Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Dalam dunia tasawuf, Dzu al-Nun al-Mishri dipandang sebagai bapak al-ma’rifah. Baginya, al-ma’rifah adalah pengetahuan hakiki, yang sanggup melihat dengan hati. Sedangkan pengetahuan ilmiah belum sampai ke tingkat hakiki. Untuk sampai ke tingkat ma;rifah harus melewati zuhud (meninggalkan kemewahan dunia), selalu beribadah dan bertafakur. Ketika jiwa sudah bersih dari kotoran, ia telah siap untuk menerima al-faidh (limpahan dari Allah), atau orang bisa sampai ke tingkat ma’rifat melalui jalan al-kasysyaf dan ilham yang Allah berikan kepada hamba yang Dia kehendaki. Tidak semua orang dapat mencapai tingkat al-marifat. Seorang sufi yang sudah sampai ketingkat ma’rifat akan memiliki tanda-tanda : 1). Selalu memancar cahaya ma’rifat dalam segala sikap dan perbuatannya ; ia selalu bersikap wara, 2). Tidak mengambil keputusan berdasarkan fakta nyata, karena dalam ajaran tasawuf fakta itu belum tentu benar, 3)tidak banyak menginginkan nikmat Allah, sebab kebanyakan nikmat bisa membawa kepada perbuatan haram."
JTW 1:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam dunia tasawuf Dzu al-Nun al Mishri dipandang sebagai bapak al-ma'rifah. Baginya, al-ma'rifah adalah pengetahuan hakiki yang sanggup melihat Allah dengan hati. Sedangkan pengetahuan ilmiah belum sampai ke tingkat hakiki. Untuk sampai ke tingkat ma'rifah harus melewati zuhud (meninggalkan kemewahan hidup di dunia), selalu beribadah dan bertafakkur. Ketika jiwa sudah bersih dari kotoran, ia telah siap untuk menerima l-faidh (limpahan dari Allah), atau orang bisa sampai ke tingkat ma'rifat melalui jalan al-kassysyaf dan ilham yang Allah berikan kepada hamba yang Dia kehendaki. Tidak semua orang mencapai tingkat ma'rifat. Seorang sufi yang sudah sampai ke tingkat ma'rifat akan memiliki tanda-tanda: 1) Selalu memancar cahaya ma'rifat dalam segala sifat dan perbuatannya; ia selalu bersikap wara'; 2) Tidak mengambil keputusan berdasarkan fakta nyata, karena dalam ajaran tasawuf fakta itu belum tentu benar; 3) Tidak banyak menginginkan nikmat Allah sebab kebanyakan nikmat justru bisa membawa kepada perbuatan haram."
JTW 1:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhsin Labib
Jakarta: Lentera, 2004
297.5 MUH j
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Al-Jauzi, Ibnu Qayyim
Jakarta: Qisthi Press, 2006
297.5 ALJ at
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amini, Ibrahim
Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002
297.4 IBR kt (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Watt, William Montgomery
London: George Allen and Unwin, 1953
297.4 WAT f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam diskursus ilmu Tasawuf, telaah tentang maqamat adalah penting. Melalui penelitian kepustakaan, kata maqamat, dari bahasa Arab, secara bahasa berarti tahapan yang dialami oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. Adapun secara istilah, maqamat bisa diartikan "sebagai sebuah proses panjang dengan ahwal di dalamnya, yang ditempuh melalui latihan-latihan ruhaniah (riyadlah) serta amalan dan metode tertentu untuk mencapai tingkat tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tingkat tertinggi ini dalam metode 'Irfani' disebut ma'rifat Allah Swt., mahabbah ila allah, atau ittihad ma'a Allah. Dalam tataran praksis, para sufi menjabarkan susunan dalam tahapan (maqamat) tersebut beragam sesuai dengan keberagaman pengalaman langsung mereka. Terlepas dari keragaman, paling tidak, ada dua tingkatan utama dalam maqamat, yaitu : tingkatan pertama terdiri dari : taubat, zuhud, sabar, tawakal, dan ridla ; sedangkan tingkatan kedua terdiri dari : al-mahabbah, al-ma'rifah, al-fana ; al-baqa ; dan al-ittihad (baik berbentuk hulul maupun wihdah al-wujud). Dengan pengetahuan yang benar tentang istilah-istilah dalam maqamat diharapkan dapat dijadikan pedoman khususnya bagi para pelaku pemula dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, dan umumnya bagi para peneliti yang menekuni bidang Tasawuf"
JTW 1:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Para sufi menafsirkan teks-teks suci dengan kaidah hermeneuik, untuk mencari makna konot erlatif, denotatif, terutama sugestif. Hamzah Fansuri—sufi dan sastrawan besar yang hidup semasa kerajaan Aceh berlimpah materi dan mengalami dekadensi moral, memaknai kata faqr sebagai memerlukan dan kemiskinan. Keduanya khas manusia, sehingga karena kemiskinan manusia perlu Tuhan, dan karena ke Maha-kaya-an-Nya Tuhan merdeka. Faqir adalah orang yang merdeka dari selain Allah. Sebagai maqam tertinggi, faqir berkenaan dengan jiwa yang fana, lenyapnya jiwa yang rendah sebab yang ada hanya cinta ilahi. Faqir berarti hidup zuhud dalam menggumuli, bukan menolak, kehidupan duniawi. Sementara M.Iqbal-Fisuf dan penyair Pakistan yang hidup ketikka peradaban Islam dlam kemunduran, memaknai kata faqr sebagai pribadi yang kuat karena cintanya pada Tuhan dan manusia merdeka, manusia unggul sebab kesadaran intelektualnya yang dalam dan jiwanya hidup. Hamzah Fansuri dan M. Iqbal memberikan makna yang hampir sama pada kata faqr, juga kritik mereka terhadap penyimpangan-penyimpngan agama dan tasawuf. Perbedaannnya, M. Iqbal memberikan takwil baru dan memperluasnya hingga mencakup bukan hanya agama dan tasawuf tetapi juga sosial dan politik, serta dengan jargon modern."
JTW 1:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam perkembangan zaman yang semakin mengglobal dewsa ini, dinamika kehidupan berjalan secara antagonistik, keunggulan dunia modern yang serba materialis, hedonis dan sekularis serta keterpurukan dunia tradisional yang serba spritiyual. Sebagai akibat, maka hilanglah nilai-nilai spiritual, yang pada gilirannya membuat manusia hidup dalam kebingunan, hidup penuh dengan kepura-puraan. Kekeringan batin yang diderita manusia modern tentu memerlukan upaya penyembuhan, demi kemaslahatan hidup manusia di sini saat ini dan di sana kelak. Sehubungan dengan itu, tepatlah kalau dimensi batiniah Islam (Tasawuf) ditawarkan sebagai solusi. Dalam bertasawuf, yang terpenting adalah membuat dimensi spiritualitas manusia menjiwai ; menerangi seluruh aspek kehidupannya, tidak terkecuali dibidang sosial-politik. Untuk keperluan itu, dalam studi ini digunakan pendekatan historis-kultural. Dengan pendekatan itu, kita dapat memahami sejarah Nabi Muhammad Saw, secara proporsional. Sufisme adalah bagian dari Islam dan bukan tradisi yang berdiri sendiri. Sufisme tetap menjadi sumber kehidupan batin manusia, yang menjiwai seluruh ornisme keagamaan dalam islam."
JTW 1:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ketika kekuasaan islam mengalami perluasan politik dan kemajuan material, tasawuf timbul sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bertasawuf tidak berarti miskin dan lusuh. Sangat keliru menyamakan kesalehan dengan kemiskinan. Tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia, tetapi tidak dimiliki dunia. Maka ketika dilanda kemiskinan, tasawuf bisa menjadi penawar. Penghayatan atas sebab-sebab kemunculan dan ajaran tasawuf, dapat menimbulkan nilai-nilai positif, misalnya untuk membentuk etika kerja, menjaga diri dari khianat (KKN), meredam sifat individualis, materialis dan hedonis. Tasawuf juga dapat mendorong kesadaran untuk "berbagi" terlebih saat jurang antara yang kaya dan miskin semakin mencolok akibat dominasi sistem kapitalis. Dalam pengentasan kemiskinan, melalui bukunya, Rakaiz al-iman baina al-Aqal wa al-Qulub, al-Ghazali mengajak umat Islam untuk mengamalkan nilai-nilai tasawuf, a.l. zuhud, yakni memenuhi segala yang haram, tidak berlebihan dalam perkara yang halal, dan meninggalkan apa saja yang dapat memalingkan diri dari mengingat Allah. Dan atsar,yakni tulus untuk mendahulukan yang memerlukan"
JTW 1:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>