Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104360 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Julia Dewi Nerfina
"Kanker serviks merupakan penyakit keganasan yang berhubungan dengan masalah nutrisi. Massa tumor dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolik dalam tubuh dan dapat mempengaruhi asupan sehingga pasien dapat jatuh dalam kondisi malnutrisi. Efek samping radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan efek mual, muntah dan diare yang dapat semakin memperburuk status gizi pasien. Tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi dan kemoterapi bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan status gizi, meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang harapan hidup pasien. Tatalaksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrient spesifik serta pemberian konseling dan edukasi.
Pasien pada serial kasus ini berusia antara 42 hingga 52 tahun dengan stadium yang berbeda. Seluruh pasien menjalani radioterapi, sedangkan satu pasien menjalani radioterapi dan kemoterapi. Semua pasien memiliki skrining dengan nilai ≥2 menggunakan malnutrition screening tool (MST). Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subyektif, kondisi klinis, tanda vital, antropometri, kapasitas fungsional dan analisis asupan.
Hasil pemantauan keempat pasien ternyata dukungan nutrisi yang diberikan dapat meningkatkan asupan dan menaikkan berat badan pada pasien pertama sedangkan pada pasien kedua, ketiga dan keempat terjadi penurunan berat badan yang minimal. Kapasitas fungsional pasien tidak mengalami penurunan dan kualitas hidup keempat pasien membaik.

Cervical cancer is malignant disease associated with nutrition problem. Tumor mass can lead to metabolic changes in the body and affect nutritional intake, so that patients can fall in malnutrition. Side effects of radiotherapy and chemotherapy are nausea, vomiting and diarrhea which can further worsen the nutritional status of patients. Nutrition management for cervical cancer patients in radiotherapy and chemotherapy are to maintain or increase nutritional status, improve quality of life and prolong survival of patients. Management of nutrients provision include to provide macronutrients, micronutrients, specific nutrients, counseling and education.
Patients age in this case series were between 42 to 52 years with a different stage of cervical cancer. All patient underwent radiotherapy, in which one patient underwent radiotherapy and chemotherapy. All patients had a screening score ≥2 using a malnutrition screening tool (MST). Monitoring included subjective complaints, clinical condition, vital signs, anthropometric, functional capacity and intake analysis.
The results of monitoring for all patients were nutritional support could increase intake and weight gain in the first patients, for second, third and fourth patients minimize weight loss. Functional capacity of all patients did not decline and quality of life all patients are increasing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Ika Wardhani
"Latar Belakang: Malnutrisi pada kanker pada kanker ginekologis dilaporkan terjadi pada sekitar 20-26 kasus. Terapi radiasi pelvis merupakan pilihan terapi pada kanker serviks lanjut dan seringkali menyebabkan komplikasi pada saluran gastrointestinal berupa enteritis akut.
Metode: Pasien pada serial kasus ini berusia antara 50 ndash;66 tahun dengan stadium yang berbeda. Seluruh pasien menjalani terapi radiasi definitif, satu pasien terapi radiasi ajuvan pasca histerektomi. Keempat pasien mengalami enteritis akut saat menjalani terapi radiasi. Pasien memiliki hasil skrining MST > 2. Pemantauan dilakukan meliputi keluhan subjektif, kondisi klinis, tanda vital, pemeriksaan laboratorium, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional dan analisis asupan 24 jam.
Hasil: Dari hasil pemantauan didapatkan bahwa dengan terapi nutrisi yang diberikan dapat meningkatkan asupan dan mempertahankan berat badan pada tiga dari empat pasien. Satu pasien dengan komorbiditas diabetes melitus mengalami penurunan berat badan yang minimal. Kapasitas fungsional keempat pasien tidak mengalami penurunan.
Kesimpulan: Pemberian nutrisi seimbang, tinggi kalori, tinggi protein, dapat mempertahankan status nutrisi pada pasien kanker serviks yang menjalani terapi radiasi dengan komplikasi enteritis akut.

Objective: Malnutrition in cervical cancer was about 20 ndash 26 cases. Pelvis radiotherapy was treatment of choices for cervical cancer, often being complicated by acute enteritis.
Methods: Patients age in this case series were between 50 ndash 66 years old with a different stage of cervical cancer. All patients underwent radiotherapy, with one patients had an adjuvant radiotherapy after histerectomy. All patients had a scrining score of MST 2. Monitoring included subjective complaints, clinical conditions, vital signs, laboratory results, anthropometric measures, body composition analysis, and 24 hours records of intake analysis.
Results: From monitoring, results for all patients that nutritional therapy could increase intakes, maintain body weights, and improve skeletal mass presentation for three of four patients. One pastient with diabetes comorbidity had a minimal weight and skeletal mass loss. Functional capacity of all patients did not decline.
Conclusion: Nutritional balance diet with high calories, high protein could preserve nutritional status in cervical cancer patients during radiotherapy complicated by acute enteritis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Herlyssa
"Kanker serviks menduduki urutan pertama da1am kasus kanker ganas yang diperiksa di berbagai laboratorium patologi di Indonesia. Salah satu cara pengobatan yang biasa dilakukan untuk menangani kanker serviks adalah terapi radiasi yang bertujuan merusak sel tumor jaringan sehat. Meskipun demikian radiasi menimbulkan efek samping yang tidak boleh diabaikan. Beberapa efek samping yang terjadi adalah alopesia, kulit menghitam, diare, nausea, rasa Ielah. Keadaan ini dapat merupakan stressor bagi klien. Salah satu stress yang diaIami adalah stress psikologis yaitu khususnya gangguan harga diri.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara kesehatan fisik dan harga diri. Orang yang mempunyai masalah kesehatan memiliki harga diri lebih rendah dibandingkan orang yang tidak mempunyai masalah kesehatan. Menurut pengamatan peneliti di ruang rawat paviliun E.Ria, klien kanker serviks yang sedang menjalani terapi radiasi mempunyai persepsi yang bervariasi terhadap perubahan harga dirinya yaitu, antara lain ; perasaan malu, tidak berdaya, tetap percaya diri dan sebagainya. Keadaan ini akan mempengaruhi terhadap diri klien sendiri juga keluarganya sehingga akan mempengaruhi kelancaran program pengobatan berikutnya.
Sebagai seorang perawat, perlu mengkaji perubahan harga diri yang dipersepsikan klien kanker serviks yang sedang menjalani terapi radiasi. Hal ini diperlukan untuk membantu klien kanker menggunakan mekanisme koping yang tepat terhadap perubahan harga dirinya. Namun demikian, peneliti belum menemukan penelitian tentang perubahan harga diri yang dipersepsikan klien kanker serviks yang sedang menjalani terapi radiasi."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA4977
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Putri Astiti
"Tujuan : Mengetahui pengaruh penerapan protokol buli di RSCM terhadap dosimetri dan toksisitas radiasi usus pada pasien kanker serviks saat menjalani radiasi eksterna. Metode : Penelitian adalah penelitian kohort retrospektif pada 236 subjek penelitian yang menjalankan radioterapi eksterna di IPTOR RSCM pada tahun 2019 – 2021. Subjek terbagi menjadi tiga kategori menurut perlakuan yaitu pasien tanpa protokol buli sebanyak 84 pasien, dengan protokol buli 300 - <500 mL sebanyak 35 pasien dan protokol buli 500 mL sebanyak 67 pasien. Uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov, perbandingan rerata menggunakan Kruskal Wallis dan Mann Whittney. Perbandingan nominal kategorik menggunakan chi square. Analisis multivariat menggunakan regresi linier dan regresi logistik Hasil : Pasien tanpa diberikan instruksi protokol buli volume buli yang cenderung lebih kecil yaitu median 83,5 mL (min-maks) (29,2 – 570) dibandingkan dengan yang diberikan instruksi protokol buli 300 - <500 mL yaitu median (min-maks) 91,5 mL (25,6 – 409,4) dan yang diberikan instruksi protokol buli 500 mL yaitu 125 mL (15-462) (P=0,014). Protokol buli juga berpengaruh terhadap proporsi pasien dengan V45 bowel bag <195 mL, dimana pasien dengan protokol buli 11,12% mencapai V45 bowel bag <195mL, sedangkan pasien tanpa protokol buli hanya 3,2% yang mencapai V45 bowel bag <195 mL (P=0,04. CI 95%). Kesimpulan : Protokol buli yang telah diterapkan di IPTOR RSCM terlihat mempunyai pengaruh terhadap volume buli dan volume bowel bag namun tidak menunjukkan pengaruh terhadap toksisitas akut gastrointestinal bawah.

Objective: To determine the effect of bladder protocol at RSCM to the irradiated bowel volume and acute bowel toxicity in cervical cancer patients underwent external beam radiotherapy. Methods: This was a retrospective cohort study on 236 cervical cancer patients who underwent external radiotherapy at IPTOR RSCM in 2019-2021. Subjects were divided into three bladder protocol categories. Patients without bladder protocol (n=84), with 300 - <500 mL bladder protocol (n=85) and with 500 mL bladder protocol (n=67). Normality test using Kolmogorov-Smirnov, mean comparison using Kruskal Wallis and Mann Whittney. Comparison of categorical nominal using chi square. Multivariate analysis using linear regression and logistic regression. Results: Patients without bladder protocol had a smaller bladder volume, which median (min-max) was 83.5 mL (29.2 – 570) compared to those who were given a bladder protocol instruction of 300 - <500 mL which was 91, 5 mL (25.6 – 409.4) and those given 500 mL bladder protocol which median value was 125 mL (15-462) (P=0.014. 95% CI). Bladder protocol also caused more patients to achieve V45 bowel bag <195 mL which was 11.12% compared to those without bladder protocol which was 3,2% (P=0.04). Conclusion: The bladder protocol that has been applied at IPTOR RSCM seems to influence the bladder volume and bowel bag volume but did not show an effect on acute lower gastrointestinal toxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahakbauw, Erwin
"Latar Belakang: Insiden kanker serviks di RSCM masih tinggi, sebagian besar datang pada stadium lanjut, dan angka harapan hidup yang masih rendah. Jika respon radiasi komplit dan eradikasi tumor lokoregional dapat tercapai pada pasien kanker serviks, diperkirakan dapat meningkatkan kesintasan. Oleh karena itu, kami bermaksud mengadakan penelitian terhadap respon terapi radiasi dan karakteristik klinis serta patologi yang berhubungan pada pasien kanker serviks di RSCM.
Metode: Penelitian kohort ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder terhadap 123 pasien kanker serviks stadium IIA-IIIB yang menjalani radiasi kuratif definitif sesuai protokol standard bulan Januari 2014-Des 2015 di RSUPN CiptoMangunkusumo. Dilakukan pencatatan karakteristik klinis dan patologis sebelum radiasi, Dicatat juga efek samping akut gastrointestinal, traktus genitourinaria, dan hematologis selama menjalani protokol radiasi sampai 3 bulan pasca radiasi. Data respon tiga bulan pasca radiasi lengkap berdasarkan klinis dan pemeriksaan ultrasonografi transrektal/transvaginal dicatat dan diklasifikasikan sesuai Response Evaluation Criteria in Solid Tumors RECIST.
Hasil: Dari 123 kasus, 84 kasus 68,29 diperoleh respon komplit, 30 kasus 24,39 respon parsial, 6 kasus 4,88 respon stabil, dan 3 kasus 2,44 respon progresif. Berdasarkan efek samping akut gastrointestinal, tidak didapatkan efek samping derajat 0 pada 99 kasus 80,49, derajat 1 pada 20 kasus 16,26, derajat 2 pada 4 kasus 3,25, derajat 3 pada 0 kasus 0. Berdasarkan efek samping akut genitourinaria, tidak didapatkan efek samping derajat 0 pada 105 kasus 85,37, derajat 1 pada 17 kasus 13,82, derajat 2 pada 1 kasus 0,81, dan derajat 3 pada 0 kasus 0. Berdasarkan efek samping akut hematologis, tidak didapatkan efek samping derajat 0 pada 108 kasus 87,80, derajat 1 pada 15 kasus 12,20, derajat 2 pada 0 kasus 0, dan derajat 3 pada 0 kasus 0. Dengan membandingkan kelompok respon komplit dan tidak respon parsial, stabil, progresif didapatkan faktor usia dengan p=0,266 RR 0,87;IK95 0,67-1,12, klasifikasi tekanan darah dengan p=0,882 RR 0,98; IK95 0,76-1,27, Indeks Masa Tubuh dengan p= 0,397 RR 1,06;IK95 0,83-1,34, kadar hemoglobin dengan p= 0,193 RR 0,71;IK95 0,40-1,27, jumlah leukosit darah dengan p=0,969 RR=1,00; IK95 0,78-1,29, kadar albumin darah dengan p= 0,198 RR 0,73;IK95 0,44-1,20, stadium FIGO dengan p=0,526 RR 1,08; IK95 0,85-1,38, diameter tumor terbesar dengan p=0,034 RR 1,30; IK95 1,03-1,63, jenis histopatologis dengan p=0,159 RR 1,18;IK95 0,90-1,55, dan derajat diferensiasi dengan p=0,469. Pada analisa multivariat, didapatkan hubungan bermakna antara diameter tumor p=0,036;RR 2,64; IK95 1,07-6,56 dengan respon radiasi komplit.
Kesimpulan: Gambaran respon radiasi kuratif definitif pada kanker serviks stadium IIA-IIIB di RSCM adalah 68,29 respon komplit, 24,39 respon parsial, 4,88 respon stabil, dan 2,44 progresif. Efek samping akut gastrointestinal, genitourinaria, dan hematologis pada umumnya tidak terjadi selama dan sampai 3 bulan pasca radiasi, yaitu 80,49 tidak mengalami efek samping akut gastrointestinal, 85,37 tidak mengalami efek samping akut genitourinaria, dan 87,80 tidak terjadi efek samping akut hematologi. Sebagian besar efek samping akut yang terjadi berderajat rendah yaitu grade 1 dan 2 traktus gastrointestinal, masing-masing 16,26 dan 3,25, grade 1 dan 2 traktus genitourinaria, yaitu masing-masing 13,82 dan 0,81, dan grade 1 hematologi, yaitu 12,20. Terdapat hubungan bermakna antara diameter tumor terbesar dengan respon komplit radiasi. Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia, Indeks Masa Tubuh, kadar hemoglobin, jumlah leukosit darah, kadar albumin serum, stadium FIGO, jenis histopatologis, dan derajat diferensiasi dengan respon terapi radiasi.

Background: The incidence of cervical cancer was still high in RSCM, whom most of them was found in advanced stage. The issue that still become a problem related to radiotherapy on those patients was non satisfying local tumor control, which range 20 50. If we can reach complete response and eradication of locoregional tumor on cervical cancer patients, it is estimated that the survival rate will increase. Therefore, we conducted a research to find out response of radiotherapy and related clinic pathologic characterictics on cervical cancer patients in our hospital.
Methods: This cohort study used secondary data on 123 patients of cervical cancer stage IIA IIIB who had undergone radiation therapy based on standard protocol in our hospital, during Januari 2014 to Dec 2015. The clinical factors of those patients, such as age, Body Mass Index, blood pressure, hemoglobin level, blood leucocyte count, serum albumin, largest tumor diameter FIGO staging and pathologic characteristic, i.e histopathology and grading were recorded. During radiation protocol until 3 months post radiation, we also noted any side effects of gastrointestinal tract, genitourinary tract, and hematologic. Evaluation of radiotherapy response was based on Response Evaluation Criteria in Solid Tumors RECIST.
Results: Among 123 cases, 84 cases or 68.29 was complete response, 30 cases or 24.39 was partial response, 6 cases or 4.88 was stabile response, and 3 cases or 2.44 was progressive. Based on gastrointestinal side effect, there was no side effect or grade 0 on 99 cases 80.49, grade 1 on 20 cases 16.26, grade 2 on 4 cases 3.25, grade 3 on 0 case 0. Based on side effect of genitourinary, there was no side effect or grade 0 on 105 cases 85,37, grade 1 on 17 cases 13.82, grade 2 on 1 case 0.81, grade 3 on 0 case 0. Based on hematologic side effects, there was no side effect on 108 cases 87.80, grade 1 on 15 cases 12.20, grade 2 on 0 case 0, grade 3 on 0 case 0. On bivariate analysis, p of each factors were age p 0.266 RR 0.87 0.67 1.12, Body Mass Index p 0.397, blood pressure classification p 0.658 RR 0.98 0.76 1.27, largest tumor diameter p 0.034 RR 1.30 1.03 1.63, haemoglobin level p 0.193 RR 0.98 0.76 1.27, blood leucocyte count p 0.969 RR 1.00 0.78 1.29, FIGO staging II vs III p 0.526 RR 1.08 0.85 1.38, histopathology result squamous cell carcinoma vs nonsquamous cell carcinoma p 0.159 RR 1.18 0.90 1.55, and grading p 0.469. on multivariate analysis, tumor diameter was statistically significant, with p 0.036 RR 2.64 1.07 6.56.
Conclusion: Most of definitive curative radiotherapy response on cervical cancer stage IIA IIIB was complete 68.29. Partial response was 24.49, stable response was 4.88, and progressive was 2.44. The Acute side effect of gastrointestinal tract, genitourinary tract, and hematologic were commonly can be tolerable during and 3 months post radiation therapy. Clinico pathologic characteristic that significantly related to complete response of radiotherapy were largest tumor diameter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Mikhael
"Latar belakan: Kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua dan tingkat kematian terbesar ketiga di Indonesia. Sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut (IIB-IIIB), sehingga terapi pilihan untuk pasien adalah radioterapi atau kemoradiasi. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa terdapat perbedaan respon tumor antara pasien yang dilakukan radiasi di pagi hari dibandingkan sore hari. Terlepas dari hal tersebut, kualitas dan kuantitas tidur dihubungkan dengan peningkatan faktor karsinogenik yang dapat menyebabkan imunosupresi. Penelitian juga menunjukkan bahwa gangguan tidur merupakan faktor prognostik independen dalam memengaruhi overall survival pasien kanker kolorektal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas dan kuantitas tidur terhadap respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional pada pasien kanker serviks stadium IIB – IIIB yang telah menjalani radioterapi di IPTOR RSCM. Data pola dan kebiasaan tidur didapatkan dari wawancara yang telah dilakukan kepada pasien kanker serviks dari penelitian terdahulu oleh Ramli dkk., berupa durasi, kualitas, dan jam mulai tidur malam, serta frekuensi, durasi, kualitas, dan jam mulai tidur siang. Data hasil terapi didapatkan dari pencatatan hasil pemeriksaan fisik di rekam medik.
Hasil : Rerata usia dari 43 sampel adalah 50 tahun dengan jenis karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin diferensiasi sedang. Pada analisis regresi logistik univariat, didapatkan adanya hubungan antara jam mulai tidur malam dengan respon klinis (p=0.032), dengan pengaruh yang cukup kuat (OR: 3,13, 95%CI; 1,10-8,88). Pada analisis multivariat, variabel jam mulai tidur malam masih memberikan signifikansi 0,032, dengan pengaruh terhadap respon yang cukup kuat (OR: 3,14,95%CI; 1,10-8,94), dimana jam mulai tidur yang lebih malam akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon tidakkomplit pada pasien.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kualitas tidur dan respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi. Terdapat hubungan antara jam mulai tidur dan respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi. Semakin telat pasien tidur akan meningkatkan kemungkinan respon klinis yang lebih buruk. Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor lain, dapat diketahui bahwa jam mulai tidur pasien mempengaruhi secara independen terhadap respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi

Background: Cervical cancer is the second most common cancer and the third largest cause of mortality due to cancer in Indonesia. Definitive chemoradiotherapy is the main modality in treating locally advanced cervical cancer patient. Previous studies have shown that there is a difference in tumour response between patients who received radiation in the morning compared to the afternoon. It is known that the quality and quantity of sleep is associated with an increase in carcinogenic factors, and may cause immunosuppression. Research also shows that sleep disturbance is an independent prognostic factor in influencing overall survival. The aim of this study is to determine the relationship between sleep quality and quantity on clinical response in locally advanced cervical cancer patients undergoing radiotherapy.
Methods: This is a cross-sectional study in cervical cancer patients treated with definitive chemoradiotherapy in Radiotherapy Department, Ciptomangunkusumo Hospital. Quality and quantity of sleep data was extracted from previous interview done with study subjects by Ramli et al, which include the duration, quality, and night bedtime schedule, and also the frequency, duration, quality, and nap time. Clinical response was assessed by physical examination by the end of radiotherapy treatment.
Results: Mean age of 43 patients were 50 years with non-keratinizing, moderate differentiation squamous cell carcinoma. From univariate logistic regression, there was an association between bedtime schedule and clinical response (p=0.032) with a good strength (OR: 3.13; 95% CI: 1.1-8.88). Multivariate analysis also showed that with a late bedtime schedule, there was a higher chance of incomplete clinical response in patients (p=0.035, OR: 3.14; 95% CI: 1.1-8.94)
Conclusion: There was no relationship between quality of sleep and clinical response for locally advanced cervical cancer who underwent radiotherapy. Meanwhile, bedtime yield a significant association with cervical cancer clinical response. After further adjustment with other factors, bedtime was an independent factor for locally advanced cervical cancer clinical response. 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nikki Aldi Massardi
"Telah dilakukan penelitian mengenai perbandingan ekspresi miRNA-143 pada serum dan sel eksfoliatif serviks serta hubungannya dengan ekspresi Bcl-2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat ekspresi miRNA-143 antara sampel serum dengan sampel sel eksfoliatif serta hubungannya dengan gen target Bcl-2. Data tersebut dapat digunakan sebagai informasi untuk pengembangan metode noninvasif untuk diagnosis awal kanker serviks. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel serum dan sampel sel eksfoliatif pada subyek normal dan subyek yang terdeteksi kanker serviks kemudian dianalisis dengan menggunakan qRT-PCR. Sampel pasien kanker serviks sebanyak 15 subyek dan 4 subyek normal digunakan untuk mendapatkan nilai kuantitas relatif ekspresi miRNA-143 dan Bcl-2. Analisis tingkat ekspresi miRNA-143 pada sampel serum menunjukkan nilai rerata yang rendah pada subyek normal dibandingkan pasien kanker serviks. Tingkat ekspresi miRNA-143 pada sampel sel menunjukkan hasil berbeda, dengan semakin tinggi derajat keparahan kanker, didapatkan hasil nilai rerata miRNA-143 yang lebih rendah. Analisis distribusi sampel menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara tingkat ekspresi miRNA-143 pada sampel serum dengan sampel sel p < 0,05; Kruskall Wallis . Hubungan antara miRNA-143 dengan gen target Bcl-2 pada penelitian ini menunjukkan korelasi yang lemah dan tidak signifikan r = -0,101; p > 0.05; Pearson .

Research had been done on the comparison of miRNA 143 expression in serum and exfoliative cervix cells and its relationship with expression of Bcl 2. This study aims to determine differences in the expression levels of miRNA 143 between serum samples and cell exfoliative samples and its relationship with the target gene Bcl 2. Those data can be used as information for the development of non invasive method for the early diagnosis of cervical cancer. The study was conducted by taking samples of serum and cell exfoliative samples in normal subjects and subjects with cervical cancer, then it is analyzed using qRT PCR. 15 samples of cervical cancer patients were obtained, and 4 normal subjects used to obtain the relative expression levels of miRNA 143 and Bcl 2. Analysis of the expression levels of miRNA 143 in the serum samples showed lower average value in normal subjects compared to patients with cervical cancer . MiRNA 143 expression levels in cell samples showed different results with the higher the degree of severity of the cancer, the average value of the miRNA 143 were lower. Analysis of the samples distribution showed that there are significant difference between the expression levels of miRNA 143 in the serum samples with the cell samples p 0.05, Pearson ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Meilana
"Pasien kanker serviks berisiko tinggi mengalami malnutrisi. Asupan makanan yang tidak adekuat, peningkatan kebutuhan, penurunan aktivitas fisik dan hiperkatabolisme, mendorong terjadinya malnutrisi. Kondisi ini dapat terjadi selama sakit maupun pada saat pengobatan, yang dapat memengaruhi status gizi pasien. Prevalensi malnutrisi pada pasien kanker serviks sebesar 48−66% dan meningkat hingga 82% setelah mendapat terapi. Pasien kanker serviks, 25% mengalami cachexia dan 33−69% mengalami sarkopenia. Penurunan massa otot yang merupakan penyusun utama massa bebas lemak (MBL), secara negatif memengaruhi efektivitas terapi dan kelangsungan hidup pasien. Bioelectrical impedance analysis (BIA) adalah alat tervalidasi untuk mengukur MBL sebagai bagian dari diagnosis malnutrisi, namun tidak selalu tersedia di fasilitas kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa kekuatan genggam tangan (KGT) dapat dijadikan sebagai prediktor MBL. Pengukuran KGT dengan handheld dynamometers (HHD) yang relatif murah, valid, dan andal, masih jarang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara KGT dan MBL pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi di Poliklinik Radioterapi RSCM. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subjek usia 18−60 tahun. KGT dinilai menggunakan Jamar digital HHD. MBL dinilai menggunakan BIA single frequency Omron® HBF−375. Terdapat 54 subjek dengan median usia 49 tahun, mayoritas stadium III, tidak terdapat metastasis dan komorbid, dan mendapat radioterapi saja. Mayoritas subjek tergolong BB lebih, dengan rerata asupan energi 20,79 ± 6,70 kkal/kgBB/hari, median asupan protein 0,68 (0,05−1,87) g/kgBB/hari, dan rerata asupan lemak 31,22 ± 8,81% dari energi total. Mayoritas asupan energi, protein dan lemak tergolong kurang dibandingkan dengan rekomendasi ESPEN. Rerata KGT 23,54 ± 5,16 kg dan rerata MBL 36,40 ± 6,03 kg. Dilakukan uji korelasi antara KGT dan MBL. Terdapat korelasi positif yang cukup antara KGT dan MBL pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi (r = 0,346, p = 0,010). KGT berkorelasi positif kuat dengan MBL (r = 0,601, p = 0,001) pada pasien kanker serviks yang hanya menjalani radioterapi (n=28). Pemeriksaan KGT kemungkinan dapat memprediksi MBL, sehingga dapat membantu diagnosis malnutrisi lebih dini dan mencegah luaran buruk pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi, terutama di fasilitas kesehatan yang tidak tersedia BIA. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan formulasi dalam memprediksi MBL dari KGT.

Cervical cancer patients are at high risk for malnutrition. Inadequate food intake, increased energy and protein requirements, decreased physical activity and hypercatabolism in cancer patients lead to malnutrition. This condition can occur during illness or during treatment, which can affect the nutritional status of the patient. The prevalence of malnutrition in cervical cancer patients was 48−66% and increased to 82% in patients receiving therapy. Patients with cervical cancer, 25% were cachectic and 33%–69% were sarcopenic. Loss of muscle mass, which are the main constituents of fat free mass (FFM), negatively impact therapeutic efficacy and survival in cervical cancer patients. Bioelectrical impedance analysis (BIA) is a validated tool for measuring FFM, as part of malnutrition, but it is not always available in health facilities. Research shows that hand grip strength (HGS) can be used as a predictor of FFM. HGS measurement with handheld dynamometers (HHD) which is relatively cheap, valid, and reliable, is still rarely used. This study aims to examine the relationship between HGS and FFM in cervical cancer patients undergoing radiotherapy at the Radiotherapy Outpatients Clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The study used a cross-sectional design on subjects aged 18−60 years. HGS was assessed using a Jamar digital hand dynamometer. FFM was assessed using the BIA single frequency Omron® HBF−375. A total of 54 study subjects with a median age of 49 years, the majority were in stage III, had no metastases, received radiation therapy only, and had no comorbidities. Most of the subjects were classified as overweight and obes, with a mean of energy intake 20.79 ± 6.70 kcal/kgBW/day, a median of protein intake 0.68 (0.05−1.87) g/kgBW/day, and an average of fat intake 31.22 ± 8.81% of the total energy. The majority of the energy, protein and fat intakes were less than the ESPEN recommendations. The mean HGS in the subjects was 23.54 ± 5.16 kg and the mean FFM was 36.40 ± 6.03 kg. Correlation test was conducted between HGS and FFM. There was a moderately positive correlation between HGS and KGT in cervical cancer patients undergoing radiotherapy (r = 0.346, p = 0.010). HGS was strongly positive correlation with FFM (r = 0.601, p = 0.001) in cervical cancer patients undergoing radiotherapy only (n=28). HGS maybe able to predict FFM for early diagnose of malnutrition and prevent poor outcomes in cervical cancer patients undergoing radiotherapy, especially in health facilities where BIA isn’t available. Further research is needed to get a formulation in predicting FFM from HGS."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Triharini
"ABSTRAK
Pasien kanker serviks yang mendapatkan kemoterapi akan mengalami masalah
secara fisik maupun psikologis. Keluhan fisik seperti mual, muntah dan lemah lesu
serta respon psikologis seperti kecemasan dan depresi dapat dikurangi dengan
memberikan paket edukasi tentang perawatan diri selama di rumah. Di ruang
kandungan RSU Dr. Soetomo Surabaya telah dikembangkan paket edukasi yang
berisi tentang pengaturan nutrisi, aktivitas, aspek psikologis dan latihan relaksasi
otot progresif yang diberikan pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui hubungan paket edukasi dengan
keluhan fisik dan psikologis pada pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi.
Penelitian ini menggunkan desain cross sectional. Metode sampling yang digunakan
adalah total populasi. Sampel diambil sesuai dengan kriteria inklusi sejumlah 25
orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Data analisis dengan
menggunakan uji T dan chi-squere. Hasil menunjukan adanya perbedaan yang
bemakna tingkat keluhan mual muntah, lemah lesu dan respon psikologis pada
responden sebelum dan sesudah intervensi (p<0,05). Hasil analisis hubungan
karakteristik responden dengan keluhan didapatkan hasil ada hubungan antara umur
dengan kecemasan (P=0,032), ada hubungan antara status bekerja dengan
kecemasan (P=0,003) dan ada hubungan antara frekuensi kemoterapi dengan lemah
lesu (P=0,015). Implikasi dari hasil penelitian ini adalah dapat dikembangkannya
paket edukasi sebagai bagian dari asuhan keperawatan pada pasien kanker serviks
yang menjalani kemoterapi untuk menurunkan keluhan fisik dan psikologis sehingga
memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

ABSTRACT
In general cervical cancer patient who undergo chemotherapy will experience physical and psychological symptoms. Physical symptoms such as nausea, vomiting, and fatigue; and psychological symptoms such as anxiety and depression can be minimized by giving them education package on how implement self-care at home. In the obstetric-gynecologic ward Dr. Soetomo hospital, education package on nutrition, physical exercise, psychological aspect and progressive muscle relaxation exercise had been established for cervical cancer patient who undergone chemotherapy. The purpose of this study is to examine the relationship between education package given to the cervical cancer patient with the physical and psychological symptoms on cervical cancer who undergone chemotherapy. This study was using cross sectional design with total population sampling method. 25 samples were recruited based on the inclusion criteria using structured questionnaire. T-test and chi-square were used to analyze the data. The findings shows that there is a significant different on nausea, vomiting & fatigue symptoms and psychological symptoms before and after intervention (p<0,05). The other findings show that there was a relationship between respondent characteristics and symptoms: aged and level of anxiety (P=0.032); work status & anxiety (P=0.003); and chemotherapy frequency & fatigue (P=0.015). The implication of this study was that education package is part of the nursing care of cervical cancer patient who undergone chemotherapy which can minimize physical & psychological symptoms and improve patient’s quality of life.
"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Taufika Yuhedi
"Latar Belakang: Kanker serviks stadium awal dapat ditatalaksana dengan baik, namun pada stadium lanjut lokal memiliki prognosis yang buruk. Terapi standar yang tersedia masih kurang optimal dan memiliki efek samping yang mengganggu. Pada keadaan tertentu tumor dapat mengalami metastases atau progresif, salah satunya karena adanya ikatan PD-L1 dengan sel limfosit T sehingga kanker serviks terhindar dari respon imun. Pemberian anti PD-L1 menjadi bagian yang penting dalam pengobatan imunoterapi kanker. Di Indonesia belum tersedia data empirik profil karakteristik yang berkaitan dengan ekspresi PD-L1 serta respon tumor terhadap radiasi pada kanker serviks.
Metode: Penelitian ini memeriksa ekspresi PD-L1 intratumoral pada jaringan biopsi karsinoma sel skuamosa serviks pre dan paska radiasi eksterna dengan menggunakan metode ELISA dan IHK, pemeriksaan IHK menggunakan antibodi clone 28-8 dari Abcam. Pemeriksaan CT scan evaluasi sebelum radiasi dan 2 bulan setelah radiasi dipakai sebagai alat untuk menilai respon terapi radiasi.
Hasil: Dari 31 pasien yang ikut serta, terdapat 29 pasien yang telah dilakukan pemeriksaan ekspresi PD-L1 sebelum dan sesudah radiasi, selanjutnya hanya 22 pasien yang telah menjalani CT scan evaluasi. Ekspresi PD-L1 ELISA paska radiasi eksterna berbeda bermakna pada tumor berukuran ≥5cm (p=0,015) dan ekspresi PD-L1 IHK berbeda bermakna pada sel tumor berkeratin (p=0,023), pada pasien dengan grade IHK yang difus (+3) resiko relatif untuk respon komplit 0,5 kali dibandingkan dengan grade IHK yang  tidak difus.Uji korelasi perbedaan selisih ekspresi (delta) dan rasio PD-L1 ELISA menunjukkan tidak ada korelasi (R2 = 0,217) dan (R2 = 0,194) terhadap respons, begitu juga hasil pada hasil pemeriksaan ekspresi PD-L1 IHK tidak ada perbedaan bermakna pada kategori kenaikan, tetap dan penurunan, tetapi ketika kategori dirubah menjadi penurunan dan tidak ada penurunan didapatkan nilai p yang lebih baik (p=0,161 vs p=.0,613)
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi PD-L1 pre dan paska radiasi terhadap respon, akan tetapi terdapat tren penurunan kadar PD-L1 IHK berkaitan dengan respon terapi.

Background: Early-stage cervical cancer can be managed properly, but at a locally advanced stage it has a poor prognosis. The standard therapy available is still suboptimal and has disturbing side effects. In certain circumstances, tumors can undergo metastases or progressives, one of which is due to the binding of PD-L1 with T lymphocyte cells so that cervical cancer is protected from the immune response. In Indonesia, there is no available empirical data on the characteristic profiles related to PD-L1 expression and tumor response to radiation in cervical cancer.
Method: This study examined intratumoral PD-L1 expression in biopsy tissue of squamous cell carcinoma of cervical cells pre and post external radiation using ELISA and IHC methods, IHC examination using antibody clone 28-8 from Abcam. CT scan evaluation before radiation and 2 months after radiation are used as a tool to assess the response of radiation therapy.
Results: Of the 31 patients who participated, there were 29 patients who had examined the expression of PD-L1 before and after radiation, then only 22 patients who had undergone a CT scan evaluation. Expression of PD-L1 ELISA after external radiation was significantly different in tumors of ≥5cm (p=0.015) and expression of PD-L1 IHC was significantly different in keratinous tumor cells (p = 0.023), in patients with diffuse IHC grade (+3) relative risk to complete response of 0.5 times compared to the grade of IHC which is not diffuse. Correlation test difference in expression difference (delta) and PD-L1 ELISA ratio showed no correlation (R2 =0.217) and (R2=0,194) to the response, as well as results on the examination results of PD-L1 IHC expression there was no significant difference in the increased category, constant and decrease, but when the category is changed to decrease and there is no decrease, a better p-value is obtained (p=0.161 vs p=0.613)
Conclusion: There was no significant difference between the expression of PD-L1 pre and post-radiation to the response, but there was a trend of decreasing PD-L1 IHC levels concerning therapeutic response.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>