Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104419 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setia Gumilar
"Dalam perjuangannya di Kabupaten Garut, posisi ulama mempunyai peran yang signifikan. Hampir setiap masa atau periode sejarah, ulama di Garut berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bidang agama. Pada masa orde baru, ulama di Garut diposisikan oleh pemerintah untuk senantiasa berada dalam jalur yang sebenarnya, yaitu aspek keagamaan. Tetapi seiring dengan perubahan masa, ulama di Garut berusaha kembali menunjukkan jati dirinya dalam posisi yang tidak hanya terbatas pada aspek agama, tetapi juga pada aspek politik. Oleh karena itu telah terjadi pergeseran gerakan ulama di Garut pada kurun waktu 1998-2007.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa ulama di Garut pada periode 1998-2007 tidak hanya berkemampuan dalam bidang keagamaan semata, tetapi ulama mempunyai kemampuan dalam bidang politik. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi 4 tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiograpi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode sebelumnya (Orba) ulama kecenderungannya hanya bergerak dalam koridor keagamaan. Pada kurun waktu 1998-2007 gerakan ulama merambah pada aspek lain, diantaranya politik. Gerakan politik ulama pada kurun waktu ini diantaranya berusaha untuk menyatukan kembali keberadaannya yang dipahami telah mengalami kerenggangan akibat pertarungan politik nasional. BKUI menjadi media untuk menyatukan kembali posisi ulama. Kemudian, gerakan politik ulama di Garut berusaha untuk menjadikan syari?at Islam sebagai landasan berperilaku di kabupaten Garut. LP3SyI menjadi media untuk upaya tersebut. Gerakan lain adalah gerakan anti korupsi dengan diwujudkan dalam keseriusanya memberikan masukan dan koreksi terhadap APBD baik dalam proses perencaaan ataupun pelaksanaannya.

The change that occurs in Garut Regency has positioned Islamic scholars to have a significant role in various aspect of lives, especially in religious affairs, almost in every age or period of Islamic scholar?s history. On new order era, Islamic scholars in Garut were positioned by Government to be in the right tract, namely religious aspect. However, along with the changing period, Islamic scholars in Garut have attempted to reposition their identity, which is not only limited to religious but also in political aspect. This shows that there has happened a movement shift of the Islamic scholars in Garut in the period of 1998-2007.
The research is to verify that Ulama in Garut starting from 1998-2007 are not only capable of operating reilgious affairs but political affairs as well. The method of this research employed historical method consisting of Heuristic, critical, interpretation, anf historiography stages.
The findings showed that in the previous period (New order era), Islamic scholars tended to only move in religious corridor. Meanwhile, in the period of 1998-2007, Islamic scholars? movement reached other aspects, such as politic. In this period, through BKUI (a uniting media for Islamic scholars? position), Islamic scholars? movements were aimed to reunite their position which was considered as experiencing a gap as a result of national political chaos. Then, Islamic scholars? movement in Garut attempted to create syari‟at Islam (Islamic Law) as behavior base in Garut regency through media called as LP3SyI. Other movement is anti corruption action by seriously providing inputs and feedbacks to APBD (Regional Budgeting) both in the planning process and the implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2095
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rochmiatun
"Hingga pertengahan abad XX terdapat perbedaan kategori ulama (ulama birokrat/ulama penghulu dan ulama non-penghulu/ulama bebas) di Palembang. Hal ini bermula dari proses birokratisasi agama, ketika sistem kekuasaan merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan keagamaan atau ketika kekuasaan melihat agama harus dikendalikan. Sementara itu, sejak dekade kedua abad XX banyak terjadi konflik antara ulama-ulama bebas maupun ulama birokrat Palembang yakni antara ulama bebas yang berorientasi Islam tradisionalis dan ulama bebas yang berorientasi Islam modernis. Di sisi lain, bersamaan dengan bangkitnya gerakan Islam modernis di Palembang, pada awal abad XX, berdatangan juga para ulama tradisionais lainnya yang bermukim di Mekkah. Ulama-ulama yang berfaham Islam tradisionalis ini diantaranya mulai melakukan upaya gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam yakni dengan mendirikan lembaga berupa "Madrasah". Upaya pendirian lembaga pendidikan dengan sistem madrasah ini menunjukkan bahwa adanya unsur "pembaharuan" yang kemudian menegaskan perbedaannya dengan sistem pendidikan Islam tradisional.
Kajian ini mengungkap kontinuitas tradisi keilmuan dalam bentuk penulisan karya-karya keagamaan serta pengajaran agama yang dilakukan oleh ulama bebas dan ulama birokrat setelah Kesultanan Palembang dihapus, serta peran ulama bebas dan ulama birokrat di Karesidenan Palembang di tengah wacana adanya gerakan pembaharuan Islam dan gerakan nasionalisme. Dalam perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Palembang, ulama bebas dapat dikatakan sebagai agent of change yakni tokoh yang mampu membawa perubahan sosial sebab terbukti mempunyai kemampuan yang enabling bagi lingkungannya. Sedangkan ulama birokrat dipandang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat atau tidak berperan sebagai agent of change, hal ini disebabkan ulama birokrat dibatasi oleh salah satu perannya yakni sebagai pejabat pemerintah kolonial yang harus loyal terhadap aturan-aturan.

Until the mid-twentieth century, the categories of ulama were differentiated into two types: bureaucratic ulama/ulama penghulu (headman ulama) and independent ulama in Palembang. These differences have resulted from the process of bureaucraticization of religion, when the power system feels obliged to provide religious services or when the power considers that religion must be strongly controlled. On the one hand, since the second decade of the twentieth century, the conflicts between independent Muslim ulama with their orientation on traditionalist perspectives and those with modernist perspectives took place. On the other hand, along with the rise of the Modernist movement in Palembang, in the early twentieth century, the other traditionalist scholars who lived in Mecca also took part in these movements. Scholars with traditionalist Islam perspectives partly initiated their efforts of renewal movement in the field of Islamic education by establishing the institution in the form of 'Madrasah'. This effort of establishment of educational institutions with the madrasah system demonstrates the element 'renewal' which then confirms the difference with the traditional Islamic educational system.
This study reveals the continuity of the tradition of knowledge in the form of writing works of religious matters as well as religious instructions conducted by independent scholars and bureaucratic ulama after the Palembang Sultanate had been removed, and the role of independent ulamas and bureaucraticic ulamas at the residency of Palembang in the middle of the discourse of Islamic reform movements and the nationalist movements. In the changes that occur in people of Palembang, the independent scholars can be regarded as the agent of change who is capable of bringing about social changes because it has proved to have the enabling capabilities for the environment. Meanwhile, the bureaucratic clerics are considered not to have the ability to make changes in the society, or they do not act as agent of change due to the fact that bureaucratic ulama are constrained by one of their role as the colonial government officials who should be loyal to the rules.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2157
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Imam Saputro
"Tesis ini membahas dinamika politik di dalam Nahdlatul Ulama Selama Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959-1967. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis dengan menggunakan sumber tertulis. Pada saat itu sikap utama NU adalah untuk menerapkan akomodatif terhadap kebijakan politik Soekarno yang terkait dengan penerapan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Sikap akomodatif ini memungkinkan NU untuk memasuki pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan mengamankan keberadaannya selama periode itu. Di sisi lain, deamenor akomodatif ini telah menerima perlawanan dari beberapa pihak dalam NU. Mereka yang tidak setuju dengan politik akomodatif umumnya berasumsi bahwa Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan yang tidak demokratis dan berbahaya bagi NU. Kelompok ini mulai muncul sikap baru di dalam NU yang menentang keterlibatannya dalam Demokrasi Terpimpin. Pendapat kelompok ini mulai tampak dominan pada fase terakhir Demokrasi Terpimpin dan membuat NU lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan rezim pemerintahan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perbedaan pandangan di dalam NU sebenarnya diuntungkan karena membuat sikap NU lebih dinamis untuk menyesuaikan dengan kondisi politik pada waktu itu.

This thesis discusses political dynamics in the Nahdlatul Ulama During Guided Democracy in 1959-1967. The method used in this study is a historical method using written sources. At that time, NUs main attitude was to apply accommodative to Soekarno's political policies related to the implementation of the Guided Democracy system in Indonesia. This accommodating attitude allowed NU to enter the Guided Democracy government and secure its existence during that period. On the other hand, this accommodating deamenor has received resistance from several parties within NU. Those who disagree with accommodative politics generally assume that Guided Democracy is an undemocratic and dangerous government system for NU. This group began to emerge a new attitude within NU who opposed its involvement in Guided Democracy. The opinion of this group began to appear dominant in the last phase of Guided Democracy and made it easier for NU to adjust to changes in government regimes. The results of this study explain that differences in views within NU actually benefit because it makes NUs attitude more dynamic to adjust to the political conditions at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Martin
"Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan tradisional di Indonesia dalam catatan sejarah selalu menampakkan performance yang tidak konstan, namun selalu bcrdasar pada kaidah keagamaan (fighiyah). Periode pertama NU yang dibidani para ulama-pesantren lebih sebagai gerakan keagamaan Islam ala ahlussunah wal Jamaah (seperti penetapan dari Islam 1936, Resolusi Jihad, waliyyul amri ad-dlaruri bissyaukah pada Soekarno). Periode kedua NU mengalami diversifkasi gerakan yang didominasi para santri-politisi dengan melakukan gerakan politik praktis (structural oriented) dengan berubah sebagai partai politik. Seperti ditunjukkan dalam perjuangan Piagam Jakarta dan di Konstituante, sampai kemudian harmonisasi pada kasus dcmokrasi terpimpin, Nasakom dan Pancasila. Di periode ketiga ditandai dengan khittah sebagai rumusan harmonisasi nilai-nilai ajaran Islam dalam konteks kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Dan pasca khittah, terjadi depolitisasi formal yang telah membawa NU ke arah gerakan politik cultural (cultural oriented), yang diperankan oleh genre pembaharu yang di back-up oleh para ulama kharismatik, Implementasi khittah yang cenderung dimaknai "tafsir bebas", saat itu terderivasikan pada gerakan politik cultural, yang ternyata di kemudian hari menimbulkan problem konflik internal berujung pada polarisasi aspirasi politik NU dalam partai politik (PPP, Golkar dan PM). Saat itu NU mengalami marginalisasi, namun ternyata blessing in disguise dalam gerakan kultural NU untuk lebih concern pada internal organisasi, dakwah, keagamaan dan pendidikan. Di era reformasi yang disebut sebagai periode keempat, NU melakukan itihad politik dengan menampilkan kedua gerakan secara komplementer baik cultural oleh NU maupun struktural dengan pembentukan PKB, meskipun muncul tiga partai lain PKU, PNU, Partai SUNI sebagai counter hegemony dan tafsir bebas khittah atas Islam ahlussunah wal jamaah yang dilakukan elit NU saat itu. Pergeseran politik NU tersebut sebagai wujud reorientasi dan keputusan politik terhadap interaksi dan kepentingan-kepentingan yang dikompromikan (David E. Apter: 1992.232) sesuai yang dipahami dan dilakukan oleh para aktor yang mendominasinya (weberian theory).
Sifat gerakan politik NU selama perjalanan sejarah seperti kasus Islam dan negara, Pancasila, demokrasi dan pluralisme tidak sendirinya hadir dalam konteks pragmatis an sick Akan tetapi melalui rumusan fiqhiyah seperti tasamuh (toleran), tawasuth (tengah), tawazun (seimbang) dan i'tidal (lurus), serta mekanisme organisasi yang baku seperti Muktamar, Konbes, Munas dan sebagainya. Hingga gerakan NU dan Poros Tengah yang mengantarkan Abdurrahman Wahid ke kursi presiden meski tidak sampai akhir periode, ternyata membawa ekses yang besar pada gerakan NU. Desakan mundur Abdurrahman Wahid ditanggapi warga NU dengan sikap radikal, keras, anti-demokrasi yang justru kontra produktif dan cenderung konflik horizontal. Maka pada konteks stabilitas politik dan ketahanan nasional legitimasi pada Abdurrahman Wahid dikemukakan, berdasar fihiyah mendukung presiden yang sah dan harus memerangi musuh yang makar (bughoot). Walaupun tidak menjadi kenyataan, namun hal itu merupakan wujud sifat, gerak dan wacana unik, ironis serta ambigu terhadap nilai-nilai yang di pegang NU selama ini seperti sifat gerakannya yang tasamuh, tawasuth, tawazun dan i'tidal. Pada nilai-nilai gerakan itu sifat NU lebih mengutamakan harmoni dengan kelompok dan kekuatan lainnya. Maka dalam konteks stabilitas politik, gerakan politik NU mempunyai signifikansi terhadap ketahanan politik yang mendukung ketahanan nasional. Karena sebenarnya NU adalah sebagai bagian kekuatan kebangsaan pula.
NU as an Indonesia organization of traditional religious, in the historical record always appear the inconsistent performance, it always take the rule of religious as a principle (fighiyah). In the first period NU that be initiated by Moslem religious leader almost function as Islamic movement with take ahlussunah wal jama'ah as mind stream (with reference to dar Islam 1936, resolusi jihad, waliyyul amri ad-dlaruri bissyaukah to Soekarno). Second period, NU has experience for Moslem politician dominated movement diversification with carry out political practice and change into politic party. In the same manner as indicated in Jakarta Charter (Piagam Jakarta) building and strunggie in the constituent assembly (konstituante), and then the harmonization for political practice through mechanism of democracy be led by president (demokrasi terpimpin) till declare of Nasakom and Pancasila. Third period was signed with commitment to harmonize the value of Islamic tenet in conceptuality of nationality and the Indonesian minded, it's named by khittah. And after that there is happen formal depolitization have carried out NU become a cultural political movement that was initialed by reformer genre and was supported by moslem charismatic leader. Implementation of khittah was incline to interpreting with independent interpretation when it derivate at cultural politic movement. It could be cause of problem on internal conflict until happen the NU polarization of politic aspiration in the politic party (PPP, Golkar and PDI). NU was marginalized organization, nevertheless actually blessing undisguised onto NU cultural movement for all internal organization, missionary endeavor, religious and education. In the reformation era, or could be called by fourth period, NU have been doing the political interpretation and judgment (Ohad politic) through actuality the both of movement complementally. It's mean cultural movement through NU and structural movement through PKB, even though spring up three others party are PKU, PNU and SUNI party with their motive to counter the hegemony of PKB and as effort to interpreting with independent interpretation on ahlussunah wal jama'ah was committed by NU, leader at the time. The shifting of NU politic as manifestation of political reorientation and political decision on interaction and interest compromised (David E.Apter; 1992:232) similar with be understood and be committed by actor who dominated (weberian theory).
During its histories, for some example in the cases of Islam and State, Pancasila, Democracy and Pluralism, character of NU political movement is not formed automatically (an sick) in the pragmatic context. But it formed through accordance of fiqhiyah among other things are tasumuh (tolerant), tawasuth (m idle). tawazun (balance) and i'tidal (straight) and also standard mechanism of organization for example Muktamar (congress), Konbes (large conference), Munas (national deliberative council), etc. And until NU movement and central axis (poros rengah) promote Abdurrahman Wahid to be president, even though his predicate was not finished up to final period, it turned out caused impact at NU movement. Pressure to bring Abdurrahman Wahid back away was responded by NU civic with radical attitude, violence and anti democracy that just become contra productive into democracy and stimulates the horizontal conflict. Because of that on the context of political stability and national resilience, so legitimation for Abdurrahman Wahid.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caswiyono Rusydie Cakrawangsa
"ABSTRAK
NU merupakan organisasi yang dalam perjalannnya selalu dirundung konflik. Muktamar, sebagai forum permusyawaratan tertinggi, menjadi arena konflik dan pertarungan kepentingan para elite NU. Dalam konteks ini Muktamar ke-32 NU di Makassar juga menjadi ajang pergulatan berbagai kepentingan, baik kepentingan elite NU, maupun kepentingan partai politik, politisi dan penguasa. Penelitian ini memfokuskan pada 3 (tiga) pertanyaan penelitian: (1) Dinamika dan konfigurasi politik di arena Muktamar; (2) faktor-faktor konflik dan kontestasi politik pada Muktamar; dan (3) implikasi konflik politik yang terjadi pada Muktamar Makassar.
Penelitian ini dilakukan dengan model kualitatif. Dalam penelitian ini data-data primer berupa data lapangan digali menggunakan metode observasi. Sedangkan data penuturan pelaku dan kesaksian pengamat dikumpulkan melalui wawancara. Adapun sumber data berupa dokumen dilakukan riset dokumentasi. Untuk data-data sekunder dilakukan library research terhadap buku literatur yang relevan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kritis melalui tahapan: penyederhanaan, penyajian, dan verifikasi data. Sebagai pisau analisis, digunakan beberapa teori, yaitu teori patron-klien, teori elite, teori konflik politik, teori fragmentasi, dan teori rational choice.
Melalui analisis tersebut penelitian ini sampai pada beberapa temuan penting. Pertama, Muktamar Makassar diwarnai dengan dinamika perilaku elite NU dan pergeseran nilai yang serius dalam bentuk: (1) terjadi perebutan jabatan Rais Aam PBNU; (2) kontestasi memperebutkan jabatan Ketua Umum PBNU terjadi sangat terbuka; dan (3) adanya praktik money politis. Muktamar Makassar juga mencatat kontestasi kepentingan politik yang cukup keras. Hal ini dapat dilihat dari adanya polarisasi kepentingan elite NU yang kompleks ke dalam berbagai faksi di mana semua faksi mengusung khittah namun sekaligus menjadi tunggangan politik. Di samping itu intervensi penguasa juga membuat eskalasi konflik semakin keras.
Kedua, fenomena pergulatan politik yang terjadi dalam Muktamar Makassar terjadi karena beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal terdiri dari perbedaan nilai, persaingan kepentingan, dan pemaknaan kepentingan umum, yaitu tafsir terhadap Khittah NU. Sementara itu faktor eksternal adalah adanya kepentingan partai politik, kepentingan para elite politik persolan, dan kepentingan penguasa. Ketiga, konflik elite dan pergulatan kepentingan politik pada Muktamar berdampak pada terjadinya: (1) konflik kepengurusan PBNU masa khidmat 2010-2015; (2) fragmentasi elite NU pasca-Muktamar; dan (3) disorientasi gerakan NU.[]

ABSTRACT
NU is an organization that has always dogged by conflict. Congress, as the highest deliberative forums, become an conflict arena and interests fight of the elite in NU. In this context, the 32nd NU?s Congress in Makassar also be a melee range of interests, both NU elite interests, or the interests of political parties, politicians and regim of goverment. This study focuses on three (3) research questions: (1) dynamics and the political configuration in the arena of Congress, (2) the factors of conflict and political contestation in Congress, and (3) the implications of the political conflict that occurred in Makassar Congress.
This research was conducted by qualitative model. In this research, the primary data in the form of field data extracted using by the observation method. While, the data of doer perpetrator and observer witness collected through interviews. Related on the data sources in form of documents obtained by documentation research. For secondary data conducted library research of the relevant book literature. The data obtained than analyzed critically through phases: simplification, presentation, and data verification. As the ?tool?of analysis, used to some theories such as patron-client theory, elite theory, political conflict theory, fragmentation theory, and of rational choice theory.
Through the analysis of this study up on some important result. First, Makassar Congress stained by dynamics of NU elite behavior and serious shift in the value of the form: (1) the struggle for Rais Aam PBNU position, (2) the contestation of the candidate of General Chairman of the PBNU happen very open, and (3) the practice of money politic. Makassar Congress also noted that political contestation hard enough. It can be seen from the complex polarization of NU elite interests into various factions In addition, the intervention of the regim of goverment also makes the conflict escalation harder.
Second, the phenomenon of the political struggles that occur in Makassar Congress occurs due to several factors, both internal and external. Internal factors consist of differences in values, competing interests, and the meaning of public interest, namely the interpretation of Khittah NU. Meanwhile, the external factor is the presence of political party interests, the interests of the political personal elite, and the interests of the goverment. Third, elite conflicts and political struggles in Congress have an impact on the occurrence of: (1) conflict on formation of personel board of PBNU period 2010-2015, (2) NU elite fragmentation of post-Congress, and (3) disorientation of NU movement.[]"
2012
T32128
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahrus Irsyam, 1944-
Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984
324.2 MAH u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Israr
"Penelitian tentang dinamika politik elit dalam perjuangan kepentingan lokal dala kasus gerakan menolak privatisasi BUMN di daerah masih terbatas jumlahnya. Penelitian ini penting karena berbagai dinamika politik elit yang terjadi di pelbagai daerah lebih banyak dalam konteks day to day politics. Sementara dinamika politik elit di balik perjuangan kepentingan lokal, khususnya dalam kasus gerakan menuntut spin-off PT Semen Padang dari PT Semen Gresik Tbk boleh dikatakan belum ada sama sekali.
Penelitian ini difokuskan pada dinamika politik elit Sumbar antara tahun 1999-2003 yang terlibat dalam perjuangan menolak rencana Pemerintah Pusat menjual sisa sahamnya di PT SG ke Cemex Meksiko di mana di dalamnya termasuk Semen Padang dan Semen Tonasa. Permasalahan yang diajukan mengenai tan kmenarikkepentingan elit yang terlibat aktif dalam gerakan lokal menuntut pemisahan SP dan faktor-faktor signifikan yang mendorong munculnya gerakan tersebut serta gerakan kontraelit, dipinjam dari teori elit yang dikemukakan Vilpredo Pareto, Robert Putnam, R Michels, Suzanna Keller, Dwaine Marvick dan beberapa lainnya.
Dengan menggunakan teknik wawancara, observasi lapangan, dan studi pustaka dikumpulkan data-data yang kemudian dengan menggunakan analisa kualitatif. Dari analisa tersebut penulis menemukan, gerakan politik elit yang terjadi dalam kasus tuntutan spin-off SP dari SG dilandasi dua motivasi sekaligus, yakni idealisme kedaerahan dan kepentingan pribadi segelintir aktor, balk berupa kepentingan bisnis maupun kepentingan politik. Ada dua pemicu munculnya tarik-menarik kepentingan elit lokal yakni (konteks) transisi politik pasca-otoriterianisme, konflik kewenangan antara provinsi dan kabupatenlkota, dan persaingan ekonomi politik lokal yang cukup ketat di era reformasi.
Dari segi implikasi teoretis, dinamika elit yang terjadi dalam gerakan menuntut spin-off SP memperkuat penjelasan tentang kecenderungan perilalcu elit yang sutra mengklaim kepentingan publik untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok. Dinamika elit dalam gerakan spin-off SP juga mempertegas kecenderungan perpecahan di kalangan elit yang ditandai dengan munculnya manuver kelompokkelompok kontra-elit terhadap kelompok elit "mainstream ".

The research on political elites' dynamic in the struggle for local interest is still limited in particular to the case study of movement rejecting state's companies' privatization in several regions. This research is important because various political elites' dynamic in various regions are basically day to day politics. Meanwhile discussion on the dynamic of political elites behind the local interest's struggle, particularly the case of PT Semen Padang demand to spin-off from PT Semen Gresik Tbk, is none existent.
This research focus on the political elites' dynamic in Western Sumatra between 1999 - 2003 involved in the struggle to reject the central government's plan to sell its share on PT Semen Gresik (which include Semen Padang and Semen Tonasa) to Cemex, Mexico. The problem posed in this thesis are the struggle between elites' interests actively involved in local movement demanding the separation of Semen Padang and the significant factors urging the emergence of this movement and counter elite's movement, borrowed from elite theory posed by Vilfredo Pareto, Robert Putnam, R. Michels, Suzanne Keller, Dwaine Marvick, etc.
By using interview technique, field observation, and literature study, data was compiled and analyze using qualitative analysis. From this analysis, the writer found that elite political movement happened in Semen Padang's spin-off demand case to Semen Gresik based on two motivations, regional idealism and personal interest of certain actors, both business and political interests. There are two things that triggered the struggle of local elites' interest, the (context of) political transition post-authoritarianism, authority conflicts between province and kabupaten/kota, and local political economy harsh competition during Reformation era.
The theoretical implication of this study is that the elite dynamic happened in Semen Padang spin-off demand movement strengthen the explanation on the tendency of elites' behavior often claiming the public interest as their own personal and group interest. Elite dynamics in Semen Padang spin-off movement also underlined the tendency of splitting within the elites shown by the emergence of counter-elite group movements' maneuvers over the mainstream elite group.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ali Haidar
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994
297.6 ALI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ali Haidar
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998
297.6 ALI n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Komaruddin Hidayat
Yogyakarta : Jalasutra, 2004
297.6 KOM m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>