Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181766 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Belinda Gunawan
"Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di Republik Indonesia adalah ?kekuasaan kehakiman yang merdeka?. Hakim disini memegang peran sentral dalam peradilan sebagai personifikasi dari peradilan, sehingga kedudukan hakim dan kemerdekaan hakim harus dijamin dalam sebuah undang-undang (UU). Saat ini, kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim di Republik Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang terdapat pada UUD 1945 dan instrumen-instrumen internasional. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dilengkapi dengan pendekatan sejarah, perbandingan dengan negara lain dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa UU No. 48 Tahun 2009 telah memiliki norma-norma yang mengatur kemerdekaan hakim, namun tetap masih terdapat kekurangan dan ketidaklengkapan dari materi UU No. 48 Tahun 2009 dalam melindungi kemerdekaan hakim, sehingga perlu diadakan perbaikan terhadap UU No. 48 Tahun 2009.

Article 24 of The 1945 Amended Constitution of Republic of Indonesia stated that "The judicial power branch shall be independent". In here, judge has a central role on the judiciary, that judge as the personification of judiciary, therefore judge's status and independence shall be secured by law. Now, the judicial power is regulated on Act No. 48 Year 2009 (The Judical Power Act), so then the purpose of this writing is to analyze the substance of Act No. 48 Year 2009 in accomodating judge's independence in the Republic of Indonesia based on the judicial principles on the 1945 Constitution and international instruments. This is a normative study and also be improved by historical approach, comparative approach and case study method. The result of this study showed that the Act of No. 48 Year 2009 has contained the general norms to protect judge?s independence, but still has to be revised because of its material incompleteness in order to protect judge's independence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62602
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Nurdianto
"Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya yakni tanggal 12 April 2002. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hingga sekarang, kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak belum dialihkan kepada Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan polemik tersendiri dalam lingkungan Peradilan di Indonesia, khususnya untuk Pengadilan Pajak. Dalam yudisial review terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak di Mahkamah Konstitusi, yaitu putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 dan putusan Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, bahwa adanya ketentuan yang menyatakan pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan bahwa dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa sebagai lembaga peradilan, Pengadilan Pajak mempunyai kekhususan tersendiri, dalam hal ini termasuk dalam pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa, Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan, hal tersebut telah mencerminkan adanya pemisahan kekuasaan. Di sini jelas terlihat adanya pemisahan kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif berada di bawah Departemen Keuangan, yang saat ini adalah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan kekuasaan yudikatif berada dibawah Mahkamah Agung. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan pajak yang saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dilaksanakan Departemen Keuangan hendaknya diserahkan ke Mahkamah Agung. Menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif, dalam hal ini departemen, meskipun yang ditempatkan dibawahnya hanya organisatoris, administratif dan financial, sistem seperti ini baik langsung maupun tidak langsung merupakan simbol pengakuan yuridis bahwa badan peradilan di bawah departemen yang bersangkutan. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya pemisahan yang tegas antara kekuasaan-kekuasaan negara.

[Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease which go into operation commencing from the date of its it[him] namely the 12 April 2002. Delivering birth of [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease (it) is true impress to peep out dualisme that impressing Justice of Iease, which only dimiciling [in] Jakarta, that beyond judicial power which [is] arranged in [Code/Law] Number 48 Year 2009 about Judicial Power. Until now, kewenangan construction of organization, finance and administration Justice of Iease not yet been transferred to Appellate Court. This Matter generate separate polemic in Jurisdiction environment in Indonesia, specially for the Justice of Iease. In review yudisial to [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease [in] Lawcourt Constitution, that is Number verdict 004/PUU-II/2004 and Number verdict 011/PUU-IV/2006, Lawcourt Constitution have a notion that Justice of Iease of[is included in jurisdiction environment which under Appellate Court as expressed by Section 24 sentence ( 2) Constitution 1945. The decision taken pursuant to consideration that the lawsuit can raise Sighting Return of Decision Justice of Iease to Appellate Court, that there is rule him expressing technical construction [of] jurisdiction to Justice of Iease [done/conducted] by Appellate Court, and that Civil service arbitration tribunal environment can be performed [a] [by] peculiarity which regulate, in this case [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease. In the balance [of] Lawcourt Constitution also have a notion that as jurisdiction institute, Justice of Iease have separate specialty, in this case the included in construction of organization, administration, and finance [done/conducted] by Treasury Department. Rule Section 5 sentence ( 1) and sentence ( 2) [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease expressing that, Technical construction [of] jurisdiction to Justice of Iease [done/conducted] by Appellate Court; and Construction of organization, administration, and finance to Justice of Iease [done/conducted] by Treasury Department, [the] mentioned have expressed the existence of dissociation of power. Clear here seen the existence of dissociation of power, that is power of executive under Treasury Department, what in this time [is] Ministry Of Finance Republic Of Indonesia and power of yudikatif reside in below/under Appellate Court. Construction of organization, administration, and finance justice of Iease which in this time pursuant to [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease executed [by] Treasury Department shall be delivered to Appellate Court. Placing jurisdiction body below/under executive, in this case department, though which [is] placed under him only organisatoris, administrative and financial, system like this indirect and also direct goodness represent symbol confession of yuridis that jurisdiction body below/under pertinent department. One of [the] characteristic of body politic [is] the existence of coherent dissociation [among/between] powers of state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Salim
"Untuk dapat menjalankan fungsinya yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, sebuah undang-undang tentu harus dirumuskan secara jelas, tidak mengandung kecacatan substansial, dan tidak menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Merupakan sebuah tanggung jawab bagi perancang peraturan perundang-undangan dan merupakan fungsi dari Ilmu perundang-undangan untuk mewujudkan hal tersebut. Rumusan sebuah pasal sangat menentukan dapat atau tidak dapatnya hukum memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi manusia. Tidak dirumuskannya sebuah undang-undang secara baik akan menimbulkan permasalahan yang pelik, contohnya adalah diterimanya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana oleh Mahkamah Agung. Ketidakjelasan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang peninjauan kembali menimbulkan berbagai macam penafsiran yang sayangnya tidak sesuai dengan hakikat dari peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap rumusan pasal-pasal tersebut perlu diadakan perbaikan dan karena proses perubahan sebuah undang-undang memakan waktu, tentunya terhadap pasal-pasal yang masih berlaku tersebut perlu diterapkan sebuah metode penafsiran yang tepat.

In order to apply its function as has been mandated under the Constitution of the Republic of Indonesia, an act must be formulated clearly, doesn’t have a substantial defects, and doesn’t cause any incosistency in its implementation at the whole level. It is a duty for a legal drafter to make sure that it is done properly and it is the functions of the legislation theory to implement it. The drafting of each articles in an act is essential towards to ensure its impartiality and its certainty, also its benefit towards the people governed by it. Fraud of act’s legal drafting process will cause a huge consequences. Example given, the approval of a case review requestas has been appealed by Prosecutor to a legal and binding judgment in a criminal case by the Supreme Court of the Republic of Indonesia. The uncertainty in articles that governs about the rights to file a case review will cause a misinterpretation and distorting the basic philosophy of the case revie (herziening) itself. Hence, the drafting of an act’s article must be coordinated together with revision and in such a lengthy time-frame, especially to implement the interpretation of the articles properly."
Universitas Indonesia, 2014
S54028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardyansyah Jintang
"Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman adalah sesuatu yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 juga mengatur keberadaan badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Tulisan ini membahas ruang lingkup badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan bagaimana Konsep Ideal Independensi badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni menggunakan sumber hukum primer, sekunder dan tersier sebagai bahan penelitian. Tulisan ini menemukan ruang lingkup badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman adalah badan yang memiliki fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yakni di antaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Organisasi Advokat, dan Badan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Namun tidak semua dari fungsi-fungsi tersebut telah terdapat badannya yang diatur dalam undang-undang. Tulisan ini mengusulkan idealnya dilakukan perubahan pengaturan kelembagaan dan pembentukan badan baru untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yakni perubahan pada lembaga Kejaksaan, pembentukan Organisasi Advokat oleh negara, pembentukan Badan Eksekusi Negara, dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Nasional, sehingga independensi dari badan-badan tersebut tetap terjaga sebagai yang terkait atau bagian dari kekuasaan kehakiman.

This thesis examines the scope and concept of bodies related to the judiciary's The Independence of the Judicial Power is guaranteed by Article 24, paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945). Article 24, paragraph (3) of the UUD 1945 also regulates the existence of bodies related to Judicial Power. This thesis discusses the scope and concept of these bodies that are related to Judicial Power and the ideal concept of their independence in Indonesia. This research used legal-normative method, employing primary, secondary, and tertiary legal sources. The thesis finds that the scope of bodies related to Judicial Power includes those with functions in investigation and prosecution, execution of court decisions, provision of legal services, and dispute resolution outside the court, i.e., the Police, the Prosecutor's Office, Penitentiary Institutions, Bar Associations, and Resolution of Disputes outside of the Judicial System Bodies. However, not all of these functions have corresponding bodies established by law, thus this thesis proposes institutional arrangements should be changed, and several new bodies should be established to implement the provisions of Article 24, paragraph (3) of the UUD 1945. These changes include reforms to the Attorney General's Office, the establishment of a State Bar Association, the creation of a National Execution Body, and the formation of National Dispute Resolution Body, so that the independence of these bodies is maintained as related or part of the judicial power."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakti Lazuardi
"Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sistematika kekuasaan yudisial dan kaitannya dengan indepedensi kekuasaan kehakiman ? dan bagaimana pengawasan hakim konstitusi pasca Judicial Review UU KY ? Salah satu unsur utama negara hukum adalah Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak. Hal ini membawa konswekensi tidak diperbolehkannya intervensi dalam bentuk apapun terhadap kekuasaan kehakiman yang terkait dengan kewenangan yudisial dari hakim yaitu memeriksa, memutus perkara dan membuat suatu ketetapan hukum. Namun dampak dari indepedensi hakim tersebut maka perlu diciptakan sistem pengawasan yang menyeluruh yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh kalangan hakim sendiri dan pengawasan eksternal dilakukan oleh kalangan di luar hakim dalam hal ini Komisi Yudisial. Dalam hal ini hakim konstitusi, maka hakim konstitusi harus mendapatkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Hal ini tercantum di dalam Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan dan di tegaskan di dalam UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Komisi Yudisial kehilangan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi karena Mahkamah Konstitusi menilai pengaturan mengenai pengawasan hakim konstitusi di dalam UU No.22 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu demi menjaga imparsialitas dari para hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain. Padahal kebebasan yang tidak diiringi oleh akuntabiltas sangat berpotensi untuk melahirkan korupsi yudisial. Oleh karenanya mewujudkan indepedensi kekuasaan kehakiman serta peradilan yang bebas dan tidak memihak, perlu diadakan pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial.

Abstract
The method used in this study is a juridicial normative method with a secondary data that consist of primary, secondary, and tertiary law's source. A things that being a problem in this study is how is a systematic of judicial power and its relation with independence of judiciary power. And how is a supervision of constitusional judge post Judicial Review Undang-Undang Komisi Yudisial? One of the main element in state law is a justice that independent and impartial. This point creates a consequence about prohibition to do an intervention in any form against judiciary power that has a relation with judicial authority of judge, namely checking, deciding upon, and making a legislation. However, because of there's an impact of the independence of judge, it have to created a comprehensive supervision system, namely internal and external supervision. An internal supervision is done by among judge themselves and external supervision is done by circle outside of judges, namely Komisi Yudisial. In this case, constitutional judges must get an external supervision by Komisi Yudisial. It listed in Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 results of change and it confirmed in UU No. 22 Tahun 2004 about Komisi Yudisial. However, post-verdict of Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Komisi Yudisial has lost an authority to do supervision against constitution judges. It happened because Mahkamah Konstitusi assessed that an adjustment about a supervision of constitutional judges in UU No. 22 Tahun 2004 is contradicted with UUD 1945. Moreover, to guarding an impartiality of constitutional judges, Mahkamah Konstitusi was declare that they can not be supervised by other state board. Whereas a freedom that not accompanied an accountability is potentially to create a judicial corruption. Because of this, to realize an independence of judicial power and an independent and impartial justice, it have to held a supervision of constitutional judges by Komisi Yudisial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S445
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adib Alhakim
"ABSTRAK
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Akta notaris merupakan suatu alat bukti tertulis, sesuai dengan Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa bukti tulisan merupakan satu alat bukti disamping alat-alat bukti lainnya. Demikian luasnya lingkup kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada notaris, membuat semakin banyak notaris yang tersangkut masalah. Pada tahun 2014 dengan disahkannya UUJN Tahun 2014 rupanya tidak memberikan perubahan yang berarti dalam hal perlindungan hukum terhadap notaris. UUJN tahun 2014 hanya merubah kewenangan pemberian izin kepada penegak hukum dalam hal pemanggilan
untuk kepentingan pemeriksaan proses peradilan notaris dari yang semula ada pada Majelis Pengawas Daerah menjadi kepada Majelis Kehormatan Notaris. yang apabila sekilas ditinjau dengan pasal 2 ayat 4 UU tentang Kekuasaan Kehakiman maka dapat dilihat bahwa terdapat ketidaksesuaian antara pasal 66 ayat 1 UUJN dan pasal 2 ayat 4 UU Kekuasaan Kehakiman. Adapun yang menjadi permasalahan dari penulisan judul ini adalah Bagaimanakah kedudukan Majelis Kehormatan Notaris ditinjau dari Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan apakah terdapat perbedaan antara kewenangan Majelis Kehormatan Notaris dengan kewenangan Majelis
Pengawas Daerah Notaris yang telah dibatalkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 94/PUU-X/2012. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara narasumber dengan metode pengolahan data kualitatif. Bertolak dari uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut, Majelis Kehormatan Notaris sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin kepada penegak hukum dalam hal pemeriksaan terhadap seorang Notaris sebagaimana diatur dalam pasal 66
UUJN, memiliki kedudukan yang tidak bertentangan dengan ketentuan kemandirian sorang hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan yang dimiliki oleh majelis kehormatan notaris untuk memberikan izin kepada penegak hukum berbeda dengan kewenangan yang sama yang dahulu dimiliki oleh majelis pengawas daerah notaris.

ABSTRACT
Notary was an official authorized to made the authentic deed and other authority as referred to in notary act. A notarial deed is an apparatus written evidence, in accordance with article 1866 Indonesia's civil law act, that the evidence writing is an equipment evidence besides tools
another sign. This covers scope authority provided by notary act, make more notary piling up problem.In 2014 with endorsed in 2014?s notary act apparently not give an impact in terms of legal protection against notary. 2014?s notary act only change delivery authority permission to law enforcement in terms of calling for the benefit of a judicial process notary of that was to
assemblies of supervisors region to the tribunal honor notary. When a glance reviewed with article 2 paragraph 4 laws on judicial power it can be seen that some mismatch between article 66 paragraph 1 notary act and article 2 paragraph 4 law judicial power. As for that has been a problem of writing this title is how a the tribunal honor notary in terms of the act about power
and judicial do there are differences between authority the tribunal honor notary with the authority the tribunal local control of the notary who has been cancelled by the judgment of the constitutional court number: 49/PUU-X/2012. The methodology used in this research is juridical normative. Data collection techniques using literature study and interview and processed
qualitatively data. Depart from the discussion formerly so can be concluded the following, the tribunal honor notary as an institution which has the authority to bestow upon law enforcers in terms of checking to a notary as stipulated in section 66 notary act , having a place do not
conflict with the independence a judge as regulated by law judicial power as regulated by law judicial power. Their authority under regional autonomy by the honor notary to give permission to law enforcement different with the authority same before owned by the notary regional inspectorate."
2016
T46622
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Eka Jaya, 2004,
R 342.02 Und
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Bagir Manan
Jakarta: Mahkamah Agung , 2005
347.01 BAG s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mulia Abadi
"Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang ketenagalistrikan terjadi pergeseran dalam hak monopoli Negara dalam industri ketenagalistrikan, dimana sebelumnya hak monopoli dijalankan sepenuhnya oleh PT PLN (Persero) selaku pemeran Utama dalam indsutri ketenagalistrikan yaitu sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, sekarang PT PLN (persero) hanyalah sebagai pemeran pembantu dalam industri ketenagalistrikan bersama Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, swasta, dan swadaya masyarakat, yaitu sebagai Pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik. hal inilah yang menjadi pokok permasalahn dari penelitian ini, yaitu pergeseran hak monopoli Negara dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang ketenagalistrikan dikaitkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dimana penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah walaupun Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang ketenagalistrikan tidak bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, namun sesungguhnya telah terjadi pergeseran dalam hak monopoli Negara dalam industri ketengalistrikan. Disarankan agar pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan kembali seperti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985, dimana Negara menguasi penuh industri ketenagalistrikan ini.

With the enactment of Act Number 30, 2009 Concerning electricity there was a shift in the State monopoly in the electricity industry, where previously a monopoly run entirely by PT PLN (Persero) as the main actor in indsutri electricity who acting as holder of the Electricity Business Authority, now PT PLN ( Persero) is just a supporting role in the electricity industry together with Regional-Owned Enterprises, cooperatives, private and governmental organizations, namely as a license holder Electricity Providers. it is the primary issues of this study, namely the shift state monopoly in Act No. 30 of 2009 on electricity associated with Article 33 of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 and Act Number 5, 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition, where this research uses normative research method.
Conclusion from this study is that although the Constitutional Court has established Act Number 30, 2009 concerning electricity is not contrary to Article 33 of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, but actually has a shift in the State monopoly in the industry electricity. It is recommended that the government revise Act Number 30, 2009 concerning Electricity back as Act Number 15, 1985, in which the State have full monopoly in electricity industry.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>