Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"A judge is very susceptible to various temptations of the parties whose diverse interests in the case. The judge's independence to hear and decide cases is the key why the temptation is so strong. One case happened to a judge, with initials MA, who asked for sum of money to the party litigants whose case he handled. MA was eventually brought to trial on charges of corruption. He was guilty and sentenced two years in prison and fined Rp. 50 millions. This decision hurt the public sense of justice as the punishment was relatively mild, away from proper provisions as contained in the Corruption Act. Such court sentence will not generate deterrent effects to any law enforcer who is supposed to support government efforts to eradicate corruption."
JY 4:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sidabutar, Johannes Eko S. Junior
"ABSTRAK
Topik utama skripsi ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/Puu-XIV/2016. Terbitnya putusan ini diawali dengan judicial review yang diajukan Setya Novanto kepada Mahkamah Konstitusi terkait frasa permufakatan jahat yang terdapat di dalam Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU PTPK . Pembahasan di dalam skripsi ini meliputi pengertian dasar mengenai permufakatan jahat delik baik berdasarkan KUHP maupun undang-undang di luar KUHP. Selain itu juga dibahas mengenai perubahan penafsiran permufakatan jahat delik setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/Puu-XIV/2016 serta penerapan rumusan permufakatan jahat yang telah diubah tersebut terhadap kasus yang telah berkekuatan hukum tetap untuk melihat apakah perubahan tersebut dapat diterima atau tidak.Topik utama skripsi ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/Puu-XIV/2016. Terbitnya putusan ini diawali dengan judicial review yang diajukan Setya Novanto kepada Mahkamah Konstitusi terkait frasa permufakatan jahat yang terdapat di dalam Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU PTPK . Pembahasan di dalam skripsi ini meliputi pengertian dasar mengenai permufakatan jahat delik baik berdasarkan KUHP maupun undang-undang di luar KUHP. Selain itu juga dibahas mengenai perubahan penafsiran permufakatan jahat delik setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/Puu-XIV/2016 serta penerapan rumusan permufakatan jahat yang telah diubah tersebut terhadap kasus yang telah berkekuatan hukum tetap untuk melihat apakah perubahan tersebut dapat diterima atau tidak.

ABSTRACT
The main topic of this thesis is the verdict of Indonesian Constitunional Court Number 21 PUU XIV 2016 which appeared due to the judicial review that submitted by Setya Novanto. He demand the constitutional court to review the conspiracy crime phrase which are contained in the article 15 of The Coruuption Crime Code. This thesis also analyze the changes of the interpretation of that phrase, the aftereffect, and the legal consequences. This thesis also analyze the new interpretation of conspiracy crime formulation that was state by the constitutional court by comparing it to the actual case that already been legally binding to see whether it applicable or not."
2017
S70154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Samudera
Jakarta: Departemen hukum dan hak asasi manusia RI, 2008
345.023 TEG a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Gunawan
Bandung: Angkasa, 1993
365.023 ILH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Lestari
"Biaya Penanganan Perkara merupakan komponen dari Biaya Reaksi terhadap Korupsi. Konsep pemidanaan pembebanan biaya penanganan perkara merupakan bagian dari kajian terhadap perhitungan Biaya Sosial Korupsi yang dilakukan pada tahun 2013. Pada penelitian ini, Penulis mengkaji kelayakan diterapkannya konsep pemidanaan ini sebagai bentuk pemidanaan di Indonesia, komponen dari biaya penanganan perkara, serta implementasinya apabila dilaksanakan pada kasus korupsi bantuan dana sosial Covid-19 yang dilakukan oleh mantan Menteri Sosial RI, Juliari P. Batubara. Bentuk penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah yuridis-normatif yang didukung oleh hasil wawancara kepada narasumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan pembebanan biaya penanganan perkara layak untuk diterapkan karena merupakan implementasi dari teori relatif yang dikenal dalam hukum pidana sebagai suatu upaya pencegahan meningkatnya tindak pidana korupsi di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan konsep pemidanaan ini juga dapat menjadi jawaban atas persepsi masyarakat
terkait lemahnya efek penjeraan serta ketidakefektifan peraturan terkait tindak pidana
korupsi di Indonesia. Adapun komponen dari biaya penanganan perkara dalam kaitannya dengan biaya sosial korupsi yang ditemukan pada penelitian ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan pada tahap penyelidikan, tahapan penyidikan, hingga tahapan pelimpahan berkas ke kejaksaan. Konsep pemidanaan pembebanan biaya penanganan perkara juga dapat dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk menutup atau mengembalikan lebih banyak kerugian keuangan negara dibanding bentuk pemidanaan lainnya. Terakhir, hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa sanksi yang diberikan kepada Terdakwa Juliari tidak setimpal jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menangani kasus tersebut serta dampak yang ditimbulkan oleh kasus tersebut. Dengan demikian, diperlukan pembaharuan terkait peraturan tentang tindak pidana korupsi untuk menerapkan konsep pemidanaan ini. Alternatif lain dari penerapan konsep pemidanaan ini adalah dengan meniru konsep pembebanan biaya perkara yang sudah lama digunakan di peradilan Indonesia.

Case Handling Fees are a component of Reaction Costs against Corruption. The concept of imposing criminal case handling fees is part of a study on the calculation of the Social Costs of Corruption conducted in 2013. In this study, the author examines the feasibility of applying this sentencing concept as a form of punishment in Indonesia, the components of case handling costs, and its implementation when implemented in cases the corruption of the Covid-19 social funding assistance carried out by the former Minister of Social Affairs of the Republic of Indonesia, Juliari P. Batubara. The form of research used in this research is juridical-normative which is supported by the results of interviews with informants. The results of this study indicate that the concept of imposing criminal charges for case handling is feasible to apply because it is an implementation of a relative
theory known in criminal law as an effort to prevent the increase in corruption crimes in Indonesia. In addition, the implementation of this sentencing concept can also be an answer to public perceptions regarding the weak deterrent effect and the ineffectiveness of regulations related to corruption in Indonesia. The components of case handling costs
in relation to the social costs of corruption found in this study are all costs incurred at the investigation stage, the investigation stage, to the stage of handing over files to the prosecutor's office. The concept of imposing criminal charges for handling cases can also be implemented as an effort to cover or return more state financial losses than other forms of punishment. Finally, the results of this study also show that the sanctions given to the
Defendant Juliari are not worth it when compared to the costs incurred by the state to handle the case and the impact caused by the case. Thus, it is necessary to update the regulations regarding criminal acts of corruption to implement this concept of punishment. Another alternative to the application of this sentencing concept is to imitate
the concept of imposing court fees which has long been used in Indonesian courts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Pratama Saputra
"Unsur kesalahan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak secara tegas mencantumkan unsur kesalahan, namun kesalahan tersebut tersirat dalam unsur memperkaya diri. Melalui metodologi penelitian yuridis normatif dan kajian terhadap beberapa putusan tingkat kasasi dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya kebanyakan hakim hanya membuktikan dan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, meskipun demikian ada juga hakim yang mempertimbangkan unsur kesalahan secara khusus. Dengan demikian terlepas dari bagaimana cara hakim mempertimbangkannya, berarti unsur kesalahan dalam pasal ini telah dibuktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim ketika akan menyatakan Terdakwa secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut.

Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act has indirectly contained element of guilt, however element of guilt implicitly contained in self enriching element. Through juridical normative methodology research and study of some cassation rsquo s verdict can be deduced that practically, most of judges just proving and considering self enriching element, eventhough there are judges who considering element of guilt specifically. Therefore, regardless of how judges considering element of guilt, it means in this article element of guilt already proven and considered by judges when stating that defendant is guilty based on this Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sholeh
"Pidana mati narkoba dapatlah dikatakan sebagai salah satu jenis pidana yang terberat di dunia. Mengapa demikian, karena dengan pidana mati, direnggutlah jiwa manusia yang merupakan miliknya yang paling berharga dan asasi. Dengan pidana mati pupuslah harapan seseorang untuk menikmati kehidupan di dunia Iebih lanjut. KUHP telah mencantumkan pidana mati sebagai jenis pidana pokok (pasal 10 ayat 1), sehingga secara hirarkis substantif menunjukkan, bahwa pidana mati merupakan pidana yang terberat. Oleh karena itu, pidana mati dapat dinyatakan pula sebagai pidana yang paling kejam. Dikatakan kejam, oleh karena pelaksanaannya sungguh mendirikan bulu kuduk. Karena itu, tidak mengherankan bila ada orang yang melihat lembaga pidana mati sebagai sesuatu yang tua dalam usia tetapi selalu bersifat muda. Ungkapan ini berarti pidana mati selalu dibuah bibirkan oleh kaum moralis, sarjana hukum, filosofis dan lain-lain. Dahulu, sekarang dan selama pidana mati belum dihapuskan, pasti akan tetap dipersoalkan pada masa yang akan datang. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan koparatif, yaitu penelitian yang berusaha memaparkan pemahaman masalah berdasarkan data-data yang ada, kemudian menganalisis, menginterpretasikan serta membandingkan antara dua variabel, yaitu dengan membandingkan pandangan hukum Islam dengan hukum positif. Adapun metode yang digunakan adalah metode kepustakaan (library reseach), dengan maksud untuk mengumpulkan data-data balk dari kitab-kitab dan KLTHP, serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sehingga mendapatkan hasil penelitian yang sempurna. Akhimya dapat disimpulkan, bahwa pidana mati narkoba, sekalipun secara eksplisit al-Qur'an dan Hadits tidak menyebutkan. Namur, secara filosofis Allah swt. menegaskan akan keadilan hukumnya, yakni melalui para mujtahid yang telah diberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat yang belum ada hukumnya dalam al-Qur'an dan Hadits. Maka pidana mati narkoba sangat relevan diterapkam di Indonesia. Balk hukum Islam maupun hukum positif melihat, bahwa pidana mati narkoba merupakan pengajaran, bukan untuk memberikan derita. Karena para pengedar narkoba secara terang-terangan melawan hukum dan sekaligus mereka tidak segan-segan melanggar hak hidup orang lain.

Drug-related death punishment is likely one of the heaviest penalties in the world, Why? Because being subject to death punishment, one's soul as the most important and essential thing a man has will come to an end. Such a sentence will make one's expectancy stop enjoying life. Penal Code ("KUHP") has specified the death punishment as a major penalty (article 10 paragraph I) and therefore, shown in substantive hierarchical manner that it is the heaviest sentence. So, it appears to be the most vindictive penalty. It is vindictive since its execution makes one fright. As a sequence, it is no surprising when one assumes its institution aged but young in manner. This word means that moralists, lawyers, philosophers and so on commonly argue it. In the past, at present and so long as the death sentence exists still, it will always become the matter in the future. In this thesis writing, the author uses method kualitative-descriptive and approach comparative, the research tries to reveal problems according to the current data and then analyze, interpret and compare two variables; comparing views of Islamic Law and those of Positive Law. Now the method applied is library research by gathering data from references and KUHP (Penal Code), textbooks about the problem of study for a perfect output of research. Ultimately, one may come to a conclusion that Drug-related Death Punishment despite the Koran and Hadist do not specify it explicitly, however, Allah SWT., confirm philosophically His law; that is, through Mujtahids to whom He has given ability to solve any problem that may arise in the community whose law is beyond the Koran and Hadist. For that reason, drug-related death sentence is very relevant to apply in Indonesia. Islamic Law or Positive Law perceives that the drug-related death punishment is an educative way rather than a suffering because illegal drug distributors explicitly break law and violate other's rights."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15038
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizki Ravin Rizal
"[Praktik korupsi semakin masif terjadi yang pada akhirnya berdampak pada masyarakat. Padahal telah banyak lembaga penegak hukum yang mengkampanyekan dan memberantas korupsi, salah satunya KPK. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja yang menyebabkan turunnya kepercayaan publik atas KPK dan memberikan rekomendasi langkah strategis berdasarkan teori pengukuran kinerja, keagenan, kepercayaan publik dan new public management menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Capaian kinerja KPK secara keseluruhan sebesar 100,64%. Namun, berdasarkan analisis kualitatif, dari Sasaran Strategis (SS) yang diturunkan ke dalam beberapa Indikator Kinerja Utama (IKU), terdapat beberapa indikator yang tidak tercapai dan didominasi dari perspektif Proses Internal. Selain itu strategi yang ditetapkan oleh KPK tidak memiliki fokus yang jelas, terjadi penggemukan struktur organisasi yang pada akhirnya terlihat tumpang tindih tugas antara Dewan Pengawas dan Inspektorat, independensi KPK yang dipertanyakan, penyampaian informasi internal yang tidak sistematis, lunturnya asas keterbukaan seperti tertutupnya akses terhadap hasil kajian terkait korupsi dan peradilan etik yang dilakukan oleh Dewan Pengawas.

Corruption practices are increasingly massive, which in turn impact the society. Even though many law enforcement agencies have campaigned for and eradicated corruption, one of them is KPK. This study aims to evaluate the performance that causes a decrease in public trust in the KPK and provide recommendations for strategic steps based on new theories of performance measurement, agency, public trust and public management using a qualitative approach with a case study strategy. The overall performance of the KPK was 100.64%. However, based on qualitative analysis of the Strategic Targets (SS), which were translated into several Key Performance Indicators (IKU), several indicators were not achieved and dominated from an Internal Process perspective. In addition, the strategy set by KPK does not have a clear objective, overstaff in organization structure which resulted in overlapped tasks between the Supervisory Board and the Inspectorate. The independency of the Corruption Eradication Commission is also questionable nowadays along with unsystematic delivery of internal information, and faded principle of transparency, such as the results of studies related to corruption and ethical justice conducted by the Supervisory Board that are closed to the public.,

Latar Belakang: Beban penyakit gagal jantung semakin meningkat dan sekitar 50% kasus adalah HFrEF. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama HFrEF. Pada kasus ini, pemulihan fungsi ventrikel kiri merupakan tujuan utama terapi karena berhubungan dengan penurunan risiko kejadian kardiovaskular.1 Populasi dengan pemulihan FEVK dikategorikan sebagai HFrecEF dimana populasi ini memiliki karakteristik yang berbeda.2 Belum terdapat suatu studi yang melihat prediktor pemulihan FEVK sesuai kriteria HFrecEF JACC pada populasi kardiomiopati iskemik setelah revaskularisasi lengkap.

Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pemulihan FEVK pasca revaskularisasi lengkap operasi bedah pintas arteri koroner pada populasi kardiomiopati iskemik.

Metode: Sebuah penelitian kohort retrospektif dengan populasi penelitian kardiomiopati iskemik yang menjalani revaskularisasi lengkap dengan BPAK selama periode Januari 2019 sampai dengan Juli 2022 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

Hasil: Terdapat 105 subjek yang memenuhi kriteria inklusi, dengan 72 (68,5%) subjek pada kelompok nonHFrecEF dan 33 (31,5%) subjek pada kelompok HFrecEF. Pada analisis multivariat, LVESD (OR 0,87; p=0,018)) merupakan prediktor independen HFrecEF. Penggunaan RAAS Inhibitor postoperatif menurunkan risiko mortalitas dalam 1 tahun secara signifikan (HR 0,036; p=0,07). Follow up kesintasan 1 tahun menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok HFrecEF (95%) dan nonHFrecEF (96%) dengan nilai p=0,999. Terdapat perbedaan kesintasan yang signifikan antara pengguna RAAS Inhibitor dan bukan pengguna RAAS Inhibitor pada populasi penelitian (p<0,0001).

Kesimpulan: Nilai LVESD adalah prediktor independen pemulihan FEVK. Angka kesintasan 1 tahun pada seluruh populasi cukup baik yaitu lebih dari 90%. Penggunaan  RAAS Inhibitor pada penelitian ini tidak menunjukkan dampak pemulihan FEVK, namun pengaruhnya pada kesintasan 1 tahun menekankan pentingnya pemberian terapi optimal gagal jantung pada populasi ini.

 

 


Background: It is estimated that the disease burden of heart failure has increased and about 50% of cases are HFrEF. Coronary heart disease is the main risk for heart failure. Left ventricular function recovery is the most important goals of heart failure therapy. It is associated with a reduced risk of cardiovascular events.1 These population is categorized as patients with HFrecEF where they have unique characteristics.2 There has not been a study looking at predictors of recovery of EF according to the JACC HFrecEF criteria in the ischemic cardiomyopathy population after complete revascularization.
Objectives: To evaluate the factors that predicts the recovery of FEVK after complete revascularization by coronary artery bypass surgery in the ischemic cardiomyopathy population.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of ischemic cardiomyopathy patients underwent complete revascularization with CABG during the period January 2019 to July 2022 at Harapan Kita Cardiovascular Hospital.
Results: A total of 105 subjects were obtained, there were 72 (68.5%) subjects in the nonHFrecEF group and 33 (31.5%) subjects in the HFrecEF group. In multivariate analysis, LVESD (OR 0.87; p=0.018)) was an independent predictor of HFrecEF. Postoperative use of RAAS Inhibitors reduced the risk of mortality within 1 year significantly (HR 0.036; p=0.07). No significant difference in 1 year survival follow-up between the HFrecEF (95%) and non-HFrecEF (96%) groups with p = 0.999. There was a significant difference in survival between RAAS Inhibitor users and non-RAAS Inhibitor users in the entire study population (p<0.0001).
Conclusion: In ischemic cardiomyopathy patients undergoing CABG, LVESD score is an independent predictor of recovery of LVEF. The 1-year survival rate in the entire population was >90%. Although the use of RAAS inhibitors in this study did not show an impact on recovery of LVEF, its effect on 1-year survival emphasizes the importance of providing optimal therapy for heart failure in this population.
 
]
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, [2022, ]
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilik Mulyadi, 1961-, author
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007
345.05 LIL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>