Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145737 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asma Hanifah
"Skripsi ini membahas mengenai tindak pidana menghalangi hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap wartawan. Beberapa hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah ruang lingkup Pasal 18 ayat ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap wartawan, dan penerapan pasal tersebut dalam putusan hakim atas kasus kekerasan terhadap wartawan. Selanjutnya pembahasan dilengkapi dengan rekomendasi mengenai bagaimana seharusnya penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dilengkapi dengan wawancara narasumber yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis.
Dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa dalam yang termasuk lingkup Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah segala tindakan yang berakibat pada terhalangnya hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi, termasuk di dalamnya kekerasan terhadap wartawan pada saat proses peliputan. Dalam penerapannya, belum ada kesamaan penafsiran dari aparat penegak hukum mengenai lingkup pasal ini sehingga variasi penggunaan peraturan antara KUHP dan UU Pers masih banyak terjadi. Untuk mengatasi kasus kekerasan terhadap wartawan perlu ditingkatkan kesadaran atas pentingnya kebebasan pers pada seluruh kalangan.

This thesis discusses about the criminal act of violating journalists’ rights to seek for, gain, and spread ideas or information as ruled in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 in its association with violence against journalists. Several points to be discussed in this study include the scope of in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 in its association with violence against journalists, as well as its implementation on judges’ decisions on the cases of violence against journalists. The discussion is enriched with the recommendations for solving the cases of violence against journalists in Indonesia. The study uses literature review added by juridical-normative interviews with a qualitative approach that results in descriptive-analytical data.
This study concludes that those which are included in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 are any acts that creates barriers for press rights to seek for, gain, and spread knowledge or information, inclusive of violence against journalists during the process of news-gathering. There is still no mutual commentary among law-enforcing institutions about the scope of this article; therefore, there are differences among criminal code (KUHP) and press act in terms of its usage. The awareness of the importance of freedom of press needs to be increased in order to solve the cases of violence against journalists.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61502
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Permana Amri
"Hak dari pers untuk menyatakan pendapatnya secara bebas namun hal itu harus dihubungkan dengan hak publik untuk mendapat pelayanan dengan menerima suatu pemberitaan yang fair dan benar, agar publik dapat mengadakan suatu penilaian yang sehat tentang persoalan-persoalan umum yang dihadapi. Di pihak lain, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan (restriksi) terhadap kebebasan pers menjadi suatu pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persamaan didepan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan positif. Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus-kasus penghinaan. Delik penghinaan adalah delik aduan, oleh karena itu pada umumnya hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dan orang yang merasa dirugikan, dalam penegakan hukum kasus penghinaan melalui pemberitaan media massa, seringkali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sedangkan di sisi lain, masih terdapat cara yang dapat ditempuh selain menggunakan KUHP, yaitu dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang didalamnya mengatur mengenai penegakkan hukum atas kasus penghinaan di media massa dengan cara memberikan hak jawab, hak koreksi dan mediasi melalui dewan pers. pengaduan ke dewan pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda pertama ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan kode etik jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU pers dan kode etik jurnalistik. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui dewan pers, dan bukan melalui jalur hukum pidana atau hukum perdata. Kedua, banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme kita, ada banyak masalah dalam proses penegakkan kode etik jurnalistik. Dengan indikator banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.

The presses serve the right to express their opinions freely, but it must be connected with the public's right to services to receive fair and true reports, so that the public may hold a sound judgment on issues commonly encountered. On the other hand, freedom of the press raises crucial issues about the extent to which restrictions on freedom of the press is acceptable become conflict between the principle of press freedom and the principle of equality before the law and the principles of a democratic state based on the law, whether pure freedom of the press or press which will remain in positive limits will be adopted. The indications are many cases that have sprung up and been brought to the level of formal trial and essentially they are dealing with the press in defamation (libel) cases. Offense of defamation is a crime by complaint; therefore, in general, it can only be prosecuted if there is a complaint and person who felt aggrieved. Defamation cases through mass media are often enforced using the Criminal Code as the legal basis for settling the cases. While on the other hand, there are ways that can be taken in addition to using the Criminal Code, namely by using the Law No. 40 of 1999 regarding the Press, which also regulates the law enforcement on defamation through mass media by providing the right to reply, the right to correct and mediation through the press council. The complaint to the press council can be seen from two different sides. First, it shows increased awareness of various parties to resolve the problems of media publication and enforcement of journalistic ethics by using the mechanisms as provided in the Law regarding the press and journalistic ethics. In the other words, it can be seen as increased awareness of various parties to resolve publication disputes through the press council, and not through the criminal law or the civil law. Second, many complaints to the press council shows that there are many problems with our journalism; there are many problems in the process of enforcement of journalistic ethics. Many complaints to the press council indicated that there many offenses committed by mass media and there are many parties who feel aggrieved by them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bachtiar Aly
Jakarta: UI-Press, 2005
PGB 0308
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Valerie Augustine Budianto
"Skripsi ini membahas mengenai produk media liability insurance yang dipercaya dapat menjadi salah satu bentuk perlindungan kebebasan pers bagi jurnalis di Indonesia. Permasalahan dalam skripsi menitikberatkan pada fakta semakin maraknya gugatan yang ditujukan kepada jurnalis karena pemberitaan yang dibuatnya, yang membuat profesi jurnalis tergolong high risk. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana produk ini mampu memberikan perlindungan atas gugatan terhadap jurnalis, bentuk pengalihan risiko, dan hubungan hukum yang terkandung di dalamnya, serta membandingkan keberlakuannya di Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukan bahwa media liability insurance memberikan perlindungan non-litigasi berupa ganti kerugian terhadap pihak ketiga yang dirugikan oleh tertanggung, dengan opsi ruang lingkup pertanggungan yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan tertanggung selama hal tersebut tidak dikecualikan untuk dipertanggungkan. Penelitian menunjukan bahwa keberlakuan media liability insurance membawa dampak positif bagi kebebasan pers bagi jurnalis di Amerika Serikat, sehingga Penulis menyarankan agar produk ini segera diterapkan di Indonesia karena mampu menjadi solusi yang baik untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan calon tertanggung jurnalis serta kebebasan pers di Indonesia.

This thesis examines the media liability insurance product, which is thought to be a form of press freedom protection for journalists in Indonesia. The issue in this thesis is that more and more lawsuits are being filed against journalists as a result of the news they publish, classifying the journalist profession as high risk. The goal of this thesis is to determine how this product can protect journalists from lawsuits, the form of risk transfer, and the legal relationships contained therein, as well as to compare its validity in the United States. This research was written using a normative juridical research method with descriptive analytical research. The findings indicate that media liability insurance provides non-litigation protection in the form of compensation for third parties harmed by the insured, with options for the scope of coverage varying according to the insured's needs as long as it is not excluded from being insured. According to research, the use of media liability insurance has a positive impact on press freedom for journalists in the United States; therefore, the author recommends that this product be implemented immediately in Indonesia because it can be a good solution to improve the protection and welfare of prospective insured journalists as well as press freedom in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dedy Efrizal
"Setelah dibentuknya UU. No. 40 Tabun 1999 tentang Pers, pemberlakuan delik pers menurut KUHP terhadap pers ternyata tidak lagi disepakati oleh sebagian kalangan terutama pers, karena dianggap bertentangan dengan asas lex specialis derogar lex generalis. Untuk menelusuri persepsi lex specialis terhadap UU Pers tersebut, permasalahan yang penulis ajukan tertuju pada tiga hal, yaitu berkaitan dengan pengkonstruksian delik-delik terhadap pers menurut UU Pers yang dihubungkan dengan asas legalitas dan asas lex specialis derogal lex generalis, kemudian sistim pertanggung jawaban pidana pers yang hams dibangun, dan terakhir mengenai pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam menentukan hokum terhadap pers.
Untuk rnenjawab ketiga permasalahan tersebut, penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan metode penelitian normatif yuridis. Sedangkan mengenai bahan ataupun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, berupa bahan hokum primer (peraturan perundang-undangan dan sebuah kasus pidana pers pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), bahan hukum sekunder (literatur mengenai hukum pidana materiil dan hukum pers) dan bahan hukum tarsier (bibiliografi dan kamus). Untuk memperoleb data sekunder tersebut, alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi dokumen (kasus). Dalam penyajian dan analisa data, hal itu dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya materi pembahasan yang dituangkan dalam penulisan ini akan dikonstruksikan kedalam suatu uraian analisa hukum.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang penulis peroleh terdiri atas tiga bagian. Pertama, konstruksi delik pets yang tercanturn dalam UU Pers ternyata tidak dimaksudkan untuk menghapuskan ataupun untuk menarik delik pers menurut KUHP kedalam UU Pers. Tetapi delik pers menurut UU Pers merupakan delik yang ditujukan pada perusahaan pets dan terbatas pada lima jenis delik pers. Sehingga delik pers menurut KUHP tetap berlaku bagi pers. Delik yang memang dapat dikatakan sebagai lex specialis terletak dalam gabungan pelanggaran norma, atau suatu pemberitaan pers itu baru dapat dituntut jika isinya secara keseluruhan melanggar norma agama, rasa kesusilaan dan asas praduga tidak bersalah.
Kedua, sistim pertanggung jawaban pers merupakan bentuk pertanggung jawaban korporasi. Dalam pertanggung jawaban pidananya, korporasi akan diwakili oleh penanggung jawab bidang redaksi dan bidang usaha. Sedangkan untuk pertanggung jawaban personal, konstruksinya ditempuh berdasarkan asas penyertaan dalam KUHP. Ketiga, dalam menentukan hukum terhadap pers, ternyata UU Pers memang turut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan hukum terhadap pers. Khususnya dalam hal norma delik dan pertanggung jawaban pers. Dalam putusannya, ternyata haldm tetap menerapkan delik pers menurut KUHP, karena unsur deliknya telah terpenuhi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Pratama Saputra
"Unsur kesalahan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak secara tegas mencantumkan unsur kesalahan, namun kesalahan tersebut tersirat dalam unsur memperkaya diri. Melalui metodologi penelitian yuridis normatif dan kajian terhadap beberapa putusan tingkat kasasi dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya kebanyakan hakim hanya membuktikan dan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, meskipun demikian ada juga hakim yang mempertimbangkan unsur kesalahan secara khusus. Dengan demikian terlepas dari bagaimana cara hakim mempertimbangkannya, berarti unsur kesalahan dalam pasal ini telah dibuktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim ketika akan menyatakan Terdakwa secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut.

Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act has indirectly contained element of guilt, however element of guilt implicitly contained in self enriching element. Through juridical normative methodology research and study of some cassation rsquo s verdict can be deduced that practically, most of judges just proving and considering self enriching element, eventhough there are judges who considering element of guilt specifically. Therefore, regardless of how judges considering element of guilt, it means in this article element of guilt already proven and considered by judges when stating that defendant is guilty based on this Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
"Dalam melaksanakan profesinya, seorang wartawan perlu mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini karena kebebasan pers penting demi tegaknya negara hukum yang demokratis, bahwa press as a fourth estate. Mengingat sejarah Indonesia sebagai negara bekas jajahan dimana hukum yang digunakan masih merupakan warisan hukum kolonial Belanda yang memang ditujukan untuk meredam segala bentuk pergerakan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis, maka dianutlah kriminalisasi pers. Hal ini tetap terus dipertahankan setelah Indonesia merdeka, hanya rezim yang melakukannya berbeda. Pers terus berada dibawah cengkeraman kekuasan pemerintah yang mempertahankan status quonya. Kebebasan pers pun masih jauh dari kenyataan.
Paradigma kebebasan pers di Indonesia baru mulai berubah seiring era Reformasi, dimana terbit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dihapuskan aturan mengenai izin terbit pers atau SIUPP sehingga tidak mungkin ada lagi pers yang dibreidel. Khusus mengenai penyelesaian permasalahan berkaitan dengan pers, dalam UU tersebut diaturlah penggunaan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Mediasi melalui Dewan Pers. UU Pers ini mempunyai ketentuan pidana, walau disisi lain tak ditutup kemungkinan penggunaan pasal-pasal KUHP. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, dimana ternyata dalam prakteknya kemudian banyak permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pers diselesaikan dengan jalur hukum pidana, tanpa menempuh jalur-jalur yang telah tersebut dalam UU Pers itu. Timbul perdebatan apakah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut lex specialis atau tidak sehingga dapat/tidak digunakan mengecualikan pasal-pasal KUHP. Hal ini memicu resistensi kalangan pers yang kemudian memperjuangkan untuk diakuinya UU Pers sebagai lex specialis dan dipergunakannya jalur-jalur selain hukum pidana dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan berkaitan dengan pers. Dimana hukum pidana dalam perkara pers haruslah diletakkan sebagai ultimum remedium atau tuntutan yang lebih ekstrim lagi untuk mendekriminalisasi pasal-pasal KUHP terhadap pers. Hal ini selain mengikuti perkembangan dunia internasional yang telah lama menghindari penyelesaian permasalahan pers melalui jalur pidana, juga bahwa dalam konteks karya jurnalistik sebenarnya tidak ada suatu kebenaran mutlak. Selain itu bukankah kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara, mengemukakan pendapat dan berekspresi seharusnya dilindungi oleh negara? Disinilah kemudian timbul pertanyaan besar, apakah perjuangan masyarakat pers tersebut memang mungkin untuk dilakukan? Bagaimana hal tersebut bila dikaji dari sudut pandang akademis? Hal-hal itulah yang coba dijawab dalam tesis ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius P.S. Wibowo
"Pekerjaan penerbitan pers merupakan pekerjaan yang bersifat kolektif, artinya melibatkan beberapa orang, yaitu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, wartawan, penulis, pencetak, dan penerbit. Dalam kaitannya dengan sifat kolektif dari pekerjaan tersebut, timbul permasalahan tentang siapa yang harus bertanggungjawab secara hukum apabila pers memuat suatu tulisan atau menurunkan suatu berita yang sifatnya dapat sebagai tindak pidana. Menurut KUHP, dalam hal demikian maka beberapa orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara bersama-sama. Untuk menentukan hukuman masing-masing peserta harus dilihat lebih dahulu sejauh mana peranan masing-masing perserta dalam tindak pidana yang terjadi. Berbeda dengan KUHP, menurut UU Nomor 11 Tahun 1966 jo UU Nomor 04 Tahun 1967 jo UU Nomor 21 Tahun 1982 (UU Pokok Pers), dalam hal terjadi tindak pidana pers, yang dipertanggungjawabkan secara pidana cukup satu orang saja, yaitu pemimpin redaksi atau redaktur atau wartawan atau penulisnya sendiri. Pertanggungjawaban pidana demikian disebut waterfall system, sebab seseorang dapat mengalihkan pertanggungjawaban tersebut kepada orang lain. Undang-undang pers yang baru, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999, meskipun telah secara tegas menyatakan tidak berlaku lagi UU Pokok Pers, dalam prakteknya undang-undang tersebut masih dipergunakan. Melalui UU Nomor 40 tahun 1999 tersebut, dibuka kemungkinan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap insan pers (pemimpin redaksi, redaksi, wartawan, dan lain-lainnya) sekaligus terhadap perusahaan persnya. Pertanggungjawaban pidana perusahaan pers ini, tidak dikenal di dalam UU Pokok Pers. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
T36500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>