Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"Fiscal desentralization is a fiscal policy taken by government to balance equality fiscal capacity between local-central government, as well as amongst local government. By concept or formula, it is fairly accepted as a good model of fiscal policy. This research applies ..."
POL 5:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurkholis
"ABSTRAK
Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001, dan telah membawa perubahan yang besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Saiah satu usaha dalam meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat pembangunan perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana percepatan pertumbuhan kehidupan berdemokrasi dalam era desentralisasi adalah kebijakan pembentukan daerah. Pembentukan daerah yang secara massive terjadi adalah berupa pemekaran wilayah, khususnya wilayah Kabupaten/Kota. Terkait dengan kebijakan desentralisasi dan pembentukan daerah, ukuran yang optimal bagi pemerintahan daerah menemukan urgensinya karena memiliki keserasian dan kesinergian dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah. Studi ini berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang signifikan dipertimbangkan dalam proses pemekaran daerah selama ini dan mengukur ukuran optimal bagi pemerintahan Kabupaten/Kota yang mendukung terwujud dan tercapainya tujuan dari kebijakan desentralisasi. Dari hasil studi ini, nantinya akan dapat disimpulkan bagaimana pola reformasi terhadap pemerintahan Kabupaten/Kota di Indonesia yang sehanisnya dilakukan. Hasil analisis dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa suatu wilayah Kabupaten/Kota akan memiliki peluang besar/kecenderungan untuk dimekarkan selama ini adalah apabila daerah tersebut (berdasarkan urutan bobot pertimbangan, dari yang terbesar sampai terkecil): a) terletak di luar Jawa dan Bali; b) daerah berstatus Kabupaten; c) memiliki rasio PDS terhadap pengeluaran total yang besar; d) bukan daerah Baru basil pemekaran; e) memiliki PDRB yang berkontribusi besar terhadap PDRB total (atas dasar harga berlaku) seluruh Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi; f) mempunyai jumlah penduduk yang besar; g) mempunyai wilayah yang cukup luas; h) mendapatkan alokasi DAU yang besar; dan i) memiliki nilai PDRB yang relatif kecil. Dari faktor-faktor yang signifikan menjadi pertimbangan dilakukannya pemekaran wilayah selama ini tersebut, terlihat bahwa kinerja dari pembangunan daerah masih belum/tidak signifikan untuk dipertimbangkan. Hasil regresi fungsi translog dan fungsi kuadratik dengan menggunakan pendekatan minimisasi pengeluaran per kapita menunjukkan eksistensi economies of scale dari besarnya jumlah penduduk Kabupaten/Kota. Dengan menggunakan pendekatan maksimisasi, ditunjukkan pula bahwa pengeluaran Pemerintah KabupatenlKota selama ini belum efisien dan belum mendukung upaya pencapaian kinerja pembangunan seperti yang dicita-citakan.
Dengan berbagai ketentuan, variabel yang signifikan digunakan dalam pengukuran ukuran optimal adalah jumlah penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan minimisasi dan maksimisasi, ukuran optimal bagi KabupatenlKota yang diperoleh tidak tunggal (berbeda-beda), baik antara Kabupaten dan Kota, antar setiap jenis pengeluaran per kapita, maupun antar waktu. Hasil perhitungan dengan pendekatan maksimisasi dan minimisasi menunjukkan adanya sating kesinergian. Secara umum, ukuran jumlah penduduk yang optimal bagi daerah KabupatenlKota agar pengeluaran per kapita dapat minimum dan jumlah penduduk minimal agar PDRB per kapita dapat meningkat adalah sekitar 2 (dua) juta jiwa. Realitas ukuran Pemerintah Kabupaten/Kota yang secara umum relatif kecil dibandingkan dengan ukuran optimal dan ukuran minimal, menunjukkan masih belum efisiennya pengeluaran Pemerintah Kabupaten/Kota, dan juga belum mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan selama ini justru membuat semakin tidak tercapainya tujuan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maolana Amin Iskandar
"Penelitian ini mencoba mengumpulkan bukti empiris terkait komponen APBD meliputi belanja modal, dana perimbangan, serta kemandirian fiskal untuk dinilai pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah pada Pemerintah Kabupaten/Kota di pulau Jawa periode 2006-2010. Penelitian ini juga menguji pengaruh Human Development Index (HDI), pertumbuhan jumlah penduduk, statistik politik, serta kualitas pengelolaan keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel.
Hasil pengujian menyatakan bahwa kemandirian fiskal, HDI, dan statistik politik berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Kesimpulan lain dalam penelitian ini adalah belanja modal, dana perimbangan, kualitas pengelolaan keuangan daerah, dan pertumbuhan jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

This study attempted to collect empirical evidence related to certain components of local budget which are capital expenditure, intergovernmental transfer, and fiscal autonomy to analyze its influence towards local economic growth of regencies/municipalities in Java for the period 2006-2010. Moreover, this study tried to evaluate the effect of Human Development Index (HDI), population growth, political statistics, and quality of local government's financial management. This study is a quantitative study using panel data.
This study concluded that fiscal autonomy, HDI, and political statistics influence local economic growth. In addition, capital expenditure, intergovernmental transfer, quality of local government's financial management, and population growth do not influence local economical growth.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Kurniawan
"ABSTRAK
Tuntutan pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar khususnya kesehatan bagi masyarakat sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan sangat tinggi. Sementara kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong perbaikan pelayanan dasar melalui desentralisasi sejak tahun 1999 belum terlihat hasilnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan pengaturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah otonom. Penerapan kebijakan SPM bagi daerah otonom mulai diperkenalkan tahun 2000 dengan berlakunya PP No. 25 Tahun 2000, namun baru efektif sejak keluarnya SE Mendagri No.100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002. Namun, belum sempat daerah otonom menerapkan SPM sesuai amanat peraturan perundangundangan, UU No. 22 Tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini dilanjutkan dengan terbitnya PP No. 65 tahun 2005 yang memperkuat posisi SPM untuk diterapkan di daerah otonom. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana pengaturan SPM di instansi Pemerintah Pusat dan instansi Pemerintah Daerah, dan efektivitas pengaturan tersebut di daerah otonom, serta faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat efektivitas pengaturan SPM di daerah otonom. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar belum mampu diberikan oleh pemerintah (Pusat dan Daerah) secara optimal, meskipun Pemerintah terus mengembangkan pengaturan terkait penerapan SPM di daerah otonom. Kedua, pengaturan SPM bagi daerah otonom belum efektif karena peraturan perundang-undang yang mengatur SPM tidak menegaskan jenis pelayanan dasar yang wajib diatur dan rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan SPM tersebut tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Ketiga, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan SPM di daerah otonom. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengaturan SPM bagi daerah otonom adalah dengan merevisi Pasal dalam UU Pemerintahan Daerah yang berisi pengaturan tentang jenis pelayanan dasar yang menjadi urusan pemerintahan yang wajib diatur melalui pengaturan SPM. Selain itu, merevisi pedoman penyusunan dan penerapan SPM agar lebih sederhana dan tidak berbelitbelit, sehingga memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk berkoordinasi dalam rangka mencapai target akhir SPM yaitu mewujudkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar sesuai amanat.

ABSTRACT
Demands on the fulfillment of basic service requirements, public health in particular as it grafted in the constitution and in many laws and regulations, are very high. Meanwhile, the government policies in order to encourage the amelioration of basic services through decentralization since 1999 has not seen the results. In order to do so, the Government has established the need for Minimum Service Standards (MSS) regulation for the self-government regions. Actually in 2000, the implementation of MSS policy for the autonomy regions have had introduced with the enactment of PP No. 25/2000, but it was going into effect since the issuance of SE Mendagri No.100/757/OTDA July 8, 2002. However, before the autonomy regions yet had time to implement the MSS as mandated by the legislation, Law number 22/1999 was altered to Law number 32/2004 regarding Local Governance. These changes are followed by the issuance of PP. 65/ 2005 to strengthen the position of MSS to be implemented in autonomy regions. This research begin with the main issue about how the MSS regulation in the government agencies and local government agencies, and the effectiveness of these regulations in autonomy regions, as well as the factors that encourage and impede the effectiveness of the MSS regulations in autonomy regions. The answer to the issues of this research was held in juridical-normative approach, by studying secondary data in a literature study manner using data collecting tool with data processing and analysis methods in qualitative approach and descriptive-analytical and prescriptive-analytical form.
This research has found several findings. First, despite still continue developing regulation regarding MSS implementation in autonomy region, the Government (both central and local) has not been able to give the the fulfillment of basic service requirements in an optimal fashion that required by the constitutional mandate. Secondly, MSS regulation for autonomy regions has not been effective yet due to laws and regulations governing the MSS does not emphasize the type of basic services that must be regulated and the formulation of norms and validity of regulation norms that are made as the legal basis of policies such MSS does not comply with the law principles and can be said invalid. Third, there are many factors that affecting the realization of MSS in the autonomy regions. For the matter of that, to comply ius constituendum, there is no other way to do to improve the MSS regulation for the autonomy regions other than to revise the articles in Law regarding Local Governance that contain the regulation regarding the types of basic services that become governance affair that must be regulated through the MSS regulation. And what is more, to revise guidance for the drafting and implementation of MSS to be more simple and not complicated, making it easier for the Government and Local Government to coordinate in order to achieve the MSS final target that is to actualize the public welfare through the fulfillment of basic service requirements as mandated by the constitution.
"
2011
T29260
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Emie Yuliati
"Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001 dan telah membawa perubahan besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Salah satu bentuk dari kebijakan tersebut adalah pemekaran daerah. Pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pembangunan perekonomian daerah. Dalam perkembangannya, menurut beberapa ahli pemekaran daerah tidak membawa perubahan yang positif pada kesejahteraan masyarakat. Melihat hal tersebut, penelitian ini bermaksud meneliti lebih lanjut apakah pembentukan daerah otonomi baru karena pemekaran daerah setelah berusia 8 (delapan) tahun terjadi peningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan percepatan pembangunan ekonomi.
Penelitian ini meneliti kabupaten baru yang dimekarkan tahun awal desentralisasi yaitu tahun 1999 untuk melihat perubahan yang berarti pada fokus perekonomian daerah dan pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini juga metode treatment-control. Disamping dibandingkan dengan daerah induknya, daerah otonomi baru juga dibandingkan dengan daerah kontrol yaitu daerah yang tidak dimekarkan pada propinsi yang sama.
Fokus perekonomian daerah menggunakan indikator pertumbuhan PDRB, pertumbuhan kontribusi PDRB kabupaten terhadap PDRB propinsi, pertumbuhan PDRB per kapita dan pertumbuhan prosentase penduduk tidak miskin. Sedang fokus pelayanan kepada masyarakat menggunakan indikator pendidikan, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, serta kualitas infrastruktur.

Indonesia's decentralization policy expressly commenced in 2001 and has brought great changes to the conditions of the regional economy. One of them is pemekaran daerah. This policy is expected to improve the welfare of society through improving public services and accelerating regional economic development. In its development, according to some expert, pemekaran daerah does not bring positive change to the welfare of society. Seeing this, this research intends to investigate further whether the formation of new regions because of pemekaran daerah after the age of 8 (eight) occurred for increasing the welfare of society through improved public services and acceleration of economic development.
This study examines a new district that divided the early years of decentralization in 1999 to see meaningful change in the focus of the regional economy and public services. The study also used treatment-control method. Besides, compared with daerah induk, the new regions also compared with daerah kontrol that is not dimekarkan in the same province.
The focus of regional economic indicators are GDRP growth, GDRP growth in the district's contribution to provincial's GDRP, the growth of GDRP per capita and percentage growth in population is not poor. The focus of public services using education, the availability of facilities and personnel healths and infrastructure quality indicators."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2011
T28352
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nukman
"Tesis ini membahas pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005 - 2009 oleh pemerintah terhadap pelaksanaan pembangunan di daerah tertinggal di Indonesia. Kebijakan pemerintah pusat yang diwujudkan dalam instrumen kebijakan fiskal berupa dana perimbangan (Intergovermental transfer). Besaran dana perimbangan yang telah diberikan pemerintah pusat diharapkan akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempercepat proses pembangunan di daerah tertinggal.
Analisis desentralisasi fiskal pada penelitian ini difokuskan pada indikator pengeluaran, yang merupakan rasio total pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah pusat, serta menggunakan satu set variabel kontrol yang terdiri dari Level Awal Pertumbuhan, Pertumbuhan Penduduk, Investasi, dan Human Capital sebagai variabel independen dan pertumbuhan PDRB percapita sebagai variabel dependen. Data berupa data panel dan diestimasi dengan pendekatan Least Square Dummy Variabel (LSDV) atau dikenal juga sebagai Fixed Effect Model (FEM) dengan crosssection weigth (pembobotan).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal namun nilai pertumbuhan yang dihasilkan relatif masih sangat kecil sehingga rata-rata PDRB per kapita di daerah tertinggal masih jauh di bawah rata-rata PDRB perkapita nasional.

This thesis discusses the implementation of the National Mid-term Development Plan (RPJMN) 2005 - 2009 by the government in developing disadvantaged regions in Indonesia. Central government policies embodied in the instruments of fiscal policy in the form of grants (Intergovernmental transfer). The amount of grants which is provided by the central government is expected to accelerate economic growth and development in disadvantaged regions.
Analysis of fiscal decentralization in this study focused on expenditure approach, which is the ratio of total expense of local government to the total expense of the central government, as well as applying a set of control variables consist of Initial Level of Growth, Population Growth, Investment, and Human Capital as independent variable and regional srowth as dependent variable. Panel data is used and estimated by adopting Least Square Dummy variable approach (LSDV), also known as Fixed Effect Model (FEM) with a cross-section weight.
The results indicate that the effect of fiscal decentralization have positive and significant impact on economic growth in disadvantaged regions, but the resulting growth rate is relatively small, therefore the average of GDP per capita in disadvantaged regions is far behind the average of national GDP per capita.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
JIP 43(2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>