Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196003 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sigit Martono
"Penerapan Upaya paksa berupa penyitaan barang-barang yang diduga terkait suatu tindak pidana menimbulkan berbagai potensi kerugian bagi pihak-pihak yang barang / asetnya digunakan sebagai alat bukti proses peradilan. Potensi kerugian ditimbulkan karena hilangnya penguasaan atas hak kebendaan yang melekat pada barang yang disita untuk tujuan pembuktian dipengadilan. Penyitaan barang sebagai alat pembuktian tersebut melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap akan ditentukan statusnya baik berupa pengembalian kepada pemilik awal benda itu disita atau bahkan diputuskan untuk dirampas sebagai upaya pengembalian kerugian negara, dengan alasan merupakan hasil dari tindak pidana dan hukuman tambahan bagi terpidana. Penyitaan dan perampasan barang tersebut sangat mungkin menempatkan pihak ketiga beriktikad baik menderita kerugian karena jangka waktu persidangan yang relatif lama hingga mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, terlebih jika benda itu diputuskan untuk dirampas. Sedangakan pengembalian barang terhadap pemilik awal barang-barang itu disita pun tidak dapat mengahapus kerugian yang diderita oleh pihak yang bersangkutan karena adanya penurunan nilai barang maupun potensi keuntungan investasi yang seharusnya dapat dihindari, sedangkan ketentuan hukum terkait perlindungan aset milik pihak ketiga beriktikad baik tidak secara jelas dan tegas mengatur bagaimana upaya hukum dapat dilakukan baik berupa praperadilan terhadap upaya paksa yang dilakukan maupun upaya keberatan terhadap putusan perampasan.

Implementation Efforts in the form of forced confiscation of goods suspected of a crime related cause a variety of potential harm to the parties that the goods / assets used as evidence in judicial proceedings . Potential losses incurred due to loss of control over property rights attached to the items seized for evidentiary purposes in court. Confiscation of goods as a means of proving that a court ruling which legally binding status will be determined either returns to the initial owner of the thing seized or even decided to deprived as indemnification of state efforts, the reason is the result of a criminal offense and additional penalties for convicted. Seizure and confiscation of goods is very likely to put third parties of good will suffer a loss due to a period of relatively long proceedings to obtain a legally binding decision, especially if it is decided to capture. While the return of goods to the initial owner of the goods - the goods seized were not able to erase losses suffered by the parties concerned because of the decrease in the value of the goods and the potential return on investment that should be avoided , while the legal provisions regarding the protection of assets belonging to third parties of good will are not clearly and strictly regulate how the remedy can be done either in the form of pretrial against forceful measures and efforts made objections against the decision of deprivation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57281
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Nusantara Gunarso
"[Skripsi ini membahas tentang itikad tidak baik dalam pendaftaran merek dan
perbandingan hukum dengan Undang-Undang Merek dari tiap Indonesia,
Amerika Serikat, dan Jepang. Merek penting dalam kegiatan perdagangan barang
dan jasa dan memiliki nilai komersial. Kemampuan sang pemilik merek untuk
memelihara kualitas dapat memberikan reputasi baik dan popularitas terhadap
merek. Maka dari itu, perlindungan hukum adalah perlu untuk menjaga merek
dari tindakan apapun yang dilakukan oleh pihak lain yang dapat mengakibatkan
kerugian bagi pemilik merek. Perlindungan hukum tersebut dapat diperoleh
melalui pendaftaran merek, namun ada ketentuan yang mengatur apakah suatu
merek dapat didaftarkan atau tidak dan itikad tidak baik selalu menjadi pokok
persoalan penting dalam pendaftaran merek, maka dari itu penelitian ini akan
dilakukan dengan meneliti hukum dan undang-undang yang berlaku dan juga
literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dengan kata lain, penelitian
ini disusun sebagai penelitian yuridis normatif. Lebih lanjut, analisis studi kasus
Putusan No. 38/PDT/SUS-MEREK/2014/PN.NIAGA.JKT.PST tentang merek
􀂳􀀦􀁈􀁕􀁗􀁌􀁉􀁌􀁈􀁇􀀃 􀀫􀁘􀁐􀁄􀁑􀀃 􀀵􀁈􀁖􀁒􀁘􀁕􀁆􀁈􀁖􀀃 􀀳􀁕􀁒􀁉􀁈ssio􀁑􀁄􀁏􀂴􀀃 􀀋􀀦􀀫􀀵􀀳􀀌􀀃 􀁍􀁘􀁊􀁄􀀃 􀁐􀁈􀁑􀁍􀁄􀁇􀁌􀀃 􀁉􀁒􀁎us dari
skripsi ini, dengan uraian pembahasan terhadap unsur itikad tidak baik perihal
kasus tersebut.;This undergraduate thesis discusses about the bad faith on trademark registration and legal comparison with the Trademark Law from Indonesia, United States, and Japan. Trademark is essential in trade activity of goods or services and has commercial value in it. The ability of the trademark owner to maintain the quality of the trademark could give the result of goodwill, good reputation or popularity of the trademark. Thus, the legal protection is necessary for keeping the trademark from any action conducted by the other parties that may cause damage for the trademark owner. The legal protection can be obtained through the trademark registration, however there are provisions that regulate whether trademark can be registered or not and bad faith has always become the important issue on trademark registration. Therefore this research carried out by researching the prevailing laws and regulations as well as literatures related to the research problems. In other words, this research is organized as juridical normative research. Furthermore, case study analysis on Decision No. 38/PDT/SUS-MEREK/2014/PN.NIAGA.JKT.PST about the ?Certified Human Resources Professional? (CHRP) trademark is also become the focus of this undergraduate thesis with elaboration on bad faith element regarding to the case, This undergraduate thesis discusses about the bad faith on trademark registration and legal comparison with the Trademark Law from Indonesia, United States, and Japan. Trademark is essential in trade activity of goods or services and has commercial value in it. The ability of the trademark owner to maintain the quality of the trademark could give the result of goodwill, good reputation or popularity of the trademark. Thus, the legal protection is necessary for keeping the trademark from any action conducted by the other parties that may cause damage for the trademark owner. The legal protection can be obtained through the trademark registration, however there are provisions that regulate whether trademark can be registered or not and bad faith has always become the important issue on trademark registration. Therefore this research carried out by researching the prevailing laws and regulations as well as literatures related to the research problems. In other words, this research is organized as juridical normative research. Furthermore, case study analysis on Decision No. 38/PDT/SUS-MEREK/2014/PN.NIAGA.JKT.PST about the “Certified Human Resources Professional” (CHRP) trademark is also become the focus of this undergraduate thesis with elaboration on bad faith element regarding to the case]"
Universitas Indonesia, 2015
S59312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aisyah
"Persoalan Kepailitan memang kerap kali menimbulkan perselisihan dimana pihak yang merasa dirugikan akibat tindakan orang lain yang tidak memunaikan kewajibannya sesuai di perjanjian sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lainnya. Dalam penelitian ini, Penyelesaian melalui arbitrase internasional menggambarkan kompleksitas dan tantangan dalam menyelesaikan sengketa lintas batas. Implementasi Konvensi New York menjadi faktor kunci dalam mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional di tingkat nasional. Proses kepailitan diawali dengan putusan arbitrase yang memberikan keputusan terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak. PT GM menentang putusan tersebut dan mengajukan peninjauan kembali di tingkat nasional, dengan argumen bahwa putusan arbitrase dilakukan dengan melibatkan pelanggaran terhadap hukum pasar modal Indonesia dan penyelundupan hukum. PT GM juga mencoba menggugat pembatalan putusan arbitrase berdasarkan hukum nasional Indonesia. Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah Bagaimana perbandingan pertimbangan Majelis Hakim pada putusan tingkat kasasi serta putusan arbitrase terhadap Kasus KT C dan PT GM dan Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum PT GM yang telah memenuhi kewajiban kepada KT C. Metode Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Perbandingan Pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Tingkat Kasasi dan Putusan Arbitrase Dalam putusan tingkat kasasi, Mahkamah Agung menolak permohonan pailit yang diajukan oleh KT Corporation terhadap PT Global Mediacom Tbk. Hakim berpendapat bahwa KT Corporation tidak dapat membuktikan secara sederhana bahwa PT GM memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga permohonan pailit ditolak. Sebaliknya, putusan arbitrase International Arbitration Award No.16772/CYK menyatakan bahwa PT GM dihukum membayar sejumlah uang kepada KT Corporation berdasarkan pelanggaran perjanjian opsi dan beli. Kendala dalam eksekusi putusan arbitrase menimbulkan pertanyaan mengenai hambatan eksekusi dan perlunya reformasi atau perubahan dalam proses eksekusi internasional. Kemudian, Bentuk Perlindungan Hukum PT GM yang Telah Memenuhi Kewajiban kepada KT Corporation adalah PT GM dapat memanfaatkan putusan ini dalam upaya melindungi posisi hukumnya dan menegakkan hak-hak kontraktualnya.

Settlement through international arbitration illustrates the complexity and challenges of resolving cross-border disputes. Implementation of the New York Convention is a key factor in recognizing and enforcing international arbitral awards at the national level. The bankruptcy proceedings began with an arbitral award that provided decisions regarding the rights and obligations of each party. PT GM challenged the award and sought judicial review at the national level, arguing that the arbitral award involved a violation of Indonesian capital market law and legal smuggling. PT GM also sought to challenge the annulment of the arbitral award under Indonesian national law. The problems taken in this research are How is the comparison of the consideration of the Panel of Judges at the cassation level decision and the arbitration decision on the KT C and PT GM Case and How is the form of legal protection of PT GM that has fulfilled its obligations to KT C. The research method in this thesis is doctrinal research with explanatory research typology. In the cassation level decision, the Supreme Court rejected the bankruptcy petition filed by KT Corporation against PT Global Mediacom Tbk. The judge argued that KT Corporation could not prove simply that PT GM had a debt that was due and collectible, so the bankruptcy petition was rejected. In contrast, the International Arbitration Award No.16772/CYK stated that PT GM was ordered to pay a sum of money to KT Corporation based on the breach of the option and purchase agreement. The obstacles in the execution of arbitral awards raise questions regarding the obstacles to execution and the need for reform or change in the international execution process. Then, the form of legal protection for PT GM that has fulfilled its obligations to KT Corporation is that PT GM can utilize this decision in an effort to protect its legal position and enforce its contractual rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irvin Sianka Thedean
"Pencucian Uang (Money Laundering) merupakan suatu terminologi yang tidak asing dalam masyarakat dewasa ini. Pencucian Uang yang kita ketahui kerapkali dilakukan oleh pejabat negara lazimnya dengan tujuan untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh secara melawan hukum. Salah satu Tindak Pidana Asal (predicate crime) yang dilakukan pejabat negara adalah tindak pidana korupsi, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 8/2010. Pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah negara dengan jumlah uang hingga puluhan milyar rupiah. Pada mulanya perbankan dipergunakan oleh pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang, dengan tahapan placement, layering, dan integration. Namun seiring dengan semakin ketatnya sistem perbankan di Indonesia, pelaku pencucian uang mencari sarana lain sebagai alat untuk melakukan pencucian uang.
Notaris merupakan profesi yang memiliki kedudukan sangat terhormat dengan tugas yang sangat mulia. Kewenangan Notaris yang diberikan oleh undang-undang adalah membuat akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Jabatan Notaris. Sehubungan dengan kewenangan notaris tersebut, pelaku pencucian uang memanfaatkan akta-akta notaris dalam transaksi jual beli sehingga uang haram dapat dirubah menjadi aset-aset tertentu. Notaris memiliki kewajiban untuk memahami dan mematuhi Kode Etik Notaris, Undang-undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dimana melakukan analisa terhadap norma-norma hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran atas permasalahan yang diteliti.

Money Laundering is a terminology which is quite familiar in the society recently. Money laundering that we have known is often done by state officials with a purpose to obscure the origin of the assets acquired unlawfully. One of the predicate crimes which is often done by state officials is corruption crime, in accordance with Article 2 paragraph (1) of Law No 8/2010. In this case, the damaged party is the State with the amount of money up to tens of billions rupiah. Formerly, bank is used by the money laundering doer to commit money laundering, with the stages of placement, layering, and integration. But, along with the banking system in Indonesia which is more stricted in regulations, money laundering doer looks for another way to commit money laundering.
Notary is a proffesion which has a very respectable with a noble duty. Notary`s authority granted by law, is making an authentic deed, as provided in Article 1870 Indonesia Civil Code and Law regarding Notary. In connection with such Notary`s authority, money laundering doer makes benefit of such notarial deed in some sale and purchase transactions so that illegal money could be converted into certain assets. Notary has an obligation to understand and comply with the Code Conduct of Notary, Law regarding Notary, and other related regulations. The method used in this research is yuridical-normative method, where we do an analysis of the applicable law with the purpose to obtain the subjects of the problem.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mawar Fitriany
"Korupsi dan tindak pidana ikutannya berupa pencucian uang merupakan tindak pidana yang memberikan dampak negatif secara meluas. Tindak pidana tersebut semakin berkembang karena globalisasi yang menyebabkan batas-batas negara menjadi tidak jelas. Pencucian uang kini dilakukan secara lintas batas sehingga perlu bantuan hukum timbal balik antar negara untuk melawannya. Salah satu kerja sama yang penting adalah untuk membekukan, menyita dan merampas sarana dan hasil tindak pidana. Pelaksaan bantuan hukum timbal balik dapat berdasarkan pada resiprositas, UNTOC, UNCAC atau bahkan berdasarkan perjanjian internasional dalam tingkat bilateral, multilateral atau regional. Otoritas yang memiliki peranan besar dalam pelaksanaan kerja sama pemberian bantuan untuk pembekuan, penyitaan dan perampasan adalah Otoritas Pusat, Unit Intelijen Keuangan dan Penyidik. Namun, dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum masih terdapat banyak rintangan. Yang menjadi penghambat dalam pelaksaannya adalah terdapat perbedaan mengenai pandangan terhadap tindak pidana dan kepentingan nasional masing-masing negara, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Dengan demikian, dirasakan perlu bagi penyidik untuk mempelajari hukum asing. Selain itu Indonesia perlu menaikkan posisi tawar, serta mengatur secara lebih praktis ketentuan yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik, atau melakukan pendekatan secara kasuistis untuk kepentingan resiprositas dalam permintaan bantuan. Dengan melihat belum banyaknya praktik yang berkaitan dengan bantuan timbal balik untuk pembekuan, penyitaan dan perampasan, maka perlu pula dilakukan studi banding di negara-negara yang sudah sering melakukan praktik tersebut.

Corruption as a predicate crime and its follow up crime, money laundering, have been giving negative impact significantly. Those crimes grow fast because of the globalization that blurring the idea about the border. Nowadays, money laundering is involving transnational activity, thus, the mutual legal assistance between government is needed. One of the most important mutual legal assistance is the one that related to freezing, seizing, and forfeiting the instrument and the proceed of crime. This mutual legal assistance is held based on reciprocity, UNTOC, UNCAC or based on an international treaty in bilateral, multilateral or regional scope. The authorities which have a big role in this cooperation related to freezing, seizing, and forfeiting are Central Authority, Financial Intelligence Unit, and investigator. However, in fact, there are many problems facing this cooperation. The substantive problems are the dissimilar point of view about crime and the different national interests, especially the one that related to the economy. Based on those facts, it is important for the investigator to understand foreign law. Furthermore, Indonesia should rise up their bargaining power and build more practical regulation, or doing a casuistic approach. By realizing there is not much practice related to this issue in our country, it is important to run a comparative study with the country which already familiar with that practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrick Ho
"Hibah adalah pemberian seseorang semasa hidupnya kepada orang lain secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pemberian hibah berupa tanah dan/atau bangunan harus melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hibah pada umumnya tidak dapat dibatalkan, namun terdapat suatu situasi di mana hibah dapat dibatalkan yaitu berkaitan dengan Pasal 1688 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dalam tesis ini Penulis membahas mengenai perlindungan hukum pembeli objek hibah yang objek hibahnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus ini sengketa hibah terjadi karena adanya gugatan dari kedua orang tuanya yang tidak diberi nafkah oleh anak yang menerima hibah. Oleh karena objek hibah telah dijual kepada pihak ketiga dan Mahkamah Agung telah menangkan pihak penggugat sehingga dianggap tidak pernah ada hibah, maka objek hibah kembali menjadi milik pemberi hibah. Simpulan dari tesis ini adalah pihak ketiga terlindungi secara hukum dengan melakukan tindakan hukum berupa gugatan ke pengadilan, dan Notaris/PPAT tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena telah melaksanakan tugasnya sesuai prosedur.

Grant is gift from someone in his lifetime to others voluntarily without expect anything in returns. In the form of the provision of land grant and/or buildings must be through official land deeds officer (PPAT). Grants are generally unable to be revoked, but there is a situation which grants can be revoked based on Article 1688 of Indonesia Civil Code. The research?s method of this thesis is normative juridical. In this thesis, writers discussed on protection law grants buyers object to which the objects of grants be revoked by the supreme court. In this case dispute grant occur because of a lawsuit from both parents who was not provided with a living by children who received grant. Because of the grant object had been sold to third party and the supreme court had won the plaintiff that there was never any grants, then grant object turn back became the property of grant providers. Conclusions from this thesis is the third parties are protected by the law with conduct of legal proceedings in the form of claim to the court, and Notary/ official land deeds officer (PPAT) cannot accused for accountability for performing his task because he did his task in accordance with procedures."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43981
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbrini Yudhapramesti
"ABSTRAK
Pejabat Lelang sebagai pejabat umum yang membuat akta autentik berupa Risalah Lelang, bertanggung jawab terhadap autentisitasnya. Pejabat Lelang juga bertanggung jawab terhadap legalitas formal subjek dan objek lelang, serta membantu permohonan lelang yang diajukan padanya. Lelang merupakan sistem jual beli secara terbuka yang handal, aman dan terpercaya, dan harus selalu dilakukan menurut prosedur yang berlaku. Lelang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dari segala bentuk pengalihan hak atas objek lelang. Namun demikian, pada pengalihan hak objek lelang pada Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 481 K/TUN/2016, walaupun lelang telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dengan pembatalan objek lelangnya oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan mengenai keamanan dan perlindungan hukum dari mekanisme lelang, sehingga pada akhirnya dapat menghambat perkembangan lelang noneksekusi sukarela di masyarakat. Berdasarkan kasus tersebut, maka tesis ini menguraikan pengalihan hak melalui mekanisme lelang noneksekusi sukarela untuk objek lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas II agar lebih menjamin perlindungan hukum bagi pembeli, dan tanggung jawab pejabat lelang kelas II terhadap objek lelang yang dibatalkan oleh Peradilan Tata Usaha Negara tersebut. Tesis ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif analitis. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat kekeliruan di Badan Pertanahan Nasional BPN yang telah menerbitkan objek lelang ketika sedang dalam sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara. Agar dimasa mendatang tidak terjadi kasus serupa yang dapat merugikan berbagai pihak, disarankan kepada Pejabat Lelang dan Peserta/Pembeli Lelang selalu menerapkan prinsip ketelitian dan kehati-hatian yaitu dengan meneliti dan mengetahui secara terperinci mengenai keadaan dan status hukum dari objek lelang dimaksud sebelum lelang dilaksanakan. Penulis menyarankan agar dibuat sistem verifikasi, pendaftaran, dan pengalihan hak atas tanah yang terintegrasi antara BPN dan Badan Peradilan Indonesia.Kata kunci:Pejabat Lelang, Lelang Noneksekusi Sukarela, Pengalihan Hak, Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Lelang.

ABSTRACT
An auctioneer is a public officer who creates an authentic deed of auctions. The auctioneer is responsible for the authenticity of the auction deeds and the formal legality of the subject and the object of the auction, as well as assisting the auction request submitted. Auction is an open and reliable and safety selling and buying system, and should always be done according to the applicable procedures. The auction aims to ensure the legal certainty transfer of rights its auction object. However, on the transfer of auction object rights in the case of the Supreme Court Verdict Number 481 K TUN 2016, although the auction has been conducted in accordance with applicable procedures, it has created legal uncertainty with the cancellation of its auction object by the State Administrative Court. This case may lead to distrust of the security and legal protection of the auction mechanism, thereby ultimately impeding the development of non execution voluntary auction in the society. Based on the aforementioned case, this thesis analizes the transfer process of the auction object rights through non execution voluntary auction by Class II Auctioneer to ensure legal protection for the buyer, and the responsibility of Class II Auctioneer on the cancellation of its auction object by the State Administrative Court. This thesis research uses normative juridical method with qualitative descriptive analytical approach. The research found that there is a mistake in The Indonesian National Land Agency who issued the auction object while there is a dispute on that object in the State Administrative Court. Finally, the writer suggests that the auctioneer and the auction participants, particularly buyers, always to apply the precision and prudent principle by researching and knowing in detail the state and legal status of the auction object before the auction is held. The writer also suggests the Government to create a new integrated system between The Indonesian National Land Agency and The Indonesian Judiciary Board on the verification, registration and right transfer of the land. Keywords Auctioneer, Non execution Voluntary Auction, Transfer of Right, Legal Protection For Auction Buyer "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50848
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afnaan
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi penerima fidusia apabila terjadinya wanprestasi atas suatu perjanjian fidusia berdasarkan Undang Undang Jaminan Fidusia, akibat hukum bagi Pihak Ketiga mengajukan sita eksekusi atas objek jaminan fidusia, serta perlindungan hukum bagi pemberi fidusia atas permohonan sita eksekusi yang diajukan oleh Pihak Ketiga berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara yang berkaitan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian adalah apabila pemberi fidusia melakukan wanprestasi maka penerima fidusia dapat melakukan sita eksekusi, penjualan dibawah tangan dan pelelangan atas objek jaminan fidusia, dan apabila Pihak Ketiga mengajukan permohonan sita eksekusi atas benda yang bukan miliknya, maka perbuatan tersebut merupakan perubatan melawan hukum. 

This thesis discusses about the legal protection for fiduciary reciever should there be any default of fiduciary agreement arrises pursuant to the Fiduciary Act; the legal consequences for the third party who file the executorial seizure of the fiduciary object; and the legal protection for the fiduciary giver of the executorial seizure filed by the third party based on the Supreme Court consideration in making decision for the related dispute. This thesis uses an analytical methode through approach of normative juridis. The result shows that if there is any default conducted by the fiduciary giver, therefore the fiduciary giver may process the executorial seizure and conduct the under hand sale and purchase agreement and auction for the fiduciary object. Furthermore, if the third party files the executorial seizure request for the objects that do not belong to them, then the party has conducted an unlawful act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Noor Fakhira
"Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki tugas dan kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun antara lain pembuatan akta jual beli. Namun, pada praktiknya pembuatan akta jual beli yang dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah dimungkinkan didasari sertipikat pengganti yang diterbitkan atas perbuatan melawan hukum oleh penjual meskipun telah dilakukan pengecekan melalui kantor pertanahan. Sebagaimana kasus pada Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 91/PDT/2021 PT YYK yang menggunakan sertipikat pengganti yang diperoleh melawan hukum sebagai dasar perbuatan jual beli yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak kepada pihak lain. Adapun permasalahan yang dirumuskan dalam tesis ini adalah mengenai keabsahan akta jual beli dengan menggunakan sertipikat pengganti yang diterbitkan atas perbuatan melawan hukum dan bagaimana perlindungan hukum bagi pejabat pembuat akta tanah terhadap akta jual beli menggunakan sertipikat tanah pengganti yang diperoleh atas perbuatan melawan hukum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diolah secara kualitatif. Bahwa dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan terhadap akta jual beli yang dibuat menggunakan sertipikat pengganti yang diperoleh secara melawan hukum adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sah suatu perjanjian terhadap unsur suatu sebab yang halal yang merupakan syarat objektif sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perlindungan hukum bagi pejabat pembuat akta tanah berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2018 adalah adanya bantuan hukum berupa pemberian saran, pendampingan dalam penyidikan dan keterangan ahli oleh Majelis Pembina dan Pengawas.

The Land Deed Making Officer has the duty and authority to make authentic deeds regarding certain legal acts regarding land rights or property rights to units of flats, including the making of sale and purchase deeds. However, in practice, the making of a sale and purchase deed made before the land deed-making official may be based on a substitute certificate issued for unlawful acts by the seller even though it has been checked through the land office. As the case in the Yogyakarta High Court Decision Number 91/PDT/2021 PT YYK which uses substitute certificates obtained against the law as the basis for buying and selling actions that result in a transfer of rights to other parties. The problem formulated in this thesis is regarding the validity of the sale and purchase deed using a substitute certificate issued for unlawful acts and how is the legal protection for the land deed-making officer against the sale and purchase deed using a substitute land certificate obtained for unlawful acts. This research uses normative juridical research methods using secondary data obtained from primary legal materials and qualitatively processed secondary legal materials. That from the results of this study, it can be concluded that the sale and purchase deed made using a substitute certificate obtained unlawfully is null and void because it does not meet the valid conditions of an agreement against the element of a lawful cause which is an objective requirement as stipulated in Article 1320 of the Civil Code. Legal protection for land deed-making officials based on the Regulation of the Minister of Agrarian affairs and Spatial Planning / Head of the National Land Agency Number 2 of 2018 is the existence of legal assistance in the form of providing advice, assistance in investigations and expert information by the Board of Trustees and Supervisors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Zada Surya Ananda
"Skripsi ini membahas perlindungan hukum bagi whistleblower tindak pidana korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia dan praktik perlindungan hukum bagi whistleblower tindak pidana korupsi atas risiko kriminalisasi balik dalam beberapa perkara di Indonesia dengan studi kasus yakni Nurhayati dan Roni Wijaya. Penulisan skripsi ini dengan metode yuridis normative dengan bentuk deskriptif analitis. Dilatarbelakangi dengan permasalahan korupsi yang terus menjadi permasalahan di masyarakat. Dalam melakukan pengungkapan atas tindak pidana korupsi terdapat beberapa cara untuk mengungkapkannya, salah satunya dengan sebagai Whistleblower. Pasal 33 UNCAC mengatur bahwa negara memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan perlindungan bagi whistleblower kedalam sistem hukum nasional negaranya. Indonesia mengatur perlindungan saksi dan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tetapi tidak memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi Whistleblower. Terbitnya SEMA 4/11 yang diharapkan dapat mengatur Whistleblower, ternyata tidak memiliki nilai tambah mengenai perlindungan bagi Whistleblower. Perlindungan bagi Whistleblower disamakan dengan perlindungan bagi pelapor umumnya. Penggunaan istilah Whistleblower pun masih berbeda dalam setiap kasusnya yang mendorong kepada bentuk perlindungan kepada Whistleblower yang belum jelas. Padahal Whistleblower menghadapi banyak risiko yang dikenakan terhadap dirinya. Risiko yang terbesar adalah adanya kriminalisasi balik berupa dilaporkannya kembali atas tindak pidana lainnya terhadap dirinya. Ketiadaan perlindungan hukum yang khusus terhadap whistleblower dari risiko terhadap kriminalisasi balik akan mengurangi potensi publik untuk menjadi whistleblower. Perlindungan paling minim dari risiko kriminalisasi balik yang dapat terjadi bagi whistleblower yang tertera di Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 serta pada poin 8b SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dalam praktiknya tidak dilaksanakan sesuai dengan rumusan. Padahal peran Whistleblower merupakan peran penting untuk mengawali pengungkapan atas kasus korupsi yang membawa pada kerugian negara. Diperlukannya perlindungan yang lebih bagi seorang whistleblower dengan diatur lebih lanjut dalam penguatan ketentuan mengenai perlindungan khusus bagi whistleblower terutama terhadap risiko kriminalisasi balik dalam bentuk ketentuan perundang-undangan.

This thesis will examine legal protection towards whistleblowers on corruption in Indonesia domestic law and the application of legal protection towards whistleblowers in corruption in the risks of reverse-criminalization in several cases in Indonesia with a case study of Nurhayati and Roni Wijaya. The method used in this thesis is a normative juridical approach with a specification in the form of descriptive analysis. Corruption, which has become an endless issue, happens to be one of the backgrounds of this thesis. There are numerous kinds of effective endeavours in order to disclose the corruption and one of those is to become a whistleblower. Article 33 of UNCAC regulates that each state party shall contemplate the protection of whistleblowers in their domestic law. In Indonesia, witness and victim protection is regulated in Act No. 13 of 2006 yet it is not powerful enough to give a legal protection towards the whistleblower. The publication of Supreme Court Circular of The Republic of Indonesia number 4 of 2011 which expected to be able to regulate whistleblowers, failed to give more value in protecting the whistleblower. It turns out that the protection of the whistleblower is being generalized with the protection of the regular informant. The use of the word “whistleblower” is still not consistent in each case. Thus, the protection of whistleblowers remains unclear. Moreover, the risks faced by the whistleblower are countless. The massive risk that could occur is reverse-criminalization such as being reported for another criminal offense towards the whistleblower. The absence of special legal protection towards whistleblowers and moreover about the protection from the risks of reverse-criminalization, with no hesitation will reduce the public potency to become the whistleblower. The slight protection from the risks of reverse-criminalization that could occur to the whistleblower is regulated in Article 10 Section (1) Act No.13 of 2006 and written in 8b point of Supreme Court Circular of The Republic of Indonesia number 4 of 2011. But it has not applied yet as it’s expected to be. Whereas, the role of whistleblower is essential to begin the disclosure of the corruption which is causing disservice to the country. An advance protection towards whistleblower is needed to be regulated any further in the regulation reinforcement in the form of statutory provisions as a special protection towards whistleblower especially in the risk of reverse criminalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>