Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116837 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Farida Soenarto
"Latar belakang: Halotan, anestetika inhalasi yang poten semakin banyak ditinggalkan karena efek aritmogeniknya. Penelitian di tingkat selular kebanyakan dilakukan pada penyandang hipertermia maligna (MH), membuktikan bahwa halotan mengaktivasi reseptor ryanodin (RyR) pada otot rangka, menyebabkan penglepasan berlebihan Ca2+ dari retikulum sarkoplasmik (SR) ke sitosol, memicu hiperkontraktur otot rangka. Diasumsikan halotan mempunyai efek serupa pada otot jantung. Belum banyak penelitian mengenai efek pemberian Mg2+ terhadap perubahan konsentrasi Ca2+ akibat halotan, meskipun Mg2+ dikenal sebagai obat antiaritmik. Mg2+ diduga menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol dengan cara meningkatkan ambilan kembali ke dalam SR melalui aktivitas SERCA.
Metode penelitian: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vitro, dengan subjek sel kultur miosit jantung tikus. Miosit yang dimuat dengan indikator Indo1 dibagi menjadi lima kelompok. Sel kontrol tidak dipajankan dengan halotan. Kelompok sel lainnya dipajankan dengan halotan berkonsentrasi 2 mM (setara dengan 1 - 3 MAC) selama 5 menit. Pada kelompok 1, setelah dipajankan dengan halotan, pajanan dihentikan dan diperiksa besar emisinya (penghentian menit ke- 0). Selanjutnya pemeriksaan emisi dilakukan setelah penghentian pajanan diteruskan selama 5, 10, 15 dan 20 menit. Sel kelompok 2 dan 3 diberi MgSO4 11 M dan 22 mM setelah pajanan halotan, kelompok 4 dan 5 diberi MgSO4 11 mM dan 22 mM sebelum pajanan halotan. Perubahan konsentrasi Ca2+ sitosol diketahui dengan pemindaian laser menggunakan mikroskop konfokal, dihitung dari perubahan besar emisi pada sel terpajan dengan analisis pixel.
Hasil: Halotan meningkatkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung secara bermakna. Pemberian MgSO4 sebelum pajanan halotan tidak mencegah peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol. Pemberian MgSO4 setelah pajanan halotan tidak bermakna menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol, namun ditemukan kecenderungan turunnya konsentrasi Ca2+ sitosol dengan penambahan dosis MgSO4, setara dengan efek penghentian pajanan halotan selama 10 menit. Lima belas menit setelah penghentian pajanan halotan, konsentrasi Ca2+ turun secara bermakna. Dua puluh menit setelah pajanan halotan dihentikan, konsentrasi Ca2+ sitosol telah kembali ke nilai awal.
Simpulan: Halotan meningkatkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung. Mg2+ tidak bermakna menurunkan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung dan tidak mencegah peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosol jantung akibat pajanan halotan. Setelah penghentian pajanan halotan selama 15 menit, konsentrasi Ca2+ sitosol turun secara bermakna.

Background: Halothane, a potent inhalational anesthetic, has been recognized to cause arrhythmia, probably due to activation of ryanodine receptor (RyR), triggering Ca2+ release from sarcoplasmic reticulum (SR) to the cytosol. The similar mechanism had been known in skeletal muscle of malignant hyperthermia (MH) patients. Mg2+ hypothetically prevents Ca2+ release by inhibition of RyR and increasing Ca2+ reuptake to SR by SERCA activity. Although Mg2+ had been used as an antiarrhythmic agent, the effect on reducing halothane-induced high intracellular Ca2+ concentration is not well studied.
Method: This experimental in vitro study was done on cultured cell of rat cardiomyocytes. Cells divided into 6 groups. 5 groups were exposed to halothane for 5 minutes (at concentration of 2 mM, equal to 1-3 MAC) and one was not. Of the 5 halothane-exposed groups, group 1 received no additional treatment, but observed immediately after discontinuation of halothane exposure, then 5, 10, 15 and 20 minutes after discontinuation. Group 2 and 3 were given 11 mM and 22 mM MgSO4 after halothane exposure, respectively. Group 4 and 5 had the corresponding MgSO4 treatment prior to exposure. The change in cytosolic Ca2+ was observed by a confocal microscope and measured by pixel analysis for the emission.
Results: Halothane increased cytosolic Ca2+ concentration in rat cardiac myocytes, in which was not substantially altered by MgSO4 given before or after the exposure. There was a trend of decreasing Ca2+ concentration with higher dose of Mg2+. MgSO4 of 22 mM decreased cytosolic Ca2+ concentration to the same extent as discontinuation of halothane for 10 minutes. The cytosolic Ca2+ concentration significantly decreased 15 minutes after discontinuation of halothane exposure and the cytosolic Ca2+ concentration returned to the basal level 20 minutes after discontinuation of halothane exposure.
Conclusion: Halothane increases cytosolic Ca2+ concentration in rat cardiac myocytes. Neither pre- nor post-halothane exposure administration of MgSO4 substantially alters this phenomenon. Cytosolic Ca2+ concentration was significantly reduced 15 minutes after discontinuation of halothane exposure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subowo
Bandung: Angkasa, 1995
571.6 SUB b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Subowo
Jakarta: Sagung Seto, 2015
571.6 SUB b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Choirul Muslim
Bengkulu: Jurusan Biologi Universitas Bengkulu, 2003
571.6 CHO b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Martinus
"ABSTRAK
Latar belakang: Cidera saraf perifer sebagai keluaran dari post operatif hingga saat ini belum ditangani dengan maksimal. Penelitian ini ditujukan untuk menentukan potensi dari sekretom pada regenerasi cidera saraf perifer.
Metode: Cidera saraf perifer buatan dilakukan pada tikus dengan melakukan diseksi pada saraf sciatic. Evaluasi perbaikan motorik dilakukan mengunakan Sciatic Functional Index (SFI) pada minggu ke enam (SFI 1), minggu ke sembilan (SFI 2), dan minggu ke dua belas (SFI 3). Rasio berat basah antara otot gastrocnemius kanan dan kiri dibandingkan serta dilakukan histomorphometry saraf sciatic pada tiap kelompok.
Hasil: Kelompok III menunjukan SFI 1 yang lebih baik dibandingkan kelompok I (p=0.017). Kelompok I dan III menunjukan perbedaan SF2 yang signifikan dibandingkan dengan kelompok II dan IV (p<0.001). Rasio tertinggi dari otot gastrocnemius ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai 0.65 ± 0.059 dan 0.67 ± 0.179 (p<0.001). Pada histomorphometry, akson termyelinisasi paling banyak ditemukan pada kelompok I dan III, yang bernilai p<0.001.
Kesimpulan: Sekretom sel punca mesenkimal korda umbilikalis dapat digunakan sebagai terapi baru untuk menggantikan autograf pada penanganan kerusakan saraf perifer.

ABSTRACT
Background: Currently, the post-surgical outcome of peripheral nerve injury has not been optimal. The purpose of this research is to determine the potency of secretome in peripheral nerve injury regeneration.
Method: The mice had artificially-induced peripheral nerve injury, which was created by dissecting the sciatic nerve. Sciatic Functional Index (SFI) was used to evaluate the motoric recovery on week six (SFI 1), week nine (SFI 2), and week twelve (SFI 3). The mice was sacrificed on week twelve. The wet mass ratios of the right and left gastrocnemius muscle were compared, then the sciatic nerve histomorphometry evaluation was performed on each group.
Results: Group III showed a better SFI 1 result than Group I (p=0.017). Group I and III showed significantly better SFI 2 than group II and IV (p<0.001). The highest ratio of gastrocnemius muscle was found in group I and III, which were 0.65 ± 0.059 and 0.67 ± 0.179 (p<0.001). On histomorphometry, the highest number of myelinated axons were found in group I and III, which were p<0.001.
Conclusion: Umbilical cord mesenchymal stem cell secretome can be used as a new therapy to replace the autograft in peripheral nerve defect management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madhyra Tri lndraswari
"Latar Belakang: Di era ini, terapi dengan sel punea untuk mengobati berbagai
penyakit semakin dirninati. Sejauh ini, banyak pendapat mengenai keamanan sel
punea, yang dikatakan aman untuk manusia. NaIllun" belum ada penelitian lebih
jauh mengenai keamanan sel punea yang disuntikan lewat vena, untuk kesehatan
pembuluh darah. Tujuan dari peneiitian ini adalah untuk menganalisis efek sel
punea yang disuntikkan secara IV, pada pembuluh darah arteri yang nannal.
Metode: Data didapatkan dari eksperimen klinik tikus Wistar yang dilaksanakan
di Instilut Pertanian Bogor, merupakan studt awal pada tikus dengan tekanan darah
normal. Tikus dengan tekanan darah nonnal (140/100 mmHg, diukur dengan
CODA) tersebut dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama ada kelompok
kontrol, kelompok kedua disumikan secara IV sel punca 1 x 106 , dan kelompok
keliga 3xl 06 sel, dalam sekali penyuntikan. Kelompok kedua dan ketiga diamati
selama 1 bulan setelah penyuntikan sel punca. Setelah 1 bulan, tikus dinekropsi
dalam keadaan anastesi. Selanjutnya, dengan bantuan J Image Software, dilakukan
pcngamatan terhadap diameter dan ketebalan dinding dari meri karotis, karotis
interna, karotis eksterna, aorta abdominal, iliaka kiri, dan iliaka kanan. Analisis
statistik dilakukan dengan metode ANOV A terhadap 3 kelompok tikus untuk.
mengukur perbedaan diameter pembuluh darah dan ketebalan dinding pembulu
darah. Jika persebaran data tidak rata, maka digunakan metode T Independent Test.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam
diameter dan ketebalan dinding untuk kelompok I, kelompok 2, dan kelompok 3
untuk semua pembuluh darah kecuali arteri iliaka kiri. Arteri iliaka kiri
menunjukkan perbedaan yang bennakna dalam diameter dan ketebalan pembuluh
darah.
Diskusi: Hasil riset ini, memmjukkan keamanan sel punca pada arteri bila
disuntikan ke dalam vena. Ini ditunjukkan dengan hasil yang tidak. terdapat
perbedaan bermakna dalam 5 pembuluh darah yang dipenksa. kecuali arteri iliaka
kiri menunjukkan hasil yang bermaknadan perlu diteliti lebih lanjutdenganjumlah
sam pel yang memadai (30 tikus). Setiap kelompok mempunyai sampel minimum
9 ekor, namun dan hasil penelitian masing-masing kelompok mempunya 5 ekor
tikus yang dapat dianalisis. Sehingga hasil analisis yang didapatkan tidak bisa
mencerminkan hubungan yang kuat secara statistik, namun merupakan suatu
kecenderungan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70452
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arrum Mutiara
"Pendahuluan: Periodontitis merupakan suatu penyakit inflamasi terkait bakteri yang dikarakteristikan dengan interaksi antara sistem pertahanan tubuh host dan patogen. Porphyromonas gingivalis (P.gingivalis) merupakan salah satu bakteri red complex yang berperan dalam menginisiasi terjadinya periodontitis. Gingiva merupakan lini pertahanan mekanis, yang disebut sebagai gingival barrier function. Tight junction gingiva merupakan salah satu yang berperan dalam fungsi pertahanan tersebut dan kemampuan tubuh dalam merespon patogen dipengaruhi oleh usia. Tujuan: Mendapatkan perbedaan ekspresi gen tight junction gingiva terhadap stimulasi P.gingivalis. Metode: Studi eksperimental menggunakan jaringan gingiva tikus usia 18 minggu dan 35 minggu. Sampel kemudian dikultur dan diberikan stimulasi live P.gingivalis dan hasil sekresi P.gingivalis. Pengukuran dilakukan untuk menilai laju proliferasi, laju metabolisme, dan ekspresi tight junction sel gingiva tikus. Hasil: Sel gingiva tikus tua menunjukkan laju proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan sel gingiva tikus tua, namun pada uji statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelompok. Terdapat kecenderungan peningkatan laju metabolisme dan ekspresi gen tight junction gingiva yang lebih tinggi pada sel gingiva tikus muda dibandingkan sel gingiva tikus tua, namun pada uji statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada kedua kelompok. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan ekspresi gen tight junction gingiva terkait usia.

Introduction: Periodontitis is an inflamatorry disease associated with the interaction of host immune systemn and pathogen. Porphyromonas gingivalis is one of the red complex bacteria that plays important role in initiating periodontitis. Gingiva act as mechanical defense towards the pathogen, which is known as the gingival barrier function,including gingival tight junctions. Body’s ability to respond stimuli and environmental condition is influenced by age, this also affect the respond of host immune system to pathogens. Objective: To analyse the tight junction gene expression to Porphyromonas Gingivalis intervention. Material and Methods: Aging experimental model was conducted by using two age categories male rodents, 18 and 58 weeks. Rodents gingival cell was intervened with Porphyromonas gingivalis and its product from the broth medium. Meassurements were made to analyse the proliferation rate, metabolic rate, and gingival tight junction gene expression. Result: The old rodent group shows higher proliferation rate, but there was no statistically differences between two groups. There was a tendency of increase value for the metabolic rate and gingival tight junction gene expression in young rodent group compare to old rodent group. Conclusion: There was no differences of the gingival tight junction expression in related to aging."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanjung Maharani
"Triclustering merupakan salah satu teknik data mining pada data tiga dimensi untuk mengelompokkan data secara bersamaan pada baris dan kolom di titik waktu yang berbeda menjadi tricluster. Metode ini umumnya diterapkan pada bidang bioinformatika, khususnya data ekspresi gen tiga dimensi. Salah satu triclustering dengan pendekatan biclustering-based adalah THD-Tricluster. Langkah utama dari algoritma ini ialah generate bicluster dan genereate tricluster. Algoritma THD-Tricluster menggunakan pola pergeseran dan penskalaan dengan nilai Shifting-and-Scaling-Similarity (SSSim) untuk mengelompokkan gen dan menghasilkan tricluster. Hasil dari THD-Tricluster dievaluasi dengan Multi Slope Measure (MSL) yaitu sebuah pengukuran kualitas melalui representasi grafik dari tricluster. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data respon tiga sel individu terhadap pemberian sitokin berupa interleukin-1-beta pada sel mesenkim amnion manusia atau sel pada membran janin. Sitokin memicu regulasi gen inflamasi yang berkontribusi pada kelahiran prematur. Metode THD-Tricluster diimplementasikan pada 15 skenario dengan nilai threshold berbeda. Skenario yang optimal dipilih menggunakan nilai validasi coverage. Pada skenario optimal, diperoleh delapan tricluster yang kemudian dievaluasi menggunakan Multi Slope Measure (MSL). Tricluster 2 yang memiliki nilai MSL paling kecil dan dipilih sebagai tricluster optimal terdiri atas kumpulan gen dari sel yang responsif terhadap pemberian sitokin berupa interleukin-1-beta. Gen-gen pada Tricluster 2 inilah yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para peneliti di bidang biologis dan medis untuk untuk penelitian lebih lanjut terkait kelahiran prematur.

Triclustering is one of the data mining techniques on three-dimensional data to cluster data simultaneously in rows and columns at different time points into triclusters. This method is generally applied to the field of bioinformatics, especially three-dimensional gene expression data. One of the triclustering methods with a biclustering-based approach is THD-Tricluster. The main steps of this algorithm are generate bicluster and generate tricluster. THD-Tricluster algorithm uses shifting and scaling patterns with Shifting-and-Scaling-Similarity (SSSim) values to cluster genes and generate tricluster. The result of THD-Tricluster is evaluated by Multi Slope Measure (MSL), a measurement of tricluster quality through graphical representation. In this study, the data used is the response data of three individual cells to cytokine in the form of interleukin-1-beta in human amniotic mesenchymal cells or cells in the fetal membrane. Cytokines stimulate the regulation of inflammatory genes that contribute to preterm birth. The THD-Tricluster method was implemented on 15 scenarios with different threshold values. The optimal scenario was selected using the coverage validation value. In the optimal scenario, eight triclusters were obtained which were then evaluated using Multi Slope Measure (MSL). Tricluster 2 which has the smallest MSL value and selected as the optimal consists of a collection of genes from cells that are responsive to cytokine administration in the form of interleukin-1-beta. The genes in Tricluster 2 can be used by biological and medical researchers to develop treatments to prevent premature birth."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hole, C.B.
London: ELBS and Macmillan Education, 1997
571.6 HOL i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Murray, Darrel L.
California: Addison-Wesley, 1971
571.6 MUR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>