Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adeputri Tanesha Idhayu
"Latar Belakang: Infeksi dengue dan demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Namun pada awal awitan demam terdapat kesulitan dalam membedakan keduanya. Oleh karena itu dibutuhkan modalitas pemeriksaan penunjang yang sederhana untuk membantu diagnosis infeksi dengue dan demam tifoid. C-Reactive Protein (CRP) merupakan alat bantu diagnostik yang terjangkau, cepat dan murah untuk diagnosis penyebab demam akut. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien demam akut dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue atau demam tifoid yang dirawat di IGD atau ruang rawat RSCM, RS Pluit dan RS Metropolitan Medical Center Jakarta dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Desember 2013. Kadar CRP yg diteliti adalah CRP yang diperiksa 2-5 hari setelah awitan demam. Data penyerta yang dikumpulkan adalah data demografis, data klinis, pemberian antibiotik selama perawatan, leukosit, trombosit, netrofil, LED dan lama perawatan.
Hasil: Sebanyak 188 subjek diikutsertakan pada penelitian ini, terdiri dari 102 pasien dengue dan 86 pasien demam tifoid. Didapatkan median (RIK) CRP pada infeksi dengue adalah 11,65 (16) mg/L dan pada demam tifoid adalah 53 (75) mg/L. Terdapat perbedaan median CRP yang bermakna antara infeksi dengue dan demam tifoid (p <0,001). Pada titik potong persentil 99%, didapatkan hasil kadar CRP infeksi dengue sebesar 45,91 mg/L dan kadar CRP demam tifoid pada level persentil 1% sebesar 8 mg/L.
Simpulan: Terdapat perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid. Pada titik potong persentil 99%, kadar CRP >45,91 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk demam tifoid, kadar CRP <8 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk infeksi dengue. kadar CRP 8-45,91 mg/L merupakan area abu-abu dalam membedakan diagnosis keduanya.

Background: Dengue infection and typhoid fever are endemic disease in Indonesia. But in the early days of onset sometimes it is difficult to distinguish them. A simple modality test is needed to support the diagnosis. C-Reactive Protein (CRP) is an affordable, fast and relatively less expensive diagnostic tool to diagnose the causes of acute fever. This study was aimed to determine the differences of CRP level in the acute febrile caused by dengue infection or typhoid fever.
Methods: A cross sectional study has been conducted among acute febrile patients with diagnosis of dengue fever/dengue hemorrhagic fever or typhoid fever who admitted to the emergency room or hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital, Pluit Hospital, and Metropolitan Medical Center Hospital Jakarta between January 2010 and December 2013. Data obtained from medical records. CRP used in this study was examined at 2-5 days after onset of fever. The other collected data were demographic data, clinical data, use of antibiotics, leukocytes, platelets, neutrophils, ESR, and length of stay in hospital.
Results: 188 subjects met the inclusion criteria; 102 patients with dengue and 86 patients with typhoid fever. Median CRP levels in dengue infection was 11.65 (16) mg/L and in typhoid fever was 53 (75) mg/L. There were significant differences in median CRP levels between dengue infection and typhoid fever (p < 0.001). At the 99% percentile cut-off point, CRP levels for dengue infection was 45.91 mg/L and CRP levels for typhoid fever at 1% percentile was 8 mg / L.
Conclusion: There was significantly different levels of CRP in acute fever due to dengue infection and typhoid fever. At the 99% percentile cut-off point, CRP level >45.91 mg/L was diagnostic for typhoid fever, CRP level <8 mg/L was diagnostic for dengue infection. CRP level between 8 to 45.91 mg/L was a gray area for determinating diagnosis of dengue infection and typhoid fever.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eppy
"Hubungan antara peningkatan kadar interleukin-6 dan protein C reaktif dengan kebocoran plasma pada penderita infeksi dengue dewasa masih belum jelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar IL-6 dan protein C reaktif antara kelompok infeksi dengue dengan dan tanpa kebocoran plasma. Penelitian dilakukan secara potong lintang terhadap data sekunder dari penderita infeksi dengue dewasa yang dirawat di RSCM dan RSUP Persahabatan antara 1 Maret 2014 - 1 April 2015. Jumlah total sampel adalah 44 orang, terdiri dari 24 orang dengan kebocoran plasma dan 20 orang tanpa kebocoran plasma. Kadar IL-6 pada kelompok dengan dan tanpa kebocoran plasma masing-masing pada hari ke-3 dan ke-5 demam adalah 8,56 vs 3,80 (p = 0,069) pg/mL dan 4,30 vs 2,76 pg/mL (p = 0,025), sedangkan untuk protein C reaktif adalah 10,1 vs 6,8 mg/L (p = 0,014) dan 5,0 vs 2,9 mg/L (p = 0,048).
Kadar IL-6 hari ke-3 dan ke-5 demam pada kelompok dengan kebocoran plasma adalah 8,56 vs 4,30 pg/mL (p = 0,037) dan pada kelompok tanpa kebocoran plasma adalah 3,80 vs 2,76 pg/mL (p = 0,005). Kadar protein C reaktif hari ke-3 dan ke-5 demam pada kelompok dengan kebocoran plasma adalah 10,1 vs 5,0 mg/L (p = 0,0001) dan pada kelompok tanpa kebocoran plasma adalah 6,8 vs 2,9 mg/L (p = 0,0001). Tidak ada perbedaan kadar IL-6 pada hari ke-3 demam di antara kedua kelom-pok, sedangkan pada hari ke-5 demam kadarnya lebih tinggi pada kelompok dengan kebocoran plasma. Kadar protein C reaktif hari ke-3 dan ke-5 demam lebih tinggi pada kelompok dengan kebocoran plasma. Kadar IL-6 dan protein C reaktif hari ke-3 lebih tinggi dibandingkan hari ke-5 demam pada kedua kelompok.

There is stiil unclear association between the elevation of interleukin-6 and C-reactive protein levels with plasma leakage in adult dengue infection patients. The study aims to determine differences in the levels of interleukin-6 and C-reactive protein among groups of dengue infection with and without plasma leakage. This is a cross-sectional study of secondary data from adult patients with dengue infection were treated at Cipto Mangunkusumo and Persahabatan Hospital between March 1, 2014 until April 1, 2015. The total number of samples were 44 people, consisting of 24 people with plasma leakage and 20 people without plasma leakage. Median levels of interleukin-6 for groups with and without plasma leakage each for the 3rd and the 5th day of fever were 8.56 vs 3.80 pg/mL(p = 0.069) and 4.30 vs 2.76 pg/mL (p = 0.025), whereas for C-reactive protein were 10.1 vs 6.8 mg/L ( p = 0.014) and 5.0 vs 2.9 mg/L (p = 0.048).
Median levels of interleukin-6 on the 3rd and the 5th day of fever in the group with plasma leakage were 8.56 vs 4.30 pg/mL (p = 0.037) and in the group without plasma leakage were 3.80 vs 2.76 pg/mL (p = 0.005). Median level of C-reactive protein on the 3rd and 5th day of fever in the group with plasma leakage were 10.1 vs 5.0 mg/L (p = 0.0001) and in the group without plasma leakage were 6.8 vs 2.9 mg/L (p = 0.0001). There was no differences in levels of interleukin-6 on the 3rd day of fever between the two groups, while on the 5th day of fever interleukin-6 levels was higher in the group with plasma leakage. The levels of C-reactive protein on the 3rd and the 5th day of fever were higher in the group with plasma leakage. The level of Interleukin-6 and C-reactive protein on the 3rd day of fever were higher than the 5th day of fever in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadianti
"ABSTRAK
Latar Belakang. Prevalensi demam tifoid hingga saat ini diperkirakan lebih tinggi pada pasien yang menderita demam akut dibandingkan pada demam yang disebabkan oleh infeksi lainnya terutama didaerah endemis. Berbagai pemeriksaan penunjang diagnostik demam tifoid pada pasien demam akut selama ini masih banyak kendala. Keberadaan sistem skor diagnostik demam tifoid pada pasien demam akut diperlukan untuk membantu penegakan diagnosis pasti pasien yang memerlukan pemeriksaan kultur kuman sebagai baku emas diagnostik atau uji PCR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan determinan dari sistem skor diagnostik demam tifoid pada pasien demam akut. Metode. Penelitian ini merupakan studi disain potong lintang yang dilakukan di bagian rawat inap RSU Kota Tangerang Selatan, RSU Hermina Ciputat dan RSPI Pondok Indah dalam kurun waktu Oktober 2015 sampai Februari 2017. Subjek menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan baku emas diagnostik. Data penyerta yang dikumpulkan adalah jenis kelamin, usia, pola demam sore hari ge; 38,3oC, gangguan saluran cerna, typhoid tongue, bradikardi relatif, leukopenia, trombositopenia, aneosinofilia, kenaikan kadar ALT, kenaikan kadar qCRP dan uji widal positif. Analisis data dilakukan dengan program SPSS statistics 17.0 untuk analisis univariat, bivariat dan multivariat dan Receiving Characteristics Operator ROC dan SPSS Statistics 20.0 untuk analisis bootstrapping pada Kalibrasi Hosmer-Lameshow Hasil. Sebanyak 200 sampel dianalisis untuk mendapatkan proporsi dan determinan demam tifoid. Sebanyak 32 sampel 16 terdiagnosis demam tifoid dan 84 sebagai demam nontifoid. Determinan demam tifoid pada pasien demam akut adalah gangguan saluran cerna dengan OR sebesar 20,172 95 Interval Kepercayaan/IK1,980-205,52 p = 0,011 , bradikardi relatif dengan OR sebesar 15,406 95 IK 1,261-188,23 p= 0,032, trombositopenia dengan OR sebesar 6,979 95 IK 1,846-26,392, p=0,004 , kenaikan kadar ALT dengan OR sebesar 4, 177 95 IK 1,335-13,069, p= 0,014 , kenaikan kadar qCRP dengan OR sebesar 12, 753 95 IK 2,950-55,132, p= 0,001 dan uji Widal positif dengan OR sebesar 3,493 95 IK 0,857-14,242 p= 0,081 , sedangkan nilai Cut off point adalah total skor ge; 5, dengan AUC 93,2 95 IK 89,3 -97,1 . Kualitas kalibrasi sistim skor didapatkan nilai 0,987 baik dan diskriminasi adalah 94,6 sangat kuat Simpulan. Proporsi demam tifoid pada pasien demam akut adalah 16 . Yang menjadi determinan diagnosis dan komponen sistem skor demam tifoid pada pasien demam akut adalah gangguan saluran cerna, bradikardi relatif, trombositopenia, kenaikan kadar ALT, kenaikan kadar qCRP dan uji widal positif.

ABSTRACT
Background. Prevalence of typhoid fever was greater in acute fever compared to the others etyologic especially in endemic area. There was many problem in diagnostic tools to confirm the diagnosis of typhoid fever in acute febrile patients. This diagnostic score system was needed in patients with acute fever to helping confirmation of definite diagnostic patients who need culture test as standart diagnostic or PCR test. Aim of this study was to identify the proportion and determinants of typhoid fever scoring system diagnostic in acute febrile patients. Methods. A cross sectional study was conducted in inpatient South Tangerang general hospital, Hermina Ciputat general hospital and Pondok Indah general hospital from October 2015 February 2017. All subjects underwent interview, physical examination, laboratory testing and blood culture as gold standart and PCR test. The collected data were gender, age, pattern of fever in the afternoon with ge 3,38oC, gastrointestinal disordes, typhoid tongue, relative bradicardia, leucopenia, trombositopenia, aneosinofilia, elevated level of ALT, elevated level of qCRP and positif widal test. Analysis was done by using SPSS statistics 17.0 univariate, bivariate dan multivariate and Receiving Operator Characteristics ROC and SPSS Statistics 20.0 for bootstrapping analysis in Hosmer Lameshow Calibration Results. 200 subjects met the inclution criteria, 32 subjects 16 were diagnosed as having typhoid fever and 168 84 as nontyphoid fever, Determinants for typhoid fever in acute febrile patients were gastrointestinal disorders with OR 20,172 95 convident interval CI 1,980 205,52 p 0,011 , relative bradicardia with OR 15,406 95 CI 1,261 188,23 p 0,032 , trombositopenia with OR 6,979 95 CI 1,846 26,392, p 0,004 , elevated level of ALT with OR 4, 177 95 CI 1,335 13,069, p 0,014 , elevated level of qCRP with OR 12, 753 95 CI 2,950 55,132, p 0,001 and positif widal test with OR 3,493 95 CI 0,85714,242 p 0,081 ,the Cut off point of total score was ge 5 with AUC 93,2 95 IK 89,3 97,1 . The calibration quality of this scoring system value was 0,987 good and the discriminant value was 94,6 very strong Conclusion. The proportion of typhoid fever in acute febrile patients was 16 . Determinants and components of scoring system of typhoid fever in acute febrile patients were consist of gastrointestinal disorders, relative bradicardia, trombositopenia, elevated level of ALT, elevated level of qCRP and positif widal test."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Muallimah
"Demam tifoid, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit tipes merupakan penyakit endemik di Indonesia. Diperkirakan hampir 100.000 penduduk Indonesia terjangkit demam tifoid tiap tahunnya. Salah satu langkah pencegahan penyebaran demam tifoid adalah melalui vaksinasi. Terdapat 3 jenis vaksin tifoid, yaitu TCV, vaksin polisakarida non konjugat suntik, dan vaksin oral. Sayangnya, ketiga vaksin memiliki rata-rata efektivitas < 75%. Maka dari itu, model penyebaran demam tifoid dengan intervensi vaksin dikonstruksi pada penelitian ini. Kajian analitik pada model dilakukan untuk melihat kepositifan, eksistensi dan kestabilan titik ekulibrium, dan juga bilangan reproduksi dasar dari model. Tak hanya itu, simulasi numerik dan interpretasinya dilakukan untuk melihat elastisitas dan sensitivitas R0 yang berkorelasi dengan paremeter efektivitas vaksin. Terakhir, dilakukan juga simulasi autonomous untuk melihat bagaimana perubahan setiap kelompok dalam populasi terhadap perubahan nilai parameter.

Typhoid fever is one of the endemic diseases in Indonesia. Around 100.000 Indonesians are estimated to get this disease every year. Typhoid vaccination is one of the effective strategies for preventing and controlling typhoid fever. There are 3 types of typhoid vaccines, the Typhoid Conjugate Vaccine (TCV), the unconjugated Vi Polysaccharide (ViPS), and the oral vaccine (Ty21a). The effectiveness of the three vaccines is no more than 75%. For that reason, a mathematical model of typhoid fever infection was constructed in this paper. An analytical study of the model was done to see the positivity of solutions, and the existence and stability of equilibrium points. Additionally, numerical simulation and interpretation were done to see the elasticity and sensitivity of the basic reproduction number."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirari Prasadajudio
"Indonesia memiliki insiden demam tifoid yang cukup tinggi khususnya kelompok usia anak. Namun terdapat keterbatasan penelitian yang mempelajari distribusi demam tifoid pada anak, sehingga perlu dilakukan penelitian karakteristik pasien demam tifoid yang terbukti dengan temuan isolat S.typhi, penanganannya, pola resistensi antibiotik dan serotipe S.typhi yang bersirkulasi di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien demam tifoid, diagnosis dan penanganannya, pola resistensi antibiotik dan serotipe S.typhi pada anak di beberapa daerah di Jakarta.
Metodologi: Studi potong lintang dengan total 142 subjek. Evaluasi karakteristik dan uji resistensi antimikroba terhadap 22 subjek demam tifoid yang telah dikonfirmasi dengan kultur darah dan pemeriksaan penunjang Tubex ®TF ≥4, serta flagellin based-PCR pada 22 isolat S.typhi untuk analisis serotipe dengan gen fli-B, fli-C dan aro-C.
Hasil: Subjek lelaki lebih banyak daripada perempuan, kelompok usia tertinggi 5-9 tahun dan lama demam sekitar 6-8 hari. Manifestasi klinis demam tifoid yang diamati bervariasi, paling sering diare, mual dan muntah, namun tidak berbeda bermakna dengan penyebab demam yang lain yang memiliki klinis gangguan digestif. Sebagian besar subjek penelitian telah mendapatkan pengobatan sebelumnya (61,3%) namun riwayat pemberian antibiotik tidak diketahui pasti, dengan kecenderungan pemberian terapi golongan sefalosporin lebih banyak daripada antibiotik lini pertama.
Pemeriksaan penunjang dengan Tubex ®TF mendeteksi positif 67 subjek (47,2%) dengan sensitivitas 95,2%, spesifisitas 56,1%. Berdasar konfirmasi temuan isolat S.typhi pada kultur darah, hanya 22 subjek (15,5%) yang benar menderita demam tifoid dengan karakteristik pasien secara umum tidak berbeda bermakna dengan pasien bukan demam tifoid. Berdasarkan pemeriksaan Tubex ®TF dan kultur darah, demam tifoid lebih banyak didiagnosis dengan tepat di rumah sakit bila dibandingkan dengan puskesmas. Ditemukan 22 isolat positif gen aro-C, 20 isolat positif gen fli-C H:d, 2 fli-C H:j dan 2 isolat yang sama positif dengan gen fli-B. Serotipe S.typhi yang bersirkulasi, namun tidak ditemukan perbedaan manifestasi klinis, dan semua isolat masih sensitif terhadap kloramfenikol, ampisilin dan kotrimoksazol.
Simpulan: Angka kejadian demam tifoid yang didiagnosis pasti dengan konfirmasi kultur darah jauh lebih rendah daripada diagnosis klinis. Penelitian ini menunjukkan bahwa kloramfenikol masih dapat diberikan karena serotipe S.typhi yang ditemukan masih sensitif terhadap semua antimikroba.

Indonesia is known with high incidence of typhoid fever, however there are limited studies available to observe this disease burden in children. Thus a study to observe not only characteristic of patients, its clinical manifestation, diagnostic approach and management, but also thorough evaluation needed to evaluate its drug resistance pattern and Salmonella typhi serotypes circulating in Indonesia.
Objective: To evaluate characteristics of children with typhoid fever, its diagnostics and management, antimicrobial resistance pattern and serotype S.typhi circulating amongst children in Jakarta.
Methods: Descriptive study with 142 subjects clinically diagnosed with typhoid fever. Characterization of 22 subjects with confirmed case typhoid fever based on S.typhi isolate finding in blood culture and confirmation with Tubex®TF ≥4. Evaluation of antimicrobial resistance pattern and Flagellin based-PCR using fli-B, fli-C and aro-C genes to further analyze serotype S.typhi in children.
Results: There were more male than female participants in the study. The highest rate age of group observed were 5to 9 years-old. Most subjects had fever between 6-8 days with clinical manifestations varied but mostly related to digestive system such as diarrhea, nausea and vomit, however there was not difference between typhoid and non typhoid in clinical manifestation. Majority of subjects had received antibiotics prior to diagnose (61,3%), however many were oblivious to the type of treatment received, yet many were prescribed Cephalosporine instead of firstline treatments.
Tubex ®TF detected 67 cases of typhoid fever (47.2%), sensitivity 95.2%, specificity 56.1%. Only 22 subjects were confirmed case of typhoid fever (15.5%), however all patients yielded similar characteristics to patients in probable case. Based on laboratory assessment tools, doctors in tertiary hospital showed better accuracy in diagnosing patients with suspected typhoid if compared to primary health care one. Meanwhile all isolates showed positive results with aro-C gene controls, 20 showed positive with fli-C H:d genes whereas only 2 with H: j alleles, and 2 yielded positive results for fli-B. No differences were found in clinical manifestation and all serotypes were sensitive to all antimicrobials tested.
Conclusions: Confirmed case of typhoid fever is lower in prevalence if compared to probable case in society. Chloramphenicol is still recommended as first drug of choice for typhoid fever since S.typhi isolated in this research did not reveal any resistancy towards first line antibiotics."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trusty Ayu Hapsari
"Demam Berdarah Dengue (DBD adalah salah satu masalah kesehatan di dunia. Penggunaan Non Structural-1 (NS-1) antigen dari virus dengue untuk deteksi awal telah terbukti sebagai salah satu solusi dari penentu infeksi dengue. Salah satu alat diagnosik yang tersedia di Indonesia adalah Bio-Rad NS1 Ag strip. Penelitian ini berjalan selama18 bulan di mulai dari tanggal November 2010 sampai dengan Mei 2012. Seratus dua pasien dengan demam kurang dari 2 hari terlibat dalam studi ini. Peneliti menggunakan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Virus isolation di sel C6/36, atau IgG and IgM titer ELISA sebagai standard emas dalam mendeteksi infeksi dengue. Dalam riset ini, kami menggunakan Bio-Rad NS1 antigen untuk mendeteksi keberadaan antigen NS1 dalam serum darah pasien yang terduga terkena demam berdarah. SPSS 16.0 digunakan untuk menganalisa data. Hasil yang diperoleh adalah dari 102 pasien yang terduga terkena demam berdarah, terdapat 68(68.3%) positf terkena demam berdarah dan 34(31.7%) negatif. Serotype virus juga dipeoleh mellaui RT PCR. Dari 68 pasien yang positif demam berdarah, ada 17 terkena DENV-1, 21 terinfeksi DENV-2, 16 terinfeksiDENV-3, 4 terinfeksi DENV-4, 8 terinfeksi campuran, dan 2 tidak diketahui serotypenya. Nilai sensitivitas dan specifisitas Bio-Rad NS1 Ag Strip dalam mendeteksi infeksi demam berdarah dengan nilai 86.2% dan 96.3%. Dalam mendeteksi infeksi DENV-1, sensitivitas and spesifisitas Bio-Rad NS1 Ag strip adalah 94.12dan 94.44% (95% CI, 80.5% to 97.7%). Sedangkan untuk mendeteksi DENV-3, alat ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas 94.44% (95% CI, 69.3% to 93.5%). Bedasarkan hasil ini, Bio-Rad NS1 Ag Strip dapat dipergunakan sebagai alat untuk menegakan diagnosis dari infeksi demam berdarah DENV-1 dan DENV-3 pada awal demam.

Dengue infection has been one of the health issues in worldwide. The utilization of Non Structural-1 (NS1) antigen in order to detect early dengue infection has been proven to be one of the solutions. Diagnostic kit named Bio-Rad NS1Ag Strip is one of the kit that uses antigen which is available in Indonesia. The purpose of this study is to evaluate the sensitivity, specificity, PPV, and NPV value of the kit. This study was held in 18 months duration from November 2010 until Mei 2012. One hundred and two subjects with fever less than 48 hours were included in the study. RT-PCR or virus isolation C6/36 or ELISA antibody titer were used as the gold standard of this research. Bio-Rad NS1 Ag Strip was used to determine the presence of NS1 antigen in the patient. Data analysis and statistics uses SPSS 16.0.In the result, there were 68 (68.3%) positive and 34 (31.7%) negative. RT PCR also determined the virus’s stereotypes. There were 17 of DENV-1, 21 of DENV-2, 16 of DENV-3, 4 of DENV-4, 8 of mixed infection and 2 unknown serotypes. Bio-Rad NS1 Ag has 86.2% of sensitivity and 96.35 of specificity to detect all stereotypes. In for detecting DENV-1, the kit has 94.12% sensitivity and 94.44% (95% CI, 80.5% to 97.7%). Meanwhile, in detecting DENV-3, the kit has 75%sensitivity and 94.44% specificity (95% CI, 69.3% to 93.5%). According to these findings, Bio-Rad NS1 Ag strip is suitable as a diagnostic kit to make early diagnosis of dengue fever DENV-1 and DENV-3.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Saiful Rizal
"Latar Belakang: Endometriosis adalah terdapatnya jaringan (kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium di luar uterus yang menyebabkan proses reaksi inflamasi kronis. Penderita endometriosis mengalami gangguan yang bersifat siklik dan terus menerus.Masalah lain adalah keterlambatan diagnosis. Laparoskopi adalah baku emas endometriosis, namun sulit untuk mengenali endometriosis pada stadium minimal dan ringan. Penanda atau biomarker sangat berguna untuk menghindari tindakan invasif yang tidak diperlukan, belum ada biomarker dapat memberikan gambaran secara jelas pada penggunaan klinis sehari-hari. Calprotectin adalah penanda dari inflamasi akut dan kronis yang diekspresikan pada granulosit terutama pada neutrofil, dan juga pada monosit, dan makrofag.25,26 belum ada penelitian yang meneliti hubungan calprotectin dengan penderita endometriosis. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan secara rutin digunakan sebagai penanda infeksi, inflamasi, atau kerusakan jaringan.30,31 Data mengenai kadar CRP perifer pada endometriosis jarang dan kontroversial.31
Tujuan: Diketahui korelasi calprotectin dan hs-CRP serum sebagai penanda inflamasi kronis terhadap derajat endometriosis menurut klasifikasi rASRM, yaitu derajat minimal, ringan, sedang, dan berat
Metode: Analisis observasional dengan desain potong lintang pada bulan Juli 2017-April 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Fatmawati dan RSUP Persahabatan, Jakarta. Empat puluh enam pasien endometriosis yang akan menjalani laparoskopi atau laparotomi yang memenuhi syarat penelitian direkrut consecutive sampling diperiksa kadar serum Calprotectin dan hs-CRP. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik dan Penelitian tahun 2017
Hasil: Tidak adanya korelasi antara Calprotectin dengan derajat endometriosis (r=-0,16, p=0,278). Adanya korelasi positif lemah antara HsCRP dengan derajat endometriosis (r=0,29, p=0,050)
Kesimpulan: Kadar Calprotectin serum tidak memiliki korelasi dengan derajat endometriosis. Kadar HsCRP serum memiliki korelasi positif lemah dengan derajat endometriosis, HsCRP dan Calprotectin serum tidak dapat membedakan derajat endometriosis

Background: Endometriosis is defined as the presence of endometrial-like tissue (gland and stroma) outside the uterus, which induces a chronic inflammatory reaction. Patients with endometriosis experience cyclic and continuous symptoms. Another problem is delays in diagnosis. Laparoscopy is gold standart in endometriosis, but it is difficult to recognize endometriosis at minimal and mild stage. Biomarkers are very useful to avoid invasive procedure that are not needed, none of these have been clearly shown to be of clinical use. Calprotectin is a marker of acute and chronic inflammation which is expressed on granulocytes, especially in neutrophils, and also in monocytes, and macrophages. There have been no studies examining the relationship between calprotectin and endometriosis. CRP is a systemic inflammatory marker and it routinely used as a marker of infection, inflammation, or tissue damage. Data regarding the CRP level in peripheral blood of endometriosis patients are relatively scarce and controversial. Purpose: The purpose of this research is to identify correlation between calprotectin and hs-CRP as a marker of chronic inflammation with the degree of endometriosis according to the rASRM classification, which is minimal, mild, moderate, and severe. Method: Analysis observational with cross sectional study design in July 2017-April 2018 at Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, Fatmawati General Hospital and Persahabatan Hospital, Jakarta. Forty-six endometriosis patients undergoing laparoscopy or laparotomy who met the study requirements were recruited by consecutive sampling to be examined for serum levels of Calprotectin and hs-CRP. This study was approved by Ethics and Research Committee in 2017 Results: No correlation between Calprotectin and the degree of endometriosis (r=-0.16, p=0.278). There was a weak positive correlation between HsCRP and the degree of endometriosis (r=0.29, p=0.050). Conclusion: Calprotectin levels uncorrelated with the degree of endometriosis. HsCRP levels have a weak positive correlation with the degree of endometriosis, HsCRP dan Calprotectin cannot distinguish the degree of endometriosis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Bianti
"Latar belakang: Penilaian keaktifan penyakit urtikaria kronik selama ini menggunakan kuesioner Urticaria Activity Score (UAS) yang telah divalidasi namun memiliki kekurangan bersifat subjektif. Berbagai biomarker telah dilaporkan berpotensi menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik secara objektif untuk melengkapi penilaian menggunakan kuesioner UAS tetapi belum secara rutin dan seragam digunakan pada urtikaria kronik. C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu biomarker potensial yang secara luas tersedia dengan biaya yang tidak tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian di Indonesia yang menilai apakah CRP dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik.
Tujuan: Menilai korelasi antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai berdasarkan UAS7.
Metode: Sebanyak 18 pasien urtikaria kronik berusia 18 – 59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan menjadi subjek penelitian. Dilakukan penilaian UAS7 dan pemeriksaan kadar CRP. Korelasi kadar CRP dan keaktifan penyakit yang dinilai dengan UAS7 dilakukan menggunakan uji Spearman.
Hasil: Lebih dari 1/3 pasien dengan urtikaria kronik memiliki kadar CRP yang meningkat di atas normal dengan nilai median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. Median skor UAS7 adalah 14 (5 – 32). Berdasarkan uji Spearman didapatkan nilai koefisien korelasi (r=0,529) dengan nilai p=0,024.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner UAS7.

Background: Urticaria Activity Score is a questionnairres that has been use as a tool to assess disease activity. This tool is validated and of great value in the monitoring of patients with chronic urticaria, but has disadvantage of being subjective instrument. Several reports have suggested that blood parameter, such as CRP, may indicate disease activity and may be considered as potential biomarker for chronic urticaria however, it is not routinely used in daily practice in Indonesia. Therefore, research is needed to see whether CRP can be supporting examination of choice to assess disease activity.
Objective: To assess the correlation between CRP levels and disease activity measured by UAS7.
Method: Eighteen chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias are recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of CRP levels were performed. Correlation of CRP levels and diasease activity was done using Spearman analysis.
Results: CRP levels was higher in more than 1/3 patients with chronic urticaria with median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. The median of UAS7 is 14 (5 – 32. Based on Spearman analysis, the coefficient of correlation is 0,529 with p value = 0,024.
Conclusion: CRP levels was significantly correlated with disease activity as measured by UAS7.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikke Yuniherlina
"Manifestasi klinis demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi permasalahan dalam kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan derajat keparahan DBD menurut kritera WHO 2011 terbagi atas DBD derajat I, DBD derajat II, DBD derajat III, dan DBD derajat IV. Di Indonesia insiden DBD meningkat walaupun angka kematiannya menurun, untuk itu penelitian ini bertujuan meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan keparahan DBD, dimana DBD derajat II, III, dan IV dikategorikan sebagai DBD parah.
Penelitian cross-sectional yang menggunakan data sekunder dari studi etiologi demam akut dari delapan rumah sakit di Indonesia, didapatkan proporsi keparahan DBD sebesar 43,3%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keparahan DBD didapatkan faktor jenis serotipe virus DENV-2 (OR = 3,06 95%CI 1,43-6,55), DENV-3 (OR = 2,62 95% CI 1,33-5,15), faktor lama demam (OR = 1,91 95%CI 1,09-3,35), dan faktor jumlah leukosit (OR = 1,79 95%CI 1,02-3,16). Skoring didapatkan sebesar 67% kemampuan untuk memprediksi keparahan.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) as a clinical manifestasion of dengue infection remains a public health problem in Indonesia. According to WHO, DHF severity grade was divided into DHF I, DHF II, DHF III and DHF IV. In Indonesia, the incidence of DHF increased eventhough the mortality rate decreased. Therefore, the study aims to examine prognostic factors related to the severity of DHF, with the category of severe DHF is including DHF II, DHF III and DHF IV.
This cross-sectional study using secondary data from the Acute Febrile Illness Etiology Study of eight Hospitals in Indonesia. The result as follow, the proportion of severe DHF category is 43.3%, the prognostic factors associated with DHF severity are DENV serotype (DENV-2, OR = 3.06 95% CI 1.43 - 6.55; DENV-3, OR = 2.62 95% CI 1.33 - 5.15), day of illness (OR = 1.91 95% CI 1.09 - 3.35), and leucocyte count (OR = 1.79 95% CI 1.02 - 3.16). The scoring with contributing of DENV serotype, day of illness, and leucocyte count as prognostic factors, has only 67% ability to predict DHF severity.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendiwijaya
"Perjalanan klinis IMA yang berupa kejadian kardiak seperti gagal jantung, angina paska infark, aritmi ventrikel dan kematian, dilaporkan cukup tinggi, termasuk yang dilaporkan di RSJHK. Banyak petanda-petanda laboratorium untuk mendeteksi dini terhadap komplikasi dari perjalanan klinis IMA diperiksa sebagai petanda prognostik. Kini ada beberapa peneliti menghubungkan petanda proses inflamasi sebagai nilai prognostik, karena mereka mempunyai pendapat bahwa patologi dari sindroma koroner akut termasuk infark miokard akut merupakan respons inflamasi dari suatu cidera sel. Akibat cidera sel ini tubuh memberikan respon sistemik dengan mengeluarkan protein-protein fase akut Dari protein-protein fase akut yang dikeluarkan tubuh yang paling terbanyak dan sensitif adalah CRP. Tujuan penelitian iní untuk mengetahui nilai CRP penderita IMA pada saat masuk di unit gawat darurat dan mengetahui hubungan peningkatan nilai CRP awal pada infark miokard akut terhadap perjalanan klinis selama perawatan rumahsakit, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai faktor prognosis terhadap perjalanan klinis IMA. Penelitian ini dikerjakan di RSJHK secara studi cross sectional terhadap 31 penderita IMA yang masuk ke unit gawat darurat berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pemeriksaan nilai CRP dengan menggunakan metode turbidimetri alat Hitachi/BM 911, dengan nilai normal CRP < 0,5 mg/dl (Standard Internasional). Hasil penelitian didapatkan umur rerata penderita 53,2 8,64 tahun, dengan kelompok kelamin laki-laki 27 orang (87,1 %) dan perempuan 4 orang (12,9 %) dengan onset sakit dada 4,2 ± 2,7 jam. Diagnosa infark anterior 22 orang (71 %) dan diagnosa infark inferior 9 orang (29 %). Didapatkan rerata nilai CRP awal 0,7 ±0,79 mg/dl, CRPjam ke 12 rerata 1,7 ±2, 15 mg/dl dan CRP jam ke 72 rerata 6,8 ± 5,65 mg/dl. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan nilai CRP awal dengan komplikasi klinis IMA (r-0,6; p-0,0004). CRP jam ke 12 dan jam ke 72 mempunyai korelasi lemah (masing-masing r0,4;p-0,03 dan r0,4; p-0,006) terhadap komplikasi klinis. Peningkatan nilai CRP mempunyai korelasi linier positif terhadap nilai puncak enzim jantung. Peningkatan nilai CRP awal mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CK/CKMB puncak (P<0,05) dan berkorelasi positif sedang (r-0,5) Demikian juga dengan nilai CRP ke 72 (CRP puncak) mempunyai hubungan linier positif dengan enzim CK puncak dan CKMB puncak. Komplikasi klinis IMA seperti gagal jantung mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CRP awal yang meningkat (87,5% vs 12,5%; p-0,009) dibandingkan nilai CRP awal normal, demikian juga dengan angina paska IMA berbeda bermakna antara nilai CRP yang meningkat dengan nilai CRP normal (85,7% vs 14,3%; p-0,02). Nilai CRP awal yang meningkat mempunyai rasio odd 30,8 (IK 95%: 3,1-303,4) terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit. Kesimpulan: Peningkatan nilai CRP pada saat masuk rumahsakit mempunyai hubungan terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit dan nilai CRP mempunyai nilai prognostik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>