Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133492 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Liya Agustin Umar
"ABSTRAK
Perubahan tingkat penanda epigenetik pada sperma memiliki dampak pada fertilisasi dan kontribusi sperma terhadap perkembangan embrio secara normal. Pada beberapa studi, perubahan metilasi pada DNA yang terdapat di dalam gen, memiliki kaitan dengan infertilitas dan keberhasilan teknologi reproduksi. Pemeriksaan Aniline Blue (AB) dan Toluidin Blue (TB) yang menganalisis maturitas dan kepadatan kromatin sperma ditentukan oleh ekspresi dari gen protamin. Namun sejauh ini, belum ada penelitian yang menganalisis tingkat maturitas dan kepadatan kromatin sperma sekaligus menilai status metilasi gen protamin 1 ini pada sperma pasien yang mengikuti program FIV dibandingkan dengan sperma pada laki-laki fertil normozoospermia dengan tingkat perkembangan zigot pada program FIV.
Sampel penelitian ini berjumlah 60 orang, yang terdiri dari 30 sampel pasien yang mengikuti program FIV di Klinik Infertilitas Yasmin RSCM Kencana, dan 30 orang laki-laki fertil normozoospermia. Sampel ini diperiksa keadaan kromatin spermanya menggunakan pewarnaan AB dan TB, Data tingkat perkembangan zigot diperoleh dari data sekunder rekam medis Klinik Yasmin, kemudian analisis metilasi gen protamin 1 menggunakan MSP (Methylation Specific PCR) dan diukur pita yang terlihat secara semikuantitatif menggunakan ImageJ.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat maturitas kromatin sperma pada ejakulat pasien FIV lebih rendah secara bermakna dibandingkan pada ejakulat laki-laki fertil normozoospermia. Maturitas kromatin sperma yang baik pada ejakulat pasien FIV memiliki arah korelasi positif yang tidak bermakna dengan tingkat perkembangan zigot, sedangkan pada tingkat kepadatan kromatin sebaliknya, dan memiliki korelasi bermakna pada kategori maturitas kromatin sperma yang tidak baik. Tingkat metilasi DNA gen protamin 1 pada pasien yang mengikuti program FIV lebih rendah bermakna dibandingkan dengan tingkat metilasi DNA gen protamin 1 pada ejakulat laki-laki fertil normozoospermia. Terdapat hubungan korelasi tidak bermakna dengan arah positif antara maturitas kromatin sperma dengan tingkat metilasi DNA gen protamin 1 namun pada kepadatan kromatin memiliki arah sebaliknya. Perubahan tingkat metilasi DNA pada gen Protamin 1 mempengaruhi perkembangan zigot pada program FIV namun tidak bermakna.

ABSTRACT
The changes of epigenetic marker level of sperm have an impact on fertilization and contribution sperm to the normally embryo development. In some studies, DNA methylation changes in genes, linked to infertility and the success of assisted reproductive technology. The assay of Aniline Blue (AB) and Toluidine Blue (TB) which analyzed maturity and integrity of sperm chromatin was determined by the expression of protamine gene. Up till now, there has not been any study to analyze the maturity level and integrity of sperm chromatin level, and methylation status of protamine 1 genes on the FIV patients sperm compared to sperm in normozoospermia fertile male with the level of zygote development in the IVF program.
Samples used in this study were ejaculate from patients who take IVF program at Yasmin Infertility Clinic, RSCM Kencana, and 30 normozoospermia fertile male as control. These samples were assayed the sperm chromatin using AB and TB staining. The data of zygote development level were obtained from secondary data of medical records of Yasmin Infertility Clinic, and the methylation level of protamine 1 gene were done MSP (methylation Specific PCR) and its band measured using ImageJ semi quantitatively.
The result showed that the level of sperm chromatin maturity of ejaculate IVF patients was significantly lower compared to normozoospermia fertile male. The maturity and chromatin integrity level of sperm in the ejaculate IVF patients with have weak correlation with the level of zygote development and significant in the bad category of sperm chromatin maturity. The DNA methylation level of protamine 1 gene in patients under when the IVF program was significantly lower compared to normozoospermia fertile male. There was not significantly with positif correlation between maturity chromatin of sperm with the DNA methylation of protamine 1 gene and the chromatin integrity was different. The changes of DNA methylation of Protamine 1 gene affects the level of zygote development in IVF program not significantly.Aniline Blue.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paisal
"Latar Belakang: Infertilitas dialami oleh sekitar 15% pasangan di seluruh dunia, dengan kontribusi dari pihak laki-laki sekitar 50%. Salah satu penyebab infertilitas pada pria adalah azoospermia non obstruktif idiopatik, yang diduga melibatkan faktor epigenetik. Penelitian ini bertujuan menilai peran epigenetik, khususnya remodeling kromatin dan modifikasi histon, pada proses spermatogenesis pada testis dengan azoospermia non obstruktif.
Metode: Sampel BFPE dan TESE diperiksa menggunakan teknik HE lalu dikelompokkan berdasarkan tipe henti maturasi, yaitu SCO, STA, dan SDA. Sampel BFPE dilakukan pemeriksaan immunohistokimia menggunakan antibodi anti-CHD5, anti-H3K9me3, dan anti-H4K12ac. Proses pengolahan gambar immunohistokimia menggunakan ImageJ, IHC Profiler, dan StarDist. Sampel TESE dilakukan pemeriksaan qPCR untuk mengukur tingkat ekspresi gen CHD5 dan PHF7. Selain itu, pada sampel TESE dilakukan pemeriksaan ChIP untuk menilai kadar relatif gen WEE1 dan PRM1 yang berikatan dengan CHD5.
Hasil: Ekspresi CHD5 ditemukan pada spermatogonia dan spermatid bulat. Tidak ada perbedaan signifikan intensitas CHD5 pada spermatogonia antara kelompok STA dan SDA. Intensitas H3K9me3 dan H4K12ac pada spermatogonia, spermatosit, dan sel sertoli berdasarkan kelompok henti maturasi berbeda signifikan. Tingkat ekspresi gen CHD5 pada kelompok STA meningkat signifikan 67 kali lipat dibandingkan ekspresinya pada SCO, dan pada kelompok SDA meningkat signifikan 164 kali lipat dibandingkan ekspresi pada SCO. Tingkat ekspresi gen PHF7 pada kelompok STA meningkat signifikan 53 kali lipat dibandingkan ekspresinya pada SCO, dan pada kelompok SDA meningkat signifikan 192 kali lipat dibandingkan ekspresi pada SCO. Kadar DNA segmen promoter gen WEE1 pada ChiP-qPCR menggunakan antibodi anti-CHD5 ditemukan sebesar 1,19% untuk STA dan 1,87% untuk SDA, lebih tinggi dibandingkan kadar pada SCO yaitu 0,36%. Sedangkan kadar DNA segmen promoter gen PRM1 ditemukan sebesar 1,01% untuk STA dan 2,47% untuk SDA, lebih tinggi dibandingkan kadar pada SCO yaitu 0,29%.
Kesimpulan: CHD5 berperan pada spermatogenesis manusia, khususnya pada sel spermatogonia dan spermatid bulat. CHD5 terbukti meregulasi gen WEE1 dan PRM1 pada sel spermatogenik. H3K9me3 dan H4K12ac berperan pada kasus henti maturasi, dan berpotensi untuk menjadi marker kasus azoospermia non obstruktif.

Background: Infertility affect about 15% of couples worldwide, with male factors contributing to around 50% of cases. One of the causes of male infertility is idiopathic non-obstructive azoospermia, which is suspected to involve epigenetic factors. This study aims to assess the role of epigenetics, specifically chromatin remodeling and histone modification, in the process of spermatogenesis in testes with non-obstructive azoospermia.
Method: The BFPE and TESE samples were examined using HE techniques and subsequently classified based on maturation arrest types, including SCO, STA, and SDA. Immunohistochemical analysis of the BFPE samples was conducted using anti-CHD5, anti-H3K9me3, and anti-H4K12ac antibodies. Image processing for immunohistochemistry was performed using ImageJ, IHC Profiler, and StarDist. The TESE samples underwent qPCR analysis to measure the expression levels of the CHD5 and PHF7 genes. Additionally, ChIP analysis was performed on the TESE samples to assess the relative levels of WEE1 and PRM1 genes bound to CHD5.
Result: The expression of CHD5 was found in spermatogonia and round spermatids. There was no significant difference in CHD5 intensity in spermatogonia between the STA and SDA groups. However, the intensities of H3K9me3 and H4K12ac in spermatogonia, spermatocytes, and Sertoli cells varied significantly among the maturation arrest groups. The expression level of the CHD5 gene in the STA group increased significantly by 67-fold compared to its expression in SCO, and in the SDA group, it increased significantly by 164-fold compared to its expression in SCO. The expression level of the PHF7 gene in the STA group increased significantly by 53-fold compared to its expression in SCO, and in the SDA group, it increased significantly by 192-fold compared to its expression in SCO. The DNA segment promoter level of the WEE1 gene in ChiP-qPCR using anti-CHD5 antibody was found to be 1.19% for STA and 1.87% for SDA, higher than the level in SCO, which was 0.36%. Meanwhile, the DNA segment promoter level of the PRM1 gene was found to be 1.01% for STA and 2.47% for SDA, higher than the level in SCO, which was 0.29%.
Conclusion: CHD5 plays a role in human spermatogenesis, particularly in spermatogonia and round spermatids. It has been shown to regulate the genes WEE1 and PRM1 in spermatogenic cells. H3K9me3 and H4K12ac are implicated in cases of maturation arrest and have potential as markers for azoospermia non obstructive cases.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evelyn Loanda
"ABSTRAK
Latar Belakang : Proses pematangan spermatzoa di epididimis terjadi melalui interaksi antara spermatozoa dengan berbagai protein yang disekresikan oleh epitel epididimis. Gen penyandi protein yang terlibat dalam proses maturasi ini masih banyak yang belum diketahui. Data penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gen-gen yang berperan dalam proses maturasi sperma ekspresinya dipengaruhi oleh androgen. Sperm associated antigen11a (Spag11a) merupakan salah satu gen yang ekspresinya dipengaruhi oleh androgen (Sipila et al, 2006), namun masih belum diketahui apakah Spag11a berperan pada proses maturasi sperma di epididimis.
Tujuan : Mengkarakterisasi gen Spag11a pada epididimis mencit jantan strain DDY
Desain : Penelitian ini menggunakan analisis bioinformatik dan eksperimental
Metode : Struktur gen Spag11a dan deteksi signal peptide dianalisis secara in silico. Quantitative Real time RT-PCR digunakan untuk mengukur ekspresi relatif Spag11a pada analisis spesifisitas jaringan, ketergantungan terhadap faktor endokrin dan faktor testikular. Untuk menganalisis ekspresi gen Spag11a pada tingkat protein dilakukan Western Blot, sedangkan untuk mengetahui lokasi protein SPAG11A pada sel epididimis dilakukan imunohistokimia.
Hasil : SPAG11A termasuk dalam famili protein defensin beta dan analisis signal peptide menunjukan bahwa SPAG11A merupakan protein sekretori. Spag11a dieskpresikan secara spesifik pada organ epididimis, ekspresi di organ lain sangat rendah. Satu hal yang menarik yakni selain menunjukkan spesifisitas organ, Spag11a juga menunjukan spesifisitas regional pada caput epididimis. Ekspresi Spag11a dipengaruhi oleh androgen, penurunan ekspresi Spag11a sangat bermakna (p<0,001) pada hari ke 3 setelah gonadektomi dan mencapai ekspresi paling rendah pada hari ke 5. Ekspresi Spag11a meningkat kembali setelah penambahan testosteron eksogen. Ekspresi Spag11a juga dipengaruhi oleh faktor testikular, dimana pada perlakuan parsial gonadektomi (gonadektomi testis kanan saja) terjadi penurunan ekspresi relatif Spag11a yang lebih cepat dan lebih signifikan pada epididimis kanan dibandingkan dengan epididimis kiri. Pada tingkat protein SPAG11A juga terekspresi secara spesifik pada caput, dan analisis immunohistokimia menunjukan SPAG11A diekspresikan oleh sel prinsipal.
Kesimpulan : Berdasarkan karakter Spag11a yang merupakan gen penyandi protein sekretori, terekspresi secara spesifik pada caput epididimis dan diregulasi oleh androgen maka dapat disimpulkan Spag11a terlibat dalam proses maturasi sperma. Penelitian lebih lanjut dalam tingkat uji fungsi perlu dilakukan.

ABSTRACT
Background: Epididymal sperm maturation occurs through interactions between sperm and proteins sereted by epididymal epithelium. Genes encode for proteins involved in the sperm maturation process are still largely unknown. Previous studies showed that genes involved in sperm maturation are regulated by androgen. Sperm associated antigen 11a (Spag11a) is one of the epididymal genes influenced by androgen based on a global DNA microarray analysis (Sipila et al, 2006). However, little is known about the putative role of this gene in the sperm maturation process.
Objective : To characterize expression and regulation of Spag11a genes in the mouse epididymis.
Design : In silico analyses combined with experimental study
Methods : In silico analyses were used to predict Spag11a gene structure and signal peptide. Semi quantitative RT-PCR was used to measure the level of Spag11a expression in the tissue distribution, androgen dependency and testicular factors analyses. Western blot was performed to analyze gene expression at the protein level whereas immunocytochemstry was performed to localize SPAG11A in the epididymal cell.
Results : SPAG11A is member of the defensin beta protein family and constitutes a secretory protein. Spag11a is expressed exclusively in the epididymis and not in other tissues. Moreover, Spag11a shows a region specific expression in the caput, typical for genes that is involved in creating a microenvironment suitable for sperm maturation. Spag11a expression is regulated by androgen. Significant decrease of Spag11a expression was observed after third day of gonadectomy (p<0.001). Interestingly, testosterone replacement therapy was able to bring the expression back to the normal level, indicating a high dependency on androgen. Besides androgen, testicular factor also slightly influence Spag11a expression. This was shown by partial gonadectomy experiment in which only the right testis was removed. Spag11a was down-regulated faster on the right epididymal caput compared to the left caput. Spag11a regional expression was also observed at protein level detected by Western immunoblot analyses showing a clear band in caput, not in other regions. Finally, the prediction that SPAG11A is a secretory protein was confirmed by immunocytochemical analyses showing a cell-specific expression in the principal cell. This cell type is known as the main secretor in the epididymal lumen.
Conclusion : Based on the characters of Spag11a, it is most likely that this gene has a specific role in the epididymal sperm maturation. Further investigations using functional assays are needed to confirm the putative role."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Suhana
"Pada penelitian ini telah dilakukan kultur darah yang berasal dari pria pasangan infertil dan pria fertil untuk mengetahui bagaimana hubungan spermiofag yang terbentuk in vitro (jika ke dalam medium kultur ditambahkan spermatozoa manusia ), dengan reaksi imun terhadap spermatozoa. Pria pasangan infertil dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: azoospermia, oligozoospermia dan normozoospermia. Pada pria pasangan infertil, maupun pada pria fertil, telah dilakaukan reaksi imunitas selular dengan menggunakan tea hambatan migarasi (THM), dan reaksi humoral dengan menggunakan tes aglutinasi Kibrick.
Dalam Seri penelitian lain, 3 ekor kera (Ilacaca fascicuiaris) jantan dewasa telah disuntik spermatozoa manusia yang telah dicuci. Tea aglutinasi Kibrick untuk mengetahui titer antibodi antisperma demikian juga tea spermiofag untuk mengetahui adanya reaksi imunitas selular, telah pula dilakukan pada kera.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terbentuknya spermiofag in vitro berkorelasi dengan reaksi imunitas selular, jika ada apakah terbentuknya spermiofag in vitro dapat dijadikan tes imunitas selular terhadap spermatozoa.
Penyuntikan kera dengan spermatozoa dimaksudkan untuk mengetahui apakah terinduksinya imun tubuh terhadap spermatozoa manusia dapat menyebabkan terjadinya orkitis pada kera?
Hasil penelitian yang diperoleh, menunjukan bahwa:
1. Spermiofag dapat timbul in vitro jika darah pria pasangan infertil maupun fertil dikultur bersama spermatozoa homolog.
2. Ada perbedaan frekuensi timbulnya spermiofag in vitro antara pria pasangan infertil dengan pria fertil.
3. Ada perbedaan frekuensi timbulnya spermiofag in vitro antara berbagai kelompok pria pasangan infertil, kecuali antara kelompok oligozoospermia dengan normozoospermia.
4. Ada korelasi antara frekuensi timbulnya spermiofag in vitro dengan tes hambatan migrasi (status imunitas selular) pada kelompok pria pasangan infertil oligozoospermia dan normozoospermia, sedangkan pada kelompok pria pasangan infertil azoospermia tidak ada.
5. Tidak ada hubungan antara frekuensi timbulnya spermiofag in vitro dengan status imunitas humoral pada semua kelompok pria pasangan infertil.
6. Antibodi antisperma dapat timbul pada kera yang disuntik spermatozoa manusia beberapa hari setelah penyuntikan pertama, dan akan menurun setelah beberapa bulan penyuntikan dihentikan.
7. Spermiofag dapat timbul in vitro jika darah kera percobaan, maupun darah kera kontrol, dikultur bersama spermatozoa manusia.
Perbedaan frekuensi timbulnya spermiofag in vitro antara kera percobaan dengan kera kontrol, hanya terjadi pada bulan kelima setelah penyuntikan. Degenerasi epitel tubulus seminiferus dapat timbul pada kera yang disuntik dengan spermatozoa manusia.
Karena terdapat korelasi yang bermakna antara jumlah relatif spermiofag dengan tes habatan migrasi yang menggambarkan reaksi imunitas selular, maka tes spermiofag in vitro dapat dijadikan petunjuk adanya reaksi imunitas selular, sehingga tes tersebut dapat digunakan sebagai salah satu cara tes imunitas selular.
Pada pria infertil azoospermia frekuensi reaksi imunitas humoral pada titer tinggi lebih sering daripada kelompok pria fertil, maupun pria pasangan infertil yang lain. Sebaliknya reaksi imunitas selularnya paling lemah, jika dibandingkan dengan kelompok yang lain. Pada penelitian ini semua kera percobaan mengalami degenerasi sel germinal, di samping itu juga semua kera percobaan memperlihatkan reaksi imunitas humoral yang cukup lama (kira-kira b bulan), sedangkan reaksi imunitas selularnya lemah dan berlangsung singkat. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diduga bahwa peranan reaksi imunitas humoral pada kera yang disuntik spermatozoa manusia lebih pelting daripada imunitas selular, dalam proses degenerasinya sel germinal, tubulus seminiferus. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1987
D337
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana Sjamsuddin
"ABSTRAK
Ruang Iingkup dan cara penelitian : Kemampuan spermatozoa untuk mengadakan fertilisasi harus didukung oleh motilitas spermatozoa. Salah satu penyebab infertilitas adalah gangguan motilitas pada spermatozoa. Pada astenozoospermia motilitas spermatozoa menurun. Seng termasuk elemen renik (trace element). Seng sitrat dapat meningkatkan motilitas spermatozoa manusia di dalam semen in vitro. Larutan Tyrode sebagai pengencer dan serum anak sapi (calf) dapat mempertahankan motilitas dan daya hidup spermatozoa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi larutan Tyrode, serum dan seng sitrat terhadap kualitas spermatozoa semen astenozoospermia manusia in vitro. Kualitas spermatozoa meliputi persentase spermatozoa motil dengan gerak maju dari penetrasi spermatozoa yang menembus (in vitro) getah serviks sapi masa estrus. Terlebih dahulu ditentukan waktu inkubasi yang optimum untuk meningkatkan persentase spermatozoa motil dengan gerak maju dari 5 sampel semen. Dengan waktu inkubasi optimum yang diperoleh penelitian dilanjutkan terhadap 30 sampel semen astenozoospermia pasangan ingin anak (PIA) dengan kriteria : volume > 2.5 mL; jumlah spermatozoa di dalam semen > 10 juta per mL; persentase spermatozoa motil < 50%. Masing-masing sampel semen dibagi 4, untuk kontrol (K), kontrol dengan perlakuan (Kdp), perlakuan (PI dan P2).
Hasil dan Kesimpulan : Penelitian pendahuluan menunjukkan waktu inkubasi 0,5 jam berpengaruh paling baik terhadap persentase spermatozoa motil dengan gerak maju di dalam semen. Hasil penelitian lanjutan, dengan analisis varian 2 arch, menunjukkan perbedaan bermakna (P < 0,01) antara persentase spermatozoa motil dengan gerak maju pada kelompok 0 dan 0,5 jam, juga antara kelompok K, Kdp, P1 dan P2. Uji BNT menunjukkan bahwa kelompok P2 setelah inkubasi 0,5 jam 37°C mempunyai persentase spermatozoa motil dengan gerak maju tertinggi. Kelompok P2 juga memperlihatkan penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks bertambah secara bermakna (P < 0,01)
Kesimpulan : Pengaruh pemberian kombinasi larutan Tyrode, serum dan seng sitrat masing-masing larutan Tyrode sebanyak 50%, serum sebanyak 5% dan seng sitrat dosis 183 mikrogram/mL pada semen astenozoospermia in vitro dapat meningkatkan persentase spermatozoa motil dan penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks bertambah.

ABSTRACT
Scope and Methods of study : The motility of spermatozoa is very important for fertilization. The disturbance of the sperm motile is one of the caused of male infertility. In the asthenozoospermia the motility of spermatozoa is descending. Zinc belong to trace element. Zinc citrate can increase motile spermatozoa in human semen in vitro. Solution of Tyrode as dilute and calf serum can stand in life and motile sperm. This study is intended to investigate the effects of combination of solution of Tyrode, serum and zinc citrate on the quality of human spermatozoa in vitro. The quality of spermatozoa consist the percentage of progressive motility and spermatozoa penetrating cervical mucus. The bovine cervical mucus in the estrous period was used instead of midcycle human cervical mucus. The optimal incubation period that can increase the percentage of progressive motility of spermatozoa was first determined on 5 semen samples. This incubation period was then used in further investigation on 30 sperm samples of asthenozoospermia from infertile men, which fulfill the criteria : volume of semen > 2,5 mL; percentage of progressive motility of spermatozoa < 50%; sperm count > 10 million per mL semen. Each semen samples was divided into 4 groups ; untreated control, treated control, treatment I and treatment 2.
Finding and conclusions : The preliminary study showed that incubation period of 0,5 hour was optimal to increase the percentage of progressive motility of spermatozoa. The follow up investigation by two way nova, showed a significant difference in the percentage of progressive motility of spermatozoa between the 0,5 hour and 0 hour incubation, and also between the four groups. BNT test showed the treatment 2 group after 0,5 hour incubation at 370C the percentage of progressive motility of spermatozoa was increased significantly (P < 0,01). Friedman's test on penetrating of spermatozoa cervical mucus showed that the treatment 2 group was increased 4 cm significantly (P<0,01).
Conclusions : The effects of combination of solution of Tyrode, serum and zinc citrate instead of solution of Tyrode 50%, serum 5% and zinc citrate 183 ug/mL on human asthenozoospermia semen in vitro, the percentage of progressive motility of spermatozoa was increased and spermatozoa penetrating cervical mucus was increased.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edesmetiana Sri Hernawati
"ABSTRAK
Motilitas spermatozoa merupakan salah satu faktor penentu untuk keberhasllan terJadinya pembuahan. Telah diketahul bahwa, glikosida Jantung dapat meningkatkan motilitas spermatozoa pada hewan, melalui penghambatannya pada aktlvltas enzim Na+,K+ -ATP-ase yang terdapat pada membran plasma ekor spermatozoa. Dalam penelitian ini, Ianatoslde-C sebagal salah satu senyawa glikosida Jantung diberikan pada spermatozoa manusia. Sampel semen yang digunakan berasal dari 30 pria pasangan infertil yang mempunyal persentase motilitas spermatozoa lebih dari 40% dan Jumlah spermatozoa lebih dari 20 Juta per ml.
Sampel semen diencerkan dalam larutan Hanks sampai didapatkan Jumlah spermatozoa sepuluh Juta per ml. Kemudlan semen tersebut dibagl menjadi empat bagian, dan ke dalam maslng-masing bagian ditambahkan dua mI larutan Hanks tanpa lanatoside-C (sebagal kontrol), dua mI konsentrasi lanatoside-C 1O-9 M, 10-7 M, dan 10-5 M. LaIu masing-masing diinkubasi pada suhu 37oC selama 20, 40, 60, dan 8O menit. Penghitungan persentase motilitas spermatozoa dilakukan dengan menggunakan metoda WHO, yaitu dengan menghitung jumlah spermatozoa baik yang motil maupun imotil pada sepuluh lapangan pandangan yang terplsah dan diIakukan secara acak.
Hasll uji statistik nonparametrik Friedman pada α = 0,01 menunjukkan bahwa, pemberlan larutan lanatoside-c ke dalan semen manusia dapat neningkatkan motilitas spermatozoa pada konsentrasi 10-7 M, sedangkan dengan konsentrasi 10-9 M juga meningkat tetapl tidak berbeda nyata dari kontrol. selain itu dapat menurunkan motilitas spermatozoa pada konsentrasi 10-5M. Motilitas spermatozoa pada konsentrasi 10-7 M dan 10-9 M tersebut dapat dipertahankan sampai 60 menit waktu inkubasi (α =0,05). Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah: Diantara ketiga konsentrasi yang digunakan, motilitas spermatozoa tertinggi terdapat pada semen dengan perlakuan larutan lanatoside-c 10-7 M, yang dapat dipertahankan sampai 60 menit waktu inkubasi. Disarankan: Melakukan penelitian yang sama pada pria pasangan fertil atau pada pria pasangan infertil yang mempunyai spernatozoa yang honogen dalam keutuhan membran."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinari Kirana Satyani
"ABSTRAK
Motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
di antaranya keadaan lingkungan tempat hidupnya. Bakteri
adalah salah satu jenis mikroorganisme pencemar lingkungan
hidup spermatozoa, sehingga menurunkan motilitas spermatozoa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
dua jenis bakteri terhadap motilitas spermatozoa, yaitu
Eschericbia coli dan Proteus mirabilis. Terdapat tiga
perlakuan, yaitu: semen diinokulasi dengan nutrien broth
sebagai kontrol; semen diinokulasi dengan E. coli, dan
semen diinokulasi dengaa P. mirabilis kemudian masing-masing
diinkubasi selajna 30 menit pada suhu kamar.
Uji statistik menunjukkan adanya pengaruh bakteri yang
diberikan terhadap motilitas spermatozoa setelah diinkubasi
selama 30 menit. Terdapat perbedaan rata-rata motilitas
spermatozoa: antara kontrol dengan yang diinokulasi E. coli',
antara kontrol dengan yang diinokulasi P. mirabilis', dan
antara yang diinokulasi E. coli dengan yang diinokulasi
P. mirabilis. Inokulasi E. coli pada semen mengakibatkan
penurunan motilitas serta timbulnya aglutinasi spermatozoa,
sedangkan inokulasi P. mirabilis hanya mengakibatkan
penurunan motilitas spermatozoa.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonina
"Telah dilakukan penelitian laboratorium untuk mengetahui pengaruh
pemberian 13-Metildigoksin secara in vitro terhadap motilitas spermatozoa
manusia golongan astenozoospermia. Sampel semen yang digunakan
berasal dari 30 pria lbasangan ingin anak (PIA) dengan syarat: volume semen
lebih dari 2 ml, jumlah spermatozoa lebih dari 10 juta per ml semen,
persentase spermatozoa yang bergerak maju dan lurus (kategori (a)) clan
spermatozoa bergerak lambat atau sulit maju lurus atau bergerak tidak lurus
(kategoni (b)) antara 40% sampai 50%. Sampel semen tenlebih dahulu dicuöi
dengan menggunakan larutan Hank, kemudian dibagi menjadi empat
.kelompok perlakuan yaltu satu kelompok kontrol yang dibeni 2 ml larutan
Hank tanpa 13-Metildigoksjn clan tiga kelompok perlakuan yang diberi masingmasing
2 ml larutan 13-Metildigoksjn dengan konsentrasi 10-4 , I0, dan
10 10 M, lalu diinkubasj pada suhu 370C selama 20, 40, dan 60 menit.
Perhitungan persentase motilitas spermatozoa menggunakan metode WHO,
dengan menghitung jumlah spermatozoa motil dan immotil pada beberapa
lapangari pandang yang berbeda secara acak dan dilakukän di bawah
rnikroskop medan terang. Hasil uji Tukey (a = 0,05) menunjukkan bahwa
pemberian in vitro f3-Metildigoksin pada konsentrasi 10 clan 10 10 M
meningkatkan motilitas spermatozoa yang dipertahankan sampai waktu
inkubasi 40 menit, sedangkan pada konsentrasi 10 M semakin lama waktu
inkubasi semakin menurunkan motilitas spermatozoa. Motilitas spermatozoa tertinggi diperoleh pada pemberian 3-MetiIdigoksin pada konsentrasi 10' M
pada waktu inkubasi 40 menit."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Retno Sariningsih
"ABSTRAK
Abstinensi adalah jarak waktu antara dua ejakulasi
berturutan- Masa abstinensi merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi parameter semen. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
yang nyata pada beberapa parameter semen, dari hasil
analisis semen dengan masa abstinensi 3, 5, dan 7 hari.
Sampel semen diperoleh dari 12 donor pria fertil
yang normozoospermia, yang datang ke Bagian Biologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Masing-masing
donor memberikan semennya 3 kali dengan masa
abstinensi masing-masing 3, 5, dan 7 hari, sehingga
diperoleh 3 kelompok data.
Hasil analisis statistik dengan uji Kruska1-Wallis
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada jumlah
spermatozoa/ml ejakulat dan viabilitas spermatozoa,
sedangkan kecepatan gerak dan persentase morfologi
normal spermatozoa tidak berbeda nyata.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1992
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulita Witantina
"ABSTRAK
Dalam menangani kasus infertilitas, inseminasi
buatan atau fertilisasi in vitro dengan semen suami
sering dilakukan. Dalam hal ini diperlukan kualitas
spermatozoa yang cukup baik, terutama gerak dan
kecepatan spermatozoa. Semen dengan kualitas spermato
zoa yang kurang baik masih dapat ditingkatkan dengan
car a sperm washing dengan menggunakan metode swim up
dalam medium tertentu. Dalam penelitian ini dilakukan
studi perbandingan antara tiga macam medium, yaitu
Ham's Kramer dan untuk diketahui yang mana
paling baik dapat menyeleksi spermatozoa dengan kuali
tas yang baik dan perbandingan konsentrasi, kecepatan
dan motilitas spermatozoa sebelum dan sesudah dilakukan
proses swim up.
Sebanyak 20 sampel semen pria normozoospermia
pasangan infertil diperoleh dari Bagian Biologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI),
Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FKUI dan Rumah Sakit
Yayasan Pemeliharaan Kesehatan, Jakarta. Setiap semen
yang dilakukan proses swim up masing-masing dengan
Hams F10, Kramer dan diamati di bawah mikroskop
konsentrasi, kecepatan dan motilitasnya sebelum dan
sesudah spermatozoa motil melakukan swim up.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>