Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fersia Iranita Liza
"
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang bersifat deksriptif analitik untuk mengetahui proporsi rinitis alergi pada pasien asma periode Agustus sampai Oktober 2014. Pasien asma yang datang ke poliklinik Asma dinilai derajat asma dan derajat kontrol asma dengan menggunakan Asthma Control Test (ACT). Jika terdapat minimal 2 gejala rinitis alergi maka dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi dan uji cukit kulit. Dari uji cukit kulit, apabila terdapat jenis alergen positif maka didapatkan proporsi rinitis alergi.
Hasil. Dari 185 pasien asma yang memiliki dua atau lebih gejala rinitis alergi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan nasoendoskopi serta uji cukit kulit adalah 67 orang. Didapatkan proporsi rinitis alergi pada pasien asma 54 orang (29,2%). Data karakteristik pasien asma meliputi jenis kelamin perempuan 77,3% lebih banyak dibandingkan laki-laki 22,7% dengan median usia 52 tahun. Hampir semua pasien menggunakan pembayaran BPJS 94,1% dengan riwayat alergi sebanyak 44,9%. Proporsi derajat asma stabil terbanyak persisten sedang 101 orang (54,6%) dan derajat asma terkontrol adalah terkontrol sebagian 47,0%. Dari sebaran gejala rinitis alergi yang terbanyak adalah bersin 46,5%, rinore 28,6%, dan hidung tersumbat 26,5%. Pada pemeriksaan nasoendoskopi, terdapat kelainan 28,6% dengan terbanyak septum deviasi 56,6%, konka pucat 50,9% dan konka edema 22,6%. Pemeriksaan uji cukit kulit 67 orang, didapatkan 54 orang positif dengan jenis alergen terbanyak positif adalah tungau debu rumah 38,8%. Proporsi derajat rinitis alergi sesuai kriteria ARIA terbanyak intermiten ringan dan persisten ringan 46,3%. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat rinitis alergi dengan derajat asma (p = 0,035). Hubungan antara derajat rinitis alergi dengan derajat kontrol asma juga bermakna (p = 0,006).
Kesimpulan. Proporsi rinitis alergi pada pasien asma adalah 29,2% dengan jenis alergen terbanyak berdasarkan uji cukit kulit adalah tungau debu rumah. Terdapat hubungan bermakna antara derajat rinitis alergi dengan derajat asma dan derajat kontrol asma.

Introduction : Asthma and rhinitis are two different entities are anatomical, physiological and clinical management but located in one airway. United Airway Disease (UAD) have hypothesized that inflammation of the upper and lower respiratory tract both a manifestation of a process of inflammation in the airways and this hypothesis is supported by evidence arising from the systemic relationship of the upper and lower respiratory tract. World Health Organization (WHO) issued a guidance entitled Allergic Rhinitis and it's Impact on Asthma (ARIA) 2001 which provides a comprehensive overview of the pathophysiology, diagnosis and treatment of allergic rhinitis in asthma patients. This study aims to knowthe allergic rhinitis proportion on those patients and related factors at Persahabatan Hospital.
Methods : This is a cross-sectional study based on the descriptive and analytical to find out the allergic rhinitis proportion in asthma patients at the period August to October 2014. Those who came to asthma clinic evaluated for the degree of asthma control test (ACT). If there are at least two allergic rhinitis symptoms, nasoendoscopy examination and skin prick test should be done and if there is type of positive from skin prick test, the allergic rhinis proportion obtained.
Results : From 185 asthma patients who participate, have two or more allergic rhinitis symptoms and have joined nasoendoscopy examination and skin prick test are 67 person. It is found that the allergic rhinitis proportion in asthma patients are 54 (29,2%) the characteristics data of asthma patients include female (77,3%) and more than male (22,7%) with a median age of 52 years. Almost all patients use BPJS payment (94,1%) with the allergic history (44,9%).. The proportion of the highest degree persistent stable asthma are 101 person (54,6%) and the degree of asthma control which is partially controlled is 47,0%. From the distribution of the most allergic rhinitis symptoms are sneezing (46,5%), rhinorrhea (28,6%) and nasal congestion (26,5%). In the nasoendoscopy examination, there are abnormalities (28,6%) with septum deviation (56,6%), pale turbinate (50,9%) and concha edema (22,6%). Examination of the skin prick test from 67 person, 54 person are positive with the most type of allergen caused by house dust mites (38,8%). The proportion of the allergic rhinitis degree based on ARIA criteria, mild intermittent and mild persistent (46,3%). There is a significant correlation between the degree of allergic rhinitis with the asthma degree (p = 0,035). The corellation between the degree of allergic rhinitis with the degree of asthma control was also significant (p = 0,006).
Conclusion : The allergic rhinitis proportion in asthma patients is 29,2% and based on the skin prick test, the most type of allergensare the house dust mites. There is a significant association between the degree of allergic rhinitis with the asthma degree and the degree of asthma control."
2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Barnes, Peter J.
London : Manson , 1994
616.238 BAR c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Stalmatski, Alexander
London : Kyle Cathie, 1999
616.238 STA f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Purwanto
"Asma merupakan penyakit penyempitan saluran pernapasan yang dapat hilang timbul pada manusia karena adanya hipersensitivitas pada saluran pernapasan tersebut. Karena sifatnya yang hilang-timbul, asma dapat mempengaruhi produktivitas kerja seseorang melalui serangan asma. Senam Asma Indonesia merupakan salah satu exercise penunjang dalam pengobatan asma, karena dengan mengikuti Senam Asma Indonesia otot-otot pernapasan dibentuk sedemikian rupa agar pada waktu serangan asma otot-otot pernapasan tersebut dapat berfungsi secara optimal untuk membantu bernapas. Kegiatan Senam Asma Indonesia dilakukan di berbagai klub asma yang ada di Indonesia. Di DKI Jakarta saja terdapat lebih dari 20 klub. Kegiatan klub asma diawasi oleh minimal seorang dokter spesialis paru atau dokter umum. Selain kegiatan Senam Asma Indonesia juga dilakukan penyuluhan tentang asma dan pengukuran fungsi paru melalui PFR (Peak Flow Rate).
Berdasarkan temuan ternyata 74% responden memiliki sikap dan perilaku yang baik, hanya 24 % responden pernah berkunjung ke IGD, angka rata-rata absensi dari sekolah/pekerjaan 2,25 ± 3,08 per bulan hari dengan absensi 3 bulan terakhir sebesar 3,4 ± 5,42 hari, Biaya penanggulangan penyakit asmanya rata-rata per-orang setiap bulannya sebesar Rp. 24.220,- ± Rp.28.066; , dengan pengeluaran 3 bulan terakhir per-orang sebesar Rp. 47.020,- ±Rp. 47.144,-. Kelompok dengan biaya berobat S Rp. 10.000,- per bulan paling banyak (43%).
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata tidak perbedaan bermakna antara responden yang mengikuti dan yang tidak mengikuti program senam Asma Indonesia dalam hal biaya pengobatan, absensi, perilaku, sikap dan pengetahuan."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Uktolseja, Frederique Jeanne
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian serangan asma bronkhial di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, karena penelitian ini belum pernah dilakukan dan kunjungan kesakitan setiap tahun meningkat.
Rancangan penelitian adalah kasus kontrol tanpa matching dengan jumlah sampel keseluruhan 378 orang terdiri dari 189 kasus dan 189 kontrol. Dengan hipotesis, asma bronkhial dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko seperti infeksi saluran nafas atas (rinitis, faringitis, tonsilitis), lingkungan (inhalasi alergen, inhalasi iritan, faktor psikis dan perubahan udara) dan alergi (riwayat genetik, riwayat atopi, alergi obat dan alergi makanan).
Data diolah dengan analisis univariat, analisis bivariat, analisis stratifikasi dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik unconditional. Perangkat lunak yang dipakai adalah program epi info 6 versi 6.04a dan program Egret versi 0.19.5. Data diolah dengan analisis univariat, analisis bivariat, analisis stratifikasi dan analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik unconditional. Perangkat lunak yang dipakai adalah program epi info 6 versi 6.04a dan program Egret versi 0.19.5.
Dari hasil penelitian faktor-faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian serangan asma bronkhial adalah perubahan udara (OR= 102.04), inhalasi alergen (OR = 92.29), faktor psikis (OR=27.01), riwayat genetik (OR=8.52) dan faringiitis (OR =5.02).
Telah dibuktikan bahwa rinitis, faringitis, inhalasi alergen, faktor psikis, perubahan udara, riwayat genetik, riwayat atopi dan alergi makanan secara bersama-sama berperan dalam terjadinya serangan asma bronkhial. Saran kepada IGD RSUPNCM agar SOP/ form khusus asma bronkhial digunakan lebih baik, dan perlu kerja sama antar dokter spesialis, petugas rekam medik dan epidemiolog. Dan saran terhadap masyarakat adalah penyuluhan melalui PKMRS dan konsultasi pernikahan.

Factors which Influencing Asthma Bronchiale Attack in the Emergency Installation Unit in Cipto Mangunkusumo General Hospital in Jakarta 1995 ? 1996This study which to identification risk factors that related with asthma bronchiale attack in Emergency Installation Unit in Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, since this study haven't been done and the visit of the patients every year have develop.
The design of this study is unmatched case control with the number of samples 378 persons, 189 cases and I89 controls. The hypothesis is asthma bronchiale attack influenced by upper respiratory tract infection (rhinitis, pharyngitis, tonsilitis), environment (allergen inhalation, iritant inhalation, psychic factor, wheather adchange) and allergie (genetic history, atopic history, drugs allergic and food allergic).
The data will be analysed univariat, bivariat, stratification and multivariat done by logistic unconditional regressions. Software will be use is Epi Info 6 6.04a version and Egret 0.19.5 version.
Factors which is significant to the event of asthma bronchiale attack are wheather adchange (OR= 102.04), allergen inhalation (OR 92.29), psychic factor (OR= 27.01), genetic history (OR=8.52) clan pharyngitis (OR=5.02).
The suggestion to the Emergency Installation'unit Cipto Mangunkusumo General Hospital is to use SOP 1 specific form of asthma bronchiale, and the need to collaborate between specialist doctors, medical record officials and epidemiologist. To the community should be suggested health education and marriage counselling.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Utami Iriani
"Polusi udara di DKI Jakarta terus menunjukkan peningkatan bahkan beberapa polutan telah melewati nilai ambang batas. Meningkatnya kadar polutan di udara menimbulkan serangan asma dan bronkitis pada masyarakat. Tahun 2001 penyakit saluran napas bawah adalah termasuk penyakit 10 besar di Indonesia dan di Jakarta berada pada peringkat 15 besar.
Studi ekologi dengan analisis time trend ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi parameter ISPU dengan serangan asma/bronkitis. Data yang digunakan adalah data skunder harian iklim (radiasi matahari, kelembaban, suhu arah angin, kecepatan angin), parameter ISPU (PM10, SO2, 03, NO2) dari BPLHD DKI Jakarta dan kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari pasien yang terserang asma/bronkitis dari 5 RS (Fatmawati, Pasar Rebo, Koja, Sumber Waras, Cipto Mangunkusumo) yang masing-masing mewakili wilayah di DKI Jakarta.
Dan data per minggu selama tahun 2002-2003 ditemukan radiasi matahari di Jakarta 151,65 W/m2, kelembaban 75,68 %, suhu 27,95°C, arah angin 159,93°, kecepatan angin 1,83 m/s. Rata-rata per minggu PM10 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3 , 03 53,21 µg/m3 , NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 dan 67,9 % dalam kategori sedang. Rata-rata per minggu kunjungan asmalbronkitis 47 kali. Radiasi matahari mempunyai korelasi positif dengan 03 dan ISPU. Kelembaban mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Suhu mempunyai korelasi positif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Arah angin mempunyai korelasi negatif dengan PM10, SO2, 03, NO2 dan ISPU. Kecepatan angin berkorelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan PM10, SO2, dan 03. Asma dan bronkitis mempunyai korelasi positif dengan NO2 dan berkorelasi negatif dengan 03. Hasil analisis time trend dalam periode tiga bulanan didapatkan pola kunjungan asma dan bronkitis tidak mengikuti pola konsentrasi kualitas udara ambien dan ISPU.
Disimpulkan bahwa keadaan suhu dan kelembaban di Jakarta masih nyaman dengan radiasi matahari yang cukup. Arah angin Selatan Tenggara dengan kecepatan sepoi lembut. Semua parameter ISPU masih di bawah baku mutu dan sebagian besar udara Jakarta selama tahun 2002-2003 dalam kategori sedang. Tingginya konsentrasi NO2 di udara sejalan dengan meningkatnya jumlah kunjungan pasien yang terserang asrna/bronkitis. Perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk membuat suatu sistem kewaspadaan dini bagi penderita asmalbronkitis tentang buruknya kualitas udara. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam hubungan kausalitas diperlukan penelitian lebih lanjut dalam waktu yang lama dan dengan desain kohort.

Relationship Between Climate, Pollutant Standard Index (PSI) and Asthma Bronchitis Attack in DKI Jakarta 2002-2003 (Ecology Time Trend Study in 5 General Hospitals in DKI Jakarta)Air pollution in DKI Jakarta increases continuosly every year even some pollutant have been over threshold limit value. This can cause asthma attack and bronchitis to people whose exposed. In 2001, chronic respiratory diseases still in 10 big diseases class in Indonesia and 15 in Jakarta.
Ecology study with time trend analysis is aimed at finding relationship between parameters of PSI with asthma attack and bronchitis. Climate data such as sun radiation, humidity, temperature, wind direction and wind speed is get from BPLHD Jakarta. Parameters of PSI such as PM10, SO2, 03, NO2 is get from BPLHD also. Asthma attack and bronchitis visit is get from 5 general hospitals in Jakarta which each hospital represent every district.
From 2002-2003, it is found that the weekly average of sun radiation in Jakarta is 151,65 W/m2, humidity 75,68 %, temperature 27,95°C, wind direction 159,93°, wind speed 1,83 m/s. Weekly average of PM10 is 73,95 µg/m3, SO2 38,72 µg/m3, 03 53,21 µg/m3, NO2 40,56 µg/m3, ISPU 87,99 and 67,9 % data still in middle category, The weekly average of asthma /bronchitis attack visit is 47 times. Sun radiation have positive correlation with 03 and PSI. The humidity negative correlation with PM10, SO2, 03, NO2 and PSI. The temperature have positive correlation with PM10, SO2, 03, NO2. The wind direction in Jakarta from 2002-2003 have negative correlation with PM10, S02, 03, NO2 and PSI. The wind speed have positive correlation with NO2 and negative correlation with PM10, SO2, and 03. Asthma attack and bronchitis have positive correlation with NO2 and negative correlation with 03. The result of time trend analysis in 3 months period show that the trend pattern of asthma /bronchitis attack visit doesn't follow the trend pattern of PSI parameters.
It is conclude that the temperature and humidity of Jakarta still comfort for human with enough radiation intensity. Wind direction is South East and in slow speed. All PSI parameters still under treshold limit value and most of the air condition of Jakarta in 2002-2003 is still in the middle category. The highest concentration of NO2 is, the more asthma/bronchitis patient's visit. It is need over sector cooperation to make early detection system for asthma/bronchitis sufferer about how bad the air quality. To get better conclusion of causality it is need more research in long term, for instance (5-10) years and in cohort design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13131
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhy Djayanto
"ABSTRAK
Asma telah dikenal sejak zaman Hipocrates (abad ke- 4-5 . SM). Pada saat itu sampai ditemukannya IgE sekitar 20 tahun yang lalu diagnosis asma terutama didasarkan pada timbulnya gejala klinis misalnya sesak dan mengi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kedokteran, beberapa hal yang belum diketahui tentang timbulnya asma dan timbulnya serangan asma mulai tersingkap; antara lain aspek fisiologis, aspek patologis, aspek imunologis dan aspek psikologis (Wirjodiardjo, 1990).
Asma merupakan penyakit kronik yang tersering dijumpai pada anak. Penyakit asma dapat mudah dikenal bila ditemukan gejala yang berat misalnya serangan batuk dengan mengi setelah latihan berat atau timbul waktu udara dingin. Kadang-kadang dapat juga ditemukan gejala yang ringan seperti batuk kronik dan berulang tanpa mengi yang dapat menyulitkan dokter, pasien atau keluarga pasien. Gambaran klinik dan perjalanan penyakit asma berbeda pada bayi, anak kecil dan anak yang lebih besar sesuai pertambahan usia (Rahajoe H. H., 1983).
Asma dapat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Asma yang merupakan penyakit kronik juga dapat memberikan masalah biologis, psikologis dan sosial pada penderita maupun keluarganya bila tidak ditanggulangi secara komprehensif antara penderita; orangtua; saudara kandung; dokter dan guru pada anak yang sudah sekolah (Steinhauer, 1974; Sudjarwo dan Suiaryo, 1990).
Dampak negatif asma yang utama pada anak sekolah adalah terganggunya pelajaran di sekolah. Di Amerika Serikat, sepertiga dari waktu absen di sekolah disebabkan oleh asma (Godfrey, 1983 b). Besar kecilnya angka absensi ini akan menjadi salah satu faktor yang menentukan intensitas gangguan terhadap tumbuh kembangnya dikemudian hari. Asma dapat timbul pada setiap umur, tetapi biasanya jarang timbul pada bulan-bulan pertama kehidupan. Delapan puluh persen asma pada anak mulai timbul pada usia di bawah 5 tahun (Blair,1977; Godfrey, - 1983 b).
Asma sangat erat hubungannya dengan hiperreaktivitas saluran nafas, hal ini dikemukakan oleh Boushey dkk (1980), Rahajoe dkk (1988), Gerritsen (1989) dan Pattemore dkk (1990).
Faktor alergi berperan pada asma anak. Sekitar 2/3 dari seluruh anak dengan asma mempunyai dasar alergi (Carlsen dkk, 1984). Bahkan menurut HcNicol dan Williams (1973), jika semua anak dengan asma diteliti sepanjang usianya; maka akan didapat bukti adanya faktor alergi yang berperan. Faktor alergi pada asma menyebabkan berbagai reaksi immunologik dengan hasil akhir berupa gejala asma. Keadaan atopi lebih banyak dijumpai pada penderita asma dan keluarganya dibanding kelompok kontrol (tidak asma). Asma juga lebih sering ditemukan pada keluarga penderita asma dibanding kelompok kontrol (Si.bbald dkk, 1980; Zimmerman dkk, 1988)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?
"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carlina Cornain Abdullatif
"ABSTRAK
Asma merupakan suatu kelainan yang kompleks dengan banyak faktor penyebab Yang turut berperan untuk menimbulkan serangan asma. Sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-faktor pencetus yang banyak terdapat di lingkungan rumah tangga dan dapat dihindari. Serangan asma dapat terjadi pada setiap waktu dan kadang-kadang selain mendadak juga dapat terjadi serangan yang berat. Disinilah terdapat peran serta orang tua yang harus disadarkan dan ditingkatkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pencetus yang umumnya berada di lingkungan rumah tangga.
Salah satu tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah agar orangtua dapat memahami asma-anak dengan baik supaya dapat menanggulangi asma secara optimal, sehingga tercapai keseimbangan yang serasi dan selaras antara anak-asma dan lingkungannya dengan demikian anak-asma tersebut dapat tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan umurnya.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain Barasila
"Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efikasi kombinasi phormoterol/budesonid turbuhaler dengan kombinasi nebulisasi salbutamoi/ipratropium bromid. Pengobatan utama asma akut adalah inhalasi agonis fa kerja singkat. Pasien asma saat ini menggunakan 2 obat, untuk pelega dan pengontrol. Saat ini sudah ada inhaler berisi kombinasi agonis- kerja lama onset cepat dan konikosteroid. Kombinasi ini bisa digunakan untuk pengontrol dan pelega. Uji klinis acak terbuka dilakukan pada 76 pasien berusia anlara 12 - 60 tahun yang datang ke RS Persahabatan dengan skor asma 8 - 12. Pasien lersebut dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 38 pasien. Kelompok pertama mendapat kombinasi formoterol/budesonid 4,5/160 {lg turbuhaler (kelompok T), kelompok kedua mendapat kombinasi nebulisasi salbutamoi/ipratropium bromid 2,5/0,25 mg (kelompok N). Setiap kelompok mendapat inhalasi tiap 20 menit, total 3 kali pemberian. Tidak ada perbedaan bermakna padajenis kelamin, tinggi dan berat badan, APE awal dan skor asma awal antar kedua kelompok. Tampak peningkatan APE dan penurunan skor asma yang bermakna pada tiap kelompok, namun perubahan ini tidak berbeda bermakna antar kedua kelompok pada tiap interval waktu yang diamati. Efek samping, nyeri tenggorok, tremor, berdebar, terjadi pada kedua kelompok namun hanya ringan. Satu pasien pada kelompok T mengalami 3 efek samping sekaligus, 5 lainnya hanya tremor. Enam orang pada kelompok N hanya mengalami tremor. Kombinasi formoterol/budesonid turbuhaler dan kombinasi salbutamoi/ipratropium bromid nebulisasi secara klinis tidak berbeda bermakna dalam mengobati asma akut sedang, namun kombinasi salbutamoi/ipratropium bromid nebulisasi memiliki efek samping lebih ringan. (Med J Indones 2006; 15:34-42).

The aim of this study was to compare efficacy combination of phormoterol/budesonide turbuhaler vs. salbutamoi/ipratropium bromide nebulization. Main therapy for acute asthma is inhaled short acting ^2-^Sonist. Asthma patients are using two drugs, controller and reliever. Recently there is device-containing combination of long-acting p2-ugonist with rapid onset and corticosteroid. This combination can act as reliever and controller. An opened randomized clinical trial of 76 patients between the ages of 12 and 60 years presenting to Persahabatan Hospital with asthma score between 8-12 participated in this study. After initial evaluation, patients were divided into two groups. Thirty-eight patients were administered combination offonnaterol/budesonide 4.5/160 {lg via turbuhaler (T-group) every 20 minutes, total of three doses, and another 38 of salbutamoi/ipratropium bromide 2.5/0.25 mg via nebulizer (N~group) also with the same manner. There were no statistical difference in sex, mean age, high, weight, initial PEFR, and asthma score between two groups. The significant increased of PEFR and decreased of asthma score were observed in both groups. However, there were no significant difference of PEFR and asthma score between the two groups within every time-interval. Adverse events were mild including hoarseness, tremor and palpitation. Of T-group, 1 subject was suffered from 3 adverse events simultaneously (hoarseness, tremor and palpitation), 5 subjects were only tremor. Of N-group, all 6 subjects were only suffered from tremor. A combination of formoterol/budesonide turbuhaler and a combination of nebulized salbutamoi/ipratropium bromide are clinically equivalent for treatment moderate acute asthma. However, nebulized salbutamoi/ipratropium bromide had less adverse effects. (Med J Indones 2006; 15:34-42)."
Depok: Medical Journal of Indonesia, 15 (1) January-March 2006: 34-54, 2006
MJIN-15-1-JanMarch2006-34
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>