Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2994 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Here, pioneering researchers report on the tissue homeostatic, tissue regenerating and regulatory properties of NAbs and NAbs in pooled human IgG. The volume also has a chapter on the history of how pooled plasma was pretreated for safe intravenous use."
New York: Springer, 2012
e20401610
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN I
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN II
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN III
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN IV
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Erfan
"Perdarahan merupakan gejala klinis yang ditakuti terjadi pada demam berdarah dengue (DBD). Jumlah trombosit dalam darah penderita DBD mengalami penurunan hingga kurang dari 105/mL. Transfusi trombosit kepada penderita pada masa akut tidak menghasilkan peningkatan jumlah trombosit secara signifikan. Biasanya jumlah trombosit penderita yang telah diobati dengan kortikosteroid akan meningkat dengan sendirinya sehingga tidak memerlukan lagi transfusi trombosit. Mekanisme yang menyebabkan fenomena ini belum diketahui secara pasti. Meskipun demikian, fenomena ini menimbulkan dugaan akan adanya faktor imun, dalam hal ini otoimun terhadap trombosit penderita sendiri.
Untuk mencari kemungkinan adanya otoantibodi anti trombosit pada penderita DBD dengan jumlah trombosit kurang dari 105/mL, serum DBD tersebut dicampur dengan lisat trombosit normal. Lisat didapat dengan cara freeze-thawing. Pelacakan dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA dengan mengikat lisat trombosit pada rase padat, yaitu dinding sumur plastik mikroplat ELISA. Setelah penambahan serum DBD, yang disusul dengan pencucian, ditambahkan dengan antibodi kelinci anti protein serum manusia. Adanya kompleks imun dilacak dengan penambahan antibodi kambing anti IgG kelinci yang telah ditandai dengan peroksidase. Reaksi positif yang menunjukan adanya kompleks imun ditunjukan oleh terbentuknya senyawa yang berwarna jingga kekuning-kuningan pada penambahan substrast H202 dan kromogen odianisidine.
Pembacaan dilakukan pada k 450 nm. Berdasarkan rata-rata nilai serapan basil ELISA melalui uji t telah terbukti bahwa perbedaan rata-rata nilai serapan optik hasil ELISA kelompok pasien berbeda secara sangat signifikan dari kelompok serum normal. Rata-rata nilai serapan optik kelompok pasien setelah dikoreksi dengan rata-rata nilai serapan optik blanko berkisar 0,103 sampai dengan 0,193 dengan rata-rata 0,145 ± 0,0340. Rata-rata nilai serapan optik kelompok normal setelah dikoreksi dengan rata-rata nilai serapan optik blanko berkisar antara 0,004 sampai dengan 0,089 dengan rata-rata 0,037 ± 0,0339. Kemudian juga dilakukan deteksi otoantibodi tersebut dengan menggunakan teknik Western Bloat. Ternyata protein dengan berat molekul sekitar (160-200) kDa, 97 kDa dan 50 kDa dapat dikenali dan diikat oleh serum yang berasal dari pasien. Hasil yang sama tidak ditemukan pada serum normal. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T 1699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Retno Prijanti
"Homosistein adalah suatu senyawa antara yang mengandung sulfur pada proses sintesis asam amino sistein dari metionin. Radar normal dalam darah kurang lebih 10 µ mol/L. Peningkatan kadarnya dihubungkan dengan "premature vascular diseases" dan merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner. Peningkatan kadar lebih dari 100 µ mol/L menyebabkan homosisteinuria. Bila tidak diterapi maka 50°/o penderita akan mengalami tromboemboli dan mortalitasnya 20% pada penderita usia 30 tahun. Faktor resiko ?'kadar homosistein tinggi" ini apabila dapat diketahui maka dapat diupayakan pencegahannya atau paling tidak dapat memperlambat terjadinya kerusakan vaskuler pada seseorang.
Saat ini pengukuran kadar homosistein plasma ditetapkan dengan metoda HPLC yang canggih dan kepekaannya tinggi, namun sangat mahal biaya operasinya Karena itu dirasa perlu dikembangkan cara penetapan lain yang lebih murah dan cukup peka, seperti ELISA. Sebagai langkah awal dilakukan upaya isolasi antibodi kelinci anti hoinosistein.
Kelinci diinduksi dengan homosistein yang diikatkan pada permukaan membran eritrosit memakai glutaraldehid 2,5%. Induksi imunisasi dengan dosis total perkali 1 mL yang disuntikkan dengan cara subkutan di 5 lokasi berbeda pada kulit punggung kelinci. imunisasi dilakukan dengan selang waktu 1 minggu. Serum kelinci diambil pra dan pasca imunisasi ke 3. Titer antibodi kelinci anti hoinosistein diukur dengan metoda hemaglutinasi pasil. Hasil yang didapat, titer antibodi kelinci anti homosistein praimunisasi 0 (nol) dan pasca imunisasi ke 3 adalah 32."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah
"ABSTRAK
Penyakit asma bronkial dan/atau rinitis atopik terutama disebabkan oleh Dermatoohagoides pteronyssinus. Antibodi yang berperan pada reaksi alergi ialah IgE dan IgG, yaitu I gG sebagai 'short-term anaphylactic antibody' dan 'precipitating antibody'. Sebaliknya IgG dapat mencegah timbulnya reaksi alergi karena I gG berperan sebagai 'blocking antibody'. Tujuan penelitian mi meneliti peranan aktivitas antibodi IgE dan IgG terhadap D. pteronyssinus, serta hubungan antara keduanya terhadap alergen yang sama pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik sebelum dilakukan imunoteraoi. penentuan aktivitas IgE dan aktivitas I gG dilakukan dengan teknik 'Enzym Linked Immuno Sorbent Assay' (ELISA). Selain itu dilakukan pula penghitungan jumlah eosinofil. Berdasarkan uji Mann-whitney diketahui bahwa, aktivitas I gE, aktivitas I gG, serta kadar eosinofil pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik berbeda dengan orang non-alergi, yaitu lebih tinggi pada penderita ( E =66,81%; X G1 = 62,02%; X ES1 = 518,87 sel/mm3 ) daripada orang nonalergi (R E2 = 3996%; X = 40,32%; X ES 2 = 122,15 sel/ mm3 ). Dengan uji korelasi jenjang Spearman di.peroleh kesimpulan, tidak ada korelasi antara aktivitas igE dengan aktivitas I gG dan juga dengan kadar eosinofil."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdayani
"Protein inti virus hepatitis B memegang peranan penting pada berbagai tahap siklus hidup virus. Dengan mengganggu peran protein inti ini oleh suatu senyawa maka replikasi virus akan terhambat. Emodin dipilih sebagai senyawa penuntun dan dilakukan modifikasi struktur dengan mengubah sifat hidrofobisitas, elektronik dan steriknya. Untuk memprediksi interaksi yang terjadi antara emodin dan senyawa turunan ester emodin dengan protein inti virus hepatitis B sebagai target obat, dilakukan pemodelan molekul dengan program simulasi penambatan dan dinamika molekul. Interaksi senyawa turunan ester emodin dengan reseptor protein inti virus hepatitis B terjadi di daerah antarmuka dimer-dimer reseptor dan membentuk interaksi yang stabil dengan asam amino pada daerah yang akan mengubah konformasi protein sehingga mengganggu perakitan kapsid dan proses replikasi virus. Senyawa turunan ester emodin disintesis dengan pereaksi dan kondisi yang sesuai kemudian dikonfirmasi strukturnya menggunakan spekrofotometri LCMS/MS, FTIR, 1H-NMR dan 13C-NMR. Senyawa yang diperoleh adalah: 3-asetil emodin, 3-benzoil emodin, 3-o-toluil emodin, 3-m-toluil emodin, 3-p-toluil emodin dan 3-dimetilkarbamoil emodin. Aktivitas inhibisi in vitro ditentukan menggunakan sel HepG2 yang ditransfeksi plasmid genom inti virus hepatitis B, immunositokimia dan fluorometri. Hasil menunjukkan bahwa turunan ester emodin aktivitasnya lebih tinggi dan sitotoksitasnya lebih rendah daripada emodin. Senyawa 3-o-toluil emodin, 3-m-toluil emodin dan 3-p-toluil emodin menunjukkan aktivitas yang tinggi dengan IC50 berturut-turut sebesar 0,4; 0,23 dan 0,11 M. Analisa hubungan struktur aktivitas menunjukkan bahwa hidrofobisitas dan sterik berkorelasi non linear dengan aktivitas inhibisi replikasi virus hepatitis B.

The core protein of hepatitis B virus plays an important role at different stages of the viral life cycle. By disrupting the role of this core protein by a compound, the viral replication will be inhibited. Emodin was chosen as a lead compound and the structure was modified by altering its hydrophobicity, electronic and steric properties to be emodin ester. Prediction of interaction between emodin and their ester derivatives with hepatitis B virus core protein as drug targets, was performed by molecular modeling simulation program of docking and molecular dynamic. The interaction of emodin ester derivatives with hepatitis B virus core protein receptors occurs in the interface area of receptor dimers and forms a stable interaction with amino acids in areas that will alter protein conformation thus disrupting capsid assembly and viral replication processes. Emodin ester derivatives compound were synthesized with reagents and suitable conditions then confirmed their structures using LCMS MS, FTIR, 1H NMR and 13C NMR spectrophotometry. The compounds obtained were 3 acetyl emodin, 3 benzoyl emodin, 3 o toluyl emodin, 3 m toluyl emodin, 3 p toluyl emodin and 3 dimethylcarbamoyl emodin. In vitro inhibitory activity was determined using HepG2 cells transfected plasmid core genomes of hepatitis B virus, immunocytochemistry and fluorometry. The results showed that the emodin ester derivatives activity is higher and its cytotoxicity is lower than emodin. The 3 o toluyl emodin, 3 m toluyl emodin and 3 p toluyl emodin showed high activity with IC50 of 0.4 0.23 and 0.11 M respectively. Structure activity relationship analysis showed that hydrophobicity and steric properties correlate non linearly with activity."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2390
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathurrohim
"Latar belakang: Dari 36,9 juta orang yang terinfeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada akhir tahun 2018 di seluruh dunia, terdapat sekitar 1-2 juta yang terinfeksi HIV-2. Meskipun HIV-2 kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1, misdiagnosis infeksi HIV-2 dapat menyebabkan kegagalan pengobatan yang berujung pada perkembangan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Diagnostik yang akurat diperlukan untuk menentukan apakah suatu individu telah terinfeksi HIV-1, HIV-2 atau koinfeksi HIV-1 dan HIV-2. Metode: Penelitian ini menggunakan DNA sintetik penyandi antigen rekombinan gp125-gp36 HIV-2 yang bersifat immunodominan, lestari, telah dioptimasi kodon untuk sistem ekspresi E. coli, dan telah dianalisis struktur sekunder mRNAnya. DNA sintetik diklona ke plasmid pQE80L untuk diekspresikan, kemudian dipurifikasi menggunakan kromatografi afinitas Ni-NTA. Antigen rekombinan kemudian diuji reaktivitasnya dengan antibodi anti-HIV-2, serta 7 serum positif HIV-1, HBV, HCV, dan serum normal.
Hasil: Gen sintetik berhasil dikonstruksi pada plasmid pQE80L dan dapat diekspresikan dengan induksi 0,1 mM IPTG selama 4 jam. Antigen rekombinan terpurifikasi secra optimal pada kondisi denature dengan pH elusi 4,5. Selanjutnya, hasil uji reaktivitas menunjukkan hasil reaktif untuk antibodi anti HIV-2 dan tidak tidak reaktif untuk 7 sampel serum positif HBV, HCV, dan serum normal. Sedangkan untuk serum positif HV-1, terdapat hasil reaktif pada sampel serum nomor 3 yang diduga disebabkan oleh protein kontaminan dari E. coli.
Kesimpulan: Antigen rekombinan gp125-gp36 HIV-2 untuk deteksi antibodi anti-HIV-2 telah berhasil dikembangkan, akan tetapi perlu dilakukan optimasi lebih lanjut untuk mendapatkan antigen rekombinan yang benar-benar murni.

Background: From 36.9 million people worldwide infected by the Human Immunodeficiency Virus (HIV) at the end of 2018, 1-2 million are infected by HIV-2. Although HIV-2 is less patogenic than HIV-1, misdiagnostic of HIV-2 infection could effect to treatment failure which leads to development of Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Accurately diagnostic is required to ascertain whether an individual has been infected HIV-1, HIV-2, or HIV-1 and HIV-2 co-infection.
Method: This study used immunodominant and sustainable synthetic DNA encoding of recombinant antigen gp125-gp36 HIV-2 which was optimized by codon for E. coli expression system, and analyzed the secondary structure of its mRNA. Synthetic DNA was cloned to the pQE80L plasmid to be expressed, purrifyed using Ni-NTA affinity chromatography. Recombinant antigen therefore was verified for reactivity by anti-HIV-2 antibodies and 7 positive serum of HIV-1, HBC, HCV, and normal serum.
Result: The synthetic gene was succesfully constructed on pQE80L plasmid and able to be expressed by induction of 0.1 mM IPTG for 4 hours. Recombinant antigen was optimally purified in denature conditions due to elusion pH of 4.5. Furthermore, the reactivity test revealed reactive result for anti HIV-2 antibodies and unreactive to 7 positive sample serum of HBC, HCV, and normal serum. While positive serum HIV-1 demonstrate a reactive result in sample serum number 3 supposed causing by protein contaminants from E. Coli. Conclusion: Recombinant antigen gp125-gp36 HIV-2 for the detection anti HIV-2 antibodies has been succesfully developed, however further optimization is required in case to obtain truly pure recombinant antigens.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>