Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101755 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitorus, Robert
"Tesis ini membahas proses perencanaan sosial program penjangkauan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas netra di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tan Miyat Bekasi. Selain itu, tesis ini membahas faktor pendukung dan penghambat proses perencanaan sosial tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perencanaan sosial program penjangkauan di PSBN Tan Miyat Bekasi terdiri dari tahap penentuan tujuan, koordinasi, penilaian kebutuhan, rapat tim penjangkauan, pelaksanaan, evaluasi dan tahap umpan balik. Faktor pendukung proses perencanaan sosial antara lain dukungan dari pemerintah daerah dan Pertuni/ ITMI. Sedangkan faktor penghambatnya antara lain kurangnya koordinasi lintas sektor di antara pemangku kepentingan. Penelitian ini menyarankan Kementerian Sosial RI untuk lebih melibatkan pemerintah daerah dan dunia usaha dalam program penjangkauan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas netra.

The focus of this study is social planning process of outreach program for people with visual impairment at Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tan Miyat Bekasi. Besides, this study collects information about supported and blocking factor of social planning prosess. This study uses qualitative approach with descriptive design. This study shows that social planning processes of outreach program for people with visual impairment at PSBN Tan Miyat Bekasi consist of some stages: determination of goals, coordination, assessment of needs, meeting of outreach team, implementation, evaluation, feedback. One of the supported factor is supporting from local government and Pertuni/ITMI. One of the blocking factors is the lack of coordination among sectors. The researcher suggest that Ministry of Social Affairs involve deeply with local government and the enterprises in outreach program of social rehabilitation for visual impairment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprillia Puspitasari
"Tunanetra merupakan kondisi kurang atau tidak dapat melihat yang disebabkan karena faktor pre-natal maupun post-natal yang dapat mempengaruhi konsep diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri penyandang tunanetra. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan 31 responden yang dipilih dengan total sampling. Penelitian ini menggunakan kuesioner konsep diri dengan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyandang tunanetra memiliki skor rata-rata konsep diri 110,61 ± 11,456 dari skor total 132 (95% CI, 106,41:114,82). Sebanyak 54,8% responden memiliki respon konsep diri positif dan 45,2% responden memiliki respon konsep diri negatif. Lebih dari setengah responden memiliki persepsi citra tubuh negatif. Hal ini dikarenakan keadaan tunanetra sangat berhubungan dengan fisik. Peneliti merekomendasikan untuk diadakannya pendidikan, bimbingan, atau pelatihan yang dapat meningkatkan konsep diri penyandang tunanetra khususnya komponen citra tubuh. Peran perawat seperti mengembangkan kewaspadaan diri klien, mendorong eksplorasi diri, membantu proses evaluasi diri, membantu membuat tujuan-tujuan dalam hal beradaptasi, dan membantu klien menerima tujuan-tujuan tersebut sangat penting dilakukan untuk membentuk konsep diri klien yang lebih positif.

Visual impairment is a condition of lack or can?t see due to pre-natal or post-natal factors. Visual impairment affects in self-concept. This study aimed to describe the self-concept of blind people. With cross-sectional method, 31 respondents were selected with a total sampling. This study used a self-concept questionnaire with a univariate analysis. The result showed that blind people self-concept in this research had average score of 110,61 ± 11,456 with total score of 132 (95% CI, 106,41:114,82). About 54,8% of respondents have a positive self-concept response and 45,2% of respondents have a negative self-concept response. More than half of respondents have a negative perception of body image. This is caused by the state of visual impairment is associated with physical. Researcher recommend the convening of education, guidance, or training that can improve self-concept of blind people in particular body image component. Nursing contribution such as a client develop self-awareness, encourage self-exploration, help the process of self-evaluation, help make these goals in terms of adapting, and help clients accept these goals are very important to form a more positive self concept.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S62801
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Rahayu Paramitha
"Skripsi ini membahas tentang relasi pertolongan profesional dalam pendampingan layanan rehabilitasi antara pekerja sosial dengan penerima manfaat yang ada di BRSPDSN Tan Miyat Bekasi serta kendala yang dihadapi dalam relasi pertolongan profesional tersebut. Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif serta metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa relasi pertolongan profesional dalam pendampingan layanan rehabilitasi mencerminkan 6 karakteristik relasi pertolongan dalam praktik pekerjaan sosial yaitu komunikasi yang jelas, kepedulian terhadap orang lain, tujuan empati dan penerimaan. Lalu, pekerja sosial juga menerapkan kode etik privasi & kerahasiaan, penentuan nasib sendiri, dan kompetensi budaya & keanekaragaman sosial dalam menjaga relasi yang profesional dalam pelaksanaan pendampingan. Adapun kendala yang ada dalam penjalinan relasi di antara keduanya adalah keterbatasan waktu yang dimiliki oleh pekerja sosial. Pekerja sosial juga memiliki tugas lain yang lebih luas cakupannya dari sekadar membimbing individu diantaranya menyusun rancangan sosialisasi layanan rehabilitasi balai kepada masyarakat, memberikan supervisi terhadap pekerja sosial lain dibawahnya, dan menyusun instrumen evaluasi hasil layanan rehabilitasi. Maka dari itu pekerja sosial sering tiba-tiba ditugaskan untuk dinas ke luar kota, dan kesibukan terkait dengan operasional pelayanan yang lainnya

This thesis discusses about the professional helping relationship in rehabilitation service assistance between social workers and beneficiaries in BRSPDSN Tan Miyat Bekasi, as well as the obstacles faced by both parties in establishing the professional helping relationship. The research approach used in this study is a qualitative approach and the method used is a descriptive research method. The results of this study indicate that the professional helping relationship in rehabilitation service assistance at Tan Miyat reflects the 6 characteristics of helping relationship in social work practice, the characteristic found are clear communication, concern for others, purpose, empathy, and acceptance. Social workers also apply a code of ethics in maintaining professionalism in the implementation of assistance, there are privacy & confidentiality and self-determination and cultural competence & social diversity. There was crucial obstacle in building professional helping relationship between social workers and their beneficiaries. Social worker’s time is limited due to their scope of duties in BRSPDSN Tan Miyat. Social workers not only have to take care of their beneficiaries, but also have to carry out many tasks such as drafting a dissemination plan for community rehabilitation services, providing supervision to other social workers, and developing instruments for evaluating the results of rehabilitation services. Furthermore, social workers are often suddenly assigned to other Tan Miyat’s official agenda, so they often have to cancel their schedule with their beneficiaries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.U. Buldansyah
"Berdasarkan Buku Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh Direktorat Rehabilitasi Penyandang Cacat, Direktorat. Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial tahun 1995, didefinisikan bahwa Resosialisasi adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk mempersiapkan penerima pelayanan dan masyarakat agar terdapat integrasi social dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, masih banyak keluhan yang mengungkapkan bahwa hasil program resosialisasi masih kurang memadai. Misal rendahnya peranserta masyarakat dalam menunjang keberhasilan usaha pelayanan; rendahnya kemampuan penyandang cacat untuk menyesuaikan diri di dalam masyarakat; rendahnya kemampuan penyandang cacat dalam pengembangan bantuan stimulan usaha produktif; terbatasnya ketrampilan yang dimiliki untuk diterapkan dalam kegiatan kerja; sulitnya memperoleh lapangan usaha bagi penyandang cacat netra. Oleh karena itu sesuai dengan pendekatan yang digunakan, tujuan pokok kajian ini yaitu mengevaluasi keberhasilan program resosialisasi penyandang cacat netra sesuai dengan sasaran kegiatan yang telah ditetapkan.
Hasil evaluasi menunjukkan pencapaian sasaran setiap kegiatan dari program resosialisasi cukup berhasil. Tingkat kesiapan kelayan sudah cukup siap, walau tingkat kesiapan keluarga dan masyarakat masih kurang siap. Tingkat penyesuaian diri kelayan belum seluruhnya baik. Pada umumnya penyandang cacat netra melakukan pemeliharaan terhadap bantuan stimulan usaha produktif, walaupun mereka belum mampu mengembangkannya. Secara keseluruhan para penyandang cacat netra telah dapat disalurkan untuk memperoleh kesempatan kerja yang layak.
Pencapaian sasaran setiap kegiatan tersebut tampaknya dipengaruhi berbagai faktor internal PSBN, seperti komposisi pegawai, anggaran untuk operasional, sarana fisik, jenis pelatihan, struktur organisasi. Selain itu dipengaruhi juga oleh faktor eksternal PSBN, seperti peranserta masyarakat, peran organisasi sosial, koordinasi antar instansi, perubahan aplikasi teknologi dan dinamika pasar jasa/barang. Dengan demikian program resosialisasi telah cukup berhasil diselenggarakan sesuai dengan tujuannya mewujudkan integrasi sosial. Hal ini ditunjukkan oleh indikator ekonomi yang sangat layak dan indikator social yang cukup layak.
Rekomendasi dari evaluasi ini yaitu perlu melakukan : (a) pengembangan kerjasama dan kemitraan; (b) peningkatan peranserta masyarakat, baik kuantitas maupun kualitasnya; (C) peningkatan kegiatan koordinasi; (d) pengembangan jenis pelatihan keterampilan dengan mengakomodasi perubahan aplikasi teknologi serta dinamika permintaan dan penawaran barang/jasa; (e) peningkatan profesionalisme pegawai dan dana operasional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nahar
"ABSTRAK
Masalah yang diteliti dalam tesis ini adalah bagaimana proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di dalam panti, dan bagaimana kerjasama antar lembaga dalam upaya mengintegrasikan penyandang cacat netra tersebut di masyarakat, serta bagaimana pemahaman para pelaksana program terhadap kebijakan hukum, khususnya kebijakan kesejahteraan sosial yang melandasi pelaksanaan tugasnya. Sedangkan tujuan yang ingin dicapainya adalah memahami dan menjelaskan penerapan teknologi pelayanan sosial dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di dalam panti dan dalam upaya mengintegrasikan penyandang cacat netra di masyarakat melalui kerjasama antar lembaga, serta dalam upaya meningkatkan pemahaman petugas panti terhadap kebijakan hukum dalam bentuknya sebagai peraturan perundang undangan dan kebijakan kesejahteraan sosial.
Oleh karena penelitian ini bersifat deskriprif-analitis dengan pendekatan yuridis normatif empiris, maka pengumpulan datanya tidak saja dengan studi kepustakaan melainkan juga dengan studi lapangan melalui kegiatan pengamatan peserta (participant observation) dan wawancara tidak berstruktur, yang sampelnya ditentukan dengan purposive sampling.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan metodologi penelitian tersebut, maka diketahui bahwa proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung telah menggunakan teknologi pelayanan sosial. Teknologi tersebut, lebih banyak diperoleh dari sumber inforrnasi dasar kebijakan hukum (legal policy) melalui proses penemuan penafsiran hukum (legal interpretation) yang tipe-tipenya antara lain nampak dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial penyandang cacat netra di dalam panti, yaitu bahwa semua tahapan kegiatan pelayanannya mendasarkan diri pada kehijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan sosial. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan teknologi pelayanan sosial, karena dapat mem-berikan pedoman kepada para pelaksana program untuk melaksanakan tugasnya secara benar dan dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. Kebijakan yang digunakan tersebut antara lain adalah UU No. 6 Tahun 1974, PP. No. 36 Tahun 1980, Keppres No. 39 Tahun 1983, Kepmensos No. 22/HUKII995, Kepmensos No. 55/HUKIKEPIVMl 1981, dan kebijakan kesejahteraan sosial lain sebagai pelaksananya.
Program pelayanan untuk menangani masalah sosial penyandang cacat netra adalah program rehabilitasi sosial berseta pelayanan-pelayanan lainnya yang terkait. Sistem pelayanan yang digunakannya adalah rehabilitasi sosial melalui sistem panti. Metoda intervensi yang digunakan dalam setiap tahapan pelayanan adalah metoda intervensi pekerjaan sosial. Dari tipe teknologi pelayanan sosial yang memanfaatkan struktur organisasi, nampak dari sikap pimpinan dan para petugas pelaksananya yang telah melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Misalnya pimpinan panti menetapkan kebijakan intern panti dan melakukan supervisi dalam upaya meningkatkan pemahaman petugasnya terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan mampu menerapkan teknologi pelayanan sosial lainnya dengan baik. Dan para petugas yang khusus diberikan wewenang menangani masalah sosial penyandang cacat netra adalah pekerja sosial fungsional sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal S Kepmensos 221HUK11995 jo. PP. No. 16 Tahun 1994 jo. Pasal 17 UU. No. 8 Tahun 1974.
Tahapan kegiatan setelah pelayanan rehabilitasi sosial adalah resosialisasi dan pembinaan lanjut. Cara yang ditempuh untuk mengintegrasikan penyandang cacat netra dalam tahapan kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui upaya pemasaran sosial. Pemasaran sosial tersebut dapat dilaksanakan melalui kerjasama antar lembaga, pendekatan terhadap perusahaan atau lembaga yang bersedia menerima tenaga kerja penyandang cacat netra, dan mengadakan penyuluhan sosial dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menerima tenaga kerja dari penyandang cacat netra atau tidak memperlakukannya secara berbeda. Dalam tahapan kegiatan ini, semua teknologi pelayanan sosial seperti dalam proses pelaksanaan program, dapat digunakan.
Berkaitan dengan pemahaman petugas terhadap kebijakan kesejateraan sosial yang berkaitan dengan program rehabilitasi sosial yang menjadi tanggung jawabnya, sebenarnya telah dipahaminya dengan baik. Tetapi pemahaman tersebut dalam pelaksanaan kegiatan resosialisasi dan pembinaan lanjut belum dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan atau kebijakan sosial pendukung lainnya. Sehingga seringkali upaya yang dilaksanakan dalam mengintegrasikan eks penerima pelayanan di masyarakat masih menemukan banyak hambatan. Hambatan tersebut dapat datang dari pihak perusahaan yang tidak bersedia menerima penyandang cacat netra, atau karena kemampuan/keahlian penyandang cacat netra sendiri yang masih di bawah standar pasar kerja. Dalam masalah ini, tipe teknologi pelayanan sosial yang belum digunakan secara maksimal adalah perpaduan kebijakan sosial dan metoda intervensi. Artinya jenis keterampilan yang diberikan harus benar-benar dibutuhkan dalam pasaran kerja, para petugas juga perlu aktif melakukan kerjasama atau penyadaran masyarakat dengan mempergunakan kebijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan sosial lainnya yang terkait.

ABSTRACT
The Juridical Contemplation Of The Social Welfare Policy To The Activities Of Social Rehabilitation Program Over The Blind People At The Blind Service Institution Wyata Guna Bandung
The problem being researched in this thesis was how the realization process of the social rehabilitation in integrating the blind people in society, and how the program activities to the legal policy, especially the social welfare policy which bases the process. The goal of this research is to comprehend and to explain the application of the social service technology in the process of social rehabilitation program activities to the blind person at the institution and in integrating them in the society through the corporation among institutions, and the effort of improving the comprehension of the institutions officers to the legal policy in the term as rules of the legal and social welfare policy.
For the reasons, the research is analytic descriptive by using the empirical-normative approach, so the data collection either by literature study or field study through the observation of the activities and the unstructured interview, where the samples we defined by purposive sampling.
From the research result which used the methodology, was observed that the process of social rehabilitation on The Blind Service Institutions Wyata Guna Bandung has used the social service technology. This technology, gained the information more from the basis information resource of the legal policy through the process of legal interpretation which the types appeared in the process of the social rehabilitation program to the blind in the services institution, that all the service for the activities based on the social policy and social welfare policy. This policy is the social service technology, because it is able to give the guidelines to the program doers to conduct their duty in the right way and rescindable in the term of law. The policy used are UU. No. 6/1974, PP. No. 36/1980, Keppres No. 39/1983, and Kepmensos No. 55/HUK/KEP/VIIU1981, and other social welfare policies.
The service program for hardling the blind person's social problem is the social rehabilitation program with other related service. The service system used is the social workers intervention method. The type of social service technology which is using the organization structure, showed from the principle stated the institution intern policy and did the supervision in order to improve his employees comprehension to the policy and capable to apply the social service technology in the right way. The workers who has the authority to overcome the blind person's problem, is the functional social worker stated in article 8 of the Minister of social affairs decree (Kepmensos) No. 22/HUK/1995 jo. Gouvernment rule (PP) No. 16/1994 jo. article 17 UU No. 8/1974.
The procedure of the activities after the social rehabilitation service is resosialization with the further establishment. The way to integrate the blind person into the process can be done through a social marketing. This social marketing can be applied through cooperation among the institutions, the approach to the companies or institutions who are willing to employ the handicapped, and give the social orientation program in order to improve the society awareness so they can employ the blind person or doesn't treat them differently. In this step, all of the social service technology in the process of conducting the program can be used.
Relating to the comprehension of the workers to the social welfare policy which is related to the social rehabilitation that is their responsibility, has been understood indeed. But this comprehension in the act of the further realization and the construction has not been connected to the legal regulation or the orthel connected social policy, so it often become an obstruction for the old costumers to integrate. The problem can be resourced from the Companies who don't want to employ the blind person, or because of the blind person's skill themselves whose the work is still under standard. In this matter, the type of the service technology that hasn't been used maximally, is the mixing of the social policy and the intervention method. It means that the skill given is really needed in the field of work, the officials are also needed to be active in the cooperation or the society awareness by using the social policy and others related social welfare policy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1979
S7016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Christina
"Alat tes psikologi yang bersifat proyektif umumnya menggunakan stimulus visual sehingga tidak dapat digunakan oleh tunanetra. Hari ini memotivasi Wijayanto untuk menciptakan Hand Test Tiga Dimensi. Penelitian awal menunjukkan bahwa Hand Test Tiga Dimensi memiliki validitas yang kurang baik. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut tentang validitas Hand Test Tiga Dimensi sebagai alat ukur tingkah laku Acting Out pada tunanetra.
Penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang melibatkan 30 orang subjek ini, dilakukan di Yayasan Mitra Netra, PSBN Lebak Bulus, PSBN Tartrat, dan PSBN Taman Harapan. Perhitungan statistik dengan Chi Square untuk memperoleh criterion-related validity dilakukan dengan mengkorelasikan hasil perbandingan Acting Out Ratio dari Hand Test Tiga Dimensi dengan hasil kuesioner tio: tingkah laku Acting Out.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor Acting Out Ratio (OR) pada Hand Test Tiga Dimensi dengan skor kriteria penilaian mengenai tingkah laku Acting Out- Ada dua hal yang mungkin berperan penting dalam mempengaruhi hasil penelitian ini, yaitu homogenitas dan jumlah sampel yang kecil serta kriteria mengenai tingkah laku Acting Out yang mungkin belum memenuhi aspek pengukuran yang memadai. Untuk penelitian berikutnya, sebaiknya dilakukan dengan jumlah subjek yang lebih besar dan melakukan uji validitas dengan metode lain, misalnya validasi konstruk."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Waluyo
"Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Karya "Pangudi Luhur" Bekasi, yang beralamat di Jalan H. Moeljadi Djojomartono No.19 Bekasi Jawa Barat, dengan tujuan untuk mengkaji proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis pada lembaga tersebut. Selanjutnya penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberi masukan untuk perbaikan pelaksanaan program selanjutnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Obyek penelitian adalah semua pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi sosial di PSBK Bekasi, antara lain kepala panti, petugas fungsional/petugas lapangan, gelandangan dan pengemis yang sedang dibina serta pihak lain yang terkait.
Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan fenomena sosial di kota-kota besar, karena sulitnya kehidupan di pedesaan sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk dan tanah garapan yang makin berkurang, mereka terpaksa harus mencari pekerjaan di tempat lain, alternatifnya yaitu mengadu nasib ke daerah perkotaan. Namun oleh karena keterbatasan ketrampilan dan pendidikan, mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing memperebutkan pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka mau bekerja apapun dengan upah berapapun untuk mempertahankan kehidupannya.
Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak, tidak mempunyal pekerjaan layak, tidak memiliki tempat tinggal yang layak dan sebagainya. Keberadaan mereka yang terbatas ketrampilan, terbatas pendidikan, dan terbatas fasilitas, maka keberadaan mereka diperkotaan dianggap sebagai masalah sosial. Untuk penanganan masalah sosial gelandangan dan pengemis diperlukan pelayanan yang komprehensip, karena masalahnya sangat komplek tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek mental dan budaya.
Program rehabilitasi sosial di PSBK terdiri dari beberapa tahapan proses sebagai berikut : Pertama adalah tahap rehabilitasi sosial yang terdiri dari : a) pendekatan awal, b)penerimaan dan c)bimbingan mental, sosial dan ketrampilan. Kedua adalah tahap resosialisasi yang terdiri dari ; a) bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, b) bimbingan sosial masyarakat, c) bimbingan bantuan stimulus usaha produktif dan c) bimbingan usaha. Ketiga adalah tahap bimbingan lanjut yang terdiri dari : a) bantuan pengembangan usaha dan b) bimbingan pemantapan usaha/kerja.
Hasil penelitian yang diperoleh menggambarkan bahwa secara umum PSBK Bekasi telah dapat memberikan pelayanan program kepada kliennya sesuai prosedur yang ditetapkan, namun praktek pelayanan yang diberikan belum sesuai dengan yang diharapkan. Masih ada kesenjangan antara teori atau konsep dengan praktek yang bisa dilakukan. Sehingga lembaga ini kurang berhasil mengemban misinya, yaitu mengentaskan gepeng dari masalahnya.
Hasil penelitian tahap awal, pada kegiatan orientasi dan motivasi untuk menjaring klien, PSBK lebih mengandalkan tehnik "getok tular", yaitu mengharapkan eks klien yang telah selesai mengikuti pembinaan di PSBK mengajak teman-temannya yang lain untuk masuk panti. Tehnik ini kurang efektif sehingga target sasaran yang setiap angkatan hanya 300 orang tidak terpenuhi, padahal gepeng di Jakarta jumlahnya sangat besar.
Bimbingan mental sebagai fokus utama program rehabilitasi di PSBK, metodanya juga masih perlu dikaji ulang. Tehnik bimbingan mental yang diterapkan lebih mengacu pada aspek transfer pengetahuan, bukan aspek penyadaran mental. Dimana semua klien dari berbagai tingkat pendidikan masuk dalam satu kelas dan diajarkan materi yang sama, sehingga situasinya lebih menyerupai sekolah formal. Bimbingan mental untuk membangun konsep diri yang positif, percaya diri, dan penghargaan diri diperlukan pendekatan individu, tehnik konseling yang efektif dan sebagainya. PSBK sampai saat ini belum mempunyai program khusus yang secara langsung diarahkan untuk penyadaran mental klien.
Program rehabilitasi gepeng harus dilaksanakan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, sebagaimana pada konsep dan juklak. Namun PSBK sampai saat ini baru memiliki petugas lapangan dari profesi pekerjaan sosial, sedangkan profesi lain yang diperlukan untuk mendukung kelancaran program belum ada.
Dari hasil penelitian ditemukan, bahwa sebagian klien PSBK menggelandang lagi, banyak aspek sebagai penyebabnya, diantaranya PSBK tidak memiliki dana untuk mendukung usaha kerja gepeng, kesempatan bekerja disektor formal sangat sulit, ketrampilan kerja yang diajarkan sangat minim, umumnya dibawah standar pasaran kerja, dan metoda bimbingan mental dan sosial juga kurang tepat.
Selanjutnya penelitian ini merumuskan saran sebagai berikut, pertama PSBK perlu merumuskan program khusus untuk kegiatan bimbingan mental, kedua mengingat sulitnya mencari lapangan pekerjaan di sektor formal, maka program ketrampilan di PSBK sebaiknya lebih diarahkan untuk jenis ketrampilan wira usaha."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T 9704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sulaiman Abidin
"Tujuan: Mendapatkan prevalensi kebutaan anak dan pola penyebabnya pada Panti Sosial Bina Netra (PSBN) di Pulau Jawa, identifikasi penyebab kebutaan yang dapat dicegah dan diterapi, serta menilai faktor-faktor risiko yang memepengaruhi pola penyebab kebutaannya.
Metode: Sebanyak 479 siswa dari 5 PSBN di Pulau Jawa diperiksa secara klinis dalam periode Desember 2005 - Januari 2006 dengan menggunakan format baku WI-10 untuk mengetahui penyebab kebutaannya. Data yang dianalisa adalah anak yang mempunyai usia di bawah 16 tahun atau onset kebutaannya terjadi di bawah usia 16 tahun (tajam penglihatan < 3160). Hubungan antara penyebab kebutaan yang dapat ditanggulangi dengan faktor sosiodernografi dan karakteristik medik dianalisa.
Hasil: Siswa yang tergolong kategori buta sebesar 95%; gangguan tajam penglihatan berat 4,6% dan gangguan tajam penglihatan ringan 0,4%. Kelainan anatomi yang terbanyak adalah kelainan bola mata (ptisis bulbi) 37,1%, diikuti retina (distrofi retina) 15,4%, lensa (katarak) 15,4% dan kelainan kornea (sikatrik kornea) 11,6%. Kelainan etiologi yang utama adalah kelainan yang etiologinya tidak diketahui 32,5%, diikuti kelainan genetik 30,8% (terutama distrofi retina) dan kelainan infeksi masa anak (terutama campak dan defisiensi vitamin A) 29,5%. Faktor risiko yang mempengaruhi pola penyebab kebutaan anak adalah riwayat perkawinan sedarah orang tua, riwayat keluarga dengan kelainan yang sama dengan subyek dan onset kebutaan
Kesimpulan: Pola penyebab kebutaan anak merupakan campuran kelainan herediter/ genetik dan infeksi pada masa kanak-kanak. Penyakit campak dan defisiensi vitamin A merupakan penyebab terbanyak kebutaan anak yang sebenarnya dapat dieegah, sedangkan katarak dan glaucoma/buftalmos merupakan kelainan yang sebenarnya dapat diterapi pada 5 buah PSBN di Pulau Jawa (Indonesia). Peningkatan strategi pencegahan primer perlu dilakukan dengan meningkatkan cakupan imunisasi dan pemberian kapsul vitamin A. Pusat rujukan tarsier untuk oftalmologi pediatri perlu ditingkatkan untuk menangani kasus yang sebenarnya dapat diterapi dini seperti katarak dan glaukonia.

Aim: to obtain the prevalence and pattern causes of childhood blindness in schools for the blind in Java Island (Indonesia) with a view to determining potentially preventable and treatable causes. To evaluate risk factors that influences the pattern of causes of blindness.
Methods: Four hundred and seventy nine students in five schools for blind in Java island, Indonesia, were examined clinically during December 2005 until January 2006 using the standard WHO/PBL eye examination record for blindness and low vision form. Data were analyzed for those children with blindness visual acuity less than 3/60, aged less than 16 years or the onset of the visual loss younger than 16 years. Relations between avoidable causes of blindness and social demography or medical characteristics factors were analyzed.
Results: Most of the students (95%) were blind (BL); 4.6% were severe visual impairment (SVI) and 0.4% visual impairment (VI). The major anatomical site of blindness was whole globe (phthisis bulbi) in 37.1%, retina (retinal dystrophies) in 15.4%, Iens (cataract) in 15.4% and cornea (corneal scar) in 11.6%. The underlying causes of blindness were undetermined/ unknown in 32.5%, genetic diseases in 30.8% (mainly retinal dystrophies) and postnatal infection in 29.5% (mainly measles or vitamin A deficiency). The risk factors that influence the pattern of cause childhood blindness were consanguinity, presence of family history and onset of blindness since birth.
Conclusions: The major causes of blindness were a mixed pattern of hereditary/ genetic diseases and postnatal infection. Measles and vitamin A deficiency were the major causes of preventable blindness, while cataract and glaucoma/ buphthalmos were the major causes of treatable blindness. There is a need to strengthen current primary preventions strategies with improved the efficacy of immunization and vitamin A supplementation coverage. Tertiary referral centre for pediatric ophthalmology should be set up to manage treatable causes, such as cataract and glaucoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Sulaiman Abidin
"Aim: To obtain the prevalence and pattern causes of childhood blindness in schools for the blind in Java island (Indonesia) with a view to determining potentially preventable and treatable causes. To evaluate risk factors that influence the pattern of causes of blindness.
Methods: Four hundred and seventy nine students in five school for blind in Java island, Indonesia, were examined clinically during December 2005 until January 2006 using the standard WHO/PBL eye examination record for blindness and low vision form. Data were analyzed for those children with blindness visual acuity less than 3/60, aged less than 16 years or the onset of the visual loss younger than 16 years. Relation between avoidable causes of blindness and social demography or medical characteristics factors were analyzed.
Results: Most of the students (95%) were blind (BL); 4.6% were severe visual impairment (SVI) and 0.4% visual impairment (VI). The major anatomical site of blindness were whole globe (pthisis bulbi) in 37.1%, retina (retinal dystrophies) in 15.4%, Iens (cataract) in 15.4% and cornea (corneal scar) in 11.6%. The underlying causes of blindness were undetermined/ unknown in 32.5%, genetic diseases in 30.8% (mainly retinal dystrophies) and postnatal infection in 29.5% (mainly measles or vitamin A deficiency). The risk factors that influence the pattern of cause childhood blindness were consanguinity, presence of family history and onset of blindness since birth.
Conclusions: The major causes of blindness were a mixed pattern of hereditary/ genetic diseases and postnatal infection. Measles and vitamin A deficiency were the major causes of preventable blindness, while cataract and glaucoma/ buphthalmos were the major causes of treatable blindness. There is a need to strengthen current primary preventions strategies with improved the efficacy of immunization and vitamin A supplementation coverage. Tertiary referral centres for paediatric ophthalmology should be set up to manage treatable causes, such as cataract and glaucoma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>