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR. Akan tetapi, juga harus melalui proses hukum di MK. Kewenangan MK dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan kewenangan MPR adalah memutus diberhentikan atau tidaknya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas usul pemberhentian oleh DPR dimana sebelumnya MK telah memutus untuk membenarkan pendapat DPR.

This research examines about analysis of the Constitutional Court’s and the National Assembly’s authorities in impeachment of President and/or Vice President. The research intends to know, based on analysis, impeachment President and/or Vice President, especially about the Constitutional Court’s and National Assembly’s authorities. The methods of research used are of literature research, descriptive, comparative, and qualitative data processing. The Constitutional Court existence and change of the National Assembly’s position and authority in the amandement of the Constitution of The Republic of Indonesia 1945 finally become different concept of impeachment of Presiden and/or Vice President. Based on the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 after amandement, impeachment of Presiden and/of Vice President is not only a political process, that is mechanism in the House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat) and the National Assembly. But also a proceeding process in the Constitutional Court. The Constitutional Court’s authority in impeachment of President and/or Vice President decides motion of the House of Representative that President and/or Vice President have done violation of treason, corruption, bribery, other high crime, or misdemeanor; and/or have not qualification any more as a Presiden and/or Vice President. While the National Assembly’s authority decides remove from office or not President and/or Vice President for motion of the House of Representative, after the Constitutional Court decided for verify motion of the House of Representative."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Agustin
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, Garba Budaya, Media Lintas Inti Nusantara, 2001
741.5 AUG k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Harman Setiawan
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S25299
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwik Budi Wasito
"Tesis ini membahas tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan impeachment yang di dalam mekanismenya melibatkan tiga lembaga negara, antara lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketiga lembaga negara ini memiliki wewenang atributif yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk menjalankan proses impeachment tersebut. Sebagai wujud dari pelaksanaan sistem checks and balances, dalam melaksanakan proses impeachment, ketiga lembaga negara ini memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum dan peraturan perundang-undangan sebab Indonesia ialah negara hukum. Pengertian hukum tidak hanya terbatas pada adanya peraturan perundang-undangan saja, namun juga dipatuhinya putusan hakim yang bersifat memaksa dan mengikat. Dalam kasus impeachment, putusan MK yang bersifat final dan mengikat, pada akhirnya harus dipatuhi oleh DPR dan MPR dalam memutus pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya.

The thesis is about the discharging of the President and/or the Vice President in the Indonesian constitutional system as known as impeachment, which is the mechanism are involving three state organs, among others are, House of Representatives (DPR), Constitutional Court (MK), and People Representative Assembly (MPR). These three state organs have attributive authority, which is stated in the Constitution of the State of the Republic of Indonesia year 1945 (UUD 1945), to role the impeachment's process. As a concrete implementation of checks and balances system, in order to role impeachment process, these three state organs have obligation to obey the law and the legislations because Indonesia is a state law. The definition of law is not restricted only into rules and legislation, but also by the obedient of the judge's verdict which is force and bound. In impeachment cases, Constitutional Court's verdict is final and bound, and had to be obeyed by DPR dan MPR when they resolving the discharging of the President and/or the Vice President from their function."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25265
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Uli Nathasya
"Kedaulatan rakyat, demokrasi, dan pemilihan umum (pemilu) merupakan hal yang terkait satu dengan yang lain. Pemilu menjadi cara yang dipilih untuk menciptakan wakil-wakil rakyat yang dapat merepresentasikan keinginan dan kebutuhan rakyat. Di Indonesia, pemilu dilangsungkan untuk memilih anggota legislatif dan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Calon Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia harus memenuhi persyaratan untuk terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Persyaratan tersebut adalah syarat suara mayoritas mutlak dan syarat persebaran suara. Kedua syarat tersebut diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, syarat persebaran suara tidak diberlakukan. Hal ini karena hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Padahal, kehadiran syarat persebaran suara adalah untuk mengakomodasi keberagaman antar daerah di Indonesia. Keberagaman atau perbedaan tersebut terutama dalam hal jumlah penduduk. Hadirnya syarat persebaran suara juga menjadikan daerah sebagai objek sehingga kelak daerah dapat memberikan legitimasinya kepada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Ketidakberlakuan syarat persebaran suara akan membawa berbagai dampak baik dari sisi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maupun dari sisi daerah. Dampak yang mungkin timbul diantaranya adalah perolehan suara yang terpusat di daerah-daerah tertentu, muncul konsep minority of directors vs. majority of directed, kampanye yang berfokus pada daerah tertentu, dan pengesampingan makna demokrasi.

People’s sovereignty, democracy, and election are connected to each other. Election happens to be the method that is chosen to generate people’s representatives who can represent people’s wishes and needs. In Indonesia, election is held to choose the member of legislature and President and Vice President. The presidential candidates must fulfill the requirements to be elected as President and Vice President of Indonesia. The requirements are the majority requirements votes absolute and distribution requirement votes. Both of these requirements are regulated in Article 6A of the Act of 1945. On the presidential election in 2014, the distribution requirement was not implemented, because there were two pairs of President and Vice President Candidates. As a matter of fact, the existence of the distribution requirement votes is beneficial to accommodate the diversity among regions in Indonesia, particularly in terms of population. The existence of distribution requirement votes also makes the region becomes the object. As a result, the region can provide the legitimacy to the Presidential Candidates. Non-enforcement of distribution requirement votes will impact the Presidential candidates and the region itself. The possible impacts that will come out because of the non-enforcement of absolute distribution requirement are the ballot will be focused in certain regions, the concept of minority if directors vs. majority of directed will be appear, the campaign will be focused on certain regions, and the meaning of democracy will be neglected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58612
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>