Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194811 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwitya Solihati
"ABSTRAK
Latar belakang: Pekerja perkantoran dengan pola kerja sedenter dan posisi duduk statis dalam waktu yang relatif lama mempunyai faktor risiko kebugaran yang kurang baik, produktivitas kerja yang tidak optimal, dan berbagai risiko masalah kesehatan. Contoh latihan fisik yang mampu meningkatkan kebugaran jasmani adalah senam aerobik dan senam yoga. Penelitian ini bertujuan mencari perbandingan rerata nilai daya tahan kardiorespirasi dan fleksibilitas otot pekerja antara kelompok latihan senam aerobik dengan kelompok latihan senam yoga di sebuah perkantoran.
Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang komparatif. Subjek penelitian diambil secara purposive sampling dan terpilih 9 orang perempuan dari kelompok senam yoga dan 9 orang perempuan dari kelompok senam aerobik. Pengukuran daya tahan kardiorespirasi dengan menggunakan Multistage Fitness Test (Metode Bleep). Pengukuran fleksibilitas otot dengan menggunakan Sit and Reach Test. Tingkat aktivitas fisik dinilai dengan kuisioner RAPA (Rapid Assessment of Physical Activity). Data lain mengenai subjek penelitian diperoleh dari kuesioner berupa umur, masa kerja, alasan melakukan senam dan status pernikahan. Analisa statistik deskriptif dilakukan untuk menggambarkan variabel-variabel penelitian dan uji t tidak berpasangan dilakukan untuk menganalisis perbandingan rerata nilai daya tahan kardiorespirasi dan fleksibilitas otot pekerja antara kelompok latihan senam aerobik dengan kelompok latihan senam yoga pada penelitian ini.
Hasil: Rerata nilai prediksi daya tahan kardiorespirasi pada pekerja kelompok latihan senam aerobik lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja kelompok latihan senam yoga walaupun secara statistik tidak bermakna ( p = 0,193) dan rerata nilai fleksibilitas otot pada pekerja kelompok latihan senam yoga lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja kelompok senam aerobik, walaupun secara statistik tidak bermakna (p = 0,892).
Kesimpulan: Latihan fisik seperti senam aerobik dan senam yoga yang dilakukan secara baik, benar, terukur dan teratur dapat meningkatkan nilai daya tahan kardiorespirasi dan fleksibilitas otot.

ABSTRACT
Background: Office workers with sedentary life style and low level physical inactivity cause low physical fitness, low productivity and risk of health disorders. The government office establish aerobic and yoga exercise to increase level of cardiorespiration endurance and muscle flexibility. The objective of this study were to determine the comparison of cardiorespiration endurance and muscle flexibility in workers between aerobic and yoga exercise group at office.
Methods: A cross sectional comparative study was conducted in workers between aerobic and yoga group exercise at office. Subject were chosen using purposive sampling. 9 healthy women workers in aerobic exercise group and 9 healthy women workers in yoga exercise group were participate in this study. Cardiorespiration endurance was measured by Multistage Fitness Test and muscle flexibility was measured by sit and reach test. Physical activity level is marked by Rapid Assessment of Physical Activity Questionairre. Primary data that collected from questionnaires were age, work period, the reason doing exercise, and marital status. Descriptive statistics and analysis of independent t test were used for analyze the data.
Result: The increase in the prediction of cardiorespiratory endurance in workers aerobic group is higher than workers aerobic group although there was no statistically significant (p = 0,193) and the increase in mean value of muscle flexibility in workers yoga group is higher than workers yoga group although there was no statistically significant (p = 0,892).
Conclusion: Physical exercise such as aerobics and yoga which are doing good, correct, measurable, and regular can increase cardiorespiration endurance and muscle flexibility in workers.
"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Sada Ulina
"Pendahuluan: kemoterapi menyebabkan efek samping kelelahan pada pasien kanker. Tujuan: penelitian ini adalah menganalisis perbandingan aktivitas fisik yoga dan aerobik terhadap kelelahan anak usia sekolah yang menjalani kemoterapi. Metode: jenis penelitian ini menggunakan desain quasi experimental jenis nonequivalent control group pretest-posttest design. Teknik pengambilan sampel menggunakan nonprobability sampling jenis consecutive sampling. Pengambilan data menggunakan instrumen Fatigue Onkologi Anak_Allen (FOA-A). Sampel berjumlah 36 anak usia sekolah yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 18 intervensi yoga dan 18 intervensi aerobik. Setiap intervensi dilakukan 2 kali seminggu selama 4 minggu. Hasil: penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna skor kelelahan setelah intervensi yoga (p value= 0,0005) dan aerobik (p value= 0,0005). Analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna rerata selisih penurunan skor kelelahan setelah intervensi yoga dan aerobik (p value= 0,072). Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, jenis kanker, obat kemoterapi, dan stadium kanker dengan kelelahan setelah yoga maupun aerobik. Simpulan: yoga dan aerobik sama efektifnya dalam mengurangi skor kelelahan. Rekomendasi: anak dapat memilih salah satu intervensi tersebut untuk mengatasi kelelahan.

Introduction: chemotherapy causes side effects of fatigue in cancer patients. Objective: This study is to analyze the comparison of yoga and aerobic physical activity on fatigue in school-aged children undergoing chemotherapy. Method: This type of research uses a quasi-experimental nonequivalent control group pretest-posttest design. The sampling technique used nonprobability sampling, consecutive sampling. Data collection used the Child Oncology Fatigue Allen (FOA-A) instrument. The sample consisted of 36 school age children who were divided into two groups, namely 18 yoga interventions and 18 aerobic interventions. Each intervention was carried out 2 times a week for 4 weeks. Results: This study shows that there is a significant difference in fatigue scores after yoga (p value= 0.0005) and aerobics (p value= 0.0005) interventions. The analysis showed that there was no significant difference in the mean difference in fatigue score reduction after yoga and aerobics intervention (p value = 0.072). There was no relationship between gender, type of cancer, chemotherapy drugs, and stage of cancer with fatigue after yoga or aerobics. Conclusion: yoga and aerobics are equally effective in reducing fatigue scores. Recommendation: children can choose one of these interventions to overcome fatigue."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Stefanus
"Latihan fisik berpengaruh terhadap plastisitas sinaps yaitu dalam interaksi neuron-glia. Astrosit adalah sel glia yang paling berperan dalam plastisitas sinaps. Penelitian ini menggunakan kadar glial fibrillary acidic protein (GFAP) dan heat shock protein 27 (HSP27) plasma sebagai parameter aktivitas astrosit yang diinduksi latihan fisik. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan durasi latihan fisik aerobik intensitas sedang (10 menit vs 30 menit) terhadap kadar GFAP dan HSP27 plasma pada orang dewasa muda sehat.
Penelitian eksperimental ini mengunakan desain kontrol diri sendiri. Mahasiswa kedokteran usia dewasa muda (n=22) dibagi dalam dua kelompok perlakuan, kelompok pertama mengunakan perlakuan sepeda statis intensitas sedang dengan durasi 10 menit dan kelompok yang lain mengunakan perlakuan sepeda statis intensitas sedang dengan durasi 30 menit. Uji sepeda statis dilakukan selama 1 hari. Sebelum dan sesudah uji sepeda statis dilakukan pengambilan darah. Kadar GFAP dan HSP27 plasma diukur dengan enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA). Kadar GFAP plasma menurun bermakna pada kelompok yang mendapat latihan fisik aerobik intensitas sedang durasi 30 menit (p<0,05). Kadar HSP27 plasma menurun bermakna pada kelompok yang mendapat latihan fisik aerobik intensitas sedang durasi 10 menit (p<0,05). Kadar GFAP dan HSP27 plasma antara kelompok latihan fisik aerobik intensitas sedang durasi 10 menit dan 30 menit tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p>0,05).
Penelitian ini menunjukan latihan fisik intensitas sedang menginduksi perubahan yang bermakna pada marker aktivitas astrosit. Kadar GFAP plasma menurun bermakna pada durasi 30 menit sedangkan konsentrasi HSP27 menurun bermakna pada durasi 10 menit. Namun, durasi latihan fisik aerobik intensitas sedang tidak berpengaruh secara bermakna terhadap kadar dua parameter aktivitas astrosit yaitu GFAP dan HSP27 plasma. Meskipun kadar GFAP plasma menurun pada durasi latihan fisik yang berbeda, perbandingan antara kadar GFAP plasma sesudah durasi 10 menit dan 30 menit tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Hasil yang sama juga ditemukan pada HSP27. Penelitian ini adalah yang pertama kali menunjukan penurunan kadar GFAP plasma sesudah latihan fisik durasi 30 menit dan kadar HSP27 plasma sesudah latihan fisik durasi 10 menit.

Physical exercise effects on synapses plasticity that in neuron-glia interactions. Astrocytes are the most responsible glial cells in synapse plasticity. This study uses the glial fibrillary acidic protein (GFAP) and heat shock protein 27 (HSP27) plasma concentrations as exercise-induced astrocyte activity parameter. The aim of this study was comparison between two duration of moderate-intensity aerobic exercise (10 minutes vs 30 minutes) on GFAP and HSP27 plasma concentration in healthy young adults.
This experimental study was before and after study design. Healthy young adult medical students (n = 22) were divided into two treatment groups, the first group was using stationary bikes exercise in moderate-intensity activity for 10 minutes duration and the other group was using stationary bikes exercise in moderate-intensity activity for 30 minutes duration. Static bike test was performed in the same day. Blood sampling was performed before and after static bike test. GFAP and HSP27 plasma levels were measured with enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA). GFAP plasma concentration decreased significantly in the 30 minutes moderate-intensity aerobic exercise duration (p<0.05). HSP27 plasma concentration decreased significantly in the 10 minutes moderate-intensity aerobic exercise (p<0.05). There was no significant differences in GFAP and HSP27 plasma concentration between 10 minutes and 30 minutes moderate-intensity aerobic exercise(p>0.05).
Our result showed moderate-intensity aerobic exercise induced significant changes in astrocytes activity parameter. 30 minutes duration significantly lowered GFAP plasma concentration while 10 minutes duration significantly lowered HSP27 plasma concentration. However, duration of moderate-intensity aerobic exercise did not alter significantly plasma concentration of the two astrocyte activity parameter: GFAP and HSP27. Despite the lowered GFAP plasma concentration in different exercise duration, comparison between GFAP plasma concentration after 10 minutes and 30 minutes duration showed no significant differences. The same result also found in HSP27. This is the first result that showed a decrease in GFAP plasma concentration after 30 minutes exercise and HSP27 plasma concentration after 10 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winny
"Tesis ini disusun untuk mengetahui efektivitas latihan back exercise dan yoga terhadap intensitas nyeri, meningkatkan kekuatan otot trunk dan disabilitas fungsional. Penelitian menggunakan desain uji eksperimental Randomized Control Trial. Subjek penelitian merupakan pasien overweight dan obesitas derajat I dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok back exercise dan yoga. Semua subjek dari kedua kelompok mendapatkan latihan standar berupa latihan aerobik dengan ergocycle sesuai dengan prosedur di Poliklinik Obesitas Departemen Rehabilitasi Medik RSCM Jakarta yang dilakukan dua kali seminggu selama enam minggu. Sebagai tambahan, kelompok back exercise mendapatkan latihan senam punggung dan kelompok yoga mengikuti kelas yoga yang dilakukan 45 menit per sesi, dua kali seminggu, selama enam minggu. Hasil keluaran penelitian ini berupa skala nyeri (Visual Analogue Scale), kekuatan otot fleksor dan ekstensor trunk yang diukur menggunakan handheld dynamometer dan disabilitas fungsional (Oswestry Disability Index). Analisis statistik dilakukan untuk membandingkan perubahan intensitas nyeri, kekuatan otot trunk, dan disabilitas fungsional sesudah intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan intensitas nyeri, kekuatan otot trunk, dan disabilitas fungsional setelah intervensi diberikan selama enam minggu. Median selisih total penurunan VAS pada kelompok back exercise dan yoga masing-masing sebesar 2 (1-3) dan tidak didapatkan perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,054. Rerata peningkatan kekuatan otot fleksor trunk pada kelompok back exercise dan yoga masing-masing sebesar 4.45±2.84 kg dan 5.91±2.20 kg dan tidak didapatkan perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,139. Rerata peningkatan kekuatan otot ekstensor trunk pada kelompok back exercise dan yoga masing-masing sebesar 7.56±3.73 kg dan 7.06±3.97 kg dan tidak didapatkan perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,520. Rerata perubahan skor ODI pada kelompok back exercise dan yoga masing-masing sebesar 4.64±4.11 dan 4.57±4.33 dan tidak didapatkan perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,965. Dapat disimpulkan bahwa back exercise dan yoga memiliki efektivitas yang sama dalam menurunkan nyeri, meningkatkan kekuatan otot trunk dan mengurangi disabilitas fungsional pasien overweight dan obesitas derajat I dengan nyeri punggung bawah mekanik kronik. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitas latihan back exercise dan yoga terhadap aktivitas otot trunk secara lebih spesifik menggunakan Surface Electromiography (sEMG) yang menggambarkan rekruitmen motor unit otot.

This thesis was aimed to determine the effectiveness of back exercise and yoga exercises on pain intensity, increase trunk muscle strength and functional disability. The study used an experimental randomized control trial design. The subjects were overweight and obese patients with chronic mechanical low back pain, which were divided into 2 groups: back exercise and yoga. All subjects from the two groups received standard training in the form of aerobic exercise with ergocycle in accordance with the procedures at the Obesity Polyclinic of the Department of Medical Rehabilitation at the RSCM Hospital, which was conducted 2x / week for 6 weeks. In addition, the back exercise group received back exercises and the yoga group attended a yoga class conducted 45 minutes / session, 2x / week, for 6 weeks. Statistical analysis was performed to compare changes in pain intensity (Visual Analogue Scale), trunk muscle strength (using handheld dynamometer), and functional disability (Oswestry Disability Index) after the intervention in the treatment and control groups. The results of the study stated that there were no differences in pain intensity, trunk muscle strength, and functional disability after the intervention was given for 6 weeks. The median difference in total VAS reduction in the back exercise and yoga groups was 2 (1-3) respectively and no significant difference was found with a value of p = 0.054. The mean increase in flexor trunk muscle strength in the back exercise and yoga groups was 4.45 ± 2.84 kg and 5.91 ± 2.20 kg, respectively, and no significant difference was found with a value of p = 0.139. The mean increase in extensor trunk muscle strength in the back exercise and yoga groups was 7.56 ± 3.73 kg and 7.06 ± 3.97 kg and no significant difference was found with the p value = 0.520. The mean changes in ODI scores in the back exercise and yoga groups were 4.64 ± 4.11 and 4.57 ± 4.33, respectively, and there were no significant differences with p = 0.965. It can be concluded that back exercise and yoga have the same effectiveness in reducing pain, increasing trunk muscle strength and reducing functional disability of overweight and obese patients with degree I with chronic mechanical low back pain. Further research is needed to assess the effectiveness of back exercise and yoga exercises on trunk muscle activity more specifically using Surface Electromiography (sEMG) which illustrates the recruitment of motor muscle units."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Srimukti Suhartini
"ABSTRAK
Pertambahan usia dengan pola hidup sedenter akan meningkatkan radikal bebas yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan pemendekan telomer secara progresif. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa latihan aerobik intensitas sedang sangat direkomendasikan pada lansia karena mampu memperbaiki kerusakan oksidatif sel yang akan meningkatkan kebugaran serta memperpanjang masa hidup lansia. Penelitian bertujuan mengkaji peningkatan kadar telomerase, aktivitas GPx, kadar TBARS dan VO2maks sebagai penanda perbaikan fungsi sel dan sistem kardiorespirasi akibat latihan aerobik intensitas sedang selama 12 minggu pada perempuan lansia.Penelitian community trial control group pre test post test design dengan subjek lansia perempuan sedenter. Total subjek adalah 73 37 orang kelompok perlakuan dan 36 orang kelompok kontrol dipilih secara consecutive. Kemudian diambil subsampel berpasangan untuk pemeriksaan aktivitas GPx dan kadar TBARS. Subjek melakukan latihan aerobik intensitas sedang selama 12 minggu dengan frekuensi 3 kali seminggu, intensitas latihan 50 ndash;85 denyut nadi maksimal, 30 menit per sesi latihan dan jenis latihan berjalan. Pemeriksaan kadar telomerase, kadar NOx plasma dan aktivitas GPx menggunakan metode ELISA. Kadar TBARS menggunakan metode Wills, sedangkan prediksi VO2maks menggunakan uji latih 6 menit. Data diolah menggunakan uji t tidak berpasangan/uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan rerata, uji Repeated ANOVA/Uji Friedmann untuk melihat perbedaan kemaknaan antar kelompok dan Uji Pearson/Spearman untuk melihat korelasi antar data.Kadar telomerase, prediksi VO2maks dan aktivitas GPx meningkat bermakna p < 0,05 , sedangkan kadar TBARS cenderung terjadi penurunan p < 0,05 pada minggu ke-12 latihan. Penurunan kadar NOx plasma ditemukan lebih kecil pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Kadar telomerase berkorelasi positif dengan prediksi VO2maks dan aktivitas GPx serta berkorelasi negatif dengan TBARS. Pada penelitian ini perbaikan fungsi sel terjadi lebih dahulu melalui peningkatan kadar telomerase yang disertai peningkatan prediksi VO2maks terlihat pada minggu ke-6 latihan, selanjutnya terjadi perbaikan sistem sirkulasi TDS dan DN diikuti peningkatan prediksi VO2maks pada minggu ke-12 latihan menandakan bahwa latihan aerobik intensitas sedang jenis berjalan selama 12 minggu telah cukup mampu memperbaiki fungsi sel maupun sistem kardiorespirasi pada lansia. Kata Kunci: Latihan Aerobik Intensitas Sedang, NOx Plasma, Penuaan, Stres oksidatif, TBARS, Telomer, Telomerase, VO2maks.

ABSTRACT
Increasing age in elderly with a sedentary lifestyle leads to increasing free radicals. Thus it causes mitochondrial dysfunction and progressive telomere shortening. The previous study suggested that moderate-intensity aerobic exercise is highly recommended in the elderly people as it can repair cell oxidative damage. It improves the elderly people rsquo;s fitness and prolongs their life. This study aimed to assess increased telomerase levels, GPx activity, TBARS level and VO2max as a marker of the function of cell and cardiorespiratory system repair due to moderate intensity aerobic exercise for 12 weeks.This study was a community trial control group pre test post test design involved 73 volunter elderly women who are divided in two group: 37 subject experimental group and 36 subject control group. Each subject was selected based on consecutively inclusion and exclusion criteria . Then the paired subsample was taken before conducting a test on GPx activity and TBARS levels. Subjects performed the moderate-intensity aerobic exercise for 12 weeks with frequency three times a week, exercise intensity 50 ndash;85 of maximum pulse rate, 30 minutes per session, and type of walking exercise. Assessment of telomerase levels, plasma NOx levels, and GPx activity used ELISA method. The TBARS levels assessment applied the Wills method and the predicted VO2max using the 6-minute walked test. The data were analyzed using an unpaired t-test or Mann Whitney test to observe the mean difference, repeated ANOVA/Friedmann test to view the significant difference among the groups, and Pearson/Spearman test to find out the data correlation.Telomerase levels, predicted VO2max, GPx activity increased significantly p < 0,05 and TBARS levels tended to decrease at week 12 of exercise. Reduced plasma NOx levels were found to be smaller in the treatment group than in the control group. Telomerase levels positively correlated with predicted VO2max and GPx activity. On the other hand, telomerase levels negatively correlated with TBARS levels. The improvement of the function of cell occurs first through increased telomerase level accompanied by an increase predicted VO2max at week 6 of exercise, subsequent improvement of circulation system SBP and HR followed by an increase predicted VO2maks at weeks 12 of exercise. Moderate intensity aerobic exercise walking has been sufficient to improve the function of cell and cardiorespiratory system in elderly.Keywords: Aging, Moderate-intensity aerobic exercise, NOx Plasma, Oxidative stress, TBARS levels, Telomere, Telomerase, VO2max."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Kencana
"Latihan fisik aerobik banyak direkomendasikan oleh praktisi kesehatan karena banyaknya manfaat yang diberikan kepada manusia, termasuk dugaan pengaruh latihan fisik aerobik terhadap peningkatan jumlah neuron, fungsi kognitif dan memori. Berangkat dari dugaan tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap gambaran histologis nukleus sentral amigdala.
Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan menggunakan tikus jantan (Rattus sp. Strain Wistar) sebagai hewan percobaan yang dibagi menjadi tiga kelompok (masing masing n=9), yaitu kelompok kontrol, training dan detraining. Pengamatan dilakukan pada jaringan otak dengan menghitung jumlah sel normal pada nukleus sentral amigdala menggunakan optilab viewer yang dilengkapi dengan image raster. Data kemudian dianalisis dengan uji one-way ANOVA.
Hasil menunjukkan bahwa rerata presentase sel normal tertinggi adalah kelompok kontrol (58,11%), diikuti dengan kelompok perlakuan training dan detraining. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan latihan aerobik dan detrain pada nukleus sentral amigdala.

Aerobic exercise recommended by many health practitioners because it has a lot of benefit including the assumption about aerobic exercise effect that increases the number of neurons, cognitive function and memory. Departing from this assumption, a study to determine the effect of aerobic exercise and detrain to the histological features of central nucleus of amygdale was conducted.
This experimental study used male rats (Rattus sp. Wistar strain) as experimental animal, which divided into three groups (each n = 9), control group, training and detraining. Observation was done on brain tissue by counting the number of normal cells in the central nucleus of the amygdala using optilab viewer which equipped with image raster. Data were analyzed by one-way ANOVA test.
Results showed that control group has the highest mean percentage of normal cells (58.11%), followed by training and detraining group. There was no significant effect of aerobic exercise and detrain at the central nucleus of amygdala.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransisca Chondro
"Latar Belakang : Komunikasi antar sel otot jantung terjadi dengan bantuan protein connexin, terutama connexin43, yang merupakan protein utama penyusun gap junction pada sel otot jantung. Pada penyakit jantung yang disertai dengan hipertrofi, adanya perubahan ukuran pada jantung ini akan mempengaruhi produksi dan distribusi protein connexin43 pada sel otot jantung. Semakin besar ukuran sel, maka ekspresi connexin akan meningkat disertai dengan peningkatan distribusi connexin ke lateral. Lateralisasi connexin ini dapat mengganggu hantaran impuls listrik antar sel otot jantung. Latihan fisik erobik juga dapat mengakibatkan timbulnya adaptasi organ jantung berupa peningkatan ukuran dan kerja ventrikel kiri dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan metabolisme tubuh yang meningkat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh keadaan hipertrofi fisiologis yang terjadi akibat latihan fisik, dalam hal ini latihan fisik erobik, terhadap produksi dan distribusi protein connexin43.
Tujuan : Melihat bagaimana pengaruh latihan fisik erobik dan detraining terhadap ekspresi dan distribusi protein connexin43.
Desain : Penelitian ini menggunakan studi eksperimental in vivo pada tikus.
Metode : Pada jaringan jantung tikus dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat bagaimana jumlah dan distribusi dari protein connexin43 serta dilakukan perbandingan antara tikus yang tidak diberi latihan fisik dengan tikus yang diberi latihan fisik erobik dan detraining.
Hasil : Pada perbandingan antara kelompok kasus dan perlakuan, terdapat perbedaan bermakna pada parameter total Cx43, Cx43 diskus interkalatus, Cx43 lateral, dan presentase Cx43 diskus interkalatus dan Cx43 lateral (p<0,05). Pada perbandingan antara kelompok kontrol, perbedaan bermakna hanya ditemukan pada perbandingan antara kelompok 8 dan 12 minggu untuk parameter total Cx43 dan jumlah Cx43 diskus interkalatus. Pada perbandingan antara kelompok perlakuan, ditemukan perbedaan bermakna untuk parameter total Cx43 pada kelompok latihan erobik 4 minggu dengan kelompok latihan erobik 4 minggu yang diikuti proses detraining 4 minggu.
Kesimpulan : Latihan fisik erobik memberikan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan. Pada perbandingan antara perlakuan, diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna antar kelompok latihan fisik yang disertai/tidak disertai proses detrain.

Background: Communication between cardiomyocyte happens in the gap junction located on intercalated disk. In patologically hypertrophied heart, the bigger cardiomyocyte become, the more protein expressed and distributed to lateral side of cardiomyocyte. It will cause disturbance in electrical and metabolic coupling between cardiomyocyte. Aerobic training will also cause hypertrophy, especially left ventricle, because the heart has to pump more blood that carry oxygen that is needed in the cell. This research is done in order to analyze the effect of physiologically hypertropied heart, cause by aerobic training, on the expression and distribution of connexin43.
Objective : To see the effect of aerobic training and detraining to the expression and distribution of connexin43 in heart.
Design : This research is using experimental study on rat.
Methods : Expression and distribution of connexin43 from rat's ventricle tissue is detected using immunohistochemistry then analyzed with imageJ program. The results are compared between control group and group that’s given aerobic training and detraining.
Results : Significant differences in the amount of total Cx43, Cx43 in intercalated disc, lateralized Cx43, Cx43 intercalated disc percentage, and lateralized Cx43 percentage was found in all the aerobic groups compared with controls. Comparison between control groups show significant differences of total Cx43 and Cx43 in intercalated disc only between 8 weeks control and 12 weeks control group. Comparison between aerobic groups shows significant differences in amout of total Cx43 between 4 weeks aerobic training and 4 weeks aerobic training followed by 4 weeks detraining period.
Conclusion : Aerobic training causes an increase in amount of total Cx43, Cx43 in intercalated disc, lateralized Cx43. The increase in the amount of Cx43 will diminish during detraining period.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Tirtayasa
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Kegiatan jasmani berupa latihan menari Bali mungkin dapat meningkatkan kapasitas aerobik maksimal ( V02 max ). Di sini ingin diketahui kemungkinan pengaruh latihan menari Bali yang dilakukan secara teratur di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) terhadap V02 max siswa. Penelitian dilakukan pada 60 orang siswa pria kelas I yang terdiri atas 20 orang siswa SMKI, 20 orang siswa Sekolah Guru Olah Raga (SGO) dan 20 orang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Pemeriksaan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pads awal, pertengahan dan akhir semester pertama tahun ajaran 1982 / 1983. Pengukuran V02 max secara tidak langsung dengan uji kerja submaksimal memakai ergometer sepeda berdasarkan atas nomogram Astrand-Ryhming.
Hasil dan Kesimpulan: Pada awal semester CO max siswa SMKI, SGO dan SMA antara satu dengan lainnya tidak ber eda bermakna (p > 0,05). Pada akhir semester V09 max siswa SMKI dan SGO berbeda sangat bermakna (p < 0,001) dibandingkan dengan pemeriksaan pada awal semester. Sedangkan pada siswa SMA perbandingan ini tidak berbeda bermakna (p > 0,05). Pada akhir semester antara VO2 max siswa SMKI dan siswa SGO tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p > 0,05). Sedangkan pada akhir semester ini V02 max siswa SMKI dan SGO di satu fihak dibandingkan dengan V02 max siswa SMA pada fihak lain terdapat perbedaan yang sangat bermakna. Kesimpulan adalah: 1. Latihan menari Bali dapat meningkatkan V02 max siswa pria kelas I SMKI selama mengikuti pelajaran seester pertama. 2. Perbedaan tidak bermakna antara V02 max siswa pria kelas I SMKI dengan siswa pria kelas I SGO disebabkan oleh beban latihan jasmani yang kurang lebih sama pada kedua kelompok siswa, walau jenis latihan berbeda. 3. Perbedaan bermakna antara VO2 max siswa pria kelas I SMKI dengan VO2 max siswa pria kelas I 5MA besar kemungkinan disebabkan oleh perbedaan beban latihan.

ABSTRACT
Scope and Method of Study: Physical activity such as Balinese dance training may increase maximal aerobic capacity ( V02 max ). This research was conducted in order to observe the influence of regular Balinese dance training on VO max of Indonesian High School of Performing Arts Students (SMKI). Sixty male first year students consisted of 20 SMKI students, 20 High School of Physical Educator (SGO} students and 20 High School (SMA) students were examined at the beginning, middle and end of the first semester of academic year 1982 / 1983. The VO2 max was calculated indirectly using an ergo cycle according to the Astrand-Ryhming method.
Findings and Conclusions: At the beginning of the semester, V02 max of SMKI, SGO and SMA students were not significantly different (p > 0.05). V02 max of SMKI and SGO students at the end of the semester were significantly different (p < 0.001) compared to that of the beginning semester. There was no significant difference (p > 0.05} on the V02 max at the beginning and the end of the semester for High School students. At the end of semester, VO max of SMKI and SGO students was not significantly different (p > 0.05). But V02 max of SMKI and SGO students at the end of the semester was significantly different (p < 0.001) compared to SMA students. It was concluded that: 1. Balinese dance training could increase maximal aerobic capacity of the male first year SMKI students during the first semester. 2. The VO2 max between male first year SMKI and SGO students was not significantly different. It might due to the apparently equal load on physical training in both groups even though different in its kind. 3. The VO max between male first year SMKI and SMA students was significantly different most probably due to difference in exercise load.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
T58480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noortiningsih
"Ruang lingkup dan cara penelitian salah satu perubahan fisiologis sistem hormonal yang menyertai kegiatan fisik ialah terjadi peningkatan kadar endorfin dan penurunan kadar gonadotropin di dalam tubuh. Endorfin, diketahui mempunyai sifat inhibitor kuat terhadap sekresi gonadotropin, sehingga menurunnya kadar Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle-stimulating Hormone (FSH) selama kerja fisik, diduga berhubungan erat dengan meningkatnya kadar endorfin tersebut. Hal ini diduga merupakan kunci penting penyebab timbulnya gangguan fungsi sistem reproduksi, khususnya pada atlit-atlit wanita.
Dari berbagai penelitian diketahui, bahwa endorfin dan agonisnya, menurunkan sekresi LH dan FSH, sedangkan antagonisnya, meningkatkan sekresi hormon-hormon tersebut. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh latihan fisik menimbulkan gangguan terhadap fungsi sistem reproduksi melalui adanya peningkatan kadar endorfin, dilakukan pengamatan terhadap lama siklus estrus, berat ovarium, dan jumlah folikel ovarium tikus, yang diberi latihan fisik aerobik tanpa dan dengan pemberian nalokson sebagai antagonis endorfin. Penelitian dilakukan terhadap 60 ekor tikus putih betina. Latihan fisik diberikan dengan menggunakan treadmill, dengan kecepatan 800 m/jam, inklinasi nol derajad, lama kerja 30 menit/hari/satu kali kerja fisik, dengan variasi lama latihan, 20, 40, dan 60 hari. Nalokson diberikan subkutan dengan dosis 1 mg/kg berat badan.
Hasil dan Kesimpulan : Latihan fisik yang diberikan, menyebabkan siklus estrus menjadi lebih panjang (P<0,01), berat ovarium mengalami penurunan (P<0,01), tidak terdapat perbedaan jumlah folikel primer maupun sekunder (P>0,05), tetapi jumlah folikel Graaf menurun dengan nyata (P<0,05), dan terdapat peningkatan jumlah folikel atresia selama fase luteal (P<0,01). Pemberian nalokson selama latihan fisik dapat menghambat pemanjangan siklus estrus, menghambat penurunan berat ovarium, meningkatkan jumlah folikel Graaf, dan menurunkan jumlah folikel atresia, mendekati kelompok tikus kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan fisik yang diberikan telah mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percobaan, dan pemberian nalokson dapat menghambat pengaruh latihan fisik terhadap fungsi sistem reproduksi tersebut. Namun demikian penelitian ini belum menunjukkan, sejak kapan latihan fisik yang diberikan mulai mengganggu fungsi sistem reproduksi tikus percoban, karena hasil yang diperoleh tidak menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan dengan lamanya latihan (P>0,05). "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Latar Belakang: Latihan fisik aerobik telah lama diketahui memberikan pengaruh yang baik kepada tubuh dan rutin, latihan fisik aerobik yang rutin dan dalam jangka waktu lama dapat membuat jantung mengalami remodeling. Proses remodeling ini bukan hanya terjadi pada struktur tetapi juga pada kelistrikan jantung, beberapa studi menunjukkan remodeling listrik jantung yang terjadi mengakibatkan berbagai bentuk aritmia, dan belum banyak yang diketahui tentang remodeling listrik jantung setelah henti latih.
Metode: Pemeriksaan EKG dilakukan pada tikus Wistar jantan yang telah menjalani latihan fisik aerobik 4 minggu,12 minggu, 4 minggu latihan fisik aerobik serta 4 minggu henti latih dan 12 minggu latihan fisik aerobik serta 4 minggu henti latih. Kecepatan lari pada tikus 20 m/menit durasi latihan 20 menit dengan interval istirahat 90 detik setiap 5 menit berlari.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk voltase dan durasi gelombang P pada semua kelompok perlakuan. Terjadi peningkatan voltase gelombang R pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu dan 12 minggu (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk voltase gelombang R pada kelompok henti latih. Terdapat pemanjangan durasi segmen dan interval PR pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu, 12 minggu (terutama pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu dengan p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok henti latih untuk durasi segmen dan interval PR. Terjadi pemanjangan durasi repolarisasi ventrikel (durasi gelombang T, interval QT) pada kelompok latihan fisik aerobik 4, 12 minggu (terutama pada kelompok latihan fisik aerobik 4 minggu, p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk durasi gelombang T, interval QT pada kelompok henti latih. Terjadi penurunan frekuensi denyut jantung istirahat pada kelompok latihan fisik aerobik 4,12 minggu (terutama pada kelompok latihan fisik 4 minggu, p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk frekuensi denyut jantung istirahat pada kelompok henti latih.
Kesimpulan: Terjadi perubahan aktivitas listrik jantung (interval QT, interval PR, durasi gelombang T dan voltase gelombang R) , perubahan frekuensi denyut jantung istirahat tikus Wistar jantan setelah latihan fisik aerobik 4 minggu dan 12 minggu. Henti latih mengembalikan perubahan aktivitas listrik jantung dan perubahan frekuensi denyut jantung istirahat tersebut.

Introduction: Aerobic training have long been known to give a good impact to body, aerobic training if been done routinely and with long period of time will make remodeling process to the heart. This remodeling process is not only occur in structure but also in heart electrical activity, several study reveal that this electrical activity cause many form of aritmia, there also evidence that structural remodeling that also cause electrical changes is a persistent process, if structural remodeling persistent process, what about electrical activity of this persistent structural remodeling, the answer to this question is less known.
Methods: ECG is conducted in male Wistar rat that have completed 4 weeks, 12 weeks aerobic training, 4 weeks aerobic training with 4 weeks detraining, and 12 weeks aerobic training with 4 weeks detraining. The speed that been use is 20 m/minute with 20 minute training duration and 90 second intermitten resting interval for every 5 minute training.
Results: There is no differences for P wave voltage and duration in all group. R wave voltage is increase in 4, 12 weeks aerobic training group (p<0.05). There is no significant differences for R wave voltage in detraining group. PR segment and interval is prolonged in 4, 12 weeks aerobic training group (especially in 4 weeks aerobic training group, p<0.05). There is no significant differences for PR segment and interval in detraining group. Ventricular repolarization time (T wave duration, QT interval) is prolonged in 4, 12 weeks aerobic training group (especially in 4 weeks aerobic training group, p<0.05). There is no significant differences for T wave duration dan QT interval in detraining group. Resting heart rate is lower in 4, 12 weeks aerobic training group (especially in 4 weeks aerobic training group, p<0.05). There is no significant differences for resting heart rate in detraining group.
Conclusion: Male Wistar rat heart electrical activity (QT interval, PR interval, T wave duration time and R wave voltage) and resting heart rate change after 4 weeks and 12 weeks aerobic training. Detraining restore that changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>