Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24304 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pada kedokteran nuklir validasi data laju dosis merupakan kunci utama keberhasilan semua proses terapi maupun diagnosis suatu penyakit. Demikian pula dalam perekayasaan perangkay brakiterapi perlu dilakukan validasi data besar dosis yang diterima pada jaringan yang dituju. Oleh karena itu dirancang dan dibuat phantom sebagai alat bantu yang secara geometri memposisikan sumber radiasi dan alat ukur sebagaimana posisi sesungguhnya. Rancangan phantom dibuat dari tujuh lapis plat flexiglass tebal 100mm dengan lebar 105mm dan panjang 280mm yang kemudian dilubangi sesuai bentuk aplikator yang telah disusun sesuai kondisi penggunaan di lapangan. Masing-masing permukaan lapisan dibuat alur lebar 1 mm kedalaman 1 mm dengan jarak satu sama lain 10 mm. Selanjutnya aplikator dibuatkan tempat dengan posisi yang terukur dari sumbu referensi yang telah dibuat. Semua posisi TLD dapat diketahui jarak koordinatya terhadap referensi dan diberi nomor pada setiap posisi tersebut. Dengan cara ini maka phantom dapat digunakan untuk membuat isodosis sistem."
PRIMA 6:11 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Emira Taqiyya
"Penelitian ini bertujuan untuk membuat fantom dengan komposisi perbandingan antara hidroksiapatit dan gypsum yang paling sesuai dengan tulang manusia. Pengujian dilakukan dengan memperhatikan tiga parameter, yaitu nilai Hounsfield Unit (HU), densitas elektron (ρe), dan nomor atom efektif (Zeff). Enam sampel fantom dipersiapkan dengan perbandingan komposisi massa antara hidroksiapatit dan gypsum sebesar 100:0; 80:20; 60:40; 40:60; 20:80; 0:100. Pengujian dilakukan dengan menggunakan pemindai CT pada dua tingkat energi yang berbeda, yaitu energi rendah (tegangan tabung 80 kV) dan energi tinggi (tegangan tabung 140 kV) dengan menggunakan metode DEEDZ. Hasil perhitungan menggunakan nilai HU menghasilkan nilai densitas elektron pada keenam sampel fantom dengan akurasi sampel 1 (96.78%), sampel 2 (94.16%), sampel 3 (93.15%), sampel 4 (86.97%), sampel 5 (86.04%) dan sampel 6 (71.05%). Perhitungan juga mendapati nilai nomor atom efektif pada keenam sampel fantom dengan akurasi sebagai berikut sampel 1 (74.19%), sampel 2 (72.88%), sampel 3 (74.35%), sampel 4 (74.74%), sampel 5 (73.99%) dan sampel 6 (71.32%). Untuk parameter densitas elektron, akurasi tertinggi didapatkan dari sampel 1 (96.78%). Sedangkan hasil uji nomor atom efektif memberikan akurasi kurang dari 75% untuk seluruh sampel. Hal ini disebabkan oleh berat molekul yang menyebabkan adanya absorpsi fotolistrik. Fantom dengan bahan hidroksiapatit telah berhasil dibuat dan perlu investigasi lebih lanjut.

The purpose of this research is to find a mass composition ratio of hydroxyapatite and gypsum to construct bone fantomsimiliar as human bone. Three parameters were selected to evaluate the constructed fantom which are Hounsfield Unit (HU), electron density (ρe), and effective atomic number (Zeff). Six fantom samples were prepared with a mass composition ratio between hydroxyapatite and gypsum as follows: 100:0; 80:20; 60:40; 40:60; 20:80; 0:100. The test was carried out by using CT Scan with low and high energies (80 kV and 140 kV tube voltages) using DEEDZ method. Hounsfield Unit values that were obtained then calculated to determine electron density, with result accuracies of 96.78%, 94.16%, 93.15%, 86.97%, 86.04% and 71.07% for samples 1, 2, 3, 4, 5, and 6, respectively. Subsequent calculation of effective atomic numbers were obtained with accuracies of 74.19%, 72.88%, 74.35%, 74.74%, 73.99%, and 71.32% respectively, for samples 1, 2, 3, 4, 5, and 6. For electron density, the highest accuracy were obtained from sample 1 (96.78%), while effective atomic number tests yielded on accuracies below 75% for all samples. This might be caused by the molecular weight being prone to photoelectric absorption. Hydroxyapatite based fantom has been successfully constructed with needs of further investigations."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windi Dliya Najmah
"Penelitian ini bertujuan untuk konstruksi fantom Computed Tomography Dose Index (CTDI) alternatif berbahan dasar resin epoxy yang setara dengan fantom CTDI standar IEC. Resin epoxy dicampur dengan cairan kontras berbahan iodin agar menghasilkan karakteristik radiologi yang menyerupai polymethyl methacrylate (PMMA) sebagai bahan penyusun fantom CTDI standar. Sebagai uji pendahuluan, dilakukan pengujian dengan metode Dual Energy Computed Tomography (DECT) terhadap sampel campuran resin epoxy-iodin dengan konsentrasi iodin 0,10% - 0,62% (12 variasi) untuk mendapatkan nilai densitas elektron (Ie) relatif dan nomor atom efektif (Zeff) dari sampel. Fantom CTDI alternatif kemudian dibuat dengan konsentrasi iodin yang dipilih berdasarkan nilai Ie dan Zeff yang mendekati PMMA. Evaluasi dilakukan dengan uji komparasi hasil pengukuran dosis di fantom alternatif dibandingkan terhadap fantom CTDI standar sebagai referensi. Sebagai hasil uji pendahuluan, diketahui pada konsentrasi 0,46% resin epoxy (variasi 9) memiliki Ie dan Zeff dengan simpangan terhadap nilai Ie dan Zeff berturut-turut 0,12% dan 1,58%, sehingga variasi 9 dipilih sebagai komposisi fantom CTDI yang dibuat. Sebagai hasil evaluasi, didapat nilai diskrepansi dosis rata-rata sebesar 5% dan 1% dengan faktor koreksi terhadap fantom standar sebesar 0,95 dan 1,01, berturut-turut untuk fantom kepala dan tubuh. Hasil t-test antara pengukuran di fantom alternatif kepala dan tubuh dengan fantom standar di setiap energi juga menunjukkan p< 0,05 yang mengindikasikan kesetaraan performa fantom CTDI alternatif dengan fantom CTDI standar IEC.

This study aims to construct an alternative Computed Tomography Dose Index (CTDI) phantom based on epoxy resin which is equivalent to the IEC standard CTDI phantom. Epoxy resin was mixed with iodine-based contrast agent to produce radiological characteristics resembling polymethyl methacrylate (PMMA) as a standard CTDI phantom. As a preliminary study, testing was carried out using the Dual Energy Computed Tomography (DECT) method on 12 variations of epoxy-iodine resin mixtures with iodine concentrations of 0.10% - 0.62% to obtain relative electron density (Ie) values ​​and effective atomic numbers (Zeff) of the samples. The alternative CTDI phantoms were then constructed with resin-iodine mixture using iodine concentrations that yields on closest Ie and Zeff values to those of PMMA. The evaluation was carried out by means of a comparative test of dose measurement results in alternative phantoms compared to the standard CTDI phantom as a reference. As a result of the preliminary study, at a concentration of 0.46% the epoxy resin (variation 9) has Ie and Zeff with a deviation against PMMA ​​of 0.12% and 1.58% respectively, so that variation 9 was chosen as the composition with which the alternative CTDI phantom was constructed. As a result of the evaluation, the average dose discrepancy values ​​obtained were 5% and 1% with a correction factor against the standard phantom of 0,95 and 1,01, respectively for the head and body phantoms. The student’s t-test result between measurements on alternative head and body phantoms against the standard phantoms at each energy also shown p <0.05 which indicates the comparability of the alternative CTDI phantom performance with the IEC-standard CTDI phantom."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Lestariningsih
"Teknik akuisisi scan spiral memperkenalkan istilah Pitch. Pitch yang besar mempengaruhi proses rekonstruksi karena interpolasi data menjadi lebih lebar sehingga dapat menurunkan resolusi citra. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan fantom toraks in house yang dibuat dan didesain berdasarkan pengukuran data citra CT Toraks 100 pasien laki-laki. Parameter eksposi yang digunakan 130 kVp, rotasi tabung 0,6 detik, perubahan arus tabung 70 mAs dan 100 mAs serta variasi pitch mulai dari 0.5, 0.8, 1, 1.5, 1.8 dan 2. Fantom terbagi menjadi 4 bagian. Fantom bagian A untuk evaluasi akurasi posisi dan kualitas citra pada selang berisi media kontras, bagian B untuk evaluasi kualitas citra lubang udara hole , bagian C untuk evaluasi mikrokalsifikasi dengan variasi ukuran mesh pada serbuk tulang dan hidroxyapatite, dan bagian D untuk evaluasi MTF. Scanning fantom A untuk evaluasi akurasi posisi selang antara ukuran di fantom dengan monitor menunjukkan deviasi < 4 berjumlah 408 data 84 di sisi kanan dan 417 data 86 di sisi kiri dari total 486 data. Evalusi kualitas citra pada fantom A, terdapat perbedaan ?SNR pada tiap slice dengan hubungan yang linier terhadap perubahan pitch, semakin besar pitch yang digunakan ?SNR akan semakin lebar. ?SNR paling lebar terdapat pada slice ke-1 dan ke-2, selanjutnya pada slice ke-3 sampai ke-9 ?SNR stabil dan cenderung menurun. Evaluasi fantom B menunjukkan hole titik I dan J yang berdiameter 0.9 mm dan 0.625 mm tidak dapat tervisualisasi pada seluruh slice. SNR yang didapat paling tinggi pada hole tengah titik H dengan diameter 2 mm. Sensitivitas Pesawat CT dapat mendeteksi serbuk tulang ukuran mesh 10 dan 30 tetapi tidak dapat memperlihatkan serbuk tulang ukuran mesh 50 yang tersebar merata di permukaan fantom, ditunjukkan dengan nilai SNR tertinggi pada pitch 0.8 sebesar 2.659 SNR.

Acquisition technique in spiral scan introduce the term of Pitch. The big pitch could be influence for reconstruction process because interpolation will be wider, be affecting the spatial resolution. This study was performed by using in house thoracic phantom that made and designed based on image data measurement of CT Thorax of 100 men patient. Exposure Parameter which used was 130 kVp, tube rotation 0.6 second, tube current 70 mAs and 100 mAs, with pitch variation start from 0.5, 0.8, 1, 1.5, 1.8 and 2. Phantom was divided into 4 parts. Part A was used for evaluating the accuracy of position and image quality on a pipe that consist of contrast media, part B was used for evaluating image quality on hole, part C was used for evaluating micro calcification with various mesh size on bone material and hidroxyapatite, while part D was used for evaluating MTF. Phantom A scanning was performed for evaluating the accuracy of position between pipe in phantom and monitor showed deviation 4 with 408 number of data 84 on the right side and 417 data 86 on the left side from 486 all data. The result obtained for image evaluation, showed the different between delta SNR in every slice in phantom A with the pitch changing, used higher pitch becoming SNR wider. The widest SNR were occurred in the 1st and 2nd slice, furthermore in the 3rd until 9th slice SNR were stable and tend to decreased. Evaluation of phantom B showed that hole in point I and J which have diameter 0.9 mm and 0.625 mm could not visualized. The highest SNR was occurred in the middle hole point H with diameter 2 mm. The sensitivity of CT scanner is good enough to detect bone with the mesh size of 10 and 30 but not with the mesh size of 50 that spread in the phantom surface, this is shown with the highest SNR in the pitch 0.8 as 2.659 SNR."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T49787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Natalia Marjaya
"Penelitian ini bertujuan untuk membuat fantom payudara yang menerapkan analisis kontras detail dengan latar berstruktur untuk uji kualitas citra pada modalitas Mamografi dan Digital Breast Tomosynthesis. Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap, yakni; pembuatan, validasi, dan studi aplikasi fantom. Tahap pembuatan fantom mencakup pemilihan material fantom serta desain dan fabrikasi fantom. Pada tahap validasi, faktor eksposi dan nilai piksel dari citra fantom dibandingkan dengan mamogram klinis. Pada tahap studi aplikasi, fantom untuk menguji kualitas citra Mamografi dan DBT dengan mengukur signal-to-difference noise ratio (SDNR), dan ketajaman citra (Full width half maximum (FW HM) dan artifact spread function (ASF)) pada 3 level dosis (1/2 automatic exposure setting (AEC), AEC dan 2 AEC). Contrast detail structured phantom berhasil diproduksi dengan variasi ukuran dan posisi objek mikrokalsifikasi. Nilai piksel target memiliki kesamaan 85,34 %, dengan nilai piksel mikrokalsifikasi mamogram klinis, sedangkan latar fantom memiliki kesamaan 86,07 % dengan jaringan payudara pasien. Studi aplikasi menunjukkan bahwa fantom dapat digunakan untuk menguji kualitas citra khususnya terkait detail mikrokalsifikasi. Perbedaan posisi target dan level dosis mempengaruhi hasil pengukuran. Contrast detail structured phantom telah berhasil diproduksi dan diujicobakan; fantom ini dapat digunakan untuk menguji kualitas citra pesawat mamografi dan DBT dengan mempertimbangkan struktur heterogen pada jaringan payudara


This work is aimed to construct a contrast detail structured phantom for mammography and Digital Breast Tomosynthesis. The study was divided into 3 stages: production, validation and application. Production stage covered materials preparation, design and fabrication phantom. In validation stage, the phantom was compared to clinical mammogram in terms of exposure settings used in the image acquisition and their pixel values. Last stage was to study the application of the phantom to assess the image quality of mammography and DBT systems in terms of signal difference-to-noise ratio (SDNR), and sharpness (fullwidth half maximum, FWHM and artifact spread function, ASF) at 3 dose level (1/2 × automatic exposure control (AEC), AEC and 2 × AEC settings). The contrast detail structured phantom was successfully created with variations on microcalcification object size and position. In comparison with clinical mammogram, maximum pixel value of Sn sphere shows 85,34 % similarity while their background tissue had 86,07 % similarity. The study of applications of the phantom shows that the phantom can be used to assess the image quality particularly to detail of microcalcifications. The position of targets and dose level settings afflicted the measured parameters. The contrast detail structured phantom has been successfully construct and studied; this phantom allows assessing image quality of digital mammography and DBT by including the presence of structured breast tissue -like

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Hidayati
"Penelitian ini menggunakan fantom abdomen in house dengan tujuan mengukur dosis di berbagai daerah organ yaitu hepar, ginjal, reproduksi dan bladder. Pengukuran dosis pada daerah organ dilakukandengan menggunakan dosimeter gafchromic dan TLD. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil dosis sepanjang sumbu-z dan image quality dengan variasi pitch factor. Faktor eksposi yang digunakan disesuaikan dengan aplikasi klinis abdomen yaitu 130 kV, 80 mAs, rotation 1.5 s dan delay 3 s. Pemilihan parameter pitch factor pada pemeriksaan CT abdomen akan mempengaruhi nilai dosis dan image quality. Variasi Pitch factor yang digunakan 0,8; 1 dan 1.5. Secara umum pengukuran dosis dengan gafchromic dan TLD di berbagai daerah organ memperlihatkan bahwa semakin besar penggunaan pitch factor maka dosis yang didapatkan semakin kecil. Profil dosis sepanjang sumbu-z berbentuk parabola yang simetris dengan dosis maksimum di sekitar 3.45 mGy dan dosis minimum pada awal dan akhir scanning sekitar 3.286 mGy. Hubungan nilai SNR dan slice untuk ketiga nilai pitch 0.8, 1 dan 1.5 pada umumnya sinusoidal dan untuk obyek di daerah kanan dan kiri menunjukkan kurva yang berbeda fase. Demikian juga antara dua titik atas dan bawah. Pengukuran kesesuaian antara citra obyek dengan ukuran obyek sebenarnya dari 512 data diperoleh hasil pada pitch factor 0.8 deviasi diameter 0 ndash; 5 sekitar 50.5 dan selebihnya 49.5 deviasinya diatas 5 . Pada pitch factor 1 deviasi 0 ndash; 5 sekitar 53.5 dan deviasi lebih dari 5 sekitar 46.7 , sedangkan untuk pitch factor 1.5 deviasi 0 ndash; 5 sekitar 68 dan deviasi lebih dari 5 sekitar 32.

This study uses in house phantom abdomen with the aim of measuring doses in different regions of the organ namely liver, kidney, reproduction and bladder. Measurement of dose in the organ region is done by using gafchromic and TLD dosimeter. In addition, this study aims to determine the profil dose along the z axis and image quality with variation of pitch factor. The exposure factors were adjusted for the clinical application of abdomen 130 kV, 80 mAs, rotation 1.5 and delay 3 s. Selection of pitch factor parameters on abdominal CT examination will affect the dose value and image quality. Variation of pitch factor used 0.8 1 and 1.5. In general, Measurements dose with gafchromic and TLD in different organ regions showed that the greater the use pitch factor the smaller the dose. Profil doses along the z axis are parabolic shapes symmetrical with maximum doses about 3.450 mGy and minimum doses at the start and end of scanning around 3.286 mGy. The relation of SNR and slice values to the three pitch values 0.8 1 and 1.5 is generally sinusoidal and for the object in the right and left regions show different curves of phase. Likewise between the two points above and below. Measurement of conformity between object image and actual object size from 512 data obtained result on pitch 0.8 deviation of 0 ndash 5 diameter around 50.5 and 49.5 deviation over 5 . In pitch factor 1 deviation 0 ndash 5 about 53.5 and deviation more than 5 about 46.7 , while for pitch factor 1.5 deviations 0 ndash 5 about 68 and deviation more than 5 about 32 ."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T49770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Salah satu masalah yang muncul pada pengobatan radioterapi paru-paru adalah adanya efek interaksi akibat gerakan target tumor dan gerakan Multileaf Collimator (MLC) yang saling berinteraksi. Efek tersebut dapat menyebabkan kesalahan dosimetri yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan radioterapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan efek interaksi antara gerak tumor dan MLC terhadap distribusi dosis pada area tepi target tumor yang bergerak dinamik. Pengukuran dilakukan menggunakan fantom toraks dinamik In-House dengan teknik penyinaran Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) dan Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT) pada variasi sudut MLC 0o dan 90o dengan amplitudo sebesar 5 mm, 10 mm dan 20 mm dengan target bergerak translasi arah superior inferior menggunakan detektor film GafChromic EBT-3 dan TLD LiF 100 rod. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan nilai amplitudo menyebabkan peningkatan nilai dosis pada target maupun organ at risk (OAR). Selain itu, pada penyinaran teknik IMRT dengan menggunakan sudut MLC 90o, efek interaksi menyebabkan kondisi underdose, baik pada area tengah maupun area tepi target tumor. Hal berbeda pada penggunaan teknik VMAT diperoleh dosis pengukuran lebih besar dari pada dosis perencanaan (TPS). Nilai dosis pada posisi area tepi yang sejajar dengan arah gerakan target cenderung lebih kecil dibandingkan daerah tepi lainnya., One of the most problems during radiotherapy treatment for lung cancer is the interaction effect due to the target motion and Multileaf Collimator (MLC) movement. These effects can lead to dosimetric error condition (measured dose fewer than planned dose) and affect the clinical outcome of radiotherapy treatment. The main objective of this study was to simulate the influence of interplay effect for peripheral dose distribution of dynamic target. Dose measurements were done using GafChromic EBT-3 film and TLD LiF 100 rod at in-house dynamic thorax phantom for different respiratory amplitude, such as 5 mm, 10 mm, and 20 mm. Both Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) and Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT) treatment were implemented using MLC angles of 0o and 90o. Target movement was linear toward a superior and an inferior direction. Results showed that the increasing of amplitude caused increasing of dose both at target and organ at risk (OAR). Then when MLC 90o applied in IMRT treatment, an interplay effect caused underdose condition both at the central region and peripheral region. Whereas, results of VMAT treatment showed that measured dose was higher than planned dose. Doses in peripheral region where was parallel with the target motion tend to fewer than others peripheral regions.]"
[, Universitas Indonesia], 2016
S62069
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herdani Rahman
"Fantom merupakan material ekuivalen jaringan tubuh yang berfungsi untuk menyimulasikan interaksi radiasi yang terjadi. Keberadaan fantom di bidang medis menjadikan proses quality assurance (QA), quality control (QC) dan treatment planning system tidak perlu mengekspos jaringan tubuh asli. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan komposisi fantom organik (berbahan dasar lilin dan karbon aktif) juga memperoleh nilai exit dose fantom organik melalui variasi ketebalan serta korelasinya terhadap koefisien atenuasi. Komposisi fantom tersebut didapatkan melalui kesesuaian terhadap nilai CT number (dalam satuan HU) jaringan tubuh manusia. Komposisi bahan organik penyusun fantom berdasarkan penelitian ini untuk material ekuivalen lemak adalah 10% lilin cecek, 10% karbon dan 80% lilin parafin, otot 10% lilin cecek, 10% karbon dan 80% gondorukem, otak white matter 16% lilin cecek, 16% karbon dan 68% gondorukem, otak grey matter 20% lilin cecek, 20% karbon dan 60% gondorukem dan hati 40% tepung beras, dan 60% lilin cecek. Pengukuran exit dose dilakukan pada ketebalan fantom mulai dari 6 cm hingga 10 cm serta ukuran lapangan 20 cm × 20 cm dan 25 cm × 25 cm. Persentase penurunan nilai exit dose di ketebalan 10 cm relatif terhadap ketebalan 6 cm pada ukuran lapangan 20 cm x 20 cm menunjukkan nilai sebesar (29,1% ± 4,4%); (43,7% ± 2,7%); (43,0% ± 1,2%); (41,4% ± 0,4%); (51,2% ± 5,7%) untuk material ekuivalen jaringan lemak, otot, otak white matter, otak grey matter, dan hati secara berturut – turut. Sedangkan pada ukuran lapangan 25 cm × 25 cm menunjukkan nilai sebesar (30,0% ± 2,3%); (41,2% ± 2,6%); (41,9% ± 2,1%); (40,4% ± 1,1%); (47,5% ± 4,7%). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa, nilai exit dose berkurang seiring dengan bertambahnya ketebalan fantom. Hal serupa ditunjukkan oleh pengurangan ukuran lapangan yang menyebabkan berkurangnya nilai exit dose. Sementara itu, nilai dosis serap dan buildup factor menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan nilai exit dose, di mana penambahan ketebalan fantom menyebabkan naiknya dosis serap.

Phantom is an equivalent body tissue material that has always been used to simulate radiation interactions. the needs to expose human body with radiation in the process of QA, QC, and treatment planning system is no longer needed since the existence of phantom in the medical field. The purpose of this study is to determine the composition of organic phantom (wax and activated carbon) and also obtain the value of the exit dose of organic phantom through variations in thickness and its correlation to the attenuation coefficient. The phantom composition was obtained through conformity to the value of the CT number (in HU unit) human body tissue. The composition of the organic phantom for fat is 10% cecek wax, 10% activated carbon and 80% paraffin wax, muscle 10% cecek wax, 10% activated carbon and 80% gondorukem, brain white matter 16% cecek wax, 16% activated carbon and 68% gondorukem, brain gray matter 20% cecek wax, 20% activated carbon and 60% gondorukem and liver 40% rice flour, and 60% gondorukem wax. Exit dose was measured with phantom thickness variations ranging from 6 cm to 10 cm and field sizes of 20 cm × 20 cm and 25 cm × 25 cm. The decrease in percentage of exit dose based on thickness increment of the size of the field 20 cm x 20 cm were (29,1% ± 4,4%); (43,7% ± 2,7%); (43,0% ± 1,2%); (41,4% ± 0,4%); (51,2% ± 5,7%) for equivalent material fat, muscle, white matter brain, gray matter brain, and liver respectively. Whereas the size of the field 25 cm × 25 cm were (30,0% ± 2,3%); (41,2% ± 2,6%); (41,9% ± 2,1%); (40,4% ± 1,1%); (47,5% ± 4,7%). Based on these results it showed that the value of the exit dose decreases with increasing thickness of the phantom. The same results were showed by the reduction in the size of the field which causes a decrease in the value of exit dose. Meanwhile, the absorption dose value and buildup factor showed the opposite results with the exit dose value, where the phantom thickness increment."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiana Dwi Mayasari
"Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan agama yang yang membawa kesejahteraan dan keselamatan seluruh umat sekalian alam. Egalitarianisme dan kesadaran hukum telah dipraktekkan oleh Nabi dalam misi kepemimpinannya untuk mengembangkan komunitas negara yang konstitusional. Kedamaian dan kesejahteraan umat adalah dasar utama yang diajarkan dalam Islam. Namun saat ini banyak kita jumpai berbagai macam propaganda guna memecah belah umat Islam, yang menyebabkan pertikaian antar agama, dan pelabelan terhadap Islam sebagai agama kekerasan melalui berbagai cara. Salah satunya ialah melalui film baik dalam skala nasional maupun international. Stigma Islam sebagai agama teroris yang semakin melekat pada setiap muslim, disebabkan karena pemberitaan media terutama film yang tidak proporsional. 'Phantom' adalah salah satu film yang dinilai menampilkan citra negatif terhadap Islam.Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti melakukan analisis guna mengetahui bagaimana Islam dan terorisme dimaknai dalam film ini.
Semiotika Roland Barthes digunakan sebagai pisau analisis melalui pemaknaan denotasi, konotasi, dan mitos.Hasil penelitian menunjukkan bahwa jihad dalam film Phantom digambarkan sebagai tindakan anarkis, yang menghalalakan segala cara untuk mendapatkan tujuan utamanya yaitu berdirinya Negara Islam. Sedangkan terorisme digambarkan sebagai sebuah gerakan terorganisir yang dilakukan oleh muslim. Jihad dan terorisme adalah dua hal yang sama, dan mempunyai tujuan akhir yang serupa, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik. Diproduksinya film Phantom ini bertujuan untuk menggiring opini masyarakat India khususnya untuk mengerucutkan pelaku pada kasus pengeboman 9/11, dan untuk membuka mata seluruh penonton dibelahan dunia manapun mengenai kekejaman Islam yang dibalut dengan nama jihad.

Islam had been taught and spread widely by The Prophet Muhammad SAW. It is a religion which brings prosperity and peace to all people in this world. Egalitarianism and legal awareness has been used by the Prophet to develop a constitutional community state. Peacefulness and social welfare is the main basis in Islam. However, there are various kinds of propaganda which divided Muslims. It has been leading controversy between religions and labeling on Islam as a violence religion over any methods. One of them is coming from movie industry, nationally and internationally. Stigma of Islam as a terrorist religion attached to every Muslim, caused by the media, especially from disproportionately movies. Phantom is one of the movies which considered showing a negative image of Islam. Using a qualitative approach, the researcher conducted an analysis to determine how was Islam and terrorism interpreted in this film.
Semiotics Roland Barthes used as an analysis method to know the meaning of denotation, connotation, and myth.The results of the research showed that jihad in Phantom described as anarchy action, which justifies anything to get its main purpose, to establish Islamic State. While terrorism described as an organized movement carried out by Muslims. In this movie, Jihad and terrorism is the same things and have the same purpose, using force to achieve political goals. Phantom movie produced to lead Indian public opinion on 9 11 bombing incident, and to open people's perspective about the Islamic cruelty wrapped with the name of jihad.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widjajalaksmi Kusumaningsih
"ABSTRAK
Persepsi sensasi fantom yang timbul pasca amputasi anggota gerak, mengikuti arahan pola spesifik yang berkaitan dengan persepsi tubuh sendiri yang berkaitan dengan teori Neuromatriks dari Melzack dan Hukum Hebb. Nyeri fantom berhubungan dengan pengalaman nyeri pra-amputasi dimana terjadi disinhibisi memori nyeri pra-amputasi. Fenomena ini menganggu aktivitas sehari - hari bahkan dapat menciderakan penderita pasca amputasi anggota gerak. Fenomena ini dapat dideskripsikan sebagai adanya suatu persepsi berkelanjutan dari bagian tubuh dengan atau tanpa nyeri dalam suatu periode. Dalam perjalanan waktu terjadi perubahan karakteristik dari fenomena fantom (telescoping , sensasi fantom menjalar dan nyeri fantom) yang dimodulasi oleh berbagai substrat seperti kortisol, substansi P dan serotonin yang berfluktuasi untuk menciptakan keseimbangan homeostasis. Guna memahami fenomena ini diperlukan pendekatan metoda kuantitatif (dengan mengukur fluktuasi neurohumoral dalam suatu periode dan melakukan evaluasi terhadap kondisi puntung) dan metoda kualitatif antara lain melalui pemetaan gejala sensasi fantom, guna memahami lokasi neuroanatomis. Terapi nonfarmakologis sederhana diberikan sesuai diagnosis berdasar lokasi neuroanatornis.
Tempat : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Ortopedi, RSCM 1 FKUI, RSU Fatmawati, RSPAD, PusRehCat Bintaro, Laboratorium Makmal Terpadu FKUI, Panti Sosial Bina Daksa, Jakarta.
Populasi dan Sampel : Semua pasien laki-laki dan perempuan usia 17 -- 55 tahun pasca amputasi terminal tunggal anggota gerak atas dan bawah, dextra dan sinistra (transfemoral, transtibial, transhumoral dan transradial, dextra dan sinistra), stadium pasca amputasi pra prostetik tanpa nyeri puntung.
Subyek penelitian dialokasikan dalam dua kelompok yaitu kelompok pengguna prostesis (P) dan kelompok bukan pengguna prostesis (NP). Kedua kelompok dievaluasi tiga kali (tahap awal, tahap pertengahan, tahap akhir) selama kurun waktu 6 bulan. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar kortisol, serotonin dan substansi P antara jam 8.00 - 9.00 pagi (variasi diurnal) dilaboratorium Makmal FKUI pada tahap awal dan tahap akhir. Kadar kortisol menggunakan tehnik RIA (Radioimunoassay), serotonin dan substansi P menggunakan tehnik ELISA (Enzym Linked Imunno Sorbent Assay). Pengukuran lingkar otot puntung berdasarkan The International Standard Measurement for Limb Muscle Girth pada level amputasi transfemoral transtitibial, transhurneral dan transradial. Pengukuran sinyal listrik otot puntung dengan pressure biofeedback (Myomed 932). Penilaian tahapan telescoping dan penilaian sensasi fantom menjalar menggunakan modifikasi pengukuran imaginasi visual dan gerak. Penilaian nyeri fantom dengan VAS (Visual Analogue Scale) Studi kualitatif meliputi pemetaan sensasi fantom menjalar, pemetaan tahapan telescoping, kuesioner mengenai gejala fenomena fantom termasuk pengalaman nyeri pra amputasi.
Dilakukan perbandingan antara kedua kelompok, yaitu kelompok yang aktif menggunakan prostesis fungsional secara kontinu dengan kelompok yang tidak menggunakan prostesis. Jumlah subyek dengan jenis kelamin laki-laki jauh lebih besar dibanding perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 22 (52,4%) pada kelompok P dan 20 (47,6%) pada kelompok NP. Sebaran berdasar jenis kelamin pada kelompok adalah homogen dimana jumlah laki-laki mendominasi pada tiap kelompok. Hal ini sesuai dengan data amputasi anggota gerak akibat trauma yang lebih banyak menimpa laki-laki. Distribusi usia menunjukkan pada kelompok NP rerata usia 29,8 (SD 10,27), dan 29,52 (SD 6,51) adalah rerata usia pada kelompok P. Berdasarkan usia kedua kelompok adalah homogen, (p=0,909). Berdasarkan jenis pekerjaan terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok (p = 0,038) dimana buruh mendominasi kelompok NP yaitu 12 (66,7%) dan TNI mendominasi kelompok P yaitu 15 (78,9%). Dari berbagai jenis amputasi, terlihat amputasi anggota gerak bawah (transfemoral dan transtibial, baik dextra dan sinistra) mendominasi pada masing-masing kelompok yaitu sebanyak 14 (56%) pads kelompok NP dan 22 (88%) pada kelompok P. Sebaran berdasar jenis amputasi pada kedua kelompok adalah homogen (p = 0,221). Dalam perjalanan waktu selama enam bulan pasta amputasi, didapatkan korelasi yang bermakna antara peningkatan derajat telescoping (PS) dan peningkatan sensasi fantom menjalar (RPLS) pada tiap tahap. Path tahap evaluasi akhir didapatkan korelasi positif bermakna dengan bentuk hubungan kuat (korelasi Pearson, r =0,999 , p < 0,0001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dengan sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan, dan Rsq () 0,8440 yang berarti bahwa 84% variasi peningkatan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping dalam masa enam bulan pasca amputasi anggota gerak. Hal ini membuktikan bahwa selain terjadi peningkatan derajat telescoping akan diikuti perubahan sensasi fantom menjalar yang berbeda bermakna (p < 0,0001), sebagai konsekuensi reorganisasi area kortikal somatosensori, yang juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat diantara keduanya (r = 0,999, p < 0,0001). Proses ini dipicu penggunaan aktif prostesis fungsional. Kondisi puntung pengguna prostesis berbeda dengan kondisi puntung bukan pengguna prostesis. Terjadi peningkatan bermakna dari rerata sinyal elektrik otot puntung (EA) baik kelompok NP maupun kelompok P (p <0,0001). Dengan korelasi Pearson, ditemukan korelasi negatif bermakna dengan bentuk hubungan berkekuatan sedang, antara perubahan tahapan telescoping (PS) dan peningkatan sinyal elektrik otot puntung J EA (r = 0,444 , p = 0,001). Dengan regresi linear didapatkan adanya peningkatan hubungan antara derajat telescoping dan sinyal listrik otot puntung dalam masa enam bulan pasca amputasi, regresi linear dengan Rsq (r2) 0,1974 yang berarti bahwa 19% variasi peningkatan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh peningkatan sinyal listrik otot puntung enam bulan pasca amputasi. Dengan terjadinya perubahan pada tahapan telescoping dan sensasi fantom menjalar dalam kurun waktu enam bulan, terjadi juga penurunan nilai rerata intensitas nyeri fantom yang bermakna diantara kedua kelompok (p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson terdapat korelasi negatif yang bermakna antara peningkatan telescoping (PS) dan penurunan nyeri fantom (PP) dalam masa enam bulan (r = - 0,676 , p < 0,0001) dengan sifat hubungan kuat. Juga ditemukan korelasi negatif dengan sifat hubungan sedang, yang bermakna dalam masa observasi enam bulan antara RPLS dan PP (r = 0,693 , p < 0,0001). Dengan korelasi Pearson didapati hubungan berkekuatan sedang antara peningkatan telescoping dengan penurunan intensitas nyeri fantom pada tahap pertengahan masa observasi 6 bulan (r = - 0,503 , p < 0,0001). Dan pada akhir masa observasi sifat hubungan kuat (r = - 0,676 , p < 0,0001). Regresi linear menunjukkan hubungan yang kuat antara penurunan nilai nyeri fantom dan peningkatan derajat telescoping. Regresi linear dengan Rsq (r2) 0,4572 berarti bahwa 45% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan derajat telescoping enam bulan pasta amputasi. Demikian pula regresi linear dengan Rsq (r) 0,4808 berarti bahwa 48% variasi penurunan nyeri fantom berhubungan dengan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dalam masa enam bulan pasta amputasi. Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi penurunan nyeri fantom yang berbeda bermakna antara kelompok NP dan P (p = 0,002). Didapatkan nyeri fantom awal sebanyak 31 (62%) dan melalui uji independen didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok NP dan P (p < 0,0001) dalam hal sebaran adanya pengalaman nyeri praamputasi dan terjadinya nyeri fantom awal. Enam bulan pasca amputasi didapatkan peningkatan kadar serotonin dan penurunan substansi P pada kelompok P dan NP. Didapatkan penurunan bermakna kortisol enam bulan pasca amputasi antara kelompok P dan kelompok NP (p =0,047). Dengan ditemukan Korelasi Pearson korelasi positif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan penurunan nilai nyeri fantom selama enam bulan pasca amputasi anggota gerak (r = 0,390 , p = 0,005). Terdapat pula korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan derajat telescoping selama 6 bulan pasca amputasi (r = - 0,331 , p = 0,01 9 ). Terdapat korelasi negatif bermakna antara penurunan kadar kortisol dan peningkatan nilai sensasi fantom menjalar enam bulan pasca amputasi (r = -0,377, p = 0,007). Hubungan antara penurunan kadar kortisol dengan peningkatan derajat telescoping, penurunan nyeri fantom dan perubahan nilai sensasi fantom menjalar (konsekuensi proses neuroplastisitas) diperlihatkan dengan analisis regresi. Regresi kuadratik sederhana dengan Rsq (r2) 0,1456 yang berarti 14% variasi perubahan derajat telescoping berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1520 berarti 15% variasi penurunan nilai nyeri fantom berhubungan dengan perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi. Regresi kuadratik sederhana Rsq (r) 0,1998 berarti bahwa 19% variasi perubahan nilai sensasi fantom menjalar berhubungan dengan atau ditentukan oleh perubahan kadar kortisol enam bulan pasca amputasi.
Kesimpulan : (1) Enam bulan pasca amputasi anggota gerak terjadi perubahan peta somatotopik, pada subyek pasca amputasi anggota gerak yang merupakan konsekuensi proses neuroplastisitas pada area korteks somatosensori. (2) Perubahan karakteristik tersebut berkaitan dengan fluktuasi tiga substrat panting yaitu kortisol, serotonin, dan substansi P, yang mempengaruhi proses neuroplastisitas, memori dan nyeri. (3) Perubahan karakteristik, peningkatan tahapan telescoping, peningkatan nilai sensasi fantom menjalar dan penurunan intensitas nyeri fantom berbeda bermakna diantara kedua kelompok (NP dan P). (4) Pengalaman nyeri pra amputasi menimbulkan nyeri fantom. (5) Kehilangan anggota gerak tidak berarti kehilangan representasinya di otak, teori Neuromatriks dari Melzack mengenai adanya engram pada fenomena fantom yang menyatakan tubuh sebagai kesatuan bagian dari diri sendiri. Persepsinya tidak akan hilang dan pada kondisi tertentu akan dimunculkan kembali ke perrnukaan.
Terjadi perubahan signifikan pada karakteristik fenomena fantom dalam perjalanan waktu, pasca amputasi anggota gerak pada manusia dewasa akibat trauma, yang merupakan konsekuensi neuroplastisitas sentral. Adaptasi sentral berkaitan dengan adaptasi perifer yang diikuti penumnan kadar kortisol, substansi P dan peningkatan serotonim dalam masa 6 bulan pasca amputasi. Berbagai perubahan karakteristik dipercepat dengan penggunaan aktif prostesis fungsional. Ditemukan perubahan signifikan menunjukkan adanya korelasi antara berbagai faktor fisik maupun kimiawi. Dapat disimpulkan peran prostesis tidak hanya terbatas untuk aktifitas sehari-hari tapi terutama mempercepat perubahan karakteristik fenomena fantom.

ABSTRACT
Phantom limb sensation always occurs after sudden traumatic limb amputation whether by accident or surgery. It follows a spesific pattern that is related with body image (Neuromatrix and Neurosignature theory by Melzack). Phantom pains are highly variable, very individual and have a correlation with the experience of pain in the same limb before amputation. It was proposed that there is a reactivation of pre-amputation pain memory (engrain). Phantom limb phenomenon can be described as continuing memory with or without pain of self body perception/image that is not there anymore, modulated by neurohormon and neurotransmitters to reach homeostasis balance. The changing characteristic of phantom phenomen characteristic was modulated neurohumorally which will show in the fluctuation of cortisol, serotonin and substance P levels in circulation. Two methods will be used, quantitative and qualitative. To analyze the study outcome by comparison between two groups, groups that are using prosthesis (group P) and groups that do not use prosthesis or use cosmetic prosthesis (group NP). Study on the changing characteristics of phantom phenomenon and the relation with the effect of cortisol, serotonin and substance P fluctuation in circulation.
Place and time : Department Orthopedics Surgery and Department of Rehabilitation Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital, Makrnal Laboratory, Faculty of Medicine University of Indonesia, the Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Gatot Subroto Army Hospital, Department of Orthopedics Surgery and the Department of Rehabilitation Medicine, Fatmawati Hospital, Center for the Disabled (Pusrehcat) Bintaro and Panti Sosial Bina Daksa, all in Jakarta, Indonesia.
Population and sample : All male and female patients, age between 17 - 55 years of age, post traumatic limb amputation, upper limb and lower limb, dextra and sinistra (transfemoral, transtibial, transhumeral and transradial). In preprosthetic stage will be observed for six months.
Method : Subjects are allocated witihin 2 groups, subjects using a functional definite prosthetic (P group) and subjects that do not use prosthetic (NP group). Within six months 3 evaluation will be done on the first, second and third phase. Serotonin, cortisol and substance P in circulation will be taken twice on the first and third phase, between 8.00 AM - 09.00 AM. The level of cortisol will be examined by RIA, serotonin and substance P level will be examined by ELISA. Stump circumference will be measured by the International Standard Measurement for Limb Muscle Girth. Stump electrical activity will be measured by Myomed 932 1 Electromyography Biofeedback. Telescoping degree (PS) and Referred Phantom Limb Sensation (RPLS) will be measured by using the modification of Visual and Movement Imagination Score. Phantom pain measured by VAS. Qualitative study used the sensory mapping of telescoping degree, in depth questioner also for pre-amputation experience.
Subjects were allocated in two groups, group using prosthetic (group P) and the other group that do not use prosthetic (group NP). Based on gender, men dominate in each group, NP and P. The distributions based on gender are homogenous (chi --- square test, p 0,445). Distribution based on age in each group, NP and P are homogenous (p = 0,909). It shows that both workers and military personnel dominate the whole sample. Worker dominate the NP group 12 (66,7%) and military personnel dominate the P group 15 (78,9%). Within six months after amputation, it shows that the use of continuing definite prosthetic will accelerate telescoping process, referred phantom limb sensation and lower phantom pain intensity significantly (p < 0,0001). At the end of six months observation with Pearson correlation there is a positive, strong correlation between an increase in telescoping degree (PS) and an increase in the score of referred phantom limb sensation (RPLS) (r = 0,999, p < 0,0001). Linear regression with Rsq (r2) = 0,8440 means that 84% variation in the increase of telescoping degree is related with the increase of referred phantom limb sensation six months after limb traumatic amputation. This shows that an increase in telescoping degree will be followed with an increase score in RPLS, this is a consequence of neuroplasticity process. By Anova repeated measurement there is a significant difference in the increase of electrical sigryil isometric muscle stump contraction in each group (p < 0,0001). Pearson correlation at the end of the observation (six month after traumatic limb amputation) shows a positive correlation with average relation between increase in telescoping degree (PS) and an increase in electrical stump muscle isometric contraction (EA) (r = 0,444 , p = 0,00 1). Linear regression with Rsq [r2) = 0,1974 which means that 19 % variation of an increase in electrical signal of isometric muscle stump contraction (EA) is related with an increase in telescoping degree (PS) after six months. In both groups (NP and P) there is a significance difference in the decrease of phantom pain intensity within six month from phase 1 through phase 3. Between group NP and P the difference in lower phantom pain intensity, decrease significantly on the second and third evaluation (p < 0,0001). With Pearson correlation at the end of six month observation shows a significance negative correlation with strong relation between the increase in telescoping degree and the decrease in phantom pain intensity (PP) (r = 0,676 , p < 0,0001). There is a negative correlation with strong relation (r = 0,693 , p < 0,0001) between the increase in referred phantom limb sensation (RPLS) and the decrease in phantom pain intensity (PP). Linear regression with Rsq (r2) = 0,4572 which means that 45 % variation in the decrease of phantom pain intensity (PP) is related with the increase in telescoping degree (PS) after six months observation. All this show a strong relationship between lower phantom pain intensity and increase in telescoping process within six months after amputation. There is also a significance difference decrease in phantom pain intensity (PP) within six months in group NP (p = 0,02). The decrease in phantom pain intensity (p < 0,05) within six months in group P. By using independent t test there is a significance difference in both group (p < 0,0001) in the distribution of pre-amputation pain experience (PNPA }) and the incidence of phantom pain (PP1) with score above 0 (zero). The mean score of PP1 are 6,16 (SD 1,96) in group NP and 5,26 (SD 1,47) in group P The same occur on those without pre-amputation pain experience (PNPA -) and no phantom pain incidence or the score of PP1 = O. There is a significance negative correlation between the decrease in cortisol level and the increase in telescoping grade (r = - 0,331, p =0,019). There is a significant positive correlation between decrease in cortisol level and decrease in phantom pain intensity (r = 0,390 , p = 0,005). There is a significance negative correlation level between the decrease in cortisol level and increase in referred phantom limb sensation (r= - 0,377 , p = 0,007). With simple quadratic regression, with Rsq (r) = 0,1456, which means that 14% difference of variation in telescoping degree is correlated with the fluctuation in cortisol level within six months, or can be predicted by cortisol fluctuation. Linear regression Rsq (?) = 0,1520, it means that 15% variation in the decrease of phantom pain intensity are correlated to the decrease in cortisol level within six months. Simple quadratic regression with Rsq (r2) = 0,1998, mean 19 % variation of referred phantom limb sensation is related with the fluctuation of cortisol level within six months.
The changes in the somatotopics map of post traumatic limb amputee subjects are the consequences of neuroplasticity rearrangement in the somatosensory cortical area. Changing characteristics, telescoping process, referred phantom limb sensation and phantom pain differ significantly between group NP and P. The changing pattern of phantom phenomenon is also influenced by three important substrates such as substance P, serotonin and cortisol that also influenced the neuroplasticity process, memory and phantom pain mechanism. Pre amputation pain experience will lead to the occurrence of phantom pain. A loss of a body part (limb) does not mean that the representations on brain surface are also loss. The body image are never erased or loss (Neuromatrix Theory of Melzack), exspecially those part which has the biggest area and the most dense representation in the homunculus. There is an engram that states that the body is our selves, those perception will never be erased (Neuromatrix Theory). The use of functional prosthetic continually that cause some effect on stump muscle condition, will hasten the characteristics of phantom phenomenon that is a consequence of central neuroplasticity proces, which is an increase in telescoping degree (PS), increase in referred phantom limb perception score (RPLS) and decrease in phantom pain intensity (PP), which also show a relation with neurohumoral fluctuation in circulation in which is a decrease in cortisol and substance P levels , and an increase in serotonin levels. The changing characteristic is accelerated by the use of definite functional prosthetics. There is a significant correlation between physical behavior and neurochemistry. Apart from daily use, the use of prosthetics is very important to lead the acceleration in the changing pattern of phantom phenomenon.
"
2004
D590
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>