Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
H. Soerjanatamihardja
"Buku ini berisi undang-undang darurat tahun 1951, antara lain berisi tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan ; menaikkan jumlah maximun porto dan bea ; mengubah dan menambah peraturan dalam Stbl. 1916/47 ; tambahan UUD no.37/1950 tentang perubahan ordonansi pajak peralihan 1944 ..."
Djakarta: G. C. T. van Drop & Co, 1953
K 340.5 SOE p
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prisa Eko Pratama
"Perkawinan di Minangkabau dilaksanakan menurut hukum adat Minangkabau dan Hukum Islam. Tetapi sering terjadi pertentangan antara mengikuti adat atau agama dalam hal perkawinan ini, seperti dilarangnya kawin sesuku dan sekaum di Minangkabau. Menurut Hukum Adat yang berlaku di Nagari Singkarak dan Nagari Saniangbaka dilarang melangsungkan perkawinan antara Anak Nagari tersebut. Larangan ini telah berlangsung sejak lama dan menjadi kebiasaan. Meskipun larangan perkawinan ini tidak ada dalam Islam tetapi masyarakat meyakini dan menjalankan aturan tersebut. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Dari hasil penelitian ternyata larangan perkawinan tersebut tidak diatur dalam Hukum Islam, sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan.

Marriage in Minangkabau is held under customary law and islamic law. But, there is often contradiction between following custom or religion in matters of marriage, such as prohibiting marriage and sekaum in Minangkabau tribe. According to the customary law prevailing at the Nagari Singkarak and the Nagari Saniangbaka is forbidden to establish a marriage between the son of the Nagari. This prohibition has been going on since long time and become a habit. Although, there is no prohibition of marriage in Islam, but the community believes and run the rule. This study is analyzed by using descriptive analytical approach to juridical sociology. From the research, it turns out the prohibition of marriage is not ruled for in Islamic Lawwhile according to the Marriage Law is not contradictory."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28622
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Septian Dwi Cahya, S.Tr.K.
"Kasus pidana harus ditangani di pengadilan berdasarkan hukum positif Indonesia. Namun dalam beberapa situasi, kesepakatan di luar pengadilan dapat dicapai, salah satunya yang dilakukan oleh lembaga adat, khususnya melalui Pelibatan Kerapatan Adat Nagari, sebagai alternatif litigasi di bidang hukum pidana dalam penerapan hukum adat. Berikut ini adalah tujuan dari penelitian ini: Pertama, mengetahui dan menganalisa pelibatan kerapatan adat nagari dalam penyelesaian perkara dilihat dari perspektif democratic policing; kedua, menemukan dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan pelibatan kerapatan adat nagari dalam penyelesaian perkara dilihat dari perspektif democratic policing. Bentuk penelitian yang akan dilakukan di Polda Sumatera Barat adalah penelitian Kualitatif Field Research. Pelibatan Kerapatan Adat Nagari Dalam Penyelesaian Perkara dinilai berhasil jika mencakup cita-cita pemolisian yang demokratis dan perpolisian masyarakat yang melibatkan aparat kepolisian di wilayah Sumatera Barat, demikian temuan penelitian ini.

Under the Indonesian positive law, a criminal case must be addressed in a court. In some situations, however, an out-of-court agreement can be a way to solve a case. One of the ways to reach such agreement is through a customary institutions, particularly what it is called local wisdom. Most of Indonesian local areas have their own local wisdoms. One of the local wisdom is Kerapatan Adat Nagari as an alternative to litigation in the sphere of criminal law in customary law applications. The study aims to (i) identify and analyse the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases based on democratic policing perspective; (ii) find and analyse the factors that influence the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases based on democratic policing perspective. The research employs the qualitative research and field research method and is conducted at West Sumatera Province. The results of the research reveal that the involvement of Kerapatan Adat Nagari in resolving cases is deemed successful if it includes the ideals of democratic policing and community policing that involves police officers in West Sumatera Province."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Maharaja Segara Putra
"Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan sebuah anugerah terindah dari Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun. Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan dambaan bagi pasangan suami istri maupun seorang yang tidak memiliki pasangan. Hukum Perdata Barat mengenal sebuah lembaga untuk mewujudkan dambaan tersebut, yaitu adopsi. Namun, sebagaimana diketahui bahwa Indonesia menganut pluralisme di dalam sistem hukumnya yang menempatkan Hukum Perdata Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat sebagai sistem-sistem hukum yang sejajar dan dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, timbul pertanyaan mengenai bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai lembaga adopsi yang dikenal di dalam Hukum Perdata Barat, bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai adopsi yang dilakukan oleh orang tua tunggal (single parent), bagaimana akibat hukum kekeluargaan dan kewarisan terhadapnya, dan bagaimana kedudukan anak perempuan dalam lembaga adopsi serta akibat-akibat hukumnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Penulis menggunakan metode penelitian berupa penelitian kepustakaan, serta melakukan wawancara terhadap Kepala Adat dan Pemuka Agama yang dalam hal ini difokuskan pada pengaturan Hukum Adat Bali. Pengaturan mengenai adopsi pada Hukum Adat Bali bersumber pada Kitab Suci Veda dan kebijakan-kebijakan lokal yang tidak tertulis. Adopsi di dalam Hukum Adat Bali lebih dikenal dengan istilah “Memeras Pianak” yang bertujuan untuk meneruskan garis keturunan, sehingga memiliki akibat hukum berupa putusnya hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua kandung. Persyaratan utama dari pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali adalah dilakukan terhadap anak yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang tua yang hendak mengangkatnya, dalam artian anak yang hendak diangkat tidak boleh dilakukan terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya. Pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali juga harus melalui suatu prosedur yang dinamakan sebagai upacara “Pemerasan” sebagai perwujudan asas terang dan tunai dalam Hukum Adat. Mengenai pengangkatan anak oleh orang tua tunggal pada Hukum Adat Bali diperbolehkan dan memiliki akibat hukum yang sama dengan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua berpasangan, baik secara kekeluargaan maupun kewarisan. Hal menarik yang lain kemudian adalah pengangkatan anak bisa dilakukan terhadap anak perempuan yang kemudian memiliki akibat hukum yang tidak sama dengan pengangkatan anak terhadap anak laki-laki. Pengangkatan anak yang dilakukan terhadap anak perempuan bisa melalui “Nyentane” maupun “Pemerasan” yang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

The existence of one or several children is the most beautiful gift from God that cannot be replaced by anything. The existence of one or several children is a dream for a husband or a single partner. Western Civil Law recognizes an institution to realize this dream, namely adoption. However, it is known that Indonesia adheres to pluralism in its legal system which places Western Civil Law, Islamic Law and Customary Law as parallel legal systems and is used in social life. Then, the question arises about how the Adat Law regulates regarding adoption institutions known in the Western Civil Law, how the Adat Law regulates regarding adoption by single parents, what is the effect of kinship and inheritance law on it, and how Adat Law positions girls in adoption institutions and its legal consequences. To answer these questions, the author uses research methods in the form of library research, as well as conducting interviews with traditional heads and religious leaders, which in this case focuses on regulating Balinese Customary Law. Regulations regarding the adoption of Balinese Customary Law are based on the Vedic Scriptures and unwritten local policies. Adoption in Balinese Customary Law is better known as "Memeras Pianak" which aims to lineage, so it has legal consequences in the form of breaking the kinship between adopted children and biological parents. The main requirement for adoption carried out according to Balinese Customary Law is that it is carried out on children who are still related to their parents, in the sense that the adopted children cannot be against children whose origins are unknown. Adoption of children carried out according to Balinese Customary Law must also go through a procedure known as the "Pemerasan" ceremony as the embodiment of the principle of clear and cash in Customary Law. Regarding adoption by a single parent in Balinese Customary Law, it has the same legal consequences as adoption by paired parents, both by family and inheritance. The interesting thing then is the adoption of children that can be carried out against girls, which has a legal consequence that is not the same as adoption of children for boys. Adoption of children for girls can be done through “Nyentane” or “Pemerasan” which has different legal consequences."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Junus
Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, 1997
340.992 244 UMA u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bimantara Wisnu Aji Mahendra
"Masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang tetap dan teratur telah berkembang secara internasional hal ini di dukung dengan adanya pembentukan United Nations Declaration on the rights of Indigenous People (UNDRIP) yang telah disahkan oleh PBB pada tahun 2007. Di Indonesia ketentuan mengenai masyarakat hukum adat telah tertuang pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dengan menganalisis bagaiman a pembentukan Rancangan Undang – Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat berpengaruh terhadap upaya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat. Rencana pembentukan RUU tentang masyarakat hukum adat tersebut telah ada sejak tahun 2004, dan pada tahun 2016 hingga 2018 RUU tersebut sudah masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di dalam DPR. Namun hingga saat ini RUU tersebut belum juga dilakukan pengesahan oleh pemerintah. Senyatanya pembentukan RUU tersebut sudah ada masuk dalam tahap urgensi seperti banyak kasus perampasan wilayah yang menimpa masyarakat hukum adat, pelanggaran hak atas free, prior, dan informed consent (FPIC) yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat terhadap pernyataan persetujuan atas suatu agenda, pelanggaran terhadap hak konstitusional termasuk hak politik, serta perempuan adat yang sering dihadapkan terhadap permasalahan diskriminasi. Dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat yang saat ini masuk dalam tahap pembahasan DPR juga tak luput dari permasalahan, beberapa pasal menimbulkan kerancuan dalam implementasinya misalkan Pasal 11 hingga Pasal 17 yang memuat mengenai proses identifikasi dan verifikasi, Pasal 6 terhadap ketentuan persyaratan, Pasal 22 terhadap ketentuan perlindungan, dan Pasal 20 terhadap ketentuan evaluasi. Beberapa pasal dan ketentuan tersebut belum mencerminkan tujuan utama pembentukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, namun secara nyata hal tersebut justru banyak mengurangi hak yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pengesahan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi hal yang penting disahkan untuk melakukan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat.

Indigenous Peoples, as stable and organized societies, have developed internationally, supported by the establishment of the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), which was ratified by the UN in 2007. In Indonesia, provisions concerning indigenous peoples are outlined in Article 18B, Paragraph (2) of the 1945 Constitution. This paper is composed using doctrinal research methods. It analyses how the drafting of the Draft Law on Indigenous Peoples impacts efforts to fulfill and protect human rights for indigenous legal communities. The plan to establish the Draft Law on Indigenous Peoples has been in place since 2004, and from 2016 to 2018, the draft law was included in the National Legislation Program (Prolegnas) within the House of Representatives (DPR). However, to date, the draft law has not yet been enacted by the government. In fact, the drafting of this draft law has reached an urgent stage due to numerous cases of territorial seizures affecting indigenous legal communities, violations of the right to free, prior, and informed consent (FPIC) regarding their approval of certain agendas, violations of constitutional rights including political rights, and indigenous women often facing issues of discrimination. The Draft Law on Indigenous Peoples currently under discussion in the DPR is not without problems. Several articles cause confusion in their implementation, such as Articles 11 to 17, which cover the processes of identification and verification. Article 6, which pertains to the requirements. Article 22, which concerns protection provisions. And Article 20, which deals with evaluation provisions. These articles and provisions do not yet reflect the main objectives of forming the Draft Law on Indigenous Peoples. In fact, they often diminish the rights that should be granted to the communities. This underscores the importance of enacting the Draft Law on Indigenous Peoples to ensure the fulfillment and protection of human rights for Indigenous Peoples."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enda Yuliana
"ABSTRAK
Pembentukan UUPA dimaksudkan dengan tujuan untuk menjamin hak-hak masyarakat yang ketika zaman kolonial Belanda selalu dikesampingkan. Ketika UUPA diundangkan, hukum adat dinyatakan sebagai dasar penyusunannya tetapi pengaturan tentang hukum adat sendiri tidak diatur secara tegas didalam UUPA tetapi hanya disinggung mengenai pengakuan hak
ulayat yang bersyarat. Hal ini mengakibatkan banyak terdapat konflik pertanahan salah satunya dalam program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang terjadi antara masyarakat hukum adat dan perusahaan pelaksana yang di fasilitasi oleh negara

ABSTRACT
UUPA formation intended for the purpose of guaranteeing the rights of society when the Dutch colonial era has always ruled out. When UUPA legislation, customary law is expressed as the basic formulation but the setting of customary law itself is not set explicitly in the UUPA but only mentioned about the unconditional recognition of customary rights. This resulted in many there is a conflict over land one of them in the program Perkebunan Inti
Rakyat (PIR) which occurs between the indigenous people and their implementing enterprise which was facilitated by the state"
2016
T45413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulhat
"Tesis ini membahas satu entitas sosial masyarakat hukum adat Baduy dalam perspektif Undang-Undang Pemilu. Masyarakat hukum adat Baduy memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, salah satu yang kentara ialah partisipasi politik dalam proses elektoral seperti pemilihan umum, di mana masyarakat adat Baduy memilih para kandidat yang berlaga dalam arena politik. Namun, masyarakat adat Baduy memiliki prinsip milu kanu meunang (lunang) dalam konteks politik elektoral. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan kasus dan metode wawancara sebagai pengumpulan data untuk memperoleh temuan penelitian baru. Hasil penelitian mengafirmasi bahwa partisipasi politik masyarakat adat Baduy dalam pemilihan umum seringkali mengalami fluktuasi. Hal ini ditengarai karena masyarakat adat Baduy memiliki ciri khasnya sebagai satu entitas sosial, termasuk dalam hal Pikukuh yang diyakini menjadi prinsip utama masyarakat hukum adat Baduy. Di satu sisi, masyarakat adat Baduy harus menentukan pilihan politik sebagai warga negara Indonesia, sedangkan di sisi yang lain, masyarakat adat Baduy melakukan prinsip Pikukuh yang selama ini sudah menjadi rutinitas yang ditanggalkan oleh para leluhurnya, terlebih saat ada acara bersamaan antara pemilihan umum dan ritual keadatan masyarakat adat Baduy. Kemudian, dalam proses politik yang sedang bergulir, masyarakat adat Baduy juga melarang para kandidat untuk melakukan aktivitas kampanye politik, karena dinilai akan menciptakan fragmentasi sosial di lingkungan masyarakat adat Baduy. Dalam konteks ini, masyarakat adat Baduy memegang prinsip milu kanu meunang (lunang) dalam proses pemilihan umum tersebut. Keterlibatan masyarakat adat Baduy dalam memilih dan tidak memilih saat pelaksanaan pemilihan umum juga tidak bisa dijustifikasi bahwa masyarkat adat Baduy bersikap netral, melainkan hak masyarakat adat Baduy, terlebih tidak ada pemberian sanksi kepada para pemilih pada umumnya maupun masyarakat adat Baduy yang tidak memilih, termasuk dalam prinsip Pikukuh adat Baduy.

This thesis discusses a social entity of the Baduy customary law community from the perspective of the Election Law. The Baduy customary law community has different characteristics from society in general, one of which is obvious is political participation in electoral processes such as general elections, where the Baduy customary community chooses candidates who compete in the political arena. However, the Baduy customary community has the principle of milu kanu meunang (lunang) in the context of electoral politics. This study uses a qualitative descriptive approach using a case approach and interview methods as data collection to obtain new research findings. The results of the study affirm that the political participation of the Baduy customary community in general elections often fluctuates. This is suspected because the Baduy customary community has its own characteristics as a social entity, including in terms of Pikukuh which is believed to be the main principle of the Baduy customary law community. On the one hand, the Baduy indigenous people must determine political choices as Indonesian citizens, while on the other hand, the Baduy indigenous people carry out the Pikukuh principle which has become a routine abandoned by their ancestors, especially when there is a simultaneous event between the general election and the Baduy indigenous people's traditional rituals. Then, in the ongoing political process, the Baduy indigenous people also prohibit candidates from carrying out political campaign activities, because it is considered that it will create social fragmentation in the Baduy indigenous community environment. In this context, the Baduy indigenous people uphold the milu kanu meunang (lunang) principle in the general election process. The involvement of the Baduy indigenous people in choosing and not choosing during the general election cannot be justified that the Baduy indigenous people are neutral, but rather the right of the Baduy indigenous people, especially since there are no sanctions given to voters in general or the Baduy indigenous people who do not vote, including in the Baduy customary Pikukuh principle."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Aditya
"Masyarakat hukum adat memiliki hubungan keterikatan yang kuat dengan wilayah tempat mereka tinggal. Banyak dari masyarakat hukum adat ini telah mendiami suatu wilayah secara turun-temurun sejak zaman pra-kolonisasi yang pada akhirnya wilayah yang mereka diami tersebut tidak jatuh ke dalam wilayah satu kedaulatan negara saja. Perbatasan negara, tidak hanya menjadi pembatas kedaulatan antar negara saja, tapi juga membelah masyarakat hukum adat yang wilayah tradisionalnya dilalui garis batas negara tersebut. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, budaya dan spiritual dan juga melanjutkan serta menjaga tradisi dan kebudayaan yang telah dijalankan secara turun temurun, masyarakat hukum adat yang dipisahkan oleh batas negara tidak dapat lepas dari kegiatan lintas batas tradisional. Untuk melihat perlindungan terhadap masyarakat hukum adat yang dipisahkan oleh batas negara, penelitian ini meninjau praktik dari Amerika Serikat, Norwegia dan Indonesia yang menunjukkan variasi perlindungan terhadap masyarakat hukum adat yang dipisahkan oleh batas negara berdasarkan posisi serta sikap masing-masing negara menanggapi permasalahan masyarakat hukum adat secara umum.

Indigenous peoples maintain a strong relationship with their homelands, not just based on social-economy needs, but more to cultural and spiritual connection. Long before colonialism came to the new world and divide the world into sovereign-state territory, indigenous peoples call it home, and some of their traditional homelands did not fall within one sovereign-state territory. International border, not only become the boundaries between state soverignty, but also split indigenous peoples whose traditional homelands crossed by those borders. In the effort to fulfill their social, economy, cultural and spiritual needs, those indigenous peoples can not be separated from the traditional cross-border activities. To help us understand about the protection of indigenous peoples whose homelands are separated by international border, this research describe and analyse the practices in the United States, Norway and Indonesia, which potrays the variety based on the country?s position and response to the problems of indigenous peoples in general.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>