Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3429 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arnaz Fahdika
"Latar Belakang: Post Aneshesia Shivering (PAS) adalah gerakan involunter satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan pascaanestesia. Kekerapannya mencapai 60% pada pasien yang mendapatkan anestesia umum. PAS dapat menyebabkan hipoksia arterial, meningkatnya curah jantung, risiko terjadinya infark miokard, dan mengganggu interpretasi alat-alat pemantauan tanda vital. Tatalaksana kejadian PAS diantaranya dengan menggunakan metode farmakologi diantaranya dengan pemberian ondansetron dan meperidin. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan pencegahan PAS dengan pemberian ondansetron 4 mg dengan meperidin 0.35 mg/kgBB intravena.
Metode:Uji klinis, acak, tersamar ganda pada 92 pasien yang menjalani operasi elektif sederhana di kamar operasi RSCM Kirana. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ondansetron dan kelompok meperidin. Pasien mendapatkan ondansetron atau meperidin sesaat sebelum anestesia, lalu seluruh pasien mendapatkan anestesia yang distandarisasi (premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan fentanyl 2 mcg/kgBB, induksi dengan propofol 12.5 mg/kgbb, intubasi atau insersi LMA difasilitasi rokuronium 0.6 mg/kgBB, pemeliharaan dengan sevofluran 2 vol% dengan compressed air:O2 = 2:1). Kekerapan dan derajat menggigil dicatat tiap lima menit selama tiga puluh menit pascaanestesia. Efek samping pascapemberian juga dicatat.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05) dalam kekerapan PAS pada kedua kelompok. Kekerapan kelompok ondansetron sebesar 15.2%, sedangkan kekerapan kelompok meperidin sebesar 6.5%.
Kesimpulan: Ondansetron 4 mg intravena sama efektifnya dengan meperidin 0.35 mg/kgBB dalam mencegah kejadian PAS.

Background: Post Anesthesia Shivering (PAS) is the involuntary movements of one or more skeletal muscles that usually occur in the early time of postanesthesia recovery. The incidence reached 60% in patients receiving general anesthesia. PAS can cause arterial hypoxia, cardiac output increased, the risk of myocardial infarction, and interfere with interpretation tools vital sign monitoring. Management of the incidence of PAS such as by using pharmacological methods such as by administration of ondansetron and meperidine. This study aimed to compare the effectiveness of prevention PAS by administering ondansetron 4 mg with meperidine 0.35 mg / kg intravenously.
Methods: Clinical trials, randomized, double-blind on 92 patients undergoing elective surgery in the RSCM-Kirana operating room. Patients were divided into two groups: group ondansetron and meperidine. Patients received ondansetron or meperidine shortly before anesthesia and all patients receive standardized anesthesia (premedication with midazolam 0.05 mg / kg and fentanyl 2 mcg / kg, induced with propofol 1-2.5 mg / kg, intubation or LMA insertion is facilitated with rocuronium or 0.6 mg / kg, maintenance with sevoflurane 2 vol% to compressed air: O2 = 2: 1). The frequency and degree of shivering recorded every five minutes for thirty minutes post-anesthesia. The side effects were also recorded.
Result: There was no statistically significant difference (p> 0.05) in the frequency of PAS in both groups. Ondansetron group frequency of 15.2%, while the frequency of meperidine group was 6.5%.
Conclusion: Ondansetron 4 mg intravenously as effective as meperidine 0.35 mg/kgBW in preventing the incidence of PAS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ade Meuratana
"Menggigil selama anestesi spinal adalah salah satu komplikasi yang paling sering dihubungkan dengan penurunan suhu inti tubuh. Insiden menggigil paska anestesi cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan pada pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Belum ada terapi gold standar untuk menggigil. Elektroakupunktur EA diketahui dapat mencegah menggigil dengan mempertahankan suhu inti tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada pencegahan menggigil pasien bedah urologi dengan anestesi spinal serta mengetahui pengaruh elektroakupunktur pada rerata penurunan suhu inti pasien bedah urologi dengan anestesi spinal. Uji klinis acak tersamar tunggal dengan pembanding dilakukan terhadap 36 subjek yang akan menjalani spinal anestesi pada pasien bedah urologi dialokasikan secara acak kedalam kelompok elektroakupunktur n=18 dilakukan penusukan titik LI4, PC6, ST36, dan SP6 bilateral sampai terjadi sensasi penjaruman, diberikan elektrostimulator frekuensi 2 Hz, gelombang continues pada kelompok eletroakupunktur sham n=18 dilakukan penusukan pada plester tanpa menembus kulit kemudian dihubungkan dengan elektrostimulator yang tidak dinyalakan. Elektroakupunktur dilakukan 1 kali selama 30 menit sebelum dilakukan anestesi spinal. Penilaian objektif menggigil menggunakan skala Crossley dan Mahajan serta penilaian suhu inti tubuh melalui suhu membran timpani menggunakan termometer infra red pada menit ke 5, 15, 30 dan 60. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna angka kejadian menggigil pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,22 namun secara klinis kejadian menggigil hanya ditemukan pada kelompok elektroakupunktur sham pada menit ke-60 16,7 dengan derajat menggigil 3 dan 4. Terdapat perbedaan bermakna suhu inti tubuh sebelum dan setelah dilakukan EA pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham p=0,03 , menit ke-15 p=0,03 dan menit ke-60 p=0,03 setelah anestesi spinal. Terdapat perbedaan tidak bermakna suhu inti tubuh pada kelompok elektroakupunktur dibandingkan kelompok elektroakupunktur sham menit ke-5 p=0,11 dan menit ke-30 p=0,12. Kesimpulan penelitian ini penurunan suhu inti tubuh pada pasien dengan anestesi spinal dapat dicegah dengan menggunakan elektroakupunktur, namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada kejadian menggigil.

Shivering during spinal anesthesia is one of complications which are mostly associated with the decrease of body core temperature. The shivering incidents post anesthesia is quite high and provides an adverse physiological impact to patients that need to be prevented and addressed as soon as possible. There are no gold standards for shivering. Electroacupuncture EA is known to prevent shivering by maintaining the body core temperature. The aim of this research is to learn the impact of electroacupuncture to prevent shivering on urology surgery patients with spinal anesthesia as well as to discover the impact of electro acupuncture on the average decrease of urology surgery patient rsquo;s body core temperature with spinal anesthesia. Single blinded randomized clinical trial with comparison was performed to 36 subjects that would undergo spinal anesthesia to urology surgery patients allocated randomly into electroacupuncture group n=18 by performing needling at points LI4, PC6, ST36, and SP6 bilateral until the sensation of needling occurred, electrostimulator of 2 Hz frequency was given, continues wave given while in sham n=18 electroacupuncture group was performed needling on plaster without penetrating the skin then connected to electrostimulator that was not turn on. Electroacupuncture was performed once for 30 minutes before spinal anesthesia was conducted. An objective assessment of shivering was performed by using Crossley and Mahajan scale and the assessment of body core temperature through temperature tympanic membrane was conducted by using infra red thermometer in the 5, 15, 30 and 60 minutes. The result of the research suggested that there are meaningless differences of number of shivering incidents in electro acupuncture group compared to sham p=0,22 electro acupuncture group however clinically shivering incident was only found at sham electro acupuncture group in the 60 minutes 16,7 with the degree of shivering was 3 and 4. There are meaningful differences of body core temperature before and after EA was performed to electroacupuncture group compared to sham p=0,03 electroacupuncture group in the 15 p=0,03 minutes and 60 p=0,03 minutes after spinal anesthesia. There are meaningless differences of body core temperature in electroacupuncture group compared to sham electroacupuncture group in 5 p=0,11 minutes and 30 p=0,12 minutes. The conclusion of this research is the decrease of body core temperature of patients with spinal anesthesia can be prevented by using electroacupuncture; however there are no meaningful differences on shivering incidents. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Fardian
"ABSTRAK
Menggigil merupakan komplikasi paska anestesi spinal dengan insidens yang cukup tinggi dan memberikan dampak perubahan fisiologis yang merugikan bagi pasien sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi secepatnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian premedikasi obat golongan antagonis 5-HT3 Granisetron 10 μg/kgBB intravena terhadap kejadian menggigil paska anestesi spinal. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda yang bersifat eksperimental pada 32 pasien, dengan status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi dengan anestesi spinal yang terbagi dua kelompok yaitu yang mendapat perlakuan (kelompok G) dan kelompok kontrol (kelompok K). Hasil penelitian didapatkan perbedaan angka kejadian menggigil yang bermakna pada kedua kelompok serta terdapat perbedaan signifikan derajat menggigil maksimal pada kedua kelompok. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian premedikasi Granisetron dengan dosis 10 μg/kgBB intravena sebelum dilakukan anestesi spinal terbukti bermakna menurunkan angka kejadian menggigil dan mengurangi derajat atau intensitas menggigil paska anestesi spinal.

ABSTRAK
Shivering is a complication of spinal anesthesia with high incidence which has adverse physiological changes to patient. It is important to prevent and treat immediately. This study aims to determine the premedication effect of intravenous Granisetron 10 μg/kgBW on the incidence of post spinal anesthesia shivering. This study was designed as double blind experimental study to 32 patients with ASA 1-2, who underwent surgery under spinal anesthesia and divided into two groups The patients were randomized and divided into two groups : Group G who received premedication before spinal puncture, Group K as a control. The result showed that incidence of shivering between two groups were statistically different and there were significant difference in maximal intensity of shivering between two groups. The conclusion of this study is intravenous Granisetron 10 μg/kgBW as premedication before spinal anesthesia has decreased the incidence and intensity of post anesthesia shivering"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Nurkacan
"Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ajuvan fentanyl atau sufentanil intratekal mencegah menggigil pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal.
Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal. Pasien dibagi dalam dua kelompok. Kelompok I, diberikan ajuvan fentanyl 25 mcg pada 10 mg bupivacain hiperbarik 0,5%. Kelompok II, diberikan ajuvan sufentanil 2,5 mcg pada 10 mg bupivacain hiperbarik 0,5%. Dilakukan pengamatan derajat menggigil, pemgukuran suhu membran timpani, parameter hemodinamik setiap interval 5 menit sampai 120 menit.
Hasil: Penelitian dilakukan terhadap 188 pasien. Terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05) dalam insiden menggigil pada kedua kelompok. Kelompok I terdapat insiden menggigil 26,6%. Kelompok II terdapat insiden menggigil 12,8%.
Kesimpulan: Penambahan sufentanil 2,5 mcg intratekal pada anestesia spinal menggunakan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg lebih efektif menurunkan insiden menggigil dibandingkan dengan penambahan fentanyl 25 mcg intratekal pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal.

Background: The aim of this study is to know the effectiveness fentanyl 25 mcg or sufentanil 2,5 mcg intrathecal to prevent incidence of shivering in pregnant women who undergoing cesarean section with spinal anesthesia.
Methods: In a randomized clinical trial, pregnant women undergoing cesarean section under spinal anesthesia were enrolled. Patients were randomly assigned to two groups. In group I, 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacaine combined with fentanyl 25 mcg were administered. In group II, 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacaine combined with sufentanil 2,5 mcg were administered. The degree of shivering were observed, tympanic temperature, hemodynamic parameter were recorded at 5 minutes interval until 120 minutes.
Results: The sample consisted of 188 patients. There was significant difference (p<0,05) incidence of shivering between two groups. In group I, the incidence of shivering was 26,6% and in groups II was 12,8%.
Conclusions: The addition of 2,5 mcg sufentanil in 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacain intratechally was more effective reduce the incidence of shivering than 25 mcg fentanyl in 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacain in pregnant women who undergoing cesarean section with spinal anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Drain, Cecil B.
Philadelphia: W.B. Saunders , 1994
616.133 DRA p (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Martira Syafii
"Latar belakang : MenggigiI pasca anestesia merupakan suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, yang biasa terjadi dengan insidens mencapai 60% pasca anestesia umum. Meperidin merupakan obat yang paling sering direkomendasikan untuk menghentikan menggigil pasca anestesia. Tramadol memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan meperidin untuk menghentikan menggigil pasca anestesia umum. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan keefektifan tramadol 1 mg/kgBB dengan meperidin 0,4 mg/kgBB untuk menghentikan menggigil pasca anestesia umum.
Metode : Penelitian eksperimental acak tesamar ganda ini menggunakan 118 pasien, Iaki-laki dan perempuan, yang menjalani pembedahan elektif dalam anestesia umum dan mengalami menggigil pada masa pemulihan. Pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok tramadol dan kelompok meperidin, masing-masing terdiri dari 59 pasien. Kelompok tramadol mendapatkan 1 mg/kgBB dan kelompok meperidin 0,4 mg/kgBB. Dilakukan pencatatan proporsi pasien yang tidak menggigil pasca pemberian obat mulai menit pertama hingga menit ketiga puluh pengamatan. Kejadian mual, muntah, sakit kepala, reaksi alergi tingkat sedasi, fungsi hemodinamik dan respirasi diobservasi dan dicatat selama 30 menit pengamatan pasca pemberian obat.
Hasil : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara proporsi pasien yang tidak menggigil pada menit kelima pasca pemberian obat; 83,1% pada kelompok tramadol dan 86,4% pada kelompok meperidin (p 0,386 IK 95% -0,163; 0,097). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kejadian mual (p 1,00 IK 95% -0,069; 0,103), muntah (p 0,48 IK 95% - 0,158; 0,022) sakit kepala (p 1,00 IK 95% -0,047; 0,046). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tingkat sedasi, laju nafas dan saturasi oksigen. Terdapat perbedaan bermakna pada tekanan diastolik dan laju nadi pada menit pertama pengamatan antara kedua kelompok.
Kesimpulan : Trainadol 1 mg/kgbb and meperidine 0,4 mg/kgbb efektif untuk menghentikan menggigil pasta anestesia umum.

Background : Post anesthetic shivering is an unpleasant experience which usually happens and has an incidence until 60% post general anesthesia. Meperidine is often recommended for the treatment of post anesthetic shivering. Tramadol has a similar mechanism of action with meperidine for treating post anesthetic shivering. The purpose of this study is to compare the effectiveness between tramadol 1 mg/kg body weight and meperidine 0,4 mg/kgbw for treating post general anesthetic shivering.
Methods : This double blind randomized experimental study involved 118 patients, female and male, undergoing elective operation under general anesthesia and complaining of shivering during recovery time. The patients were randomly divided into two groups : tramadol group and meperidine group, each groups contains 59 patients. The tramadol group received lmglkgbw and meperidine group received 0,4 mg/kgbw. Proportion of patient, which the shivering already arrested after injection of the drug, recorded in the recovery room from first minute until 30 minutes of observation. Incidence of nausea, vomiting, headache, allergic reaction, level of sedation, hemodynamics and respiratory function were observed and recorded also until 30 minutes after injection of the drug.
Results : No statistically difference between the proportion of patient which shivering already arrested in fifth minutes observation after injection of the drugs; 83,1% in tramadol group and 86,4% in meperidine group (p 0,386 CI 95% - 0,163; 0,097). No statistically difference in incidence of nausea (p 1,00 CI 95% -0,069 ; 0,103), vomiting (p 0,48 CI 95% -0,158; 0,022) , headache (p 1,00 CI 95% -0,04T; 0,046). There were also no statistically difference in the level of sedation, respiratory rate and oxygen saturation. We found that there were statistically difference in diastolic pressure and heart rate in first minute of observation.
Conclusion : Tramadol 1 mg/kgbw and meperidine 0,4 mg/kgbw effective in treating post general anesthesia shivering.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"OBJECTIVE : To determine the efficacy of pethidine or clonidine in preventing postanesthetic shivering if administered at the end of surgery. STUDY DESIGN : Randomized controlled clinical trial. SETTING : Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital a national refferal center hospital in Jakarta. PATIENTS : One hundred and two consecutive patients (ASA I & II) undergoing elective simple and superficial procedures. INTERVENTIONS : All patients received induction of 5 mg/kg thiopental,
1 - 2 ug/kg fentanyl and 0,1 mg/kg pancuronium, lung were ventilated with enflurane vaporized in 65% N20 and 33% 02. Patients randomly allocated to one of two group to receive either clonidine (2 ug/kg) or pethidine (0,315 ug/kg) at the time hen enflurane was stop. Main Outcome Measure : heart rate, arterial blood pressure and rectal temperature and the incidence of the
postanesthetic shivering were measure every five minutes. RESULTS : The incidence of the postanesthetic shivering in the clonidine group (25 %) was less than in the pethidine group (58%) Heart rate and blood pressure value after the administration of clonidine were lower than after pethidine. CONCLUSION : Postoperative administration of clonidine (2 ug/kg) is suitable for prevention of postanesthetic shivering."
Anestesiologi Indonesia, Vol. 1 (No.3) Agt. 2000: 151-159, 2000
ANIN-1-3-2000-151
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arundhati Naysa Ekhaputri
"Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina dan seringkali ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit Plasmodium. Berbagai pendekatan matematika dengan variasi kombinasi intervensi telah digunakan untuk menganalisis penyebaran malaria. Dalam penelitian ini, dikonstruksi model transmisi penyebaran malaria dengan mempertimbangkan empat intervensi, yaitu vaksinasi, penggunaan kelambu berinsektisida, pendeteksian dini, dan fumigasi. Dari model yang telah dikonstruksi, dihitung bilangan reproduksi kontrol dan mencari eksistensi dan analisis kestabilan dari titik-titik keseimbangan bebas penyakit. Kemudian, dilakukan pembentukan model masalah kontrol optimal bertujuan untuk meminimumkan jumlah manusia terinfeksi dan nyamuk dengan biaya intervensi yang paling minimum. Model ini dibangun menggunakan prinsip maksimum Pontryagin dengan mempertimbangkan semua intervensi bergantung pada waktu. Simulasi numerik dilakukan dengan empat skenario kombinasi intervensi, yaitu kombinasi satu intervensi, dua intervensi, tiga intervensi, dan empat intervensi. Analisis keefektifan biaya dihitung dengan tiga indikator, yaitu infection averted ratio (IAR), average cost-effectiveness ratio (ACER), dan the incremental cost-effectiveness ratio (ICER). Dari hasil simulasi numerik, dapat disimpulkan bahwa intervensi yang paling efektif dalam hal biaya adalah intervensi pendeteksian dini. Namun, intervensi yang paling efektif dalam hal jumlah individu terinfeksi yang terhindarkan adalah kombinasi intervensi vaksinasi, penggunaan kelambu berinsektisida, dan fumigasi.

Malaria is a mosquito-borne infectious disease that is often found in tropical and subtropical regions. Malaria is transmitted by female Anopheles mosquitoes that are infected with the Plasmodium parasite. Various mathematical approaches with variations in intervention combinations have been used to analyze the spread of malaria. In this study, a malaria transmission model was constructed considering four interventions, namely vaccination, insecticide-treated bed nets, early detection, and fumigation. The constructed model was used to calculate the basic reproduction control and to identify the existence and stability of disease-free equilibrium points. Then, an optimal control problem model was developed with the objective of minimizing the number of infected humans and mosquitoes with the minimum intervention cost. The model was built using the Pontryagin’s maximum principle, considering all interventions over time. Numerical simulations were performed with four intervention combination scenarios, namely one-intervention, two intervention, three-intervention, and four-intervention combinations. Cost-effectiveness analysis was calculated using three indicators, namely infection averted ratio (IAR), average cost-effectiveness ratio (ACER), and incremental cost-effectiveness ratio (ICER). The numerical simulation results showed that, if considering interventions from a cost perspective, the use of early detection intervention is the optimal intervention because it has the minimum cost (cost-saving). However, in terms of infection averted, the combined use of vaccination, the use of insecticide-treated bed nets, and fumigation is the most optimal strategy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rahmawati
"Latar belakang : Penelitian ini membandingkan efek ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dengan ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg untuk bedah sesar dengan analgesia spinal.
Metode : Dilakukan secara acak tersamar Banda. Hipotesis yang dibuat adalah Ropivakain hiperbarik 12 mg dengan morfin 0,15 mg intratekal, mempunyai mula kerja hambatan sensorik dan motorik yang sama dengan ropivakain hiperbarik 15 mg ditambah morfin 0,15 mg intratekal, namun dengan masa kerja hambatan sensorik dan motorik lebih singkat, dan dapat digunakan untuk anestesia spinal pada bedah sesar. Sebanyak 66 wanita hamil yang akan menjalani beddah sesar, ASA I -- II diberikan ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg (n=33) atau ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg (n-33) dengan teknik blok subaraknoid. Perubahan blok sensorik diukur dengan tes pinprick, dan perubahan hambatan motorik diukur dengan modifikasi skala bomage, VAS diukur 3 kali.
Basil : Tidak ada perbedaan bermakna pada data demografi kedua kelompok. Kelompok ropivakain 15 mg mempunyai penyebaran hambatan sensorik maksimal lebih tinggi (median [min-max]) : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 -- 6), tidak ada perbedaan bermakna pada mula kerja hambatan sensorik (median [min-max]) : 3,2 mnt (2 - 5 mnt) vs 3,0 (1- 5 mnt), tidak ada perbedaan bermakna pada mula keija hambatan motorik (median [min-max]) : 3,3 mnt (1-10 mnt) vs 3 mnt (1-7 mnt), masa kerja hambatan sensorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median [min-max]) : 60 mnt (45 -120mnt) vs 52 mnt (30 - 103 mnt), masa kerja hambatan motorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median[min-max]) : 60 mnt (35-118 mnt) vs 57 mnt (32 -102 mnt), dan basil yang sama pada pengukuran VAS sebanyak 3 kali.
Simpulan : Ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dan ropivakain hiperbarik 12 mg + mofin 0,15 mg dapat digunakan untuk analgesia spinal untuk operasi bedah sesar.

Background This study was designed to evaluate the effects of intrathecal hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morln 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg in women undergoing cesarean section.
Methods : This was a prospective, randomized, doubleblinded study. We hypothesized that hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphin 0,15 mg has the same onset of sensory and motoric block, with longer duration of sensory and motoric block with hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg. Sixtysix parturients, physical status ASA I - II were given either hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg (n=33) or hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg (n=33), for cesarean section with spinal analgesia. Changing of sensory block was assessed by pinprick test and motoric block was assessed by bromage score (modification). Visual analogue score was measured three times.
Results : There were no significant differences in demographic variable between groups. Higher cephalic spread (median [range]) maximum block height to pinprick hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 - 6), no significant difference of sensory block onset (median [range]) : 3,2 min (2 - 5 minutes) vs 3,0 (1 - 5 min), no significant difference of motoric block onset (median [range]) : 3,3 min (1-10 min) vs 3 min ( 1-7 min), longer sensoric block duration hyperbaric ropivacaine 15 mg compare to hyperbaric ropivacaine 12 mg (median [range]) : 60 min (45 -120min) vs 52 min (30 -- 103 min), longer motoric block duration in hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg (median[range]) : 60 min (35-118 min) vs 57 min (32 - 102 min), and no significant difference in visual analogue score in three times measurements.
Conclusion : Hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg are sufficient for spinal analgesia in patients undergoing cesarean section."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh anestesia epidural torasik pada perfusi splanknik, translokasi bakteri, dan perubahan histopatologi organ-organ splanknik pada renjatan perdarahan eksperimental pada beruk (Macaca nemestrina). Enam belas Macaca nemestrina ditentukan secara acak masuk ke dalam salah satu dari dua kelompok, yaitu kelompok lidokain (n = 8), yang mendapat anestesia umum ditambah anestesi epidural torasik lidokain; dan kelompok salin, yang mendapat anestesia umum saja (n = 8) sebagai kontrol. Renjatan perdarahan dibuat dengan mengeluarkan darah hewan secara bertahap sampai tekanan darah arteri rerata (TAR) mencapai 40 mm Hg, dan dipertahankan selama 60 menit. Hewan kemudian diresusitasi dengan memberikan darahnya kembali disertai cairan ringer laktat (RL). Setelah resusitasi, diberikan lidokain 2% epidural pada kelompok lidokain dan salin pada kelompok kontrol. Resusitasi yang dilakukan setelah satu jam renjatan perdarahan, dengan variabel hemodinamik dan luaran urin kembali normal, menunjukkan bahwa pada kelompok salin tidak ada perbaikan perfusi splanknik. PgCO2, P(g-a)CO2, dan pHi menetap pada nilai kritis dan cenderung memburuk pada kelompok salin. Berlawanan dengan kelompok salin, pada kelompok lidokain perfusi splanknik cenderung membaik. Keadaan ini didukung dengan dijumpainya translokasi bakteri yang lebih sedikit dan perubahan histopatologi organ splanknik yang lebih baik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anestesia epidural torasik lidokain memperkecil hipoperfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan pada Macaca nemestrina.

Abstract
The purpose of present study was to assess the effects of thoracic epidural anesthesia on splanchnic perfusion, bacterial translocation and histopathologic changes in experimental hemorrhagic shock in short-tailed macaques (Macaca nemestrina). Sixteen Macaca nemestrinas were randomly assigned to one of two groups i.e. the lidocaine group (n = 8), receiving general anesthesia plus lidocaine thoracic epidural anesthesia; and the saline group (n = 8), receiving general anesthesia alone as control. Hemorrhagic shock was induced by withdrawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated with their own blood and ringer lactate solution (RL). After resuscitation, epidural lidocaine 2% was given in the lidocaine group and saline in the control group. Resuscitation that was performed after one hour hemorrhagic shock, with hemodynamic variables and urine output returned to normal, revealed there was no improvement of splanchnic perfusion. PgCO2, P(g-a)CO2, and pHi remained in critical value and tended to deteriorate in the saline group. Contrast to saline group, splanchnic perfusion in lidocaine group tended to improve. This condition was supported by the finding of less bacterial translocation and better histopathologic changes in lidocaine thoracic epidural anesthesia group than in saline group. This study concludes that lidocaine thoracic epidural anesthesia attenuates splachnic hypoperfusion in post-resuscitation hemorrhagic shock in Macaca nemestrina."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>