Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26001 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Nina Sih Wargiati
"Fluor adalah senyawa an organik yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu tcrdapat pada makanan seperti ikan salmon dan teri jengki, pada minuman seperti teh dan susu dan pasta gigi yang mengandlmg fluor. Cara mengkonsumsi fluor yaitu secara sistemik artinya melalui makanan dan minuman, secara topical aplikasi (pengolesan fluor pada permukaan gigi), kumur-kumur dengan air yang mengandung fluor dan pemakaian pasta gigi yang mengandung fluor. Fluor dalam air dengan konsentrasi cukup atau memenuhi syarat (0,05-O,5)ppm dapat menoegah karies gigi. Para ahli berpendapat bahwa fluor adalah unsur yang penting dalam pembentukan tulang dan gigi.
Karies gigi adalah penyakit yang disebabkan olch banyak faktor, faktor utama yaitu interaksi antara mikroorganisme (streptoccocus mutans), gigi dan saliva, karbohidrat dan waktu. Falctor lain yang ikut berkontribusi diantaranya kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi. Prevalensi karies gigi siswa SD di kota Bandung tahun 2004 adalah 80%, dan survei yang dilakukan olch PPKGM kota Bandung tahun 2002, diremukan angka DMF-T (indeks karies gigi) pada siswa kelas 6 SD yaitu 1,6 dengan prcvalensi karies sebesar 88%. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi siswa SD dengan karies gigi (DMF-T).
Untuk melihat hubungan antara kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi siswa SD dengan penyakit karies gigi digunakan studi cross sectional/potong lintang. Populasi studi adalah siswa SD kota Bandung dan sample 200 siswa. berumur I0-I2 tahun yang tersebar secara acak di 40 SD. Hasil penelitian menunjukkan angka lcandungan fluor air yang dikonsumsi adalah 0,33 ppm dan rata-rata angka DMF-T adalah l,49. Didapat hubungan yang bermakna antara kandungan fluor dalam air yang dikonsumsi untuk minum dan berkumur dengan penyakit karics gigi (DMF-T).
Perlu dilakukan penyuluhan tentang pentingnya iluor yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi dan melakukan kegiatan kumur-kumur dengan larutan fluor di Sekolah Dasar, serta melakukan penelitian lebih lanjut untuk menelitj hubungan konsumsi fluor dalam air secara sitemik atau melalui kumur-kumur dengan larutan fluor, dengan penyakit karies gigi.

The Association fluorides contain in drinking water and rinsing water with caries in elemtery school students at Bandung in 2006 Fluor is an oraganic compound which resent in daily lifes for example in food eg: salmon, teri jengki, tea and milk, tooth-pastes with fluor. Flour consuming method is present systemically sistematicelly, which means through foods and drink, application topicaly (lubricating tluor on tooth surface), rinse water wich countainaing fluor, tooth paste with oountaining fluor. Fluor that countaining in water with sufhcient consentration (0,05-0,5)ppm could protect caries.The research have a conclution that fluor is very important for the bone and tooth.
Dental caries is a kind of disease wich cause by so many factors, the mainly factor are interaction between microorganism (streptococcus mutans ), teeth and saliva, carbohydrate and time. Other factor that contribution of flour substance in consumed waters. Dental caries prevalens of elementary shool students at Bandung in 2004 is 80%, the reseach was done PPKGM Bandung in 2002 is was found that the DMF-T nd value for 6? grade elementary school is 1,6 with prevalensi caries 88%. The purpose of the reseach is have a result association the fluor countain in water wich consumed of elementary school with dental caries (DMF-T).
To have a result association between fluor contains of elementary school students with dental caries was using Cross Sectional method. Study populations are elementary school students (SD) Bandung with 200 sample for the students with ages 10 - 12 years old, Distributed randomly on 40 SD locations of SD randomly selected. This reseach shows that the value of fluor containing of water that consume is 0,33 ppm and DMF-T score is l,49. It's fotmd association tluor contain in water that consuming for drink and rinse with dental caries (DMF-T).
A suggestion has to be giving to Health Departement for conseling about the very important tluor to be consume and doing a rinsc activity with fluor contain in solution for each elementary shcool, also further more reseach to line association consuming fluor in water sistematically or rinse with fluor solution.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34355
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafiz
"Fluor-hidroksiapatit (FHA) dapat digunakan sebagai biomaterial karena memiliki sifat biokompantibel. Ketika sebagian gugus hidroksil (OH-) dari hidroksiapatit digantikan oleh fluor (F-) maka akan terbentuk fluor-hidroksiapatit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh perubahan derajat keasaman (pH) dalam proses sintesis FHA menggunakan metode iradiasi gelombang mikro. Serbuk FHA disintesis dengan titrasi antara larutan kalsium hidroksida dengan ammonium fluorida dan diamonium hidrogen fosfat pada tingkat fluoridasi (x) 0,7 dan 1,3. Selama proses titrasi, penambahan larutan HCl 1 M dan NaOH 1 M dilakukan untuk membuat variasi nilai pH. Karakterisasi serbuk hasil sintesis dilakukan menggunakan analisis difraksi sinar-X (XRD), spektroskopi inframerah transformasi fourier (FTIR), mikroskop pemindai elektron (SEM), dan spektroskopi sinar-X energi dispersif (EDX). Hasil XRD dan FTIR menunjukkan bahwa serbuk dengan pH dibawah kondisi kontrol memiliki beberapa fase tambahan yang terbentuk seperti kloroapatit dan karbonat. Nilai kristalinitas memiliki perbedaan dari tiap serbuk di masing-masing pH, namun hanya pH kontrol yang memiliki kristalinitas seperti enamel gigi. Ukuran kristal rata-rata ditemukan sekitar 21-80 nm. Hasil SEM dan EDX menunjukkan perubahan morfologi dan rasio Ca/P yang terbentuk adalah 1,34. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan asam justru mengakibatkan terbentuknya fase baru yang mendominansi dan merubah beberapa parameter kristal, sehingga sintesis dalam keadaan pH yang dirubah tidak direkomendasikan.

Fluoride-substituted hydroxyapatite (FHA) can be used for biomaterial application because it have biocompatible properties. FHA is formed by replacing the flour ion (F-) to the hydroxyl ion (OH-) from the hydroxyapatite. This work aims to see the influence of changes in the form of acidity (pH) at FHA synthesis process using microwave irradiation method. FHA nano-powder were synthesized using titration of calcium hydroxide solution with diamonium hydrogen phosphate and ammonium fluoride, which will vary the level of fluoride at FHA by 0,9 and 1,3. Subsequently HCl 1 M or NaOH 1 M to give variation of pH value. X-ray diffraction (XRD), Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopy, scanning electron microscopy (SEM), and energy dispersive X-ray (EDX) spectroscopy analysis techniques were utilized in order to evaluate the characteristic of synthesized FHA nano-powder. The XRD dan FTIR result show that powder with pH under control conditions has several additional phases formed such as chloroapatite and carbonate. The value of crystallinity has the distinction of each powder in each pH, but only at pH control that has crystallinity values such as tooth enamel. Using a Scherrer formula, the average crystallite size was found around 21-80 nm. SEM and EDX characterization results show the Ca/P ratio formed is 1.34. The results showed that the addition of acid resulted in the formation of a new phase that dominates and revamp some crystal parameters, so the synthesis in these conditions is not recommended."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhita Indah Rosiana
"Status gizi kurang maupun status gizi lebih memiliki risiko untuk mengalami penyakit kronis dan dapat memperpendek harapan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dan korelasi antara status merokok, asupan zat gizi, konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik dengan IMT dan untuk mengetahui perbedaan IMT dan faktor-faktor tersebut berdasarkan status merokok.
Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan sampel sebanyak 131 mahasiswa Fakultas Teknik Universitas yang dilakukan pada April - Mei 2012. Pengumpulan sampel mengunakan teknik simpel random sampling dengan pengambilan data melalui pengisian kuesioner, pengukuran antropometri, dan wawancara food recall 2x24 jam. Analisis data menggunakan Chi Square, korelasi, dan t-test independent.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya korelasi yang signifikan antara aktivitas fisik dan rata-rata batang rokok yang dihisap per hari dengan IMT dengan pola negatif. Selain itu, terdapat adanya perbedaan konsumsi alkohol, asupan serat, dan vitamin c yang signifikan berdasarkan status merokok. Konsumsi alkohol pada lebih tinggi secara signifikan pada perokok daripada non-perokok, sedangkan asupan serat dan vitamin C lebih rendah secara signifikan pada perokok daripada non-perokok.

Undernutrition or overnutrition have more risk to get chronic illness and can also shorten life expectancy. The aims of this thesis are for knowing the association and correlation between smoking status, nutritional status, nutrition intake, alcohol consumption, and physical activity with Body Mass Indeks (BMI) and also for knowing of the BMI?s difference and those factors with smoking status.
The design of this study is cross sectional that have did in April - May 2012 in Faculty of Engineering Universitas Indonesia with 131 respondents. This study use simple random sampling technique for taking the samples. Collecting the data use questionnaire, anthropometry measurement, and 2x24h food recall. Data analyzing that used are Chi Square, correlation, and T-test independent.
The results show that there is significant negative correlation between physical activity and the average amount of cigarettes that smoked per day with BMI. Besides, there is significant difference of alcohol consumption, fiber intake, and vitamin C between smokers and non-smokers. Alcohol consumption in smokers significantly higher than in non-smokers, whereas fiber intake and vitamin C significantly lower in smokers than in non-smokers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kustri Suharningsih
"ABSTRAK Dampak yang ditimbulkan dari keadaan stunting adalah terganggunya fungsi kognitif. Masa-masa seribu hari pertama kehidupan adalah waktu kritis pertumbuhan anak. Kondisi stunting pada balita di Indonesia dan dunia masih tinggi. Prevalensi stunting pada baduta di Bojong Kamal mengalami peningkatan dari 18,3% pada tahun 2017 menjadi 30,9% pada tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
desain cross sectional. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui persentase stunting pada baduta dan mencari faktor paling dominan terhadap kasus stunting pada
baduta usia 13-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bojong Kamal tahun 2018. Sampel penelitian sebanyak 89 orang yang dipilih secara systematic random sampling. Data
dikumpulkan melalui pemeriksaan antropometri untuk menentukan kasus stunting pada baduta, kuesioner untuk mengumpulkan data riwayat pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, dan kunjungan posyandu, serta
dari kuesioner food recall 24 jam untuk asupan makan. Persentase stunting baduta usia 13-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bojong Kamal adalah sebesar 32,6%. Asupan energi menjadi faktor dominan yang membedakan kejadian stunting pada baduta usia
13-23 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bojong Kamal dikontrol oleh riwayat penyakit infeksi, asupan protein dan pendidikan ibu.

ABSTRACT
The effect of stunting is cognitive disfunction. The first 1000 days period of life is a critical time for child's growth. The number of stunting condition in children in Indonesia and around the world are still high. The prevalence of stunting in children
under 2 years old on Bojong Kamal have been increased from 18.3% in 2017 to 30.9% in 2018. This study is a quantitative research and with cross sectional design. The purpose of this study is to know the persentage of stunting and to find out the most
dominant factor in stunting cases in children age 13-23 month living on the working region of Puskesmas Bojong Kamal. Samples of the study about 89 children were choosen by systematic random sampling. Datas collected from the samples are from ix Universitas Indonesia antopometry examination, questionnaire to collect the history of breast feeding, history of infection disease, education level of the parents, income of the parents, visit to
Posyandu, and questionnaire of food recall 24 hours for food consumption. Percentage of stunting in children age 13-23 months in working region of Puskesmas Bojong Kamal is 32.6%. Energy intake is the dominant factor which differentiate the stunting
cases in children age 13-23 months in working region of Puskesmas Bojong Kamal controlled by history of infection disease, protein intake and mother's education.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trinovita Andraini
"Latar Belakang: Saat ini, perubahan pola diet, terutama pola diet Barat, yang banyak mengkonsumsi makanan siap saji dan minuman ringan menyebabkan peningkatan konsumsi harian fruktosa yang bermakna, bahkan mencapai 85-100 gram per hari. Data di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa seiring terus meningkatnya konsumsi HFCS dan sukrosa (terutama dari minuman ringan) juga terjadi peningkatan prevalensi obesitas. Peningkatan konsumsi fruktosa tampaknya merupakan salah satu faktor paling penting yang berkontribusi terjadinya epidemi obesitas karena dua alasan, yaitu proses metabolisme fruktosa terjadi lebih cepat dan menyediakan substrat lipogenik yang lebih banyak pada stadium postprandial dan fruktosa dapat menyebabkan overconsumption karena konsumsi fruktosa tidak menyebabkan peningkatan hormon leptin dan insulin posprandial. Leptin dan insulin merupakan sinyal adiposa jangka panjang yang bekerja pada hipotalamus dan mengatur jumlah asupan makanan dan energy expenditure sehingga mempengaruhi berat badan seseorang.
Tujuan: Menganalisis pengaruh diet tinggi fruktosa terhadap kadar leptin serum postprandial tikus dan pengaruhnya terhadap asupan makanan dan berat badan.
Metode: Studi eksperimental secara in vivo pada tiga kelompok tikus jantan spesies Sprague-Dawley, berusia 8-10 minggu dengan berat badan berkisar antara 150-200 gram. Tikus diberikan perlakuan selama 15 hari diberi larutan kontrol atau larutan glukosa 43% dengan dosis 2 mL/100 g BB/hari, atau fruktosa 43% dengan dosis 2 mL/100 g BB/hari dan makanan standar. Parameter yang diukur adalah jumlah asupan makanan, pertambahan berat badan dan kadar hormon leptin postprandial setelah 15 hari perlakuan dengan metode ELISA (Enzyme- Linked Immunosorbent Assay).
Hasil: Kadar leptin serum postprandial tikus lebih tinggi secara bermakna pada kelompok perlakuan glukosa tetapi tidak berbeda bermakna pada kelompok perlakuan fruktosa dibanding kelompok kontrol, sedangkan jumlah asupan makanan pada kelompok perlakuan fruktosa lebih rendah daripada kelompok glukosa dan pertambahan berat badan pada kelompok perlakuan fruktosa lebih tinggi daripada kelompok perlakuan glukosa tetapi tidak berbeda bermakna.
Kesimpulan: Fruktosa memiliki kecenderungan menyebabkan kadar leptin postprandial lebih rendah dari glukosa dan memiliki kecenderungan menyebabkan penurunan asupan makanan dan peningkatan berat badan yang lebih besar dibandingkan glukosa.

Background: Nowadays, due to changing on diet, especially Western diet which consumes fast food and soft drink cause increasing daily consumption of fructose, even to achieve 85-100 gram per day. In US, data shows that the more to consume HFCS and sucrose (especially soft drink), the more to increase obesity. The increase of fructose consumption appears to be one crucial factor which contributes obesity epidemic due to two reasons as follows: fructose metabolism process happens faster and provides more lipogenic substrate on postprandial stadium and fructose can cause overconsumption because fructose consumption is not the same as glucose which does not cause increasing leptin hormone and insulin postprandial. Leptin and insulin are the long tenn adiposity signal which work on hipothalamus and manage amount of consumption food and energy expenditure so it will influence body weight.
Objective: To understand the influence of high fructose diet on postprandial level of serum leptin and its influence to daily food intake and body weight in rat.
Method: In vivo experimental study on three groups of male rats of Sprague-Dawley species, age between 8-10 weeks with body weight around l50-200 gram. Rats are given treatment for 15 days and given control liquid or glucose liquid 43% with dose of 2 mL/l00gr body weight/day or fructose 43% with dose of 2 mL/100 gr body weight/day and standard food. The measured Parameter are amount of daily food intake, increasing of body weight and postprandial serum leptin level after 15 days of treatment with ELISA (Enzyme Linked Immzmosorbent Assay) method.
Result: The rats postprandial serum leptin level is higher significantly on glucose treatment groups but it is not different to fructose treatment group compared to control group. In addition, amount of daily food intake on fructose treatment group is lower than that of glucose group and gaining body weight of fructose treatment group is higher than that of glucose treatment but the different between them is not significant.
Conclusion: Fructose tends to cause degree of postprandial serum leptin level lower than glucose and tend to cause decreasing consumption of food and gaining body weight higher than glucose.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T33931
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Puspa Dewi
"Latar Belakang: Sakit kritis sering dihubungkan dengan malnutrisi yang disebabkan oleh perubahan metabolisme dan asupan yang menurun. Keadaan hipermetabolik yang tidak disertai dengan dukungan asupan energi dan protein yang adekuat, akan menyebabkan peningkatan konsumsi substrat protein dan energi secara cepat, disfungsi sistem imunitas, serta penurunan fungsi organ. Penilaian status gizi pada pasien sakit kritis sangat penting untuk menatalaksana dan mengevaluasi terapi gizi yang diberikan. Berbagai penelitian telah melaporkan mamfaat pemberian asupan energi dan protein yang cukup terhadap perubahan berat badan, namun pengukuran berat badan seringkali sulit dilakukan pada pasien ICU karena berbagai hal seperti penurunan kesadaran dan imobilisasi. Salah satu pengukuran antropometri yang cukup mudah dilakukan untuk mengevaluasi status gizi yaitu lingkar lengan atas (LLA) yang mencerminkan massa otot sebagai cadangan protein tubuh. Lingkar lengan atas (LLA) direkomendasikan sebagai parameter nutrisi karena sederhana dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai malnutrisi. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara asupan energi dan protein terhadap perubahan LLA pada pasien sakit kritis yang dirawat di ICU. Metode: Penelitian ini merupakan studi prospektif observasional pada pasien sakit kritis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. karakteristik subjek penelitian meliputi usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, indeks massa tubuh (IMT), skor NRS 2002, status gizi berdasarkan kriteria ESPEN, penyakit penyerta, skor SOFA, diagnosis saat dirawat, dan kadar CRP. Dilakukan analisis korelasi antara asupan energa dan protein dengan perubahan lingkar lengan atas (LLA). Hasil: Terdapat 55 subjek dengan rerata subjek berusia 50,58±14.21 tahun. Subjek
didominasi oleh laki-laki 42(76%) subjek. Sebagian besar subjek dengan status gizi
malnutrisi 33(60%). Rerata berat badan, tinggi badan dan IMT secara berturut-turut
adalah sebesar 56,6±15,8 kg, 165 (150-175) cm, dan 21.1±5,6 kg/m2. Berdasarkan
skor SOFA, subjek penelitian terbanyak memiliki skor SOFA 0-6 40(72,7%) (risiko
rendah). Rerata asupan energi dan protein subjek sebesar 16,51±6,4 kkal/kgBB/hari
dan 0.7(0-1.8) g/kgBB/hari. Sebagian besar subjek memiliki asupan energi tidak
cukup 46(84%) dan asupan protein tidak cukup 36(66%). Rerata LLA subjek saat
admisi adalah 26,6±3,86 cm dan rerata LLA setelah 7 hari perawatan sebesar
25,6±3,61 cm. Terdapat perbedaan bermakna perubahan LLA setelah 7 hari
perawatan di ICU (p<0.001), namun tidak terdapat korelasi antara asupan energi
dan asupan protein terhadap perubahan ukuran LLA. Selain asupan, tingkat
inflamasi dapat menjadi faktor yang dapat mempengaruhi tingginya katabolisme namun tidak dilakukan analisis hubungan antara tingkat inflamasi terhadap LLA pada subjek penelitian ini. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara asupan energi dan protein selama 7 hari pertama perawatan dengan perubahan ukuran LLA selama 7 hari perawatan.

Background: Critical illness is often associated with malnutrition due to metabolic changes and decreased intake. A hypermetabolic state without adequate energy and protein support leads to increased protein and energy substrate consumption, immune system dysfunction, and organ impairment. Assessing nutritional status in critically ill patients is crucial for managing and evaluating nutritional therapy. Several studies have reported benefits of adequate energy and protein intake on weight changes, but weighing patients in the ICU is challenging due to factors like decreased consciousness and immobility. One anthropometric measurement that's relatively easy to conduct for evaluating nutritional status is the mid-upper arm circumference (MUAC), reflecting muscle mass as a body protein reserve. MUAC is recommended as a nutritional parameter for its simplicity and usefulness in assessing malnutrition. This study aims to examine the relationship between energy and protein intake and changes in MUAC in critically ill patients treated in the ICU. Methods: This study is a prospective observational study of critically ill patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RS Universitas Indonesia. Subject characteristics included age, gender, height, weight, body mass index (BMI), NRS 2002 score, nutritional status based on ESPEN criteria, comorbidities, SOFA score, admission diagnosis, and CRP levels. Correlation analysis was performed between energy and protein intake and changes in mid-upper arm circumference (MUAC). Results: There were 55 subjects with a mean age of 50.58±14.21 years. The majority were male, comprising 42 patients (76%). Most subjects were malnourished, totaling 33 (60%). Mean weight, height, and BMI were 56.6±15.8 kg, 165 (150-175) cm, and 21.1±5.6 kg/m2, respectively. Based on SOFA score, most subjects had a SOFA score of 0-6 (40 patients, 72.7%), indicating low risk. Mean energy intake was 16.51±6.4 kcal/kg/day, and mean protein intake was 0.7 (0-1.8) g/kg/day. A majority had inadequate energy intake (46 patients, 84%) and protein intake (36 patients, 66%). Mean MUAC at admission was 26.6±3.86 cm, and mean MUAC after 7 days of treatment was 25.6±3.61 cm. There was a significant decrease in MUAC after 7 days in the ICU (p<0.001), but no correlation was found between energy or protein intake and changes in MUAC. In addition to intake, inflammation levels could influence high catabolism, but no analysis was performed on the relationship between inflammation levels and MUAC in this study. Conclusion: There was no relationship between energy and protein intake during the first 7 days of treatment and changes in MUAC during 7 days of treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nugraha Dhanadipa
"Kendaraan roda empat merupakan diperlukan pemantauan secara berkala dan rutin agar tetap optimal dalam operasionalisasinya. Industri 4.0 memperkenalkan pemanfaatan Internet sebagai IoT sehingga segala keadaan teknologi dapat terhubung langsung dengan internet dan dapat diketahui dengan mudah oleh manusia sebagai penggunanya. Dalam hal kendaraan roda empat, pemantauan perlu dilakukan pada setiap komponen termasuk komponen mesin salah satunya air filter. Dengan menerapkan IoT, terdapat sebuah aplikasi yang dapat mengetahui keadaan air filter pada kendaraan roda empat. Aplikasi tersebut menerapkan nilai caf sebagai nilai yang menggambarkan kondisi air filter pada kendaraan roda empat. Nilai caf tersebut akan semakin menurun apabila air filter sudah berada pada kondisi semakin buruk.
Penelitian ini akan melakukan verifikasi terhadap kondisi air filter yang ditunjukan pada aplikasi tersebut dengan menggunakan alat alternatif. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 3 klasifikasi berkendara yang berbeda dan pada tingkat udara yang tidak sehat dengan malukan perjalanan sejauh 300 km. Kendaraan roda empat yang digunakan memiliki mesin bensin 1500 cc dengan kondisi air filter yang baru pada setiap perjalanannya. Penelitian dilanjutkan dengan memverifikasi nilai caf yang diperoleh dengan alat alternatif untuk mengetahui nilai error yang diperoleh pada aplikasi. Alat alternatif akan menggunakan cahaya sebagai langkah untuk mengetahui kondisi air filter.
Hasil akhir dari penelitian ini yaitu pengembangan dari aplikasi yang telah dikembangkan sebelumnya menggunakan hasil verifikasi sebagai dasarnya. Hasil verifikasi dari penelitian dapat menentukan pengaruh dari klasifikasi berkendara dan tingkat polusi udara pada penurunan kondisi air filter. Kondisi air filter akan diberikan dalam nilai persen baik pada saat pengambilan data maupun hasil verifikasi. Persen kondisi air filter dapat memberikan estimasi waktu penggantian filter udara dalam bulan tersisa sehingga dapat diketahui kondisi terbaik air filter merupakan hasil dari salah satu klasifikasi berkendara. Estimasi air filter baru berdasarkan produsen adalah 18 bulan apabila digunakan pada lingkungan yang kotor. Estimasi produsen tersebut akan dibandingkan dengan estimasi dari hasil pendekatan matematika dan pendekatan linear.

Four-wheeled vehicles are required regular and routine monitoring to remain optimal for operation. Industry 4.0 introduces the use of the Internet as an IoT so that all technological things can be connected directly to the internet and can be easily used by humans as users. In the case of four-wheeled vehicles, monitoring needs to be carried out on every component including the engine components, one of which is the air filter. By implementing IoT, there is an application that can determine the state of the air filter on four-wheeled vehicles. The application applies the value of caf as a value that describes the condition of the water filter on four-wheeled vehicles. The value of the caf will decrease if the water filter is in a worse condition.
This research will verify the condition of the water filter shown in the application by using an alternative tool. The study was conducted using 3 different driving classifications and at unhealthy air levels by traveling 300 km. The four-wheeled vehicle has a 1500 cc petrol engine with new air filter conditions on each trip. The study continued by verifying the value of caf obtained with alternative tools to determine the value of the error obtained in the application. An alternative tool will use light as a way to find out the condition of the filter water.
The final result of this research is the development of an application that has been developed previously using the results of verification as a basis. Verification results from the study can determine the effect of the classification of driving and air pollution levels on decreasing air filter conditions. The condition of the filter water will be given in percent values both at the time of data collection and verification results. Percent of air filter conditions can provide an estimate of the time of air filter replacement in the remaining months so that it can be seen the best condition of the air filter is the result of one of the driving classifications. The estimated new filter water based on the manufacturer is 18 months when used in a dirty environment. Estimates of these producers will be compared with estimates of the results of a mathematical approach and a linear approach."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risma Hayati
"Energi berfungsi sebagai sumber energi metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu, dan aktivitas fisik. Pemenuhan energi pada anak dapat tergantung dari ketepatan pemberian makannya. Asupan energi di bawah kebutuhan normal anak, dapat menyebabkan kekurangan energi kronis (KEK) hingga pada kondisi stunting. Penelitian bertujuan mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan asupan energi pada anak usia 25-30 bulan di Gambir dan Sawah Besar, Jakarta Pusat tahun 2019. Penelitian menggunakan data sekunder penelitian case control dari penelitian sebelumnya. Total sampel sebanyak 107 anak. Analisis data menggunakan uji korelasi, uji T dan regresi linier ganda. Hasil Penelitian: rata-rata asupan energi 1057,6 kkal (<80%AKG), terdapat korelasi sangat kuat rata-rata asupan energi dengan variabel asupan protein (nilai r=0,781, p=0,0005), lemak (nilai r =0,816, p=0,0005) dan karbohidrat (nilai r=0,881, p=0,0005). Hasil uji T diperoleh rata-rata asupan energi berbeda secara bermakna pada variabel asupan minimum yang dapat diterima (p = 0,024), jumlah konsumsi susu (p = 0,0005), berat badan lahir (p = 0,045) dan jumlah anggota keluarga (p=0,023). Faktor dominan adalah asupan karbohidrat dengan nilai koefisien beta =0,557. Kesimpulan: Dinas Kesehatan, posyandu, ibu balita sebaiknya lebih memperhatikan pemenuhan asupan energi sesuai kebutuhan zat gizi makro usia anak.

The fulfillment of energy in children can depend on the accuracy of feeding. Energy intake below the normal needs of children can cause chronic energy deficiency (KEK) to stunting. This study aims to determine the dominant factors associated with energy intake in children aged 25-30 months in Gambir and Sawah Besar, Central Jakarta in 2019. This study uses secondary data from case control studies from previous studies. The sample is 107 children. Analysis using correlation test, T test and multiple linear regression. Research results: the average energy intake is 1057.6 kcal, the correlation of the average energy intake is very strong on the variables of protein intake (r value = 0.781), fat (r value = 0.816) and carbohydrates (r value = 0.881). T test results: the average energy intake was significantly different in the variables of acceptable minimum intake (p = 0.024), the amount of milk consumption (p = 0.0005), birth weight (p = 0.045) and the number of family members (p = 0.045). = 0.023). Dominant factor: carbohydrate intake (beta coefficient = 0.557). Conclusion: The Health Office, Posyandu, mothers of children under five pay attention to the fulfillment of energy intake according to the needs of macronutrients for children's age."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Netti Yaneli
"Masa awal anak-anak ditandai dengan pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Mencukupi kebutuhan energi yang adekuat merupakan hal yang sangat penting bagi anak. Akibat defisiensi energi pada balita bisa menyebabkan berbagai macam masalah gizi seperti stunting, wasting, maupun underweight. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan asupan energi balita usia 24 bulan di Tangerang tahun 2019. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan yaitu deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Total sampel sebanyak 100 anak. Analisis data menggunakan uji chi square dan regresi logistik ganda. Hasil analisis bivariat menunjukkan Minimum Dietary Diversity (MDD), Minimum Acceptable Diet (MAD), dan jumlah konsumsi susu memiliki hubungan yang signifikan terhadap asupan energi. Analisi multivariat menunjukkan bahwa faktor dominan yang berhubungan dengan asupan energi adalah Minimum Dietary Diversity (MDD) (OR:6,8), setelah dikontrol oleh Minimum Meal Frequency (MMF), jumlah konsumsi susu, tingkat pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu. Anak yang MDD nya tidak tercapai berpeluang 6,8 kali memiliki asupan energi yang kurang. Faktor dominan lainnya yang berhubungan dengan asupan energi pada balita adalah Minimum Acceptable Diet (MAD) (OR:10,6), setelah dikontrol oleh pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu. Anak yang MAD nya tidak tercapai berpeluang 10,6 kali memiliki asupan energi yang kurang.

Early childhood is characterized by rapid growth (growth spurt). Meeting adequate energy needs is very important for children. Due to energy deficiency in toodlers, it can cause various kinds of nutritional problems such as stunting, wasting, and underweight. This study aims to determine the dominant factors associated with the energy intake of children aged 24 months in Tangerang in 2019. This research uses quantitative methods. The type of research used is descriptive with cross sectional approach. The total sample is 100 children. Data analysis is used chi square test and multiple logistic regression. The results of the bivariate analysis shows that the dominant factor associated with energy intake is Minimum Dietary Diversity (MDD), Minimum Acceptable Diet (MAD), and the amount of milk consumption had a significant relationship to energy intake. Multivariate analysis shows that the dominant factor associated with energy intake is Minimum Dietary Diversity (MDD) (OR:6,8), after being controlled by Minimum Meal Frequency (MMF), mother’s education level, maternal occupation, family income, and total milk consumption. Children whose MDD is not achieved are 6,8 times likely to have less energy intake. Another dominant factor related to energy intake in children is the Minimum Acceptable Diet (MAD) (OR:10,6), after being controlled by maternal education and maternal occupation. Children whose MAD is not achieved are 10,6 times more likely to have less energy intake."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>