Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35284 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Gigih Alfrian Pratama Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk menjawab fenomena berupa kepemilikan kas berlebih yang signifikan di pemerintah daerah dan motivasi yang mendasarinya. Permasalahan ini bermula saat pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk tidak segera menggunakan kas yang diterima dan mengendap sebesar Rp180 triliun hingga Rp200 triliun dalam rentang 2018 – 2020. Jumlah tersebut antara lain berasal dari transfer dana perimbangan pemerintah pusat untuk membiayai belanja daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan pengarsipan, observasi, dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Unit analisis berupa tiga pemerintah daerah di Pulau Jawa berdasarkan posisi saldo Kas dan Setara Kas yang relatif signifikan tahun 2018 – 2019 di samping pertimbangan besaran nilai alokasi transfer dana perimbangan. Logika Institusional dijadikan landasan untuk mengetahui faktor apa yang memotivasi atau menjadi tantangan pemerintah daerah mengambil kebijakan tersebut dan mengkombinasikan dengan Expected Comparative Utility Theory. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi sebagai symbolic carrier dan aktivitas rutin sebagai material carrier menjadi logika yang saling berkompetisi terkait penyebab fenomena tersebut di mana faktor terakhir menjadi logika dominan. Perilaku SKPD dan penyedia barang/jasa yang cenderung mengajukan tagihan pembayaran di akhir periode berdampak pada kelebihan kas daerah dan selanjutnya diambil kebijakan rasional berupa penempatan di deposito pada bank BUMN/BPD dalam rangka implementasi risk aversion."
Jakarta: Direktorat Jenderal Pembendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2022
336 ITR 7:2 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irhash A. Shamad
"Gejolak tuntutan otonomi daerah yang muncul di era Reformasi, mengindikasikan mandegnya pembangunan politik dan proses demokratisasi di Indonesia selama ini. Sejak lebih kurang empat dasawarsa yang lalu, rezim Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya, telah memperlihatkan hegemoni yang berlebihan bahkan cendrung mendominasi terhadap kehidupan berbangsa. Pluralisme kultural dalam negara bangsa semakin tidak dihargai, ketika sistem politik itu memaksakan homogenitas struktural dan kultural melalui jalur birokrasi yang sentralistis. Pembangunan ekonomi yang diwarnai intervensi politik dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin menusuk ke unit sosial terbawah, telah menggerogoti kemandirian etnik di banyak daerah.
Pemberlakuan UUPD tahun 1979 sebagai upaya penyeragaman sistem pemerintahan, ditujukan untuk mengefektifkan pelaksanaan pembangunan di tingkat pedesaan. Pemberlakuan UU ini di Sumatera Barat telah mengakibatkan perubahan-perubahan struktural secara mendasar pada sistem sosial yang sudah mapan dan nyaris tidak pernah terusik semenjak masa kolonial. Pemecahan Nagari menjadi Desa telah menimbulkan berbagai akses negatif tidak hanya terhadap struktur kepemimpinan tradisional, juga berimplikasi pada perubahan-perubahan kultural dalam masyarakat Sumatera Barat. Berbagai anomi dan anomali dalam kehidupan masyarakat pedesaan terjadi akibat perubahan ini, pola kultur tradisional komunitas yang demokratik dan egaliter semakin terserabut di akarnya Namun demikian, ketika struktur baru "dipaksakan", ternyata tidak menimbulkan konflik eksternal yang berarti pada komunitas yang dulunya punya elit kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pusat ini. Signifkansi penulisan ini justru ditempatkan pada persoalan bagaimana komunitas Minangkabau beserta elitnya -pada waktu ini- menanggapi sebuah perubahan.
Bila ditelusuri secara teoritis, terdapat dua kelompok kepentingan, yaitu : di tingkat subordinasi adalah komunitas Minangkabau dan di tingkat superordinasi (kelompok dominan) adalah Pemerintah Pusat. Sementara Pemerintah Daerah sebagai kelompok menengah berada di antara keduanya, setidaknya begitu menurut konsepsi formalnya. Benturan kepentingan antara kelompok dominan dan kelompok subordinasi telah menempatkan kelompok menengah pada posisi "ketegangan". Dari sisi inilah peran elit kepemimpinan daerah telusuri. Metodologi strukturisme sejarah digunakan dalam melihat faktor-faktor penyebab (causal factors) dari perubahan struktural yang terjadi di daerah ini.
Tiga priode pemerintahan di Sumatera Barat selama Orde Baru yang dijadikan subyek penelitian untuk pembahasan ini adalah : Priode Kepemimpinan Harlin Zain (1966-1977), Anwar Anas (1977-1987), dan Hasan Basri Darin (1987-1997). Ketiga priode ini masing-masing memiliki karakteristik yang tidak lama dan dalam kondisi politik yang berbeda pula Harlin Zain yang tampil di awal pemerintahan Orde Baru adalah seorang ekonom sipil yang tidak memiliki basis sosial di daerah ini. Sementara kondisi daerah yang "terpuruk" akibat PRRI, sangat memerlukan penanganan yang tepat. Program-program yang dijalankan dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan politik masyarakat di daerah ini, ternyata berhasil meletakkan fondasi-fondasi sebagai landasan yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi selanjutnya. Faktor keberhasilan ini, selain ditentukan oleh strategi dan pendekatan yang baik terhadap masyarakat, juga sangat diuntungkan oleh adanya hubungun simbiosis antara daerah dan pemerintah pusat di awal pemerintahan rezim ini. Namun demikian prioritas yang diberikan terhadap aspek ekonomi telah gagal dalam mengembangkan kesadaran subyektif kelompok semu (elit tradisional) kepada kesadaran komunitas mereka, sehingga resistensi kultural komunitas ini tidak makin menguat dalam progam pemulihan yang dijalankannya.
Azwar Anas yang teknokrat dan militer kemudian melanjutkan kepemimpinan Harun Zain. Program pembangunan ekonomi yang dirintis sejak masa Harun Zain telah memapankan struktur perekonomian masyarakat. Akan tetapi ketergantungan pada pemerintahan pusat tidak makin menurun. Otoritas kekuasaan pusat mulai menggerogoti hak-hak sosial komunitas di daerah dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979. Pemerintahan Nagari yang telah dikukuhkan kembali di masa Harun Zain, dimentahkan lagi justru juga oleh pemerintah Daerah sendiri, yaitu dengan menetapkan Jorang -yang dulu merupakan bagian dari Nagari- menjadi Desa sebagai unit pemerintahan terbawah. Pertimbangan ekonomi serta peluang mobilitas lebih mempengaruhi elit daerah dalam mengambil keputusan ini. Di sini, terlihat kecenderungan kelompok menengah terseret ke kepentingan kelompok dominan. Kondisi teknis seperti ini tidak cukup untuk memunculkan pemimpin yang berorientasi pada pembentukan kesadaran ideologi kelompok subordinasi, apalagi sentralisme birokrasi pemerintah pusat makin mewarnai perkembangan politik saat itu, sehingga tidak terpenuhi prasyarat pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik.
Dalam priode kepemimpinan Hasan Basri Durin muncul kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kesadaran ini kelihatannya lebih dipengaruhi oleh terkendalanya berbagai program pembangunan ketimbang berkurangnya otoritas pusat di daerah. Sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu sendiri serta munculnya berbagai konflik internal telah mendorong pemerintah daerah mencari solusi-solusi baru dalam format lama. Manunggal Sakato don Musyawarah Pembangunan Nagari sebagai aplikasi prinsip kegotong royongan dan musyawarah (dalam nilai tradisional) yang diupayakan untuk menggalang partisipasi rakyat dalam pembangunan, telah "menjawab" tuntutan masyarakat untuk kembali ke format pemerintahan nagari. Meskipun dalam prakteknya masih dibungkus dengan budaya formalisme Orde Baru, namun apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini, setidaknya telah sedikit menggeser pola kebijakan pemerintah daerah dari kepentingan kelompok dominan ke kesadaran kepentingan kelompok semu (komunitas).

Hegemony of Central Politics and Local Ethnics Autonomy: Leadership of West Sumatera in New Order Indonesia The turbulence of regional autonomy demand that arise during Reformation era indicates slowing political and democratization development process in Indonesia so far. Since the past approximately four decades, the New Order regime in running its government has shown excessive hegemonic power - even trend to dominate-towards the nation life. Cultural pluralism in the nation state is no longer appreciated, when the political system forced structural and cultural homogeneity through centralized by political intervention and exploitation of natural resources that penetrated the lowest social unit, have undermined ethnic self-reliance in many region.
Enactment of WPD 1979 (Villages Government Laws 1979) as an act of homogenization of the government system, is intended to make more effective development implementation in village level. Enactment of this law in West Sumatera has caused fundamental structural changes in the established social system which is almost unchanged since the colonial period Splitting of Nagari into Desa have caused various negative excess, but also it has implication towards cultural changes in the people of West Sumatera . Various anomie(discrepancies) and anomalies in the life of village community occurred due to this changes, democratic and egalitarian as traditional cultural pattern of this community has become more uproot. However, when the new structure is "forced", it turned that it not caused significantly external conflict in this community which previously has aitical elites towards the policies of the central government one. The significance of this writing is the problem how the Minangkabau community and its elites -presently- respond a change.
If we trace it theoretically, there are two interest groups, namely: in subordination level is the Minangkabau community and in super ordination level (dominant group) is the central government. While the regional government as medium group that exists between them, at least according its formal conception. Clash of interest between the dominant group and subordinate group has placed the medium group in "strain" position. From there, the role of regional elite leadership will trace. The historical structures methodology is used in considering the causal factors of structural change in the established social system in this region.
The three government periods in the West Sumatera during the New Order that become the subject of this research to be discussed is : Harlan Zain leadership period (1966-1977), Azwar Anas (1977-19871 and Hasan Basri Durin (1987-1997). The three periods have dissimilar characteristics and it was also exist within different political condition. Harun Zain that emerged dining the beginning of New Order government is a civil economist that do not have social basis in this region. While the condition of the region that was in crisis due to PRRI badly, needed a proper handling. It turned out the programs that he made in order to recover the social and political of the community in this region have become foundation needed in the next economic development. This successful factor, only determined by proper strategy and approach towards the people, but also favored by existence of mutual Symbiosis relationship between the region and the central government at the beginning of this regime. However, the priority given to economic aspect has failed in developing subjective quasi group awareness (traditional elite) to their community awareness that this community cultural resistant was not growing within the recovery program that he performed.
Azwar Anas who was a technocrat and military then continued the leadership of Harlin Zain. The economic development that has been initiated since the period of Harlin Zain has made economic structure of this community established. However, the dependency on the central government was not decreased. The authority of the central government started to undermine the social rights of the community in the region with the enactment of UUPD 1979. The Nagari government that has been reestablished during Harun Zain period, failed even in the hands of the regional government itself, namely by deciding that Jorang -which was formerly part of the Nagari-become Desa as the lowest government unit. Economic consideration and opportunity for mobility affects the regional elite in making this decision. At this point, there is tendency that the medium group to be drifted to the interest of the dominant group.Such technical condition is not sufficed to bringing up a leader that oriented to formation of ideological awareness of the subordinate group, even more with centralism of central government bureaucracy that characterized the political development at that time, not sufficed the pre conditions for formation of conflict interest group
During the leadership of Hasan Basri Durin give a rise to awareness towards the community group interest It seems that this awareness is more affected by various imperfect development programs rather than the decreasing central government authority in this region. The apathy attitude of the people towards implementation and maintenance of the development result itself and the growing internal conflicts have encouraged the regional government to find out new solution in old format. Manunggal Sakato and Musyawarah Pembangunan Nagari as application of cooperation and consensus (in the traditional values) to mobilize people participation in the development, have "responded" the people demand to return to Nagari government format. Even though in its implementation it is still framed with formalism of New Order, however, the efforts done by the regional government at this time, at least have shifted the policy of the regional government from dominant group interest to quasi group interest (community).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T7594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armin
"Hubungan pemerintah pusat dan daerah sejak awal berdirinya negara kesatuan republik Indonesia selalu mengalami pasang surut. Tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah dari masa ke masa mengalami dinamika yang cukup tinggi. Hal ini menunjukkan pola hubungan pusat daerah masih mencari bentuk."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2018
342 JKTN 11 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Galih Pratiwi
"Terdapat ketidakjelasan pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan peraturan daerah (Perda) yang dilakukan melalui harmonisai, evaluasi dan/atau fasilitasi. Secara sifat dan tujuan pengawasan tersebut merupakan hal yang sama sehingga dalam pelaksanaannya dapat menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi tidak efektif. Penelitian yuridis normatif ini, dilakukan dengan pendekatan penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum yang menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembentukan peraturan daerah. Hasil penelitian menunjukan, terdapat dualisme rezim pengaturan mengenai pembentukan Perda serta terdapat perbedaan kekuatan mengikat dari harmonisai dengan evaluasi/fasilitasi yang menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi kurang efektif dan efisien. Selain itu, permasalahan terkait sumber daya Perancang juga menyebabkan rancangan Perda yang disusun masih memiliki kualitas yang rendah. Pengawasan pemerintah pusat terhadap pembentukan Perda sebaiknya dilakukan dengan penguatan pengawassan yang bersifat preventif. Oleh karena itu, untuk mendukung hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan regulasi yang mengatur mengenai pembentukan Perda, khususnya terkait pembagian kewenangan pengawasan pemerintah pusat. Penegasan peran Perancang, serta peningkatan kemampuan Perancang juga menjadi hal strategis terciptanya Perda yang harmonis

There is vagueness in the division of authority over the central government's supervision of the regional regulation's formation through harmonization, evaluation, or facilitation. The similarity of the authority's nature and purpose causes ineffectiveness. This normative juridical research analyzes the synchronization between regulations about the formation of regional law. The study discovered that there is a dualism of the regulatory regime regarding the formation of Regional Regulations. It also has found differences in the law binding power of harmonization and evaluation/facilitation causes ineffective and inefficient supervision. Besides that, problems of Perancang's resources also causing the draft of regional regulations to still have low quality. Strengthening preventive control by the central government can create harmonious regional regulations that are in line with higher laws and regulations is the best form of supervision to be carried out for now. So there, it is necessary to refine the regulations about the formation of regional regulations, particularly related to the division of supervisory authority of the central government. The participation of legal drafter (Perancang) and an ability enhancement of legal drafter is also a strategic matter to create a harmonious regional regulation"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T55244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandjaitan, Hinca Ikara Putra, 1964-
Jakarta: Indonesia Media Law & Policy Centre, 2006
352 PAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Eka Jaya, 2000
352 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraeni Puspita
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang sejarah pengaturan pengawasan pemerintah pusat
terhadap peraturan daerah dari era orde lama hingga orde reformasi serta analisis
terhadap pengawasan peraturan daerah pada periode tahun 2004 sampai dengan
2013 baik dari segi pengaturan maupun pelaksanaan. Penel itian ini tergolong
dalam penel itian yuridis empiris. Hasil penelitian ini menyarankan agar segera
dilakukan perbaikan dan penatan ulang atas sistem norma hukum yang mengatur
tentang pengawasan pemerintah pusat terhadap peraturan daerah agar terwujud
suatu tertib hukum dalam pelaksanaan tugas pemerintahan.

ABSTRACT
This thesis overviews the historical aspect of central government control of local
regulation since the old order to the reform order as well as analysis of central
government control of local regulation in the period year 2004 to 2013 in terms of
both regulation and implementation. This research classified as empirical legal
study. The results of this research suggest an immediate amendment and a
restructuration over legal norms system governing the central government control
mecanism to local regulations in order to form an orderly administration of law
in the performance of duties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filicia Vinidya Mitaya
"Tesis ini menganalisis hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran kesehatan di Indonesia. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Skema dan mekanisme realisasi hubungan keuangan menunjukkan desentralisasi fiskal melalui Transfer ke Daerah. Dalam hal bidang kesehatan, Transfer ke Daerah meliputi Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Alokasi Khusus Non Fisik, dan Dana Alokasi Umum. Contohnya, Provinsi DKI Jakarta dan Kota Bogor menerima berbagai bentuk dana ini dari pemerintah pusat. Pertanggungjawaban pengelolaan anggaran dilakukan melalui pelaporan penyerapan dana, capaian keluaran, dan dampak kegiatan. Jika laporan tidak tepat waktu atau tidak sesuai ketentuan, penyaluran dana terhambat, mengganggu program kesehatan. Rekomendasi mencakup penyesuaian skema transfer berdasarkan kondisi keuangan daerah, penerapan sanksi tegas bagi pelanggaran pelaporan, dan peningkatan pengawasan, serta pelatihan teknis untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan daerah.

This thesis analyzes the relation between the central and regional governments in managing the health budget in Indonesia. The research is conducted using a doctrinal method. The financial relationship framework and mechanisms demonstrate fiscal decentralization through central government transfer. In the health sector, these transfers include specific purpose transfer and general purpose transfer. For example, DKI Jakarta Province and Bogor City receive various forms of these funds from the central government. Accountability in budget management is carried out through reports on fund absorption, output achievements, and the impact of activities. If reports are not timely or do not meet the requirements, fund disbursement is delayed, disrupting health programs. Recommendations include adjusting transfer schemes based on regional financial conditions, imposing strict sanctions for reporting violations, and enhancing oversight and technical training to improve regional financial management capacity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Evaluation and analysis on the implementation of regional autonomy in Indonesia; collection of articles."
Jakarta: Divisi Kajian Demokrasi Lokal, 2003
352.02 OTO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>