Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171457 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rosyid Mawardi
"Latar belakang: Penuaan paru ditandai dengan perubahan struktur dan fisiologi paru. Secara struktural, terjadi perubahan ketebalan septum interalveolar dan komponen di dalamnya, salah satunya adalah serat kolagen interstisial, sehingga dapat memengaruhi fungsi paru sebagai organ respirasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara jumlah serat kolagen interstitial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional analytic correlative. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Sprague-Dawley sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian terdiri atas empat kelompok usia, yaitu 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan >12 bulan yang ditentukan dengan m ± 0.043 μm, dan 0,512 ± 0.020 μm. Uji korelasi non parametrik Spearman (p = 0,03) antara jumlah serat kolagen interstisial dengan ketebalan septum interalveolar menunjukkan nilai koefisien korelasi (r = 0,213). Kesimpulan: Pada penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang lemah antara jumlah serat kolagen interstisial paru dengan ketebalan septum interalveolar pada penuaan tikus Sprague-Dawley. Dengan demikian, dapat dipikirkan bahwa serat kolagen interstisial dapat mempengaruhi ketebalan septum interalveolar paru tikus yang menua, meskipun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi.
Background: Lung aging is characterized by structure and physiologic changes of the lung. Structurally, the interalveolar septum thickness and all of its components including collagen fiber are change, so that affect the lung function as a respiratory organ. This study is aimed to determine the correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum thickness on Sprague-Dawley rat aging. Method: The design of this research is cross sectional analytic correlative. The data was taken from the lung tissue preparations of 24 rats in 4 groups based on age, 2 days, 16 days, 3-4 months, and >12 months using single blind randomization technique. The methods of preparation making are based on the literatures. Data that was assessed were the histology of pulmonary interstitial collagen fiber and interalveolar septum. Then, they were analized using SPSS 20.0. Result: Sequentially, the modes of interstitial collagen fiber are 1, 2, 2, and 3; while the interalveolar septum thickness means are 0,436 ± 0.059 μm, 0,399 ± 0.022 μm, 0,474 ± 0.043 μm, and 0,512 ± 0.020 μm. By using non parametric Spearman correlation test (p = 0.03), it was obtained the correlation coefficient (r = 0.213) between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness. Conclusion: There is a weak correlation between the amount of pulmonary interstitial collagen fiber with the interalveolar septum thickness of Sprague- Dawley rat aging. Thus, it can be thought that pulmonary interstitial collagen fiber may affects interalveolar septum thickness of rat aging, although it’s not as the only one factor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Primadian Suprapto
"Pada paru yang menua, terjadi perubahan pada komponen penyusun jaringan alveolus dan jaringan interstitial paru. Perubahan morfologi ini berpengaruh terhadap proses pertukaran gas yang terjadi di alveolus serta penurunan fungsi faal paru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara ketebalan septum dan rongga udara alveolus pada paru yang mengalami penuaan dengan menggunakan model hewan coba tikus Sprague-Dawley. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectionalanalitic observational. Pengukuran ketebalan septum dan rongga udara alveolus dilakukan pada jaringan paru tikus Sprague-dawley yang dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: kelompok usia 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Hasil pengukuran rata-rata ketebalan septum interalveolar sesuai dengan urutan kelompok usia adalah 0,436 ± 0,059 μm , 0,399 ± 0,022 μm, 0,474 ± 0,043 μm, 0,512 ± 0,020 μm. Sedangkan rata-rata diameter rongga udara alveolus secara berurutan adalah 0,467 ± 0,038 μm, 0,410 ± 0,052 μm, 0,370 ± 0,046 μm, 0,378 ± 0,028 μm. Berdasarkan uji korelasi Pearson, didapatkan hasil bahwa ketebalan septum alveolus mempunyai berkorelasi sedang dengan rongga udara alveolus (r = -0,528). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penuaan tikus Sprague-Dawley, ketebalan septum interalveolar akan bertambah dan rongga udara alveolus akan berkurang.

Aging process on the lung gives a result in morphological changes of alveolus and its interstitial components. These changes alter the respiratory function of the lung as marked as increasing lung residual volume and decreasing lung vital capacity. The aim of this research is to study the morphological changes of alveolus including septum thickness and alveolar air space changes in aging lung. We used cross sectional-analitic observational study to conduct this research. The microscopic observation has been done on Sprague-Dawley rats’ lung preparation from different age group of rats (2 days, 16 days, 3-4 months, and more than 12 months). The means of interalveolar septum measurement are 0.436 ± 0.059 μm, 0.399 ± 0.022 μm, 0.474 ± 0.043 μm, and 0.512 ± 0.020 μm respectively. The means of alveolar air space measurement are 0.467 ± 0.038 μm, 0.410 ± 0.052 μm, 0.370 ± 0.046 μm, and 0.378 ± 0.028 μm respectively. The Pearson correlation study show that there is a moderate correlation between septum thickness and alveolar air space (r = -0.528). As the age of the rats increased, the alveolar septum thickness increased and alveolar air space reduced.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vito Filbert Jayalie
"Serat kolagen merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam memberi struktur pada dinding alveolus dan mempengaruhi proses fisiologis paru. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara jumlah serat kolagen dalam jaringan interstisial dengan ketebalan septum interalveolar pada perkembangan paru tikus neonatus. Desain penelitian yang digunakan adalah metode observasional analitik dengan studi cross-sectional (n=24). Perhitungan serat kolagen berdasarkan warna hijau atau biru keunguan pada satu lapang pandang (pewarnaan Trichrome Mason), sedangkan septum interalveolar diukur berdasarkan proporsi. Serat kolagen cenderung menetap (terdistribusi <30%), sedangkan ketebalan septum interalveolar menurun pada usia perkembangan neonatus usia 2 hari (0,434±0,145), 4 hari (0,412±0,064), 10 hari (0,394±0,118) dan 16 hari (0,407±0,058). Korelasi Spearman untuk distribusi serat kolagen dan ketebalan septum interalveolar bersifat positif berkekuatan sedang dan bersifat signifikan (r = 0,586; p = 0,003). Dapat disimpulkan bahwa dalam proses perkembangan paru neonatus, perubahan distribusi serat kolagen berhubungan dengan perubahan ketebalan septum interalveolar.

Collagen fibre is one of the most important structure in alveolus, which influences lung physiology. This study aimed to find the correlation between distribution of interstitial collagen fiber and thickness of interalveolar septum in Sprague Dawley neonatal rats’ lung. We used observational analytic method with cross-sectional study (n=24). Collagen fibre was calculated based on green or purplish blue (Trichrome Mason staining), and interalveolar septum was measured by proportional method. The distribution of collagen fibre between all ages of neonatal rats have no difference (low distributed/<30%). However, interalveolar septum thickness decrease as the age increase (0,434±0,145 on day 2; 0,412±0,064 on day 4; 0,394±0,118 on day 10 and 0,407±0,058 on day 16). Spearman correlation of collagen fibre distribution and interalveolar septum thickness showed a medium and significant positive correlation (r = 0.586; p = 0,003). In conclusion, during neonatal rats’ lung development, there is a correlation between distribution of collagen fibre and thickness of interalveolar septum.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Talitha Rosa
"Salah satu komponen alveolus yang berperan penting dalam proses pertukaran gas adalah septum interalveolar. Diketahui bahwa dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan-perubahan dalam komponen interstitial seperti serat elastin dan kolagen yang dapat berpengaruh pada ketebalan septum interalveolar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi perubahan ketebalan septum interalveolar dengan usia selama proses pematangan paru. Desain penelitian ini berupa analitik observasional menggunakan metode cross sectional dengan subjek penelitian tikus Sprague-Dawley berusia 2, 4, 10, dan 16 hari. Paru tikus yang sudah dijadikan sediaan histologis dan diwarnai dengan pewarnaan Trichrome Masson difoto di bawah mikroskop cahaya, kemudian diukur dengan Optilab Image Raster. Ketebalan septum interalveolar diukur menggunakan proporsi panjang total septum interalveolar dengan panjang total lapang pandang di garis sepertiga tengah lapang pandang foto. Data dari pengukuran ketebalan septum interalveolar (0,434 pada usia dua hari, 0,412 pada usia empat hari, 0,394 pada uia 10 hari, dan 0,407 pada usia enam belas hari) diolah dengan program IBM SPSS Statistics 11.5 dan diuji dengan uji korelasi Spearman; didapatkan p= 0,861 dengan nilai r= -.038. Disimpulkan bahwa terdapat penurunan ketebalan septum interalveolar seiring bertambahnya usia, namun tidak terdapat korelasi signifikan antara keduanya.

One of the alveoli component that plays an important role in oxygen and carbon dioxide gas exchange is interalveolar septum. It is known that with increasing age, changes occur in the interstitial components such as elastin and collagen fibers that can affect the thickness of the interalveolar septum. This study aimed to determine the correlation of interalveolar septum thickness changes with age during lung maturation. This research is an analytic observational with cross-sectional method to study the subject of Sprague-Dawley rats aged 2, 4, 10, and 16 days. Rats’ lung histological preparations that have been made and stained with Trichrome Masson staining were photographed under a light microscope and then measured with an Optilab Image Raster. Interalveolar septum thickness was measured using the proportion of one-third the length of the visual field divided by the total length of visual field. Data from the measurement of interalveolar septum thickness (0,434 at the age of two days, 0,412 at the age of four days, 0,394 at the age of ten days, and 0,407 at the age of sixteen days) processed by the IBM SPSS Statistics 11.5 program and tested with Spearman's test, p = 0.861 obtained with a value of r = -.038. From these results, it can be concluded that there is a decrease in the thickness of the interalveolar septum with age, but there is no significant correlation between the two.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamuri, Aly
"Terkait pertambahan usia, penurunan fungsi paru dapat terjadi karena adanya perubahan struktur histologis alveolus. Tujuan penelitian ini adalah : untuk mengetahui korelasi ketebalan septum interalveolar paru tikus Sprague dawley terhadap pertambahan usia. Metode penelitian ini adalah penelitian berbasis laboratorium dengan desain cross sectional. Sebagai subjek penelitian, digunakan tikus Sprague-dawley yang terbagi dalam empat kelompok usia : 2 hari, 16 hari, 3-4 bulan, di atas 12 bulan. Sesuai dengan kelompok usia, kemudian dilakukan pengambilan jaringan paru dan diwarnai dengan metode pewarnaan trichrome-masson. Penghitungan nilai tebal septum dilakukan dengan membandingkan jumlah total tebal septum dengan lebar lapang pandang. Dengan metode saphiro-wilk didapatkan nilai persebaran data yang normal dan dilanjutkan dengan uji korelasi. Hhasil analisis data penelitian yang didapat berdasarkan kelompok usia, diperoleh ketebalan septum alveolus sebesar 0.436 ± 0.059 m untuk kelompok usia 2 hari, 0.399 ± 0.022 m pada kelompok usia 16 hari, 0.474 ± 0.043 m pada kelompok 3-4 bulan, serta 0.512 ± 0.020 m pada kelompok tikus usia lebih dari 12 bulan. Kesimpulan penelitian berdasarkan hasil uji korelasi pearson, diperoleh nilai r=0,375 yang menandakan adanya korelasi lemah antara pertambahan usia dengan ketebalan septum interalveolar.

As age goes by, changes in intrapulmonary condition may result in respiratory disorders. This research aims to find correlation between interalveolar septal thickness and age. Research method used in this study was laboratorim-based study with cross sectional design. As a subject used in this study, Sprague dawley rat sorted in age-related order : 2 days group, 16 days group, 3-4 months group, more than 12 months group. In accordance with the age-related grouping, alveolar tissue sampling was done and stained by trichrome-masson staining method. Measurement was done by comparing interalveolar septal thickness with microscope field of view. Result data normality evaluated by Shapiro-wilk test then tested with Pearson correlation test. Calculation of mean alveolar wall thickness value from each age-related groups gives following results: 2-days group: 0.436 ± 0.059 m thick, while 16-days group: 0.399 ± 0.022 m thick, 3-4 months old group: 0.474 ± 0.043 m thick, and >12 months old group: 0.512 ± 0.020 m thick. Pearson correlation test gave result of r=0,375 which marked a weak correlation between age and interalveolar septum thickness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ul Latifah
"Tulang adalah jaringan ikat dan merupakan bagian tubuh paling penting. Cacat tulang akibat trauma dan penyakit tulang menjadi salah satu masalah yang signifikan saat ini. Osteoarthritis (OA) adalah salah satu penyakit tulang rawan dengan prevalensi yang terus meningkat setiap tahunnya. Rekayasa jaringan tulang menjadi pengobatan alternatif dengan kombinasi sel, perancah, dan faktor sinyal. Perancah tulang harus memiliki sifat mekanik yang serupa dengan tulang, biokompatibilitas, dan biodegradabilitas yang baik. Pemilihan material yang tepat sangat penting dalam pembuatan perancah tulang karena biomaterial memiliki peranan penting dalam rekayasa jaringan tulang. Biomaterial seperti logam, polimer natural, polimer sintetis, keramik, dan kompositnya telah banyak digunakan dalam aplikasi biomedis. Kolagen tipe I merupakan salah satu biomaterial yang sering digunakan untuk perancah tulang. Pada penelitian ini, kolagen diekstrak dari ikan king kobia menggunakan metode deep eutectic solvent (DES). Kolagen tipe I hasil ekstraksi dengan metode DES memiliki yield sebesar 20.318%. Kolagen dikarakterisasi menggunakan SEM dan FTIR. Kolagen hasil ekstraksi digunakan dapat digunakan sebagai material perancah tulang dengan campuran alginat dan PVA. Perancah Kol/Alg/PVA dikarakterisasi dengan pengujian SEM, FTIR, uji tekan, porositas, laju degradasi, dan swelling. Perancah Kol/Alg/PVA memiliki porositas sebesar 29,98% dan memiliki laju degradasi yang bagus. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa perancah dapat digunakan untuk aplikasi perancah tulang.

Bones are connective tissue and are the most important part of the body. Bone deformities due to trauma and bone disease are a significant problem today. Osteoarthritis (OA) is a cartilage disease with a prevalence that continues to increase every year. Bone tissue engineering is an alternative treatment with a combination of cells, scaffolds and signaling factors. Bone scaffolds must have mechanical properties similar to bone, good biocompatibility and biodegradability. Selection of the right material is very important in the manufacture of bone scaffolds because biomaterials play an important role in bone tissue engineering. Biomaterials such as metals, natural polymers, synthetic polymers, ceramics and their composites have been widely used in biomedical applications. Type I collagen is one of the most frequently used biomaterials for bone scaffolding. In this study, collagen was extracted from king kobia fish using the deep eutectic solvent (DES) method. Type I collagen extracted using the DES method has a yield of 20.318%. Collagen was characterized using SEM and FTIR. Extracted collagen can be used as a bone scaffolding material with a mixture of alginate and PVA. Col/Alg/PVA scaffolds were characterized by SEM, FTIR, compression test, porosity, degradation rate, and swelling. The Col/Alg/PVA scaffold had a porosity of 29.98% and had a good degradation rate. The characterization results show that the scaffold can be used for bone scaffold applications."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Pujiningtyas
"ABSTRAK
Biji lengkeng (Dimocarpus longan Lour.) memiliki kandungan polifenol yang memiliki aktivitas antioksidan dan efek penghambatan tirosinase. Fitosom adalah nanovesikel lipid yaitu suatu sistem pembawa obat terutama ekstrak tumbuhan yang dapat meningkatkan absorpsi obat. Tujuan penelitian ini untuk memformulasi sediaan serum yang mengandung fitosom ekstrak biji lengkeng menggunakan koproses kasein-kolagen sebagai eksipien. Digunakan koproses kasein dengan kolagen karena kolagen memiliki manfaat dalam menjaga elastisitas kulit. Metode peredaman DPPH (2,2-Difenil-1-pikril hidrazil) digunakan untuk mengetahui nilai efficient concentration (EC50) ekstrak biji lengkeng dan uji penghambatan tirosinase dilakukan berdasarkan pengukuran dopakrom untuk memperoleh nilai inhibition concentaration (IC50). Efisiensi penjerapan fitosom dihitung berdasarkan penetapan kadar fenol total supernatan dengan metode Folin-Ciocalteu. Nilai EC50 dari ekstrak biji lengkeng sebesar 6,58 μg/mL. Uji penghambatan aktivitas tirosinase menunjukkan nilai IC50 sebesar 1795,93 μg/mL. Pembuatan fitosom dengan perbandingan fosfatidilkolin dan ekstrak sebesar 1,5 : 1 menunjukkan nilai efisiensi penjerapan sebesar 65,88%, nilai rata-rata diameter partikel (Z-average) sebesar 382,59 nm dan nilai polidispersitas (PDI) sebesar 2,03. Penggunaan koproses kasein-kolagen sebagai eksipien menghasilkan sediaan serum dengan viskositas rendah.

ABSTRACT
The longan seed (Dimocarpus longan Lour.) contains polyphenol compounds which have antioxidant activity and tyrosinase inhibitory effect. Phytosomes are lipid nanovesicles which can be used as a drug carrier systems especially drugs from plant extracts that can increase the absorption of the drug. The aim of this study is to formulate a serum containing longan seed extract phytosome using a coprocess of casein-collagen as an excipient. Casein was used in combination with collagen because of its benefit in maintaining skin elasticity. The DPPH (2,2-diphenyl-1-pycril hydrazil) radical scavenging method was used to determine the value of efficient concentration (EC50) of longan seed extract, whereas tyrosinase inhibitory assay of longan seed extract was measured based on dopachrome measurement to obtain the value of inhibition concentaration (IC50). The entrapment efficiency of the phytosome was calculated based on determination of total phenolic compounds in the supernatant by using the Folin-Ciocalteu method. The EC50 values ​​of longan seed extract was 6.58 μg/mL, the Z-average values was 382.59 nm and the polidispersity index (PDI) was 2,03. Tyrosinase inhibitory assay showed the IC50 values was 1795.93 μg/mL. Phytosome formulation with phosphatidylcholine and extract ratio of 1.5:1 showed the entrapment efficiency of 65,88%. The use of casein-collagen coprocess as an excipient resulted in a serum with low viscosity.
"
2014
S54909
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan perbedaan rerata nilai rasio Kolagen I (Kol I)/Nitric Oxide(NO), Kolagen IV (Kol IV)/NO, Tissue Factor (TF)/NO, P-selectin (P-sel)/NO antara pasien dengan trombosis vena dalam (TVD) positif dan TVD negatif, pasca traumatisasi spongiosa meta-epifisis sendi panggul dan lutut pada operasi besar ortopedi.
Metode: Studi observasional kohort prospektif kasus operasi ortopedi tanpa tromboprofilaksis pada 69 pasien berumur > 50 tahun. Pemeriksaan kadar serum biomarker Kol I, Kol IV, TF, P-sel, dan NO dilakukan tiga kali yaitu sebelum operasi, 72 jam sesudah operasi, dan 144 jam sesudah operasi, masing-masing untuk melihat perbedaan rerata kadar biomarker dan rerata nilai rasio protrombogenik/ antitrombogenik (Kol I/NO, Kol IV/NO, TF/NO dan P-sel/NO) pada 72 jam dan 144 jam sesudah operasi antara pasien TVD positif dan TVD negatif. Kejadian TVD dikonfirmasi pada 144 jam sesudah operasi dengan venografi (kecuali pada 8 kasus yang dikonfirmasi dengan USG color Doppler karena kontra indikasi zat warna).
Hasil: Kejadian TVD positif didapatkan pada 18 pasien (26,1%). Perbedaan rerata kadar antara TVD positif dan TVD negatif ditemukan pada Kol IV sebelum operasi (p = 0,022) dan pada NO 72 jam sesudah operasi (p = 0,014). Perbedaan rerata nilai rasio protrombogenik/ antitrombogenik antara TVD positif dan TVD negatif ditemukan pada rasio Kol IV/NO, TF/NO, dan P-sel/NO pada 72 jam sesudah operasi (p = 0,007; p = 0,028; p = 0,049), dengan median yang lebih rendah pada pasien dengan TVD positif. Sedangkan pada 144 jam sesudah operasi, perbedaan rerata nilai rasio hanya ditemukan pada rasio Kol IV/NO (p = 0,014) dengan nilai median yang lebih tinggi dari median pada 72 jam sesudah operasi.
Kesimpulan: Kejadian TVD pada traumatisasi spongiosa meta-epifisis pasca operasi besar ortopedi sendi panggul dan lutut dipengaruhi oleh keseimbangan protrombogenik dan antitrombogenik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan rasio Kol IV/NO, TF/NO dan Psel/NO pada 72 jam dan rasio Kol IV/NO pada 144 jam sesudah operasi antara TVD positif dan TVD negatif.

Abstract
Background: This study was aimed to show differences in the mean values of Collagen I (Col I)/Nitric Oxide (NO), Collagen IV (Col IV)/NO, Tissue Factor (TF)/NO, and P-selectin (P-sel)/NO ratios between patients with DVT and those without DVT, following hip and knee meta-epiphyseal cancellous bone traumatization in major orthopedic surgeries.
Methods: This is an observational prospective cohort study on 69 patients aged > 50 years, who had orthopedic surgery without thromboprophylaxis. Examination of serum Col I, Col IV, TF, P-sel, and NO biomarker levels were performed three times, i.e. before surgery, 72 hours and 144 hours after surgery. We looked for the differences in mean levels of biomarkers, and mean ratio values of the prothrombogenic/ antithrombogenic (Col I/NO, Col IV/NO, TF/NO, P-sel/NO) at 72 hours and 144 hours post surgery between patients with DVT and those without. DVT events, which were confirmed at 144 hours post surgery by venography (with the exception of 8 cases where color Doppler ultrasound was done due to contrast usage contraindications).
Results: DVTs were identified in 18 patients (26.1%). There were significant differences of mean levels in pre-surgical Col IV (p = 0.022) and 72 hours NO (p = 0.014) between patients with and without DVT. In addition, between the same two patient groups, significant differences were found in the mean values of the prothrombogenic/antithrombogenic ratios, i.e. Col IV/NO, TF/NO, and P-sel/NO at 72 hours post-surgery (p = 0.007, p = 0.028, and p = 0.049 respectively), with lower median values that were found in subjects with DVT. At 144-hours post surgery, the only significant ratio difference between the two groups was the mean values of Col IV/NO ratio (p = 0.014) with the median values that were higher than the median values at 72-hours post surgery .
Conclusion: The incidence of DVT following traumatization of the meta-epiphyseal cancellous bone after major orthopedic surgeries in hip and knee is influenced by the balance of prothrombogenic and antithrombogenic factors as shown by the significant differences in Col IV/NO, TF/NO and P-sel/NO ratios at 72-hours and Col IV/NO ratio at 144 hours after surgery between DVT positive and DVT negative patients."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Pelita Harapan], 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Pratama Arnofyan
"Latar Belakang : Angka kejadian reseksi anastomosis pada kasus intususepsi
masih sangat tinggi. Hal ini dikarenakan masih seringnya pasien datang terlambat
setelah 72 jam, kurangnya SDM untuk melakukan reduksi non operatif, dan
kurangnya penunjang seperti USG untuk menegakkan diagnosa. Penting untuk
memperhatikan presisi, tehnik dan mempertimbangkan usus yang tersisa dalam
melakukan reseksi anastomosis. Hingga saat ini belum ada standar operasi khusus
yang dapat menjadi panduan bagi para dokter bedah dalam melakukan reseksi
akibat intususepsi. Karena itu, peneliti tertarik untuk mencari batas reseksi yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu anastomosis end-to-end yang optimal dan
rendah tingkat kebocorannya. Penelitian akan dilakukan kepada tikus sebagai pilot
study sebelum dilakukan penelitian lebih lanjut.
Tujuan : Mengetahui batas reseksi usus yang optimal dinilai dari kebocoran
anastomosis berdasarkan grading kolagen pada batas reseksi tersebut.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan hewan coba
tikus putih Sprague Dawley. Tikus putih dilakukan intususepsi dengan
menggunakan stylet, dari proksimal ke distal. Setelah 45 menit, intususepsi di
reduksi.Tikus putih dikelompokkan dalam tiga kelompok sesuai batas reseksi
anastomosis, yang kemudian batas reseksi ini dilakukan pemeriksaan grading
kolagen. Setelah 5 hari, dilakukan laparotomi untuk menilai kebocoran
anastomosis.
Hasil : Pada perbandingan grading kolagen dengan reseksi usus didapatkan
grading terbanyak pada batas 1 adalah grading 2 (57,1 %), pada batas 2 grading 2
(71,4 %) ,batas 3 grading 3 (71,4%).Perforasi terbanyak ditemukan pada grading
2 sebanyak 5 sampel. Pada perbandingan batas reseksi dengan perforasi
didapatkan perforasi terbanyak pada batas 1 (85,7 %)
Simpulan : Terdapat perbedaaan grading kolagen pada batas reseksi usus dimana
batas kelompok batas 3 memiliki grading kolagen yang lebih baik ( grade 3 dan 4)
sehingga kelompok batas 3 lebih direkomendasikan secara histopatologis.
Grading kolagen dapat dinilai untuk melihat kemungkinan perforasi hasil
anastomosis. Terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian
perforasi selain grading kolagen.

Background : There is still high presentation of intussuseption cases with resection and
anastomose, caused of multi factors as : patient delay more than 72 hours, less on
profesional expert to do non operative reduction and less of examination such as ultra
sound to make a diagnose. That is important to take attention with pretition, tehniques
and less of intestine when do the resection. There is still no operative standard about the
boundary of resection cause of intussuseption, thats why the author want to do the
experimental to find the optimal part of resection with minimal leakage. The experimental
will do on rat as a pilot study.
Aim : How to get the optimal part of resection compared with anastomotic leakege based
on collagen grading.
Method : The experimental test using a Sprague Dawley rat. We make a intussuseption
on gut rat using a styleth from proximal to distal. The release do after 45 minutes. The
rats then separated into three boundaries group, and did resection-anastomose with each
gut from groups were performed a histopatologic test to count collagen grading. Leakage
of anastomose were examinated after 5 days
Result : In comparison between collagen grading and the extent of resection
obtained the highest grading in group 1 is grade 2 (57,1%), group 2 is grade 2
(71,4%), group 3 (71,4%). The highest Leakage can be found on grade 2 (5
sample).in comparison the extent of resection and leakage,the highest is group 1
(85,7%).
Summary : There are differences about collagen gradingin the extent of bowel
resection which is the third group of resection has higher collagen grading (3 and
4 ) and then more recommended as histopatologic exam. Collagen grading could
be marked to see possibilities of anastomotic leakage. There is some factors that
affect a leakage besides collagen grading.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Narmada
"Latar Belakang: Dibutuhkan waktu 14 hari donor kulit STSG sembuh. Kolagen berperan penting untuk menginduksi penyembuhan luka dan proses epitelisasi lebih cepat. Sementara gliserin menjaga kulit tetap lembab dan mendorong migrasi sel epitel. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui fungsi gel kolagen dan gliserin dalam mempercepat penyembuhan luka pada daerah donor STSG. Bahan dan Metode: Uji coba klinis non-acak dilakukan pada 18 pasien dewasa untuk membandingkan tingkat epitelisasi pada donor STSG antara kombinasi gel kolagen dan gliserin dibandingkan tulle yang dikombinasikan dengan kasa lembab. Luka dinilai pada hari ke 7, 10, dan 14 pascaoperasi. Persentase epitelisasi dievaluasi dan difoto. Setiap foto dianalisis dengan menggunakan program analisis warna Adobe Photoshop. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 20.0 dan diuji dengan independent t-test. Hasil: Delapan belas pasien yang membutuhkan pencangkokan kulit dimasukkan dalam penelitian ini. Terdapat 13 pria dan 5 wanita dengan usia rata-rata 33,34 tahun berkisar 15-50 tahun . Area donor rata-rata adalah 140,89 cm2 berkisar 100-240 cm2 . Persentase tingkat epitelisasi lebih besar dengan menggunakan kombinasi gel kolagen dan gliserin pada hari ke-7 pasca operasi 88,05 , 95 CI 85,75-90,63 vs 77,18 , 95 CI 73,39-81,02 ; p

Background It usually takes 14 days for the split thickness skin donor site to heal. Collagen plays an important role to induce faster wound healing and epithelialization. Meanwhile, glycerin keeps skin moisturized and promotes epithelial cells migration. This study was conducted to identify the role of combined collagen and glycerin based gel in promoting faster wound healing on split thickness skin graft donor sites.Materials and Methods A non randomized clinical trial was performed on 18 adult patients to compare the dressing for split thickness skin graft donor site epithelialization rate between combination of collagen and glycerin based gel versus tulle grass combined with moist gauze. The wound was assessed on postoperative day 7, 10, and 14. The epithelialization percentage was evaluated and photographed. Each photo was analyzed using Adobe Photoshop color match program. Data was analyzed using SPSS 20.0 and tested with independent t test.Result Eighteen patients requiring skin grafting were included in this study. There were 13 men and 5 women with mean age 33.34 year old ranged 15 50 year old . The average donor area was 140.89 cm2 ranged 100 240 cm2 . Epithelialization rate was greater using combination of collagen and glycerin based gel on postoperative day 7 88.05 , 95 CI 85.75 90.63 vs 77.18 , 95 CI 73.39 81.02 p 0.05 and day 10 96.92 , 95 CI 96.02 97.82 vs 89.22 , 95 CI 87.6 90.85 p 0.05 . Meanwhile, there is no epithelialization rate difference on postoperative day 14 between both dressing types 100 vs 99.72 0.55 , p 0.05Conclusion Although showing better epithelialization rate at day 7 and 10, combination of collagen and glycerin based gel covered gauze showed no difference in the healing of split thickness skin graft donor sites in comparison with tulle grass combined with moist gauze at day 14. Keywords Donor site, STSG, collagen and glycerin based gel, epithelialization. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>