Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176109 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar Ramadhan Kartabrata
"[ABSTRAK
Penelitian ini membahas proses penyelesaian sengketa tahapan Pemilihan Umum yang terpengaruh oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41 PHPU D VI 2008 yang berimplikasi dikesampingkannya aspek kepastian hukum dan kemanfaatan karena terdapat beberapa lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menangani sengketa dalam tahapan Pemilu seperti Bawaslu DKPP Peradilan Umum Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menghasilkan penelitian deskriptif analitis Hasil penelitian menyarankan pembentuk undang undang membuat suatu peraturan perundang undangan mengenai proses penyelesaian sengketa Pemilu yang mengharmonisasi kewenangan lembaga lembaga yang memiliki kewenangan untuk menangani sengketa dalam tahapan Pemilu dengan memberikan jangka waktu dalam penyelesaiannya serta menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan Pemilu terakhir dimana tidak ada upaya hukum maupun badan peradilan lain yang menangani perkara Pemilu setelah Putusan Mahkamah Konstitusi kecuali perkara yang berkaitan dengan pelanggaran etik maupun tindak pidana.

ABSTRACT
The focus of this study is the dispute resolution of stages of general election is affected by Constitutional Court Judgment No 41 PHPU D VI 2008 which has implication for ruled out legal certainty and expediency principle because there are state agencies what have the authority to adjudicate for dispute resolution of stages of general election like election supervisory board honorary of election executor board criminal court administrative court supreme court and constitutional court This study is a qualitative research for generate descriptive analytical The researcher suggest that the legislator form a regulation about dispute resolution general election process which harmonization an authority of state agencies which have an authority for adjudicate for dispute resolution of general election and the regulation gives a period of time for the resolution and constitutional court be a last court of general election which there is no other remedy or other bodies to adjudicate after constitutional court judgment except violations of ethics or criminal of general election. , The focus of this study is the dispute resolution of stages of general election is affected by Constitutional Court Judgment No 41 PHPU D VI 2008 which has implication for ruled out legal certainty and expediency principle because there are state agencies what have the authority to adjudicate for dispute resolution of stages of general election like election supervisory board honorary of election executor board criminal court administrative court supreme court and constitutional court This study is a qualitative research for generate descriptive analytical The researcher suggest that the legislator form a regulation about dispute resolution general election process which harmonization an authority of state agencies which have an authority for adjudicate for dispute resolution of general election and the regulation gives a period of time for the resolution and constitutional court be a last court of general election which there is no other remedy or other bodies to adjudicate after constitutional court judgment except violations of ethics or criminal of general election. ]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Chintia Octavia Putri
"Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan hukum antara pemain basket profesional dengan klub basket profesional di Indonesia, kepastian hukum dalam perjanjian kerja, serta mengevaluasi penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dengan fokus pada Putusan Nomor 144/Pdt.G/2023/PN Bdg. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, dengan pendekatan wawancara untuk melengkapi analisis hukum melalui perspektif praktis dari para ahli dan praktisi di bidang hukum olahraga. Berdasarkan syarat formilnya, hubungan hukum antara pemain basket profesional dan klub basket profesional dapat dikategorikan sebagai hubungan hukum ketenagakerjaan. Namun, analisis kontrak kerja menunjukkan adanya ketidakseimbangan dan penyalahgunaan keadaan, dimana klausula kontrak sering tidak menguntungkan pemain. Selain itu, penyelesaian sengketa dalam olahraga basket di Indonesia menunjukkan kebingungan dan ketidakseragaman lembaga penyelesaian. Terdapat beberapa lembaga penyelesaian berdasarkan peraturan yang berbeda-beda, yaitu melalui pengadilan hubungan industrial, melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase, maupun melalui pengadilan negeri umum. Namun, kembali kepada Lex Sportiva bahwa seharusnya penyelesaian sengketa diselesaikan melalui lembaga arbitrase.

This research was conducted to analyze the legal relationship between professional basketball players and professional basketball clubs in Indonesia, the legal certainty in employment contracts, and to evaluate dispute resolution through the courts, focusing on Decision Number 144/Pdt.G/2023/PN Bdg. The research method used is juridical-normative, complemented by interviews to enhance the legal analysis with practical perspectives from experts and practitioners in sports law. The legal relationship between professional basketball players and professional basketball clubs can be categorized as an employment relationship based on formal requirements. However, the analysis of employment contracts reveals an imbalance and abuse of circumstances, where contract clauses often do not favor the players. Additionally, dispute resolution in Indonesian basketball demonstrates confusion and inconsistency among resolution institutions. Several resolution institutions are based on different regulations, such as the industrial relations court, mediation, conciliation, arbitration, and general district courts. However, referring back to Lex Sportiva, disputes should ideally be resolved through arbitration institutions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Winner
"Menjelang dan memasuki abad ke-21 atau era globalisasi batas-batas antara negara yang satu dengan yang lain menjadi tidak jelas, dunia telah menjadi suatu perkampungan global dengan satu sistem perekonomian. Konsekuensi dunia bisnis sebagai suatu perkampungan global dalam kesatuan ekonomi tanpa batas, dengan sendirinya membawa bangsa Indonesia ke kancah bisnis global, perdagangan bebas, dan persaingan bebas. Intensitas hubungan perdagangan dan investasi antara masyarakat bisnis, baik domestik maupun internasional, semakin meningkat. Meningkatnya intensitas perdagangan dan investasi itu tidak hanya akan menimbulkan dinamika ekonomi yang makin tinggi, tetapi juga akan meningkat pula intensitas konflik-konflik (sengketa) di antara mereka. Menghadapi kondisi yang seperti ini, diperkirakan sistem peradilan, baik domestik maupun asing, tidak akan mampu memenuhi kebutahan masyarakat bisnis yang semakin kompleks. Penyelesaian melalui pengadilan kurang efektif dan efisien untuk penyelesaian sengketa bisnis internasional karena waktunya lama, memakan tenaga, memerlukan biaya tinggi, dan sering putusannya kurang memuaskan. Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif penyelesaian sengketa selain pengadilan. Dewasa ini di negara-negara lain telah dikembangkan suatu alternatif penyelesaian sengketa selain dari pengadilan dan arbitrase, seperti : mediasi, konsiliasi, minitrial, dan lain-lain. Arbitrase yang semula sangat efektif dan efisien untuk penyelesaian sengketa bisnis telah menjadi sangat formal dan kurang efektif. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa telah berkembang cult-up pesat negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Singapura, dan lain-lain. Mediasi dipilih dan dikembangkan karena waktunya singkat, biaya retatif lebih ringan, hasilnya memuaskan para pihak (win-win solution). Di negara-negara itu mediasi telah melembaga sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis. Secara internasional mediasi juga telah digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis oleh lembaga-lembaga penyelesaian sengketa bisnis internasional, seperti : American Arbitration Association (AAA), International Chamber of Commerce (ICC), UNCITRAL, World Intellectual Property Organization (WIPO), dan Commercial Arbitration and Mediation Centre for Americas (CAMCA). Mediasi telah dikenal dalam sistem hukum Indonesia, tetapi tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan oleh belum melembaganya mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis. Belum melembaganya mediasi sebagai penyelesaian sengketa bisnis meliputi : peraturan perundang-undangan, prosedur pendayagunaan, sumber daya manusia, penyedia jasa mediasi, sumber dana, dan pemasyarakatan. Oleh karena itu pengembangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia harus secara kelembagaan."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Noviera
"Dewasa ini, perkembangan dunia perdagangan dan dunia usaha semakin meningkat, dimana produksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat semakin meningkat, baik dari segi jenisnya maupun jumlahnya. Oleh karena itu, hubungan diantara para. pihak tersebut haruslah dituangkan ke dalam sebuah perjanjian. Perjanjian-perjanjian dalam dunia usaha dan perdagangan itu akan aelalu terjadi dan kemungkinan terjadi berulang-ulang pada objek ataupun tempat yang sama.
Untuk menciptakan efisiensi terhadap kerja, waktu Serta biaya, maka di kemudian hari timbul apa yang disebut dengan Perjanjian Baku (Standard Contract) atau perjanjian dengan syarat-syarat baku yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Yang dimaksud dengan Perjanjian Baku adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, di mana pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya perjanjian baku tersebut sangat berat sebelah.
Dengan kemajuan perekonomian di dunia yang selalu akan diikuti dengan meningkatnya arus produksi barang dan jasa dan tingginya daya bali masyarakat, mengakibatkan kurangnya ketel it ian dari para produsen di dalam menghasilkan produk mereka, baik dari segi kualitas dan higienis, yang kualitasnya tidak baik dan dalam kondisi yang nwmbahayakan hidup orang banyak. Dalam hal yang demikian, maka diperlukan suatu aspek yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.
Dikarenakan produsen memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan konsumen, maka menimbulkan permasalahan karena mendorong kegiatan proses konsumsi mengarah atau bertitik tolak pada kepentingan-kepentingan dari produsen, di mana kebutuhan konsumen diatur sesuai dengan kepentingan dari produsen dan konsumen tidak dapat berbuat apa-apa.
Berdasarkan permasalahan teraebut diatas, maka lahirlah suatu Undang-Undang, yaitu UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 (Lembar Negara Republik Indonesia No. 42 Tahun 1999).

Presently, the longer growth of trading and business worlds had increased in which goods and service products required by society had increased either its quality or quantity. Hence, correlation among those parties should be expressed within any agreement. The agreement in those trading and business worlds will always occur, possibly, it will occur at the same object or place repeatedly. Then, to create efficiency of work, time and cost, in the future it will rise so called Standard Contract or agreement by standardized requirement conducted by both parties.
The meaning of such Standard Contract is any agreement in written solely, it just be made by any party where other party had not been given opportunity and if any it is only a bit to negotiate or revise the clauses had been made by such any party, hence, usually, such agreement is not supposed fair.
In line with economic growth in the world that always be followed by increasing of goods and service flows and height of purchase power of society, it result in producers had produced their products inaccurately, ether in quality or hygiene aspects which of quality is not good and in condition endangering so many people. Then, in such case, it is required any aspect regulating consumer's protection.
As result of producers has more capability than consumers, then, it had resulted in problems as spurring consumption process activities directing or underlying producers' s interests in which consumer' s needs had been regulated in accordance with producer's interest but, consumers may not do anything.
Based on such problem above, then, it had been issued any legislation, it is Laws No.8 year 1999 on Consumer Protection on April 20, 1999 (State Gazette of Republic of Indonesia No.42 year 1999)."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T21168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Ananda
"Laporan magang ini menganalisis kasus sengketa pajak PT ADZA yang berkaitan dengan pengkreditan Pajak Masukan atas Price Deduction for Consumer. Sengketa pajak tersebut berawal dari hasil pemeriksaan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan atas Price Deduction for Consumer pada tahun 2015 tidak dapat dikreditkan sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Sengketa pajak yang sudah dalam proses banding di Pengadilan Pajak tersebut terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dan pemahaman atas substansi transaksi Price Deduction for Consumer. Posisi PT ADZA dalam kasus ini lemah karena Faktur Pajak Masukan yang diterima dari lawan transaksi berasal dari transaksi yang seharusnya tidak terutang PPN. Berdasarkan analisis atas substansi transaksi dan kelengkapan Faktur Pajak Masukan, kasus sengketa pajak tersebut kemungkinan akan dimenangkan oleh DJP.

This internship report analyzes PT ADZA's tax dispute case related to the crediting of Input Tax on Price Deduction for Consumers. The tax dispute began with the results of an examination which stated that the Input Tax on Price Deduction for Consumers in 2015 could not be credited so that the Directorate General of Taxes (DGT) issued an Underpaid Tax Assessment Letter. The tax dispute, which is already in the process of being appealed to the Tax Court, occurred due to differences in interpretation and understanding of the substance of the Price Deduction for Consumer transaction. PT ADZA's position in this case is weak because the Input Tax Invoice received from the counterparty comes from a transaction that should not be subject to VAT. Based on the analysis of the substance of the transaction and the completeness of the Input Tax Invoice, the tax dispute case is likely to be won by the DGT."
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fabyani Fadillah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai proses penyelesaian perkara persaingan usaha pada tahap pemeriksaan pendahuluan di Indonesia, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis mengenai pengaturan pada tahap pemeriksaan pendahuluan dalam proses penyelesaian perkara persaingan usaha di Indonesia, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, serta membandingkan ketentuan yang berlaku di Indonesia, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Metode penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini penulis menyarankan kepada Pemerintah dalam hal ini KPPU untuk mengubah dan memperbaiki ketentuan mengenai pemeriksaan pendahuluan yang pada saat ini Indonesia tidak mengenal tahap proses notifikasi menjadi adanya tahap notifikasi agar proses penyelesaian perkara persaingan usaha di Indonesia dapat berjalan lebih efektif serta pengaturan terkait wewenang KPPU sebagai lembaga penegak hukum persaingan usaha di Indonesia tidak lagi ditemukan ketidakpastian dalam pelaksanaannya.

ABSTRACT
This research focuses on the competition dispute resolution process on the preliminary examination stage in Indonesia, Singapore, Japan and South Korea. The purpose of this research is to analyze the provisions of the preliminary examination stage in the competition dispute resolution process in Indonesia, Singapore, Japan and South Korea, as well as comparing the applicable provisions in Indonesia, Singapore, Japan and South Korea. The method used in this research is juridical normative, a research referring to the rules or legal norms contained in the legislation. The results of this research suggest the Indonesian government, in this case KPPU to amend the regulation on preliminary examination to conduct the notification process in order that competition dispute resolution process shall be more effectively and the related arrangement of KPPU 39 s authority as a competition law enforcement agency in Indonesia is no longer found uncertainty in its implementation."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Anindita Maheswari
"Transaksi melalui e-commerce lintas negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jual beli konvensional, hal tersebut tentunya memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk mencari keuntungan dengan cara merugikan masyarakat selaku konsumen. Dalam praktiknya, konsumen seringkali menjadi pihak yang dirugikan seperti karena informasi produk yang tidak sesuai dengan barang yang sebenarnya. Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE) telah mengatur mengenai transaksi melalui e-commerce baik dalam negeri dan luar negeri tetapi undang-undang tersebut hanya terbatas pada e-commerce luar negeri yang memiliki perwakilan (kantor cabang) di Indonesia. Tujuan daripada penulisan ini adalah sebagai referensi bagi konsumen mengenai perlindungan yang diberikan kepada konsumen yang bertransaksi jual beli melalui e-commerce luar negeri yang tidak memiliki perwakilan (kantor cabang) di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).

Transactions through cross-border e-commerce have different characteristics from conventional buying and selling, this certainly provides an opportunity for business actors to seek profit by harming the community as consumers. In practice, consumers are often the aggrieved parties, such as product information that does not match the actual goods. Government Regulation No. 80 of 2019 concerning Trading Through Electronic Systems (PP PMSE) has regulated transactions through e-commerce both domestically and abroad but the law is only limited to overseas e-commerce that has representatives (branch offices) in Indonesia. The purpose of this paper is as a reference for consumers regarding the protection provided to consumers who transact buying and selling through e-commerce abroad who do not have representatives (branch offices) in Indonesia. The type of research used is a normative legal research method with a conceptual approach, a statute approach, and a comparative approach."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvansa Vickya
"Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis implikasi adanya klausul pilihan forum non eksklusif perihal penentuan forum penyelesaian sengketa di Indonesia berdasarkan teori-teori terkait Hukum Perdata Internasional, Hukum Kontrak Internasional dan Hukum Acara Perdata Internasional. Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian ini terhadap beberapa kasus di Indonesia, implikasi dari klausul pilihan forum non eksklusif dalam menentukan forum penyelesaian sengketa di Indonesia belum diatur secara utuh oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih digunakannya doktrin forum non conveniens, lis pendens, serta res judicata yang ketiganya masih belum terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun telah terdapat doktrin yang tersirat dalam Pasal 118 HIR, yakni the basis of presence dan principle of effectiveness. Hal ini menunjukkan bahwa belum terdapat kepastian hukum terhadap suatu sengketa yang di dalamnya terdapat pilihan forum non eksklusif di antara para pihaknya. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya apabila Indonesia memiliki Undang-Undang Hukum Perdata Internasional dan aksesi Hague Choice of Court Convention 2005 demi memberikan kepastian, keadilan, serta kemanfaatan hukum bagi setiap pihak yang akan bertindak dalam ranah hukum perdata dan dagang, khususnya dalam sengketa yang timbul dari kontrak internasional yang di dalamnya terdapat pilihan forum non eksklusif.

This research aims to analyse the implications of a non-exclusive choice of forum clause in determining the competent dispute resolution forum in Indonesia based on theories related to Private International Law, International Contract Law and International Civil Procedure Law. The author in this research uses a normative juridical research method. Based on the results of this research of several cases in Indonesia, the implications of the non-exclusive choice of forum clause in determining the competent dispute resolution forum in Indonesia have not been fully regulated by Indonesian laws and regulations. This can be seen from the use of the doctrines of forum non conveniens, lis pendens and res judicata, the three of which are still not contained in the laws and regulations in Indonesia, even though there are already doctrines implied in Article 118 of HIR, namely the basis of presence and the principle of effectiveness. This shows that there is no legal certainty regarding a dispute in which there is a non-exclusive choice of forum between the parties. Therefore, it would be better if Indonesia had a written law about Private International Law and ractify the Hague Choice of Court Convention 2005 to provide certainty, justice, and legal benefits for every party who will act in the civil and commercial law field, especially in disputes arising from international contracts in which there is a choice of non-exclusive forum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arya Samudra
"ABSTRACT
Penelitian dilakukan untuk mengetahui lembaga alternative penyelesaian sengketa manakah yang lebih efektif dalam menyelesaikan persengketaan antara konsumen dengan pelaku usaha di sektor jasa keuangan perbankan serta untuk mengetahui apakah dengan adanya kedua lembaga yang sama sama memiliki tugas untuk menyelesaikan sengketa tersebut akan timbulnya dualisme hukum. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normative, yaitu dengan melihat undang undang yang mengatur serta wawancara. Peneliti juga memperoleh data statistik yang didapat dari BPSK Prov. DKI Jakarta serta LAPSPI. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa LAPSPI merupakan lembaga yang lebih efektif dalam menyelesaikan persengketaan di sektor jasa keuangan perbankan, serta tidak adanya dualisme hukum diantara kedua lembaga tersebut karena LAPSPI mengharuskan para pihak yang bersengketa di LAPSPI untuk membuat perjanjian yang menimbulkan adanya kompetensi absolut bagi LAPSPI untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Namun dalam impelementasinya hal tersebut dirasa masih kurang maksimal karena menyebabkan ambiguitas dalam proses penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan perbankan. Dengan demikian, disarankan seharusnya kedua lembaga tersebut dapat bekerja sama  sehingga menciptakan kondisi hukum yang Efektif, Efisien, dan Bersinergi. Namun apabila hal tersebut sulit untuk diwujudkan maka diperlukannya sosialisasi yang lebih baik dari LAPSPI serta dibentuknya peraturan pelaksana yang lebih tegas oleh pemerintah terhadap kedua lembaga tersebut.

ABSTRACT
This research is conducted to further obtain which alternative dispute resolution institutions were more effective in resolving disputes between consumers and business person form the financial services sektor on banking, and to find out whether the existence of the two institutions that had the same task which to resolve the dispute can cause legal dualisme. This research is conducted with normative juridical method, by looking at the governing law and by interview. Researcher obtained the statistical data from Consumer Dispute Resolution Body (BPSK) and Alternative Body for Dispute Settlement in Banking of Indonesia (LAPSPI). The results of this study indicate that LAPSPI is a more effective institution in resolving disputes in the banking financial services sektor, and there was no legal dualisme between the two institutions because LAPSPI requires the parties to make an agreement which creates absolute competence for LAPSPI to resolve the dispute. However, the implementation of this matter were still not optimal because it caused ambiguity in the dispute resolution process in the banking financial services sector. Furthermore, it is recommended that the two institutions to work together to make an Effective, Efficient, and Synergic legal condition. However, if that is difficult to be realized then the need for better socialization from LAPSPI is needed, Also the establishment of  more resolute implementing agreement by the government on both Institutions. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johana Tania Leuwa
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian sengketa antara Nasabah dan
Bank oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa khusus perbankan, yakni
LAPSPI. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah terkait pengaturan
mengenai perlindungan Nasabah Bank di Indonesia dan mekanisme penyelesaian
sengketa antara Nasabah dan Bank melalui LAPSPI. Metode penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif dengan
menggunakan data sekunder. Berdasarkan permasalahan terkait pengaturan
mengenai perlindungan Nasabah Bank, didapatkan hasil bahwa terdapat sejumlah
peraturan yang memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak Nasabah
Bank, yakni diantaranya adalah Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dan Peraturan Bank
Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Terkait penyelesaian
sengketa oleh LAPSPI, penyelesaian sengketa merupakan salah satu upaya
perlindungan terhadap Nasabah Bank. Penyelesaian sengketa melalui LAPSPI
hanya dapat dilakukan apabila Nasabah dan Bank telah melakukan upaya
penyelesaian sengketa di internal Bank, atau yang dikenal dengan cara Internal
Dispute Resolution (IDR). Penyelesaian sengketa melalui IDR seringkali tidak
mencapai kesepakatan antara Nasabah dan Bank. Untuk mengatasi hal tersebut,
Otoritas Jasa Keuangan membentuk LAPSPI sebagai sarana bagi Nasabah untuk
mengadukan dan menyelesaikan sengketanya dengan Bank. Adapun saran yang
dapat diberikan adalah perlu adanya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan
dengan cara membuat satu peraturan yang mengatur khusus mengenai berbagai
lembaga penyelesaian sengketa perbankan yang dapat dipilih sesuai kebutuhan
Nasabah, dan perlu memublikasikan LAPSPI dengan lebih maksimal agar
eksistensi LAPSPI sebagai lembaga baru dapat diketahui dan dimanfaatkan
dengan baik oleh Nasabah Bank pada khususnya.

ABSTRACT
The focus of this study is about dispute resolution between Customer and
Bank by LAPSPI. Discussion issues in this study are about regulation in Indonesia
concerning the protection for Customer and about dispute resolution between
Customer and Bank by LAPSPI. The method used in this study is juridicalnormative
study by using secondary data as the main data source. Based upon the
issue on regulation concerning the protection of Customer, result shows that there
are several regulations which give the guarantee for Customer?s rights protection,
among them are Law of Consumer Protection, Law of Authority of Financial
Services (OJK), OJK Regulation about Financial Services Consumer Protection,
and Bank of Indonesia Regulation about Bank Customer Complaints Resolution.
Related to dispute resolution through LAPSPI, the dispute resolution itself is one
of the ways to protect the Customer. The dispute resolution through LAPSPI can
be processed if only the Customer and Bank have done the dispute resolution in
Internal Bank, known as Internal Dispute Resolution (IDR) method. Dispute
resolution through IDR usually does not reach the consensus from both Customer
and Bank. In order to solve that problem, OJK established LAPSPI as a mean for
Customer to denounce his problem and resolve his dispute with the Bank.
Recommendations for this study are the need for rules harmonization and
synchronization by making a new regulation which specifically concerns about
the choices of institutions of dispute resolution on banking and also the need to
publicize LAPSPI?s existence more intensively as a newborn institution, so that
LAPSPI can be more utilized by the Customer in particular."
2017
S65949
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>