Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95721 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
cover
L. Budi Triadi
"ABSTRAK
Drainage construction for plantations development on peatlands often caused controversy. Drainage construction will be followed by subsidence of peatland . To be able to extend the chance to get profit in the plantation business subsidence prevention efforts are needed. Setting water level and the prevention of excessive drainage is one of the efforts to reduce the rate of subsidence of the peat.This study is based on literature review by collecting information from various sources and then comparing and analyzing it so that information is obtained on a comprehensive subject matter. Literature review include: monitoring parameters, types of equipment for monitoring, pattern placement monitoring equipment, the range and the frequency of monitoring. From the study concluded that the water level necessary to measure on land and channels using dipwell and staff gauges. Observations were made with a combination of automated recording device and manual recording. Both are quite accurate, but the use of automatic registers in remote locations saves time, and if an automatic device is installed in an area that has the potential to have large water level fluctuations and runs quickly, it will provide more accurate data. Observations on dams for water level control are installed at every 20 cm drop in hidraulic head."
Bandung : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2018
627 JTHID 9:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Asnawati Safitri
"Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dianggap bertanggungjawab pada munculnya dampak ekologis, ekonomis dan sosial pada kehidupan masyarakat lokal. Kajian-kajian yang membahas kebijakan umumnya hanya menganalisis substansi kebijakan, tetapi tidak mempertanyakan mengapa substansi semacam itu muncul. Kajian semacam ini dikatakan sebagai kajian isi kebijakan, sedangkan kajian yang membahas mengenai bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan diterapkan disebut sebagai kajian proses kebijakan. Dalam kajian proses kebijakan ada dua pendekatan yang biasa digunakan yaitu pendekatan struktural dan kultural. Dalam konteks Indonesia kedua pendekatan itu lebih banyak digunakan untuk membahas kebijakan nasional daripada kebijakan daerah. Kajian ini menjelaskan hubungan antara substansi kebijakan yang ada di daerah dengan kebudayaan birokrasi dan lingkungan dimana birokrasi itu berada. Substansi kebijakan dipengaruhi oleh hasil interaksi antara kebudayaan birokrasi dan lingkungannya. Kebudayaan birokrasi adalah cara birokrasi mempersepsikan hutan, bentuk pengelolaan dan kepada siapa pengelolaan itu diberikan sedangkan lingkungan mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial dan politik.
Lampung dan Kalimantan Timur dipilih untuk menunjukkan bahwa di dua daerah yang berbeda lingkungannya menghasilkan kebudayaan birokrasi yang sama dengan beberapa perbedaan nuansa dalam substansi kebijakan. Dalam konteks eksploitasi, birokrasi mempersepsikan hutan sebagai harta kekayaan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam waktu secepatnya. Dalam hal perlindungan dan pelestarian hutan birokrasi menganggap bahwa hutan harus segera dilindungi dari segala bentuk kegiatan eksploitasi dan untuk itu birokrasilah yang menjadi aktor tunggal yang berperan dalam perlindungan dan pelestarian hutan karena masyarakat tidak dapat dipercaya mampu menjalankan peran itu. Persepsi yang muncul dalam konteks perlindungan dan pelestarian hutan adalah reaksi dari kegagalan kebijakan eksploitasi. Persepsi itu mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan, namun dalam beberapa kasus terjadi perubahan tekanan dan jenis kebijakan dari kebijakan eksploitasi menjadi kebijakan perlindungan dan pelestarian tetapi kebudayaan birokrasi masih menganggap bahwa hutan masih perlu dieksploitasi secepatnya. Kesamaan kebudayaan birokrasi ini disebabkan kuatnya pengaruh pemerintah pusat dalam menentukan gagasan dan tindakan birokrasi di daerah. Perbedaan nuansa kebijakan disebabkan berbedanya lingkungan fisik, ekonomi dan sosial. Karena perbedaan itulah maka Lampung lebih mengutamakan eksploitasi dan perlindungan pada lahan sedangkan Kalimantan Timur memilih kayu, gaharu dan sarang burung."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laily Nurizza Adelia
"Kebakaran hutan dan lahan merupakan peristiwa akibat proses alam dan manusia. Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat merupakan salah satu kabupaten yang sering dilanda kebakaran hutan dan lahan. Umumnya, kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkatkan kepadatan penduduk dan pembukaan lahan dengan membakar lahan. Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekonomi sehingga diperlukan adanya identifikasi wilayah bahaya untuk membangun sistem manajemen yang efektif guna mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan dan mengetahui hubungan antara wilayah bahaya kebakaran hutan dan wilayah konsesi di Kabupaten Kubu Raya. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk mendapatkan bobot tiap variabel yang digunakan. Terdapat tiga kriteria yang mempengaruhi wilayah bahaya kebakaran hutan yaitu topografi, meteorologi, dan aktivitas manusia yang teridiri atas delapan variabel yaitu ketinggian, lereng, aspect, suhu, curah hujan, kecepatan angin, kepadatan penduduk, dan jarak dari permukiman. Berdasarkan hasil perhitungan AHP, didapatkan bobot kriteria topografi 0,11; meteorologi 0,28; dan aktivitas manusia 0,62. Wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Setelah dilakukan analisis weighted overlay berdasarkan bobot akhir, didapatkan bahwa Kabupaten Kubu Raya didominasi oleh wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan sedang yaitu seluas 433.654,34 hektar atau 50,7% dari total wilayah kabupaten. Wilayah bahaya kebakaran terluas kedua adalah pada tingkat tinggi dengan luas 244.282,41 hektar atau 28,6% dari total luas wilayah. Wilayah bahaya kebakaran rendah memiliki 177.624,25 hektar atau 20,8% dari total luas wilayah. Sedangkan untuk bahaya sangat rendah dan sangat tinggi tidak ada di kabupaten ini. Hasil wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan divalidasi dengan titik panas tahun 2021 menggunakan kurva AUC/ROC dan didapatkan area di bawah nilai kurva ROC 0,76 yang menandakan skor model ini dalam kategori baik. Hasil uji chi-square wilayah bahaya dengan wilayah konsesi menghasilkan nilai signifikan kurang dari 0,05 dengan koefisien kontingensi 0,312 maka dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara wilayah bahaya kebakaran hutan dengan wilayah konsesi.

Forest and land fires are events that are caused by natural and human processes. Kubu Raya Regency, West Kalimantan is one of the districts that often experience forest and land fires. Generally, forest and land fires in this district are caused by human activities that resulted in increased population density and land clearing through burning land. Forest and land fires in Kubu Raya Regency have caused environmental and economic damage, therefore it is necessary to identify the hazard areas for an effective management system to control and prevent forest and land fires. This research aims to identify fire and land fire hazard areas and determine the relationship between the hazard areas and concession areas in Kubu Raya Regency. The Analytical Hierarchy Process (AHP) method is used to obtain the weight of each variable used. There are three criteria that affect the forest and land fire hazard area: topography, meteorology, and human activities, which consist of eight variables: altitude, slope, aspect, temperature, rainfall, wind speed, population density, and distance from the settlements. Based on the AHP calculation, the final weight of the topographic criteria is 0.11; meteorology 0.28; and human activity 0.62. The forest and land fire hazard areas in this district are divided into three classes, which are low, medium, and high. The weighted overlay result found that Kubu Raya Regency is dominated by moderate forest and land fire areas, covering an area of 433.654,34 hectares or 50.7% of the total regency area. The second-largest forest and land fire hazard area are at a high level with an area of 244.282,41 hectares or 28.6% of the total area. The low forest and land fire hazard area have 177.624,25 hectares or 28.6% of the total area. The results of forest and land fire hazards area were validated by hotspot data 2021 using the AUC/ROC curve and obtained an area under the ROC curve value of 0.76, which indicates the score of this model is in a moderate category. The results of the statistic test of the hazard area with the concession area yielded a significant value of less than 0.05 with a contingency coefficient of 0.470, which means that there is a moderate relationship between the forest hazard area and the concession area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haniasti Titis Tresnandrarti
"ABSTRAK
Hutan merupakan sumberdaya alam dan lingkungan yang mempunyai peranan strategis bagi bangsa Indonesia, terutama sebagai pelindung ekosistem flora, fauna dan plasma nutfah. Kepentingan masyarakat terhadap hutan sebagai sumberdaya alam, tidak hanya memberikan ruang atau lahan usaha tani, tetapi juga bermanfaat dalam memberi kesempatan kerja.
Berbagai alternatif bentuk pengelolaan hutan terus dikembangkan, salah satunya adalah dengan pengembangan model untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pembangunan hutan kemasyarakatan (HKm) untuk selanjutnya disebut dengan HKm, merupakan salah satu alternatif model pengelolaan hutan tanaman yang dikelola bersama antara pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan.
Banyak uji coba dilakukan pada model HKm, salah satunya adalah uji coba dengan menggunakan program tujuan berganda dengan menitik-beratkan pada variabel sosial ekonomi terutama nilai finansial komoditi. Pada umumnya model yang dikembangkan tersebut kurang berhasil, karena kurang mempertimbangkan kondisi fisik lahan sebagai faktor penentu disamping faktor sosial ekonomi.
Studi ini mencoba mengembangkan model HKm optimal. Metode yang digunakan untuk pengembangan model lahan HKm optimal adalah metode survei dengan pendekatan komplek wilayah dalam ilmu geografi. Variabel yang digunakan adalah variabel fisik dan sosek, dan keduanya diperhitungkan sebagai faktor yang memberikan kontribusi sama.
Pengembangan model lahan HKm optimal memberikan masukan berupa tingkat kesesuaian lahan terhadap tujuh komoditi dan penyebarannya, serta distribusi spasial lahan HKm optimal dinilai dari faktor fisik maupun sosial ekonomi. Tingkat kesesuaian lahan dalam penelitian ini menghasilkan dua kriteria terhadap tujuh komoditi yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat, yaitu: (a) tingkat kesesuaian lahan fisik. (b) tingkat kesesuaian lahan sosial ekonomi. Sedangkan distribusi spasial sebaran lahan HKm optimal, diperoleh tiga kriteria menurut gradasi dari tingkat yang tertinggi sampai terendah tingkat keberhasilannya, yaitu : (a) sebaran lahan optimal I . (b) sebaran lahan optimal II, (c) sebaran lahan optimal III.
Kekuatan dari pengembangan model lahan HKm optimal adalah diperhitungkannya kondisi fisik lahan sebagai faktor yang mendukung model hutan kemasyarakatan, dengan diketahuinya sebaran lahan optimal I sampai optimal III dapat memberi informasi keberhasilan dan perlindungan terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.

ABSTRACT
Optimum Community Forestry (HKm) Land Modeling Development (Case Study in Labanan Forest Area, Berau District, East Kalimantan Province)Forest has been considered as a natural resources which has strategic role for Indonesian's people, mainly for protecting land and all people, animals and trees who depend on it. Forest as a natural resources not only give space for agriculture sectors, but it can give job opportunities for other sectors.
Various alternatives in managing the forest have been developed continuously. Develop in forest modeling has aim to get the optimum yield. Social forestry (later called by Hkm) is an alternative model in managing forest plantation. This model involves government and people around the forest.
Several efforts have been done in applying HKm model. One of the model used multi purpose program focusing on financial value of the commodities. Generally, such a model doesn't work successfully. This model was neglecting physical land condition as a critical factor as well as socio economic factor.
This research tried to develop the optimum Hkm land modeling. The research methods were done using survey with considering landscape approach of geographical science. Physical and socio economic variable had been counted can give equal contribution.
The optimum Hkm land modeling give information on land suitability level for seven commodities and their distribution spatially. There are two criteria for those 7 commodities according to local people perception; those are physical land suitability and socio economic land suitability. The optimum Hkm land spatial distributions have three classes, those are: a). First optimum land distribution, b). Second optimum land distribution, c). Third optimum land distribution.
Considering physical factors as a variable in developing Hkm land modeling are the strength point of the optimum Hkm land modeling. The spatial distribution of the optimum Hkm land give information on the success and failure of land utility in order to achieve people prosperity and ensure the forest sustainability.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke . Indonesia memiliki berpuluh ribu kilometer panjang pantai di mana di sepanjang pantai inilah dan di muara sungai yang melengkapinya....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Corryanti Triwahyuningsih
"ABSTRAK
Pembinaan ekosistem hutan dilakukan antara lain melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman di wilayah-wilayah kritis dan lahan kosong. Dengan membangun hutan tanaman pada lahan-lahan kritis diharapkan akan memberi dampak positip, baik terhadap makhluk hidup yang ada di dalam hutan maupun masyarakat di sekitarnya.
Pembangunan hutan tanaman dilakukan antara lain dengan cara tanam banjarharian dan cara tanam tumpangsari dengan penanaman jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh. Kegiatan pembangunan hutan tanaman cukup penting dibicarakan karena menyangkut banyak aspek, baik aspek ekologi, maupun aspek sosial ekonomi.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pembentukan vegetasi hutan tanaman melalui penerapan cara tanam banjarharian dan cara tanam tumpangsari.
Penelitian memakai rancangan percobaan faktorial. Perlakuan adalah semua kemungkinan kombinasi taraf dari beberapa faktor, yakni jenis akasia dalam cara tanam banjarharian, jenis akasia dalam cara tanam tumpangsari, jenis albisia dalam cara tanam banjarharian dan jenis albisia dalam cara tanam tumpangsari. Analisis data melalui analisis keragaman, analisis uji jarak berganda Duncan, analisis tabel kontingensi disertai analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan vegetasi hutan dalam cara tanam tumpangsari tumbuh lebih cepat daripada dalam cara tanam banjarharian. Jenis akasia tumbuh lebih cepat dibanding albisia. Penutupan tajuk tanaman dalam cara tanam tumpangsari lebih luas daripada dalam cara tanam banjarharian. Kerapatan tegakan menunjukkan kecenderungan menyusutnya jumlah batang perhektar pertahun sekitar 116 batang baik dalam cara tanam banjarharian maupun dalam cara tanam tumpangsari.
Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dan permudaan menunjukkan dalam cara tanam banjarharian jenis tanaman lebih beraneka dibanding dalam cara tanam tumpangsari. Kerapatan tumbuhan bawah dan permudaan menunjukkan tidak terdapat kerapatan individu yang menyolok antar kedua cara tanam. Jenis-jenis yang tumbuh dalam hal ini menunjukkan jenis-jenis yang mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat.
Jenis albisia terlihat tumbuh tertekan di lingkungan setempat dibanding jenis akasia. Untuk menghindari hutan rnonokultur melalui hanya menanami akasia yang sudah terlihat tumbuh baik, perlu mencari substitusi jenis albisia untuk pencampuran jenis dalam tegakan hutan. Jenis puspa yang gampang tumbuh di lingkungan setempat perlu dipertimbangkan dalam hal ini. Pemupukan yang dilakukan harus diupayakan secara baik terutama saat-saat awal penanaman di lapangan.
Tumbuhan bawah dan permudaan yang didominasi oleh jenis-jenis pionir pada dasarnya meriipakan elemen penunjang terhadap fungsi hutan. Oleh karenanya tumbuhan bawah dan permudaan ini tidak perlu dibabat habis karena keberadaannya menyangkut peran fungsi hutan.
Tumpangsari sangat berperan terhadap keberhasilan tanaman hutan, di samping itu akan pula memberi manfaat terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Dampak kegiatan tumpangsari terhadap masyarakat sekitar sementara ini belum terlihat nyata, karena pemanfaatan tenaga kerja masih mengambil dari daerah di luar kawasan hutan.
Pemanfaatan produk kayu di wilayah ini boleh disebut belum optimal karena masih hanya memperuntukkan hasil kayu sebagai bahan baku pulp saja. Pengembangan pemanfaatan produk kayu perlu dievaluasi, karena hendaknya pembangunan hutan mencakup peran ekologis maupun ekonomis.

ABSTRACT
Forest ecosystems development has been done other through the plantation forest establishment in arid area and land bare. It is hope the plantation forest establishment gives positive impacts to the living organisms in the forest and the surroundings community.
Plantation forest establishment has been done by the daily wage system (banjarharian system) and the taungya system (tumpangsari system) with fast growing species. This activity is necessary to be considered dealing with many aspects, ecological aspects or social economical aspects.
This research aims to see vegetation growing of plantation forest through implementing daily wage system and taungya system. This research used factorial experimental design. The treatment was possibility of level combination from amount factor, acacia in daily wage system; acacia in taungya system; albisia in daily wage system and albisia in taungya system. Data analyzed by variance analysis, Duncan multiple range tests, contingency table completed by descriptive analysis.
The result of the research indicated that the vegetation growing of plantation forest in taungya system was more rapidly than in daily wage system. The acacia grew faster than albisia. Forest canopy grew wider in taungya system than in daily wage system. Stand density decreased about 116 stems per year in both systems.
The diversity ground flora (ground cover and regeneration plants) indicated that in daily wage system was more diverse than in taungya system. The density of ground flora indicated that in both system didn't show difference density. The species of ground flora that grown, indicated that they were the species of adaptable to the environment.
The albizia growing was less suitable with the site condition compared with the acacia. It's needed more concern by the management to reevaluate this option of species. By supporting the combination species, to avoid monoculture forest it's necessary to consider puspa species that the species with the suitable ones. Fertilizing which done to avoid the loosing of nutrient should keep on undertaking.
The ground flora was dominated by pioneer species, basically as the supporting element to forest function. Therefore the ground flora shouldn't clear-cut because their existence has big role in forest function.
Taungya system has positive impact to succeed plant growing, beside that the system will give advantages to people surrounding the plantation forest. This condition has not been obviously shown because the manpower for this activity was recruited from other area.
The utilization of main products of plantation forest in this area was not considered optimal since they were still for pulp and popper row material only. Therefore the development in utilizing the wood, products is need to be considered as well as efficiency, because the forest. Establishment should including ecological aspects and economical aspects.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>