Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104613 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rayhan Rahman
"Skripsi ini menjelaskan keterkaitan relasi kelompok biksu dengan rejim militer SLORC/SPDC dan pengaruhnya terhadap peran kelompok biksu sebagai counterbalance power periode 1988-2011. Tujuan skripsi ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai relasi kelompok biksu dengan rejim militer SLORC/SPDC dan pengaruhnya terhadap peran yang dijalankan oleh kelompok biksu sebagai counterbalance power. Temuan skripsi ini pertama, relasi kelompok biksu dengan rejim militer mengarah kepada pelemahan kekuatan kelompok biksu yang dilakukan dengan strategi korporatisme negara, kooptasi, hegemoni ideologi, serta peraturan dan aksi represif dari rejim militer. Kedua, relasi kelompok biksu dan rejim militer mendorong biksu berperan sebagai counterbalance power. Ketiga, peran kelompok biksu sebagai counterbalance power dijalankan dalam fungsi representasi, resistensi, dan watchdog.

This undergraduate thesis attempts to analyze the linkage of Buddhist monks and Military Regime SLORC/SPDC relations and its effect on the role of the Buddhist monks as a counterbalance power period 1988-2011. The purpose of this study is to explain the relation of Buddhist monks with the military regime SLORC/SPDC and its effect on the role played by Buddhist monks as a counterbalance power. The first findings of this research is Buddhist monks relations with the military regime leads to the weakening of the power of Buddhist monks, who carried out the strategy of state corporatism, cooptation, ideological hegemony, and regulatory and repressive actions of the military regime. Secondly, relations between Buddhist monks and the military regime encourage Buddhist monks to act as a counterbalance power. Third, the role of the Buddhist monks as a counterbalance power operates as a representation function, resistance, and watchdog."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Prasetyo
"Rezim militer SLORC/SPDC di Myanmar merupakan salah satu rezim otoritarian terkuat dan terlama di dunia. Setelah bubarnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin di awal dekade 90, banyak negara-negara otoritarian berbondong-bondong menjadi negara demokrasi. Menariknya, rezim militer ini mampu mempertahankan kekuasaan dari arus deras gelombang demokratisasi. Skripsi ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang mendukung kekuasaan rezim militer SLORC/SPDC dari tahun 1988-2010. Dalam temuan penelitian, penulis melihat ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kekuasaan rezim militer ini. Faktor internal, yakni kepentingan ekonomi dan bisnis rezim militer SLORC/SPDC dan kontrol politik ketat yang dilakukan oleh rezim militer SLORC/SPDC. Sementara itu faktor eksternal, yakni lemahnya desakan ASEAN dan dukungan pemerintah China terhadap rezim militer SLORC/SPDC.

The military regime SLORC/SPDC in Myanmar is one of the strongest and longest military regime in the world. After dissolution of the Soviet Union and collapse of the Berlin Wall in the early decades of 90, many authoritarian countries move into democracy massively. Interestingly, this military regime was able to maintan the power of the rapids wave of democratization. This thesis tries to analyze the factors that support the power of the military regime SLORC/SPDC from the year 1988 until 2010. The author finds internal and external factors that affect the power of the military regime. Internal factors are bussiness and economy interest and tight political control of military regime SLORC/SPDC. Meanwhile, the external factors are the weak of ASEAN pressure and support from China government for the military regime SLORC/SPDC."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melbourne: Trans Pacific Press, 2008
303.482 GLO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Ibrahim
"Civil society merupakan istilah yang lahir dari Barat dan menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, seiring dengan merebaknya konsep demokrasi. Munculnya istilah tersebut bukan tanpa problem, karena, dikalangan tokoh civil society sendiri seperti; Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Roussaue, Tacqueville dan Gramcsi telah terjadi pertentangan dalam memproposionalkan konsep civil society.
Bagi Negara-negara Arab, istilah civil society pertama kali dipopulerkan pada tahun 70-an oleh Burhan Ghaliyyun, seorang sosiolog asal Suriah. Kemudian tahun 80-an, mendapat perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan baik politisi, intelektual, akademisi, aktivis maupun birokrat dari kalangan pemerintah. Hal ini terbukti dengan apa yang dilakukan oleh Markaz ad-Dirasat al-Wihdah al Arabiyah (Pusat Kajian Uni Arab) yang berpusat di Libanon, dan Markaz Ibnu Khaldun Liddirasat Al-Inma'i (Pusat Kajian pengembangan dan pembangunan Ibnu Khladun) yang berpusat di Kairo. Puluhan buku telah diterbitkan dan berbagai seminar telah digelar oleh kedua pusat studi tersebut. Sejauh yang penulis teliti, setidaknya, telah dilakukan penelitian secara khusus terhadap 13 negara; Mesir, Kuwait, Libanon, Palestina, Suriab, Qatar, Somalia, Sudan, Yaman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania dan Train Civil society di Negara-negara Arab (Mesir, Suriah dan Kuwait) berkembang melalui dua faktor utama; pengaruh arus golobalisasi, dan sosial budaya dan sistem politik bangsa Arab yang bersifat diktator dan monarkhi. Baik di Mesir, Suriah dan Kuwait perkembangan civil society secara drastis berlangsung sejak tahun 80-an, dan difahami sebagai kerangka demokrasi.
Di Mesir, untuk menciptakan iklim demokrasi perlu penguatan civil society, diikenal dengan coraknya yang sekuler, telah membuka peluang besar untuk melakukan aktivitas-aktivitas orgnanisasi formal dan non formal, pemerintah dan non pemerintah. Sehingga pada 1993, organisasi di Mesir telah mencapai 14.000 lembaga. Namun, dominasi Partai Demokrasi Nasional atau Al-Hizb Al-Wathani Ad-Dimugraty, sebagai partai rezim penguasa, telah menjadi penghambat kebebasan partai-partai lain untuk menyuarakan suara rakyat.
Sementara di Kuwait, nampak hambatan-hambatan penerapan civil society yang lebih disebabkan oleh sistem pemerintahan yang kurang mendukung, Sistem Ke Emiran tidak sepenuhnya memberikan kebebasan kepada rakyatnya umtuk berkelompok dan berorganisasi. Contoh kasus, Partai menjadi kegiatan terlarang, karena tidak didukung oleh undang-undang yang berlaku. Namun fenomena civil society telah berlansung baik melalui pemberdayaan organisasi-organisasi dan asosiasi non formal atau non pemerintah. Karenanya, hingga 90-an hanya terdapat sekitar 50 lembaga dan asosiasi baik yang bersifat sosial maupun profesi.
Sedangkan di Suriah, civil society mengalami perjalanan yang lebih sulit bila dibandingkan dengan Mesir dan Kuwait. Meskipun diketahui bahwa tokoh yang pertama kali mempopulerkan istilah civil society adalah cendekiawan asal Suriah. Suriah telah menggunakan sistem partai tunggal, Partai Baath. Hanya Partai Baath-lah yang mendomiriasi segala bentuk kegiatan sipil di Suriah. Meskipun demikian, di Suriah terdapat 450 organiasi.
Singkatnya, perkembangan civil society di Negara-negara Arab dapat dikategorikan sebagai fase melampaui gelombang pertama menuju gelombang kedua, dimana proporsionalisasi pole civil society dalam fase ini sedang diupayakan legalitasnya dalam masyarakat Arab dan Timur Tengah. Meskipun ada yang menklaim, bahwa civil society dan demokratisasi di Timur Tengah adalah naif.
The Development of Civil Society In Arab States (Democratization Process in Egypt, Syria and Kuwait)Civil society that is term which born from west and disseminate to all state in the world, along disseminate conception democracy. Existence of the term non-without problem, because at figure of civil society like: Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Rousseau, Tacqueville and Gramsci have been happened opposition of substantive in conception civil society.
In Arabic States, term of civil society in the firs time popularized in 70s by Burhan Ghaliyyun, a sociologist from Syria, then, in 80s, profound interest from good everybody of politician, intellectual, academic, activist and also bureaucrat from government. Proven is by what conducted by Markaz ad-dirasat al-Wihdah Al-Arabiyah (Uni Arab Study Center) in Lebanon, and Markaz Ibnu Khaldun Lidirasaat al Inma'i (Development of Ibnu Khaldun and Study Center) In Cairo. Tens of books have been published and various seminars have been performed by second center Study. As far as in writer research, previous, have been a researched peculiarly to 13 state; Egypt, Kuwait, Lebanon, Palestine, Syria, Qatar, Somalia, Sudan, Yemen, Bahrain, Uni Emirate Arab, Jordan and Iraq. Civil society in Arab States (Egypt, Syria and Kuwait) expanding through two primary factor: influence of globalization current, and the political system nation Arab having character of dictator and monarchy. Either in Egypt, Syria and Kuwait growth civil society drastically takes place since 1980, and comprehended by as framework democratizes.
In Egypt, to create climate of democracy need support civil society recognized with its characteristic is secular, have opened big opportunity to (do/conduct) formal organizational activity and non-formal, government and non government. So those in 1993, organization in Egypt have reached 14.000 institutes. But, predominate Party of National Democratize or Al-Hizb AI-Wathany ad-Dimugraty, as party of power regime, have come to resistor freedom of other; dissimilar party to accommodate people aspiration.
For a while in Kuwait, applying resistance civil society what more because of system government which less support, emirate system is not full give freedom to his people to team and have the organization. Follow the example of case, party become forbidden activity, because is not supported by law going into effect. But phenomenon civil Society has taken place, goodness of through organizational enable ness and association of non formal or non government. Hence, till 1990 only there are about 50 association and institute of both for public spirited and also profession.
While in Syria, civil society experience of more difficult; journey if compared to Egypt and Kuwait. Though known that, the first figure multiply to popularize term civil society is origin Syria intellectual. Syria has used single party, Party Baath. Only Party Baath predominating all the form of the civil activity in Syria. Nevertheless, in Syria there are 450 organizations.
The conclusion from above opinion the growth of civil society in Arab can be categorized as first wave phase to second wave, where correct from of civil society in this phase is being strived its legality in Middle East and Arab Society. Though there is claiming, that civil society democratization and in Arab is not possible."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdi Rahmat
"LSM selama rezim Orde Baru diakui berperan penting dalam proses kebangkitan masyarakat di Indonesia. Kebangkitan dalam pengertian naiknya posisi tawar masyarakat di hadapan negara, khususnya pemerintah. Begitu pula halnya dengan WALHI, sebagai LSM yang bergerak di isu lingkungan, dan menempatkan isu lingkungan tersebut dalam konteks demokratisasi. Di paruh akhir rezim Orde Baru, kaiangan LSM, termasuk di dalamnya WALHI, umumnya memainkan peran pengimbangan terhadap negara dengan cara konfliktual dan frontal. Hal ini karena memang rezim Orde Baru yang dihadapi ketika itu berwatak otoriter dan represif.
Namun, perkembangan yang terjadi pasca refomasi menunjukkan fenomena mulai terbentuk dan berjalannya institusi-institusi demokrasi. Kekuasaan tidak lagi terpusat di pemerintah pusat, tapi sudah tersebar ke lembaga-lembaga negara lainnya, dan juga ke daerah. Sementara di tingkat masyarakat, terjadi pula perubahan-perubahan yang cenderung menjauh dari nilai-nilai civil society. Fenomena ini tentu saja harus diantisipasi secara tepat oleh WALHI, agar WALHI tetap mendapatkan relevansi perannya dalam proses perubahan kemasyarakatan, dan terutama dalam penguatan civil society.
Studi ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran deskriptif analisis tentang peran yang dimainkan WALHI pasca reformasi dalam penguatan civil society di Indonesia. Untuk mendapatkan gambaran tersebut, studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam, analisis terhadap dokumen-dokumen tertulis, serta diperkaya dengan perspektif dan analisis teoritik dari bahan-bahan pustaka.
Analisis terhadap peran WALHI tersebut didekati dengan kerangka paradigma LSM yaitu paradigma konformisme, reformasi, dan transformasi, serta kerangka peran LSM yaitu peran pengimbangan (countervailling power), peran pemberdayaan masyarakat (people empowerment), dan peran perantaraan (intermediary institution). Selanjutnya, analisis peran tersebut dikaitkan dengan dampak perannya terhadap penguatan civil society yang dilihat dari perspektif civil society sebagai organisasi masyarakat yang bergerak di wilayah kultural (CSO 1) dan yang bergerak di wilayah politik atau secara vertikal (CSO It), serta civil society dalam perspektif sebagai nilai-nilai yang kultural (CSV II) dan nilai-niiai yang politis (CSV I!).
Dalam menghadapi perkembangan pasca reformasi, sebenarnya tidak terlalu banyak perubahan peran yang dilakukan oleh WALHI dibandingkan dengan masa-masa akhir rezim Orde Baru. Di era pasca reformasi, WALHI lebih melakukan penegasan dan penguatan visi dan paradigmanya, serta penataan internal kelembagaan sebagai antisipasi terhadap perkembangan yang terjadi. Di dataran visi, WALHI menguatkan tujuannya untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dalam pengelotaan SDA secara adil dan berkelanjutan. Kemudian, menegaskan pandangannya dalam penolakan terhadap kapitalisme global dan neo-liberalisme yang dianggap paling mempunyai andil terhadap kerusakan lingkungan dan penutupan akses rakyat terhadap sumber daya alam. Di tingkat aksi, WALHI melakukan advokasi dan kontrol terhadap kebijakan negara dan implementasinya, dan advokasi untuk penegakan hukum lingkungan. Program aksi berikutnya adalah penguatan organisasi rakyat yang ditujukan untuk penguatan basis avokasi dan basis gerakan WALHI menjadi gerakan rakyat. Di samping itu, WALHI membangun jejaring kerja di antara kekuatan-kekuatan civil society.
Dari visi dan aksi WALHI, hasil analisis menunjukkan bahwa WALHI lebih cenderung berparadigma transformatif, meskipun perspektif reformatif digunakan juga oleh WALHI terutama di tingkat aksi. Dominannya paradigma transformatif ini berpengaruh terhadap strategi dan program WALHI yang memilih menjadi organisasi advokasi. Pilihan strategi dan program ini menunjukkan bahwa WALHI lebih menekankan peran sebagai kekuatan pengimbang. Di samping itu, WALHI tetap melakukan peran pemberdayaan masyarakat melalui program penguatan organisasi rakyat, serta pecan perantaraan dengan membangun jejaring kerja untuk menggalang kekuatan-kekuatan civil society. Meskipun peran pemberdayaan dan peran perantaraan ini sebenarnya juga diorientasikan untuk memperkuat peran pengimbangan WALHI terhadap negara dan kalangan industri.
Dari peran yang telah dilakukan WALHI, penguatan civil society dapat dilihat pada meningkatnya keterlibatan kalangan civil society dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara, terjalinnya jejaring kerja di antara kelompok-kelompok civil society. Di samping itu, munculnya kesadaran kritis, kemandirian, keswadayaan, solidaritas, dan kepatuhan pada norma dan proses hukum, pada organisasi-organisasi rakyat dampingan WALHI. Meskipun, di sana-sini terdapat anomali, seperti masih berkembangnya anarkisme di tingkat masyarakat dalam konflik-konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan demikian, WALHI dapat dikategorikan sebagai organisasi civil society kategori kedua (CSO II) yang bermain di wilayah politik dan kebijakan. Sebagai CSO II, WALHI memperjuangkan nilai-nilai civil society yang politis (CSV 11). Meskipun demikian, WALHI tetap memperdulikan aktualisasi nilai-nilai civil society yang kultural (CSV II). Sehingga, secara teoritik, ada persinggungan antara CSV I dan CSV II sebagai nilai-nilai civil society yang diperjuangkan oleh CSO.
Aktualisasi paradigma dan peran WALHI di era pasca refonnasi dipengaruhi juga oleh faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan WALHI. Kekuatan WALHI adalah jaringannya yang menasional, struktur dan mekanisme kelembagaan yang partisipatif dan demokratis, dan pengalaman serta kompetensi WALHI dalam membangun jejaring kerja (networking), baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Sedangkan kelemahan WALHI terletak pada: ketergantungan pada donor asing, keterbatasan kuantitas dan kualitas SDM, serta anggota (LSM) yang besar dan heterogen dalam hal visi, misi, bahkan ideologinya.
Faktor eksternal yang mempengaruhi, ada yang menjadi peluang bagi WALHI yaitu: situasi politik nasional yang telah terbuka, peluang otonomi daerah, dan kecenderungan menguatnya gerakan civil society secara global. Sementara yang menjadi ancaman adalah: situasi politik transisional yang membuat kehidupan politik menjadi tidak menentu, rezim yang berkuasa yang cenderung menjadi represif, kecenderungan munculnya oportunisme ekonomi politik pada penyelenggera negara, dan menguatnya hegemoni kapitalisme global dan neo-liberalisme.
Studi ini tidak mengembangkan parameter untuk menganalisis hasil kerja kalangan LSM dalam penguatan civil society di Indonesia. Karena itu, dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menilai efektifitas hasil kerja kalangan LSM, sebagai komponen penting civil society, dalam penguatan civil society. Sehingga, nantinya akan diketahui sejauh mana kondisi civil society di Indonesia, dan sejauhmana pula civil society bisa menjadi fondasi yang kuat bagi terbangunnya tatanan kehidupan yang demokratis dan berkeadilan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JPK 16:3(2010 )edkkusus
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Abdul Malik
"Program jaring pengaman sosial (JPS) bidang operasi pasar khusus (OPK) Beras merupakan program ketahanan pangan yang bertujuan untuk menangani masyarakat dalam menghadapi krisis pangan. Program ini digulirkan ke darah-daerah yang rawan terhadap masalah pangan akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997.
Kenyataannya ketika program digulirkan banyak mengalami masalah di masyarakat terutama bagi masyarakat yang berhak menerimanya. Program JPS bidang OPK Beras yang dananya berasal dari pinjaman Asia Development Bank (ADB) merupakan program bantuan bagi masyarakat dengan persyaratan melibatkan masyarakat sipil dalam memonitoring jalannya program tersebut.
Peran civil society dalam monitoring kegiatan opk beras menjadi sangat panting karena keterlibatan civil society seperti Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Masyarakat Sipil untuk Transparansi Akuntabilitas Pembangunan (JAR) akan dapat menjadi katalisator dialog (catalys of dialogue), melakukan penyeimbang kepentingan (balancing inters), pemberian sinyal (picking up signals), dan mobilisasi untuk aksi bersama (collective action).
Peran masyarakat sipil yang pertama adalah menjadi katalis dari dialog antara berbagai institusi Negara, pasar, dan masyarakat untuk mencapai konsensus alas prioritas bersama. Proses mencapai consensus ini melibatkan aktivitas-aktivitas seperti identifikasi masalah dan stakeholder, artikulasi dan klarifikasi berbagai kepentingan dan kebutuhan, dan penetapan tujuan bersama. Kedua, masyarakat sipil menjadi penyeimbang kepentingan. Masyarakat sipil yang efektif ditandai dengan proses penyeimbangan kepentingan yang dilaksanakan secara terbuka, santun, dan jujur dimana institusi-institusi yang terlibat memiliki posisi tawar yang sama.
Ketiga, masyarakat sipil melakukan pemberian sinyal. Masyarakat sipil yang berfungsi secara aktif menjamin bahwa sinyal yang dikirimkan sebagai akibat adanya penyimpangan mendapat perhatian dan penanganan sedini dan setuntas mungkin. Sebaliknya, suatu masyarakat yang dicirikan dengan keterlibatan dalam menangani masalah pembangunan atau dengan kata lain masalah baru diatasi ketika sudah menjadi terialu besar merupakan indikasi melemahnya masyarakat sipil (civil society). Keempat, peran mobilisasi untuk aksi bersama. Aksi bersama menandakan masyarakat sipil telah mencapai kohesi kepentingan dan sinergi.
Pada kenyataanya LSM tidak berperan dalam memonitoring program opk (Beras). Ketidak berperanan LSM ini karena LSM tidak mau terlibat dalam struktur pengawasan yang telah dibuat pemerintah dalam memonitoring Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) termasuk di dalamnya operasi pasar khusus (opk) beras. LSM melihat keterlibatan mereka dalam struktur pengawasan JPS akan dapat menjadi LSM tidak independent dalam membuat laporan terhadap hasil temuan mereka.
LSM menganggap program monitoring JPS hanya merupakan salah satu bagian dari proyek pengawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Karena itu LSM tidak melakukan monitoring secara struktur tetapi melakukan kampanye melalui alat seperti brosur dan himbauan bahwa ada program JPS yang dananya merupakan pinjaman dari Lembaga bank dunia.
Penelitian yang dilakukan di daerah Galur Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat, karena daerah ini merupakan daerah yang dikategorikan sebagai daerah di perkotaan yang akan mengalami krisis pangan akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997 yang lalu. Tapi pada kenyataannya masyarakat tidak melihat bahwa ada program operasi pasar khusus (opk) beras di daerahnya yang bertujuan unutk membantu masyarakat yang tergolong tidak mampu dengan membeli beras seharga 1000 rupiah dan setiap kepala keluarga mendapat 20 kilogram per bulan.
Penduduk Galur tidak mengetahui bahwa program JPS tersebut merupakan program yang dalam kegiatannya dipantau oleh suatu lembaga yang bertugas unutk menangani keluhan bagi masyarkat yang merasa beras yang mereka terima tidak layak dimakan atau dikonsusmsi. Penduduk tidak tahu harus mengadu atau melapor kemana ketidak sesuaian barang yang mereka terima. Ada lembaga yang seharusnya berperan dalam memantau program opk beras tetapi tidak berjalan karena hanya berada di tingkat Kabupaten.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang memaparkan kejadian atau gejala yang ada di lapangan dengan menggambarkan temuan-temuan dan mengambil suatu kesimpulan yang merekomendasikan terhadap temuan tersebut kepada lembaga yang berhak melaksanakannya. Rekomendasi didasarkan pada permasalahan yang ada kepada pihak yang terkait dengan pelaksana program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viva Yoga Mauladi
"Model pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru melalui program trilogi pembangunan: mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, distribusi pendapatan, serta menjaga stabilitas politik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi- dalam tahun-tahun pertama menunjukkan prestasi yang baik. Tetapi sayang, prestasi ekonomi itu ternyata dibangun di atas landasan yang rapuh.
Model kekuasaan politik dan ekonomi yang sentralistik itu memunculkan praktek model ekonomi kapitalisme perkocoan (crony capitalism) sehingga tumbuh KKN, moral hazzard, dan rent seeker sebagai virus dalam kehidupan perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak menciptakan distribusi pendapatan, atau usaha masyarakat golongan kecil dan menengah. Pertumbuhan ekonomi menciptakan peningkatan segolongan kecil pelaku bisnis yang konglomeratif dan menjad parasit negara.
Dengan kondisi itu, harapan untuk mempercepat terwujudnya civil society sangatlah berat. Hal itu diperparah oleh "ketidakseriusan" beberapa stakeholder, di antaranya partai palitik, pemerintah, dan beberapa LSM, untuk dapat konsisten memperjuangkan mewujudkan civil society di Indonesia. Usaha mewujudkan civil society adalah menjadi idaman bagi hampir negara-negara yang sedang membangun demokrasi. Gerakan reformasi tahun 1998 lalu sehingga pemerintah Orde Baru jatuh bisa dianggap merupakan gerakan civil society. Model gerakannya hampir mirip dengan gerakan-gerakan reformasi di Eropa Timur- termasuk di Polandia, Cekoslavia, Yugoslavia, eks Uni Soviet- di mana gerakan civil society adalah merupakan antitesa/perhadap-hadapan/vis a vis dengan kekuatan penguasa (state).
Pemilihan prioritas strategi kebijakan stakeholder dilakukan dengan metode Teori Permainan (Game Theory) untuk mendapatkan Win-win Solution yang dilakukan dengan melibatkan 15 orang ekspert dibidangnya masing-masing. Penulis menganggap mereka dapat mewakili 3 stakeholder, yaitu partai politik, pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka terdiri dari 5 orang aktivis/fungsionaris partai politik pemenang pemilu sebagai 5 partai politik terbesar yang memperoleh kursi di tingkat DPR RI (PDI-P, Golkar, PPP, PKB, dan PAN); 5 orang ekspert dari pemerintah yang mewakili 5 departemen pemerintahan (Depdagri, Dirjen Pajak Departemen Keuangan, Departemen Sosial, Bappenas, Kementerian Negara Koperasi dan UKM); dan 5 orang ekspert dari LSM (YLBHI, Humanika, Intrans, PB PMKRI, PB HMI).
Hasil analisis kebijakan mewujudkan civil society di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru dengan strategi keseimbangan (Game Theory) dan metode TOWS menunjukkan bahwa peran aktif dari setiap stakeholder sangat diharapkan guna menghasilkan prioritas strategi kebijakan yang paling optimal. Dari tabel Win win Solution dapat dinilai bahwa bobot nilai terbesar dari prioritas strategi masing-masing stakeholder bila diurutkan adalah: (1) antara partai politik - pemerintah (0,275; 0,436); (2) LSM - pemerintah (0,292; 0,411); dan (3) partai politik - LSM (0,266; 0,282).
Win-win Solution antara partai politik dan pemerintah didasarkan pemikiran pelaksanaan Trias Politika di Indonesia yang tidak murni telah menempatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif untuk mengadakan komunikasi dan kerjasama dengan partai-partai politik yang kepentingannya terjelma dalam sikap fraksi-fraksi di DPR. Model komunikasi pemerintah-DPR yang telah terlembaga menyebabkan peluang untuk mengadakan kerjasama relatif besar.
Win-win Solution yang mempunyai bobot nilai terbesar kedua adalah pemerintah-LSM. Pemerintah telah mengadopsi beberapa program LSM. Hal itu tidak terlepas dari adanya perubahan paradigma pembangunan pemerintah dari "ideologi developmentalisme" menjadi paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (human centered development), Hal ini menempatkan beberapa LSM menjadi mitra pemerintah dalam suatu proyek pembangunan karena persamaan tujuan dan target. Maka kemudian muncul LSM-LSM "pelat merah" yang bersifat kooperatif dan dalam beberapa hal dapat dianggap menjadi agen pemerintah.
Win-win Solution yang paling rendah adalah antara partai politik-LSM. Usaha partai politik memperlebar basis dikungan masyarakat sebagai legitimasi politik sehingga tujuan partai politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan (ekonomi dan politik) semakin besar, Hal inilah yang sering dlkritik oleh LSM karena partai politik hanya bertujuan untuk orientasi kekuasaan. Partai politikpun juga menilai usaha LSM meningkatkan kesadaran politik masyarakat bersifat karitatif . Sikap saling curiga ini akan terus terjadi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T4268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Vidya Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektifitas civil society dalam melaksanakan kontrol politik dan dampak dari aksi civil society tersebut bagi proses konsolidasi demokrasi. Penelitian merupakan studi kasus dalam aksi protes civil society pada penetapan APBD 2000 - 2002 di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat. Secara khusus penelitian ini terfokus pada sejunilah pokok permasalahan, yaitu, bagaimana pertumbuhan civil society dan sejauh mana maraknya aksi pengawasan yang dilakukan telah dapat dikategorikan sebagai bentuk tumbuhnya civil society yang kuat; bagaimana efektifitas politik dari aksi protes tersebut; dan dampak dari aksi protes tersebut bagi konsolidasi demokrasidi tingkat lokal.
Dalam melakukan formulasi penelitian serta analisis data, penelitian ini didukung oleh teori demokrasi dan civil society. Teori demokrasi diarahkan untuk melihat sejauhmana perubahan politik yang sedang terjadi telah mengarah pada konsolidasi demokrasi dan berdampak pada perkembangan civil society. Sedangkan teori civil society berguna untuk melihat bagaimana perkembangan civil society itu sendiri. Penelitian mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus_ Data penelitian dikumpulkan melalui tiga strategi, yaitu studi kepustakaan, wawancara dan observasi secara langsung. Analisa data dilakukan secara kuaiitatif, yang mencatat alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dan memperoleh penjelasan yang lebih dalam dan bermanfaat
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertumbuhan civil society sangat tergantung pada sistem politik sebuah negara. Pada pemerintahan Orde Baru pertumbuhan civil society banyak mendapat gangguan. Namun ketika anus reformasi berhasil membuka katup politik pertumbuhan civil society menunjukan peningkatan. Sebagai kekuatan yang berada di luar negara dan menjadi penyeimbang bagi negara, civil society di Sumatera Barat telah menunjukan efektifitas gerakan dan berdampak pada prose konsolidasi demokrasi kususnya di tingkat lokal. Malta tidak terlalu berlebihan jika penguatan dan pemberdayaan civil society dapat menjadi altematif bagi konsolidasi demokrasi,khususnya bagi negara-negara yang sedang melakukan transisi ke demokrasi.

Civil Society Participation on Controlling Assembly at Provincial Level. Case Study : Protest Action on Determining APBD 2000-2002 to Assembly at Provincial Level of West Sumatra
Research proposes to recognize how civil society to effective on politic controlling and its impact to democracy consolidation process. This research is a case study on protest action of civil society in determining APBD 2000-2002 in Assembly at provincial level of West Sumatra_ Specially, the research focuses on several matters; that are, how is the developing of civil society process; how strong the controlling action that has been done, categorized as basis developing of strong civil society; how the politic affectivity of the protest; and the impact of the protest to local democracy consolidation.
In performing research formulation and data analysis, it's supported by democracy and civil society theory. Democracy theory was aimed to observe how far the politic changing that lately happening, proposed towards democracy consolidation and impacted to the developing of civil society. Whereas civil society theory was proposed to observe how the developing of civil society itself. The research applied qualitative method by case study approaching. The data were collected through three strategy, that are; library study, interview and directly observations. Data Analysis carried out by qualitative, that recorded chronologically phenomenon, analyzed the effect and impact and acquired deep explanation and useful.
The conclusion of the research is the developing of civil society entirely depend upon political system of a state. On new order, the developing of civil society experienced many obstacles. However, when reformation successed to take off the politic valve, the developing of civil society showed many positive improvement. As one of strengths beyond the state and to be counterpart of the state, civil society in West Sumatra has shows its movement affectivity and impact to democracy consolidation process, particularly at local level. Therefore, it didn't remained if reinforcement and empowerment the civil society as an alternative solution to consolidation democracy, particularly, to states that carried out transition process towards democracy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ruhul Amin
"Tesis ini membahas mengenai fenomena Aksi Bela Islam yang terjadi pada 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Aksi yang juga diikuti oleh warga atau eksponen dari Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi besar Islam di Indonesia. Penelitian ini menganilisa keterlibatan sumber daya dari Muhammadiyah dalam Aksi Bela Islam. Menggunakan kerangka konsep civil society dan gerakan sosial, serta teori mobilisasi sumberdaya, ditemukan bahwa Muhammadiyah sebagai salah satu civil society di Indonesia ikut berperan secara tidak langsung bagi kesuksesan Aksi Bela Islam. Ditemukan beberapa sumber daya material dari Muhammadiyah yakni massa dan fasilitas, lalu sumber daya non-materialnya berupa legitimasi, ketokohan, media komunikasi dan jaringan, serta komitmen moral dari warga Muhammadiyah yang terlibat dalam Aksi Bela Islam.

This thesis discusses Aksi Bela Islam movement from 4 November 2016 to 2 December 2016. The action also involved members of Muhammadiyah as one of largest Islamic organizations in Indonesia. This research analyses the mobilization of resources mobilization of the Muhammadiyah in Aksi Bela Islam. That Muhammadiyah as one of civil society power in Indonesia plays a significant role for Aksi Bela Islam success. Resources of the Muhammadiyah such as mass and facilities, and then non-material resources such as legitimacy, leadership, communication media, network and moral commitment of the Muhammadiyah’s member contributed largely to the Aksi Bela Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>